Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu tampak seorang gadis anggun berjalan keluar dari kamarnya, parasnya sangat cantik, juga tutur katanya lembut dan satu lagi dia adalah gadis yang sangat taat dalam agamanya.
"Assalamualaikum, selamat pagi bunda, ayah." sapa gadis cantik bernama Nadira Anastasya seraya tersenyum manis pada kedua orang tuanya.
"Waalaikumsalam, pagi juga anaknya bunda dan ayah," balas sang bunda tersenyum.
"Duduklah, ayo kita sarapan dulu," ajak sang ayah sambil tersenyum manis pada putri tunggalnya itu.
Nadira tampak mengikuti ucapan ayahnya, dia terlihat tersenyum menatap bunda dan ayahnya. Mereka bertiga makan tanpa bersuara, hingga sarapan pun berakhir setelah setengah jam lamanya.
"Dira, apa kamu sibuk hari ini?" tanya ayahnya pada putrinya itu.
Nadira menatap wajah ayahnya sambil tersenyum.
"Ayahkan tau kalau Dira hanya di rumah saja," ucap sang anak bersama senyumnya.
"Ayah tau itu, maksudnya ayah apa kamu hari ini ada kelas bersama anak-anak panti?" tanya ayahnya lagi.
Karena kelainan yang diderita oleh Nadira, kini gadis itu hanya berada di dalam rumahnya. Kesibukan Nadira setiap hari adalah mengajarkan anak-anak panti untuk mengaji di rumahnya, selain itu ia bekerja membantu kedua orang tuanya untuk mendesain pakaian.
Semenjak ia menderita kelainan yang disebut haphephobia gadis itu tak bisa seperti anak lainnya, kejadian itu bermula sejak usianya genap sepuluh tahun. Nadira diculik saat pulang sekolah dan menghilang selama satu minggu, sejak saat itu Nadira menjadi pemurung juga takut dengan sentuhan orang lain pada dirinya, bahkan semenjak kejadian itu ia juga takut pada kedua orang tuanya.
Namun seiring berjalannya waktu, Nadira tak takut lagi pada orang tuanya tapi dia tetap membatasi dirinya dengan lingkungan luar.
Mata Nadira kembali terfokus pada sosok ayahnya.
"Memangnya ada apa yah?" tanya Nadira bingung.
Terdengar helaan nafas Tony, ayahnya Nadira.
"Ayah ingin mengajakmu bertemu dengan teman lama ayah." ucap sang ayah.
Nadira tampak menundukan kepalanya, terlihat tangan bundanya mengelus lembut bahu Nadira.
Flashback on
Nadira tahu betul bagaimana dirinya yang tak bisa berinteraksi dengan dunia luar, terakhir kali waktu itu ia mencoba untuk bersosialisasi dengan banyak orang saat ia pergi berkunjung ke butik ayah dan bundanya yang begitu banyak dipadati oleh pengunjung, Nadira yang saat itu ingin membantu melayani pengunjung tiba-tiba tak sengaja dirinya bersentuhan langsung dengan beberapa pelanggan.
"Mba tolong dong hitung belanjaan milikku." ucap seorang wanita paruh baya seraya tangannya menyentuh bahu Nadira.
Terlihat respon Nadira yang terdiam atas sentuhan itu, tiba-tiba saja tubuhnya gemetar lalu ia mendapat serangan panik.
"Mba ada apa?" tanya wanita itu seraya mencoba menyadarkan Nadira.
Bukannya membaik, Nadira malah semakin gemetar dengan tubuhnya yang dipenuhi keringat, apalagi saat ia melihat semakin banyak orang berdatangan hanya untuk melihat dirinya.
Bruk
Nadira jatuh pingsan. Saat sadar ia sudah berada di sebuah rumah sakit, bahkan setelah bangun pun yang ia alami adalah mual yang hebat. Itulah kali terakhir Nadira mencoba keluar dari rumah untuk bersosialisasi layaknya orang normal.
Flashback off
"Sayang" ucap sang bunda menyadarkan lamunan anaknya itu.
"Ya bun?" balas Nadira.
"Bagaimana, apa kamu mau?" tanya bundanya menatap wajah Nadira.
"Tapi bun, Dira sungguh tak yakin ini akan berhasil. Bagaimana kalau Dira hanya membuat kalian malu saja nantinya?" tanya Nadira ragu.
"Ayah dan bunda akan terus berada di sampingmu, jadi Nadira jangan takut." ucap sang ayah mencoba meyakinkan putrinya itu.Nadira yang hatinya masih ragu pun akhirnya menganggukan kepalanya.
***
Sore hari, setelah Nadira menyelesaikan tugasnya yaitu mengajarkan anak-anak panti mengaji, gadis itu kini terlihat bersiap. Satu hal yang Nadira suka, ia tak pernah mengalami reaksi tubuhnya saat bersama anak-anak walaupun ada banyak tapi tubuhnya tak pernah bereaksi aneh itulah sebabnya Nadira sangat menyukai anak-anak panti yang sering datang ke rumahnya.
Tok tok tok.
"Sayang, apa kamu sudah siap?" tanya sang bunda di luar seraya mengetuk pintu kamar anaknya itu.
"Ya bun, masuklah." ucap Nadira.
Sang bunda pun akhirnya masuk ke kamar anaknya itu, dilihatnya Nadira tengah merapikan hijab yang ia kenakan.
"Wah putrinya bunda cantik banget sih." Ucap bundanya seraya mengelus lembut bahu putrinya itu.
"Siapa dulu dong bundanya." ucap Nadira.
"Eits jangan lupa juga ayahnya ya." Ucap seseorang yang baru saja ikut masuk yang tak lain adalah ayah Nadira.
"Iya ayahnya juga." ucap Nadira.
"Ya sudah ayo kita berangkat." ucap bundanya seraya menggandeng anaknya itu.
Kini tiga orang itu telah duduk bersama di dalam mobil, Nadira tampak duduk di belakang sendiri dalam diam ia mengucap doa disetiap lantunan hatinya.
Tak lama terdengar suara ayahnya.
"Dir, kamu ingat tidak saat usiamu tujuh tahun teman ayah ini pernah datang ke rumah kita?" ucap ayahnya pada Nadira.
Nadira tampak terdiam lalu menoleh ke ayahnya dan berucap.
"Memangnya yang mana ayah?" tanya Nadira lagi.
"Om Darius Geraldo, kamu ingat?" tanya ayahnya lagi.
Nadira tampak mencoba mengingat, tiba-tiba bundanya berucap.
"Kalau tante Selena, apa kamu ingat?" tanya bundanya juga.
Namun Nadira masih mencoba mengingatnya.
"Ah mungkin putri kita telah lupa karena itu sudah sangat lama juga, apa lagi usianya kini sudah 24 tahun yah." ucap sang bunda.
"Iya juga ya bun, eh tapi apa kamu masih ingat dengan putranya? dia itu juga pernah berteman denganmu Dira." Ucap sang bunda lagi.
"Siapa ya yah, nama anaknya?" lanjut bundanya.
"Ayah juga sedikit lupa, kita sudah lama juga kan tidak bertemu mereka lagi apalagi pas mereka pindah ke Jerman." ucap Ayahnya yang memang sudah lupa dengan nama anak sahabatnya itu.
"Erlan…?" lirih Nadira yang tengah mencoba mengingat.
"Oh, kamu ingat." ucap bundanya sedikit kaget.
"Wah ingatan anak kita cukup bagus." Ucap sang ayah.
Seketika, Nadira kembali pada ingatan masa lalunya. Gadis yang baru menginjak usia tujuh tahun tengah duduk di kebun belakang rumahnya sambil memetik beberapa buah tiba-tiba seorang anak lelaki menangis di tanah, rupanya anak itu terjatuh.
"Kamu baik-baik saja?" tanya gadis kecil yang tak lain adalah Nadira.
Anak lelaki itu tampak jutek dengan wajah tampannya.
"Jangan menyentuh lukanya!" ucap anak lelaki itu saat melihat Nadira mencoba melihat luka di kakinya.
"Aku tidak menyentuhnya, hanya ingin melihatnya saja." ucap Nadira sedikit kesal.
Anak lelaki itu terlihat memandang keranjang buah di tangan Nadira.
"Kamu mau ini?" tanya Nadira seraya mendorong keranjang itu di dekat kaki anak lelaki itu.
"Aww kamu menyentuhnya!!" rengek anak lelaki itu lalu menangis.
"Maaf maaf, aku tak sengaja. Biar ku tiup." ucap Nadira seraya meniup luka itu, tiba-tiba saja rasa luka yang tadinya perih kini terasa dingin dan nyaman.
Nadira tampak tersenyum lalu ikut duduk di dekat anak lelaki itu.
"Ini, buahnya bersih kok aku sudah mencucinya." Ucap Nadira.
Anak lelaki itu tampak mengambilnya dan langsung memakannya.
"Aku Erlan, kamu siapa?" tanya anak lelaki itu.
"Nadira, panggil aja Dira." Ucap anak itu seraya memakan buah miliknya.
Tiba-tiba...
"Sayang." panggil bundanya seraya menyadarkan putrinya yang tengah melamun.
"Oh ya bun?" Ucap Nadira.
"Kamu melamun lagi, ayo masuk kita sudah sampai." Ucap ibunya.
Nadira tampak mengamati sebuah restoran mewah di depannya seraya menyatukan kedua tangannya dan menggenggamnya kuat seolah meyakinkan dirinya.
"Dira, jangan lupa ada ayah dan bunda di sisimu." Ucap ayahnya saat melihat keraguan di wajah putrinya itu.
Tampak Nadira tersenyum.
'Nadira, kamu pasti bisa, kamu harus bisa hidup layaknya seperti orang biasa kali ini kamu pasti bisa.' Batin Nadira mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Tak berselang lama ketiga orang itu pun menuruni mobilnya dan berjalan masuk menuju restoran itu.
Kini bundanya menggandeng lembut tangan putrinya seolah menyalurkan kekuatan untuk anaknya itu dengan diikuti oleh ayahnya di samping sang bunda.
Saat merasa tangan Nadira mulai bergetar tiba-tiba bundanya berbisik.
"Ingat sayang, kamu adalah orang yang normal layaknya banyak orang disini. Kita semua sama." Bisik sang bunda seraya menatap anak semata wayangnya itu.
Nadira tampak tersenyum dengan ucapan bundanya itu, akhirnya mereka masuk ke ruangan VVIP yang pastinya sudah ada satu keluarga di dalamnya.
Klek
Pintu terbuka dan seorang pria langsung menyambut hangat keluarga Nadira.
"Assalamu'alaikum Almira, Tony." Sapa Selena istri dari Darius.
"Waalaikumsalam Selena." Ucap Almira istrinya Tony sekaligus bundanya Nadira.
"Ayo duduk-duduk." Ucap Darius pada ketiga orang itu.
Kini mereka semua duduk pada bangku yang telah tersedia kecuali Nadira.
"Ini Nadira?" tanya Selena pada Almira.
"Ya ini putri kami, Nadira Anastasya." ucap Almira mengenalkan putrinya itu.
Selena tampak berdiri menghampiri Nadira, lalu memeluk gadis itu.
"Sangat cantik." puji Selena seraya mengelus lembut pipi Nadira.
Kedua orang tua Nadira sangat kaget saat melihat kedekatan itu, sebab tubuh Nadira tidak mendapat respon apapun. Nadira terlihat baik-baik saja walau dipeluk oleh Selena, bahkan Nadira sendiri kaget karena ia baik-baik saja.
Nadira terlihat mendongakkan kepalanya menatap Selena yang mengagumi wajahnya lalu mengambil tangan Selena dan menciumnya seolah ia bersaliman pada wanita itu.
"Terima kasih tante." ucap Nadira dan dibalas senyuman oleh Selena.
Klek
Pintu terbuka dan menampilkan se sosok pria tampan mengenakan pakaian jas yang rapi dengan raut wajah yang tegas dan cuek.
"Maaf aku terlambat." ucapnya.
Darius menghela nafasnya menatap putranya itu.
"Erlan, cepat masuklah." ucap Darius ayah dari Erlan.
"Nah Tony ini putraku Erlan, kau ingatkan?" tanya Darius.
"Ya, aku ingat." ucap Tony.
"Beri salam pada teman daddy dan mommy!" pinta Selena.
Erlan tampak mendekati meja itu lalu menundukan kepalanya sebentar dan berucap.
"Aku Erlan." ucap pria itu lalu duduk dibangkunya.
"Ah anak ini memang tak sopan, harap maklum." ucap Darius tak enak dengan sikap Erlan.
"Tidak apa-apa Darius, santai saja." ucap Tony.
Akhirnya mereka pun makan bersama sambil sesekali berbincang, sedangkan Nadira masih bingung dengan tubuhnya yang baik-baik saja.
Disisi lain sosok Erlan tengah mengamati wajah cantik seorang gadis dengan busana yang menutupi dirinya, terlihat sangat anggun dan indah sekali untuk di pandang siapa lagi kalau bukan Nadira. Tiba-tiba saja Nadira yang merasa seseorang tengah memperhatikannya dan benar saja saat ia mencari sosok itu ternyata Erlanlah yang tengah menatap dirinya.
Mata mereka berdua bertemu dan Nadira mengingat bola mata itu, tiba-tiba saja ia kembali pada kenangan masa lalu.
Flashback On
Semenjak kejadian pertemuan masa kecilnya bersama Erlan, Nadira menjadi sangat dekat dengan sosok anak kecil itu. Mereka sering bermain di kebun seraya memetik buah-buahan, hingga akhirnya mereka berpisah karena orang tua dari anak lelaki itu akan pindah ke Jerman. Setelah itu sangat lama Nadira tak pernah tau kabar Erlan kecil hingga kenangan kecil itu seolah lenyap sendirinya namun hari ini ia seolah kembali pada masa lalu itu.
Flashback Off
Mereka berdua masih melempar tatapan hingga bundanya menyenggol tangan Nadira dan berbisik tepat di telinga putrinya.
"Sayang jaga matanya, nanti dosa loh." bisik sang bunda.
'Astagfirullahaladzim, kenapa aku bisa ikut menatapnya.' batin Nadira seraya mengelus dadanya sambil menghembuskan nafasnya.
Erlan tampak menyunggingkan kecil senyumnya saat melihat gerak-gerik Nadira.
Tiba-tiba pembicaraan kembali pada orang tua masing-masing.
"Jadi begini Tony, Almira sebenarnya aku dan istriku ingin meminang putrimu Nadira untuk anak kami Erlan." Ucap Darius.
Tampak Tony dan Almira tak terkejut atas ucapan itu, karena Darius sudah mengatakannya sebelumnya pada Tony dan Almira juga kedua orang itu setuju sebab ia sudah mengenal baik Darius dan Selena sangat lama. Sedangkan Nadira kaget dengan ucapan itu, bagaimana pun rasanya ia belum siap untuk menikah apalagi ia tengah menderita kelainan yang mana sakit itu tergolong langka.
Tony dan Almira tampak tersenyum dan Nadira dapat melihat kebahagian itu, Nadira paham bagaimana bahagianya orang tuanya itu.
"Kami serahkan semuanya pada Nadira, karena dia yang kelak akan menjalaninya." ucap Tony sebagai kepala keluarga itu.
Kemudian Darius dan Selena termasuk Erlan menatap Nadira bersamaan seolah meminta jawaban.
'Bagaimana ini, aku harus bilang apa?' batin Nadira menunduk.
"Sayang." lirih bundanya memegang lembut tangan anaknya itu.
"Bunda." lirih Nadira.
Terlihat bundanya tersenyum manis pada putrinya itu.
"Ikuti hatimu sayang, jangan tertekan ataupun terpaksa bahkan jika kau menolaknya bunda dan ayah tak akan marah dengan keputusannya Nadira." ucap bundanya itu lembut sekali.
Nadira tersenyum membalas ucapan bundanya itu lalu kemudian gadis itu mendongakkan kepalanya dan mendapati tiga orang telah menatapnya sambil tersenyum.
"Jika boleh biarkan kami saling mengenal dulu." ucap seseorang yang tak lain adalah Erlan, suara yang tegas terdengar seperti sosok pemimpin itu memecahkan keheningan dalam ruangan itu.
Darius tampak menatap putranya itu lalu tersenyum.
"Tak masalah asalkan kau akan menikah nantinya, sebab usiamu itu sudah tua." kekeh Darius menatap putranya itu.
Erlan hanya mengangguk dengan wajahnya yang datar itu tanpa berucap.
Selena masih mengamati wajah diam Nadira dan berucap.
"Nadira, bagaimana denganmu? Apa kau mau jika kelak menikah dengan anaknya tante? Walaupun kelak kau menolaknya kami akan menerimanya." ucap Selena walau jauh di lubuk hatinya mengingini gadis soleha itu menjadi menantunya.
Nadira tampak tersenyum dan memberanikan dirinya untuk mengucapkan sesuatu.
"Ijinkan saya ikut mengenal anak tante dan om seperti yang ia minta, tiga hari itu waktu yang cukup dan saya akan memberikan keputusannya lalu itu juga tergantung apakah anaknya tante dan om mau menerima saya nantinya." ucap Nadira lembut seraya tersenyum pada Darius dan Selena.
Tutur kata yang lembut dengan dihiasi senyum yang penuh arti membuat sebuah getaran di dada Erlan yang tengah menatap gadis muslimah yang sangat cantik itu, bahkan menolak untuk mengenal gadis di hadapannya itu hanyalah perbuatan bodoh pikirnya.
Selena dan Darius tampak tersenyum mendengar ucapan Nadira yang terdengar sangat bijaksana itu bahkan Tony dan Almira bangga memiliki sosok putri yang luar biasa itu.
Setelah itu pembicaraan pun berakhir, terlihat mereka saling berpamitan. Nadira tampak sangat sopan pada orang tua Erlan dengan mencium lembut tangan Darius dan Selena yang sudah ia anggap layaknya orang tuanya sedangkan pria bernama Erlan itu hanya menunduk hormat pada Tony dan Almira seraya memberi senyumannya.
Tiba-tiba terlihat Erlan mendekati Nadira seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan hal itu mampu membuat Nadira mengernyitkan dahinya.
Merasa tangannya tak mendapatkan balasan, Erlan pun menarik kembali tangannya lalu mengambil sebuah kartu nama miliknya dari kantongnya seraya memberikan pada Nadira tapi Nadira masih enggan menerimanya.
"Ambillah." ucap Erlan.
"Ini untuk apa?" Tanya Nadira.
"Kau bisa menghubungiku untuk pertemuan selanjutnya." ucap Erlan datar.
Nadira tampak tersenyum lalu kemudian berucap.
"Maaf sebelumnya tapi saya rasa kamu tak mengerti maksud mengenal satu sama lain yang saya maksud, ini bukan kencan buta seperti yang dilakukan oleh biasa orang. Apa kau tak pernah mendengar kata taaruf sebelumnya?" Tanya Nadira.
Erlan tampak kaget mendengar ucapan Nadira, ia baru sadar bahwa gadis dihadapannya bukan seperti wanita yang biasa ia kenal saat di luar Negeri. Erlan pun tampak menarik kembali kartu namanya dan memasukkannya pada kantongnya.
"Maaf jika itu menyinggungmu." ucap Erlan.
"Tidak, tidak sama sekali." balas Nadira tersenyum lalu tanpa kata melanjutkan pembicaraannya gadis itu terlihat sudah menaiki mobil tanpa memandang Erlan.
Lalu terdengar suara Almira bundanya Nadira.
"Nadira memang begitu, datanglah ke rumah kami untuk berkunjung." ucap Bundanya Nadira seraya tersenyum pada Erlan dan pria itu hanya menganggukan kepalanya. Erlan sungguh tak menyangka pada gadis yang bernama Nadira, selama ini ia tak pernah merasa ditolak dengan banyaknya gadis dan untuk hari ini sungguh ia merasa ditolak oleh gadis cantik yang baru saja pergi tanpa melanjutkan topik pembicaraan mereka dan lagi gadis itu tak menerima uluran tangan juga kartu namanya, Erlan hanya menggelengkan kepalanya seraya menatap kepergian mobil milik orang tua Nadira.
'Menarik sekali dan ini untuk pertama kalinya aku ditolak oleh seorang gadis.' batin Erlan seraya tersenyum.
_________
Keesokan harinya tampak siang itu Nadira duduk mengajar banyak anak-anak panti mengaji, ia tersenyum bahagia melihat wajah Anak-anak itu.
"Kak Nadira." sapa seorang anak lelaki yang paling dekat dengan Nadira.
"Ya?" balas Nadira tersenyum.
"Apa kakak sungguh akan menikah?" Tanya Anak itu.
"Bunda. Bunda yang bilang." ucap anak kecil yang bernama Erik.
Nadira tampak mengelus lembut kepala anak itu dan berucap.
"Itu hanya rencana saja, semuanya kan hanya Allah yang tau." ucap Nadira.
"Begitu ya. Apa dia tampan atau dia pintar agama?" Tanya Erik lagi.
Nadira tampak tertawa kecil karena gemas dengan anak itu.
"Memangnya ada apa?" Tanya Nadira.
"Aku harap lelaki itu tidak lebih baik dariku kak." ucap anak lelaki itu.
Disisi lain sosok pria tengah berdiri memperhatikan percakapan kecil itu, siapa lagi kalau bukan Erlan. Ia bertamu ke rumah orang tua Nadira untuk perkenalannya selama tiga hari ke depan.
Tak lama setelahnya tampak bunda Nadira mendekati Erlan.
"Apa kamu mau kesana? Pergilah temui Nadira, ia sedang mengajar anak-anak." ucap bundanya Nadira.
Erlan tampak mengangguk dan pamit menemui Nadira yang asik bersama beberapa anak-anak.
"Apa aku mengganggu kalian?" suara bariton itu terdengar dan membuat Nadira menolehkan kepalanya mendapati sosok Erlan tengah berdiri.
"Waalaikumsalam." lirih Nadira menatap wajah Erlan.
Sedangkan Erlan hanya diam sambil ikut duduk disana.
"Kak." panggil anak lelaki yang tak lain adalah Erik.
"Hm?" jawab Nadira.
"Apa dia kak?" Tunjuk Erik.
"Erik yang sopan, kamu harus ingat siapapun dia, kamu harus sopan ya." ucap Nadira menasehati.
Bukanya Nadira yang menjawab tapi Erlan.
"Ya aku prianya, kenapa?" Tanya Erlan menatap anak lelaki itu.
Erik tampak kesal dan membalas ucapan Erlan.
"Ternyata lebih buruk!!" ucap Erik.
Erlan tampak tersenyum saat mendengar ucapan anak itu.
"Erik tak boleh begitu." tegur Nadira.
"Maaf kak." lirih Erik menunduk.
Akhirnya anak-anak panti pun pulang saat Nadira telah selesai mengajari mereka semua.
Kini tinggalah Nadira bersama kedua orang tuanya dan juga Erlan.
"Terima kasih karena mau datang ke rumah kami." ucap Tony ayahnya Nadira.
"Ya, om." ucap Erlan.
"Apa sebaiknya bunda dan ayah kesana saja biar kalian bisa mengobrol?" Tanya bundanya.
"Tapi bun..." Ucapan Nadira terpotong saat ayahnya berucap.
"Benar juga, kami akan memantau dari jauh saja. Akan lebih baik jika kalian saling mengenal." ucap ayahnya Nadira.
Kedua orang tuanya pun berlalu dari tempat itu, Erlan tampak duduk santai sedangkan Nadira sangat gugup karena ini pertama kalinya ia duduk bersama seorang pria.
Hingga terdengar suara bariton Erlan.
"Bagaimana kabarmu Nadira? Sudah sangat lama sejak saat itu." ucap Erlan seraya menyesap teh miliknya.
Nadira tampak mendongakan kepalanya menatap sebentar Erlan.
"Aku baik." balas Nadira.
"Akan lebih baik jika kita tak canggung, apa kamu bisa sedikit lebih tenang Nadira orang tuamu juga masih ada dirumah ini jadi jangan membuatku seolah akan memakanmu saja." ucap Erlan santai sambil tersenyum seraya menatap Nadira yang tengah gugup.
Nadira kembali menatap Erlan dan mendapati pria itu tersenyum tiba-tiba saja rasa gugupnya menghilang, ia teringat bayangan masa kecilnya dulu bersama pria di hadapannya itu.
"Bagaimana?" Tanya Erlan.
"Apanya?" Jawab Nadira bingung.
"Apa kita bisa lebih santai? Dulunya kan kita juga pernah dekat." ucap Erlan.
Nadira tampak tersenyum dan berucap.
"Hm, dulu kita sangat kecil dan sekarang kita sama-sama dewasa. Jika kamu ingin santai juga tak jadi masalah, setidaknya kita bisa saling menghormati." ucap Nadira.
Erlan tampak menganggukan kepalanya tanda paham maksud gadis itu, akhirnya mereka bercerita satu sama lain dari kisah masa lalu sampai cerita kehidupan masing-masing.
Hingga sore hari akhirnya mereka pun menyudahi percakapan itu, terlihat Erlan berdiri dari duduknya untuk berpamitan ke orang tua Nadira.
Nadira tampak melangkahkan kakinya mencari kedua orang tuanya, namun ia tak sengaja menjatuhkan sapu tangan miliknya ke lantai dengan cepat Erlan mengambilnya lalu menahan tangan Nadira.
"Sebentar." ucap Erlan seraya memegang lembut tangan gadis itu.
DEGH
Lagi-lagi Nadira tak merasakan respon dari tubuhnya yang biasanya terjadi jika mendapat sentuhan itu, Nadira tampak masih diam hingga ia kembali tersadar saat mendengar suara Erlan.
"Kau menjatuhkannya." ucap Erlan seraya mengulurkan tangan yang satunya memegang sapu tangan milik Nadira.
Nadira tampak menarik tangannya seraya mengambil sapu tangan itu.
"Terima kasih." ucap Nadira seraya pergi.
Setelah menunggu sekitar lima menit, barulah kedua orang tua Nadira datang namun tak ada sosok Nadira yang Erlan lihat.
"Dia sedang sholat, kau mau pulang?" tanya ayah Nadira.
"Ya, om tante. Aku pamit dulu, salam aja buat Nadira." ucap Erlan.
"Waalaikumsalam." ucap bunda dan ayah Nadira bersamaan.
"Hati-hati dijalan ya." ucap ayah Nadira seraya menepuk lembut punggung Erlan.
Akhirnya pria itu pun pulang.
***
Nadira tampak duduk di ranjangnya saat selesai menjalani sholat, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
Tok tok tok
Nadira berjalan untuk membukakan pintu, rupanya bundalah yang mengetuk.
"Masuk bun." ajak Nadira.
Saat bundanya masuk, tampak dua orang itu duduk di ranjang.
"Bagaimana sayang?" tanya bundanya sambil tersenyum.
"Bun..." Lirih Nadira.
"Ya, ada apa?" Tanya bundanya.
"Tadi tak sengaja Erlan menyentuh tanganku dan aku baik-baik saja bun." ucap Nadira memberitahu bundanya.
Bundanya tampak tertegun, apa lagi saat ayahnya juga ikut mendengar itu.
"Apa putri kita ini sudah sembuh?" Tanya ayahnya ikut masuk ke kamar itu.
Nadira tampak terkejut dan tak percaya jika benar sakitnya sudah sembuh sudah pasti ia sangat bahagia sekali.
"Bunda rasa yang ayah katakan benar, wah senang sekali jika Nadira putrinya bunda sudah sembuh." ucap bundanya seraya memeluk putrinya itu.
Nadira tampak tersenyum, ia juga ikut bahagia jika itu benar.
"Bagaimana jika kita coba keluar." ajak sang ayah.
"Benar. Ayo Nadira kita ke butik ya." tawar bundanya lagi.
"Tapi yah, bun bagaimana jika aku masih sakit." ucap Nadira cemas.
"Kita pastikan dulu sayang." ucap ayahnya.
Akhirnya Nadira pun mau mengikuti usul ayah dan bundanya itu.
Kini Nadira sudah sampai bersama dengan kedua orang tuanya.
"Ayo turun sayang." ucap sang bunda.
"Bunda, ayah aku takut. Terakhir kalikan..." ucapan Nadira menggantung saat ayahnya memberi senyuman terbaik.
"Percaya deh, kamu akan baik-baik saja." ucap ayahnya memberi semangat.
Nadira tampak turun dari mobil digandeng oleh bundanya.
Klek
Ketiga orang itu memasuki butik milik mereka.
"Selamat sore bu, pak dan mba Dira." sapa pelayan butik itu.
"Sore." balas bunda dan ayah Nadira.
Tubuh Nadira tiba-tiba saja gemetar, apalagi tak sengaja ia bersentuhan dengan beberapa pelanggan. Dengan cepat Nadira melepas pegangan tangan bundanya lalu berlari keluar butik itu, ia pergi menuju mobil dan memuntahkan isi perutnya. Bunda dan ayahnya yang cemas pun ikut menghampiri putrinya yang terlihat berupaya memuntahkan isi perutnya.
"Ayah, bunda." lirih Nadira menatap wajah kedua orang tuanya itu dengan wajah yang dipenuhi air mata, tak berselang lama gadis itu pun jatuh pingsan.
Dengan cepat ayahnya menggendong putrinya itu masuk ke dalam mobil.
***
Sampai di kediamannya Nadira sudah berada di kamarnya dengan bundanya berada disampingnya sambil mengelap keringat sang Anak.
"Yah, apa Nadira akan sembuh?" Tanya bundanya.
"Bunda jangan sedih, anak kita pasti akan sembuh." ucap ayah Nadira seraya menepuk punggung istrinya itu.
Tak lama kemudian, Nadira sadar. Saat Nadira bangun hanya mual yang ia rasakan, gadis itu tampak berlari dari orang tuanya dan masuk ke dalam toilet.
Huek huek
Hanya ingin muntah tapi tak ada yang keluar, hingga terdengar isakan dari dalam toilet itu.
"Bunda, ayah maaf bisakah kalian keluar dari kamar Dira. Dira mohon." ucap Nadira.
Ayah dan bundanya tau jika anaknya itu tengah malu pada dirinya sendiri.
'Aku yakin, pasti bunda dan ayah sangat kecewa.' batin Nadira.
Saat terdengar suara pintu tertutup yang berarti bunda dan ayahnya sudah keluar, gadis itu pun langsung menangis sesegukan di dalam toilet.
___________
Keesokan harinya Erlan kembali datang ke kediaman Nadira.
"Selamat pagi tante, om." sapa pria itu.
"Pagi Erlan, wah kamu datang sangat awal. Apa tak sabar menemui Anaknya om?" Tanya Tony terdengar bergurau.
Erlan tampak tersenyum, lalu tiba-tiba Asisten rumah tangga di rumah itu berucap.
"Maaf bu, non Nadira bilang tak ingin diganggu. Tadi saya mencoba mengetuk pintu kamarnya..." Ucapan bibi Ani terpotong karena melihat Bundanya Nadira mengangguk mengerti. Bibi Ani pun pamit kembali ke belakang, bunda Nadira tampak ijin menemui putrinya di kamarnya.
Tok tok tok
"Nadira, ini bunda. Apa bunda boleh masuk?" Tanya bundanya namun tak ada jawaban dari anak gadisnya itu.
Kriet
Pintu dibuka oleh bundanya, tampak anaknya itu tengah duduk sambil mengaji. Bundanya hanya tersenyum sampai dilihatnya gadis itu menyelesaikan tugasnya sebagai makhluk beragama.
"Apa bunda mengganggumu?" Tanya bundanya seraya mendekati Nadira.
"Tidak bunda." balas Nadira seraya duduk di tepi ranjangnya.
"Sayang ada Erlan datang berkunjung." ucap bundanya.
Nadira tampak menganggukan kepalanya lalu berkata.
"Sebentar bun, nanti aku akan keluar menemuinya." ucap Nadira.
Bundanya mengerti maksud putrinya itu, akhirnya bundanya pun keluar.
Sekitar dua puluh menit barulah Nadira menemui orang tuanya yang tengah asyik berbincang dengan Erlan.
Erlan tampak tersenyum menatap gadis yang baru saja tiba, gadis anggun dan cantik apalagi dengan pakaian yang begitu sopan.
"Assalamualaikum ayah, bunda, Erlan." ucap Nadira tersenyum.
"Waalaikumsalam." ucap ayah dan bundanya bersamaan sedangkan Erlan hanya memberikan senyumnya pada Nadira.
Nadira tampak duduk didekat orang tuanya.
"Hm, maaf ayah bunda apa bisa jika aku bicara dengan Erlan." pinta Nadira memecahkan keheningan itu.
Erlan tampak mendongak menatap gadis dihadapannya itu.
"Silahkan sayang." ucap bundanya lalu menarik tangan suaminya pergi dari sana.
Kini tinggallah dua orang itu.
"Apa kamu mau ke kebun dibelakang?" Tawar Nadira.
"Bagaimana jika pertanyaan itu aku yang bertanya?" ucap Nadira.
Erlan tampak bingung, tanpa dicari tahu pun Nadira adalah Gadis baik dan itu tak perlu diragukan lagi.
"Ada hal yang ingin ku katakan padamu Erlan, setelah ini aku akan menerima semua keputusan darimu." ucap Nadira.
Erlan semakin bingung dengan ucapan Nadira.
"Erlan, sebenarnya aku memiliki kelainan pada sistem tubuhku. Aku menderita kelainan yang disebut haphephobia. Aku akan diserang panik yang berlebihan jika aku bersentuhan dengan orang asing, berkumpul dengan banyak orang membuatku mual dan ingin muntah." Ucap Nadira jujur hingga ia tak menyangka satu tetes air mata mengalir dari mata Nadira.
Erlan melihat kesedihan yang tampak jelas dari wajah gadis itu, hingga ia berucap.
"Jangan dipaksa jika kamu tak ingin mengatakannya." lirih Erlan.
"Tidak. Aku baik-baik saja, akan lebih baik kamu tau dari awal sebelum kamu menikah denganku." balas Nadira.
"Lalu apa kamu baik-baik saja berdekatan denganku? Apa karena itu kamu menghindariku saat aku tak sengaja menyentuh tanganmu?" Tanya Erlan.
Nadira tampak diam, ia kembali teringat saat kemarin ia tak mengantarkan Erlan pulang.
"Bukan." balas Nadira.
"Lalu, apa kau baik-baik saja saat aku...." Ucapan Erlan terpotong saat Nadira berucap.
"Aku baik-baik saja saat bersentuhan denganmu juga orang tuamu. Kupikir aku sudah sembuh tapi sakit itu kembali kambuh lagi saat aku mencobanya lagi." ucap Nadira jujur.
Bukannya merasa aneh dengan penyakit Nadira, Erlan malah tampak kagum dengan keberanian Nadira yang menceritakan kekurangan dirinya itu.
"Jadi semuanya aku serahkan padamu Erlan, aku tak ingin membebanimu kelak." ucap Nadira.
"Aku tidak apa-apa." balas Erlan.
Nadira tampak menatap heran Erlan, memangnya lelaki mana yang mau menyerahkan hidup bersama gadis yang memiliki penyakit aneh.
"Pikirkan dulu, jangan cepat memutuskan. Aku akan mengatakan itu pada tante dan om." ucap Nadira.
"Biarkan aku yang mengatakannya." ucap Erlan mencegah Nadira, Erlan paham betul betapa susahnya Nadira menceritakan kekurangan itu pada orang lain. Lihatlah betapa ia menahan air matanya sejak tadi karena menceritakan itu pada Erlan.
"Tidak, akan lebih baik jika aku yang berkata." ucap Nadira.
"Aku yakin daddy dan mommy bisa mengerti jadi biarkan aku yang mengatakannya." ucap Erlan lagi.
Nadira tampak menatap Erlan, seolah mengatakan terima kasih karena memahami dirinya yang sebenarnya juga takut mengatakan itu pada orang tua Erlan.
Erlan tersenyum, hingga ia tak sadar tangannya sudah menggapai pipi Nadira seraya mengusap lembut air mata di wajah Nadira.
Plak
Nadira menepis kasar tangan Erlan.
"Maaf, aku hanya bermaksud.." ucapan Erlan terpotong.
"Tidak. Tapi aku takut jika itu menimbulkan dosa, kita belum menikah jadi aku harap kau mau menghormatiku." ucap Nadira seraya pergi dari tempat itu.
Erlan merutuki dirinya yang sangat bodoh itu.
'Erlan bodoh, tanganmu itu kenapa bisa sampai kesana sih? Apa kau mengira dia seperti perempuan diluar sana, ah bodoh sekali bagaimana jika dia membatalkan rencana pernikahan ini?' batin Erlan seraya mengusap kasar wajahnya.
Keesokan harinya Erlan tidak mengunjungi Nadira, ia juga sudah menceritakan tentang sakit yang diderita oleh Nadira pada kedua orang tuanya. Mommy dan daddy Erlan tak mempermasalahkan itu, karena ia juga menyukai calon menantu mereka dan mau menerima kekurangan Nadira.
***
Siang itu tampak Darius dan Selena berkunjung ke rumah Nadira.
Klek
"Assalamu'alaikum." ucap Darius dan Selena.
"Waalaikumsalam masuklah." ajak Tony dan Almira.
"Terima kasih." jawab Darius dan Selena bersamaan.
Mereka berempat pun duduk di ruang tamu.
"Erlan hari ini tidak bisa datang, soalnya dia pergi ke Italia. Urusan kerjaannya disana." ucap Selena.
"Ah begitu ya." balas Almira sambil tersenyum.
"Hm, kemarin Erlan bilang setuju dengan pernikahannya bersama Nadira lalu bagaimana dengan Nadira, Erlan menitip pesan pada kami untuk mengurus pernikahannya jika Nadira sudah siap karena anak itu mungkin pulang dari Italia kemungkinan cukup lama." ucap Darius.
Tony tampak menganggukan kepalanya dan berucap.
"Jadi pernikahannya mau diadakan kapan?" Tanya Tony.
"Mari kita diskusikan, kalau aku memberi saran bagaimana jika bulan depan dan masih ada sekitar tiga mingguan kita mengurusnya." usul Darius.
"Boleh juga." balas Tony.
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk melaksanakan acara pernikahan sebulan yang akan datang.
"Dimana Nadira?" Tanya Selena pada Almira.
"Oh Nadira hari ini dia pergi ke rumah sakit, melakukan konsultasi bersama Dokternya." ucap Almira.
Almira dan Tony sudah tahu dari Nadira bahwa ia sudah memberitahukan tentang sakitnya pada Erlan dan juga orang tua Erlan pasti juga tahu dari Anaknya itu.
Jadi tak masalah bagi Tony dan Almira untuk mengatakan pada besannya itu.
"Itu mengenai sakit yang dideritanya." ucap Tony.
Darius dan Selena pun mengangguk sambil tersenyum.
Sungguh mereka tak masalah akan sakit itu, memangnya siapa yang mau sakit.
Hingga sore hari mereka asyik bertukar bicara, akhirnya Darius dan Selena pun pamit pulang.
Sekitar dua puluh menit setelah kepulangan Darius dan Selena barulah Nadira kembali bersama mobilnya.
"Assalamualaikum, bunda ayah." ucap Nadira pada kedua orang tuanya sambil bersaliman.
"Waalaikumsalam." balas ayah dan bundanya bersamaan.
"Bagaimana? Sudah lebih baik?" Tanya ayahnya.
"Ini." balas Nadira seraya menampilkan satu botol obat pada ayah dan bundanya.
"Semoga saja anaknya bunda dan ayah cepat sembuh ya." ucap bundanya.
Nadira tampak mengangguk sambil memberi senyum pada kedua orang tuanya itu.
"Nadira pamit ke kamar ya bun, yah." balas Nadira.
"Sebentar, Dir tadi orang tua Erlan datang dan kami membicarakan soal pernikahan kalian. Apa tak masalah jika pernikahan kalian dilaksanakan satu bulan ke depan?" Tanya ayahnya.
Nadira hanya mengangguk, karena semuanya memang sudah ia putuskan untuk diserahkan pada orang tuanya dan ia hanya mengikuti saja.
Akhirnya Nadira pun memasuki kamarnya, tampak gadis itu mengambil dua butir obat itu dan meminumnya. Ia berharap agar dia bisa lekas sembuh.
_________
Disisi lain.
Sosok Erlan sedang rapat besar di Italia, pria tampan itu belum juga kembali ke negaranya.
"Tuan, kita harus bergerak cepat. Anggota Dark Heaven sudah dalam bahaya, mereka menyandera satu anggota kita tuan. Apakah sebaiknya kita berikan saja barang haram itu kembali?" Ucap salah satu tangan kanan Erlan.
"Sialan!!" geram Erlan.
Sungguh menyebalkan, masalah belum selesai tapi orang tuanya sudah mendesaknya untuk pulang.
"Tuan?" Tanya pria itu.
"Baiklah serahkan saja, kita atur lain waktu lagi masalah ini. Dapatkan kembali anggota kita." pinta Erlan.
"Baik Tuan." ucap pria itu.
Akhirnya beberapa anggota pun pergi dari markas Dark Heaven untuk mengurus masalah yang terjadi.
Ah Erlan sungguh frustasi.
Beberapa minggu yang lalu, Erlan dikabari oleh beberapa anggota yang ia pimpin yaitu anggota Dark Heaven bahwa rivalnya yang tak lain adalah sepupunya sendiri yang bernama Rayendra tengah menjual jenis narkoba yang paling berbahaya bagi tubuh, ia bahkan adalah pencipta barah haram itu sendiri.
Ah sial!
Erlan bahkan terjebak menjadi bagian mafia juga bermula dari Rayendra. Pria yang kehilangan kedua orang tuanya itu awalnya membawa Erlan untuk berpesta saat kuliah, tapi gilanya Rayendra yang iri dengan kehidupan Erlan pun membuat Erlan harus masuk ke kumpulan mafia dan kini Erlan menjadi pimpinan mafia itu. Tapi satu hal, Erlan tak pernah menjual atau mengkonsumsi barang haram yang selalu di produksi oleh Rayendra.
Erlan berusaha untuk menarik Rayendra ke jalan yang lebih baik tapi malah dirinya yang ikut terjerat dalam rantai mafia.
Awalnya Rayendralah pemimpin pasukan Dark Heaven namun berkat kehebatan dari Erlan akhirnya Rayendra tersingkir dan membuat pasukan baru dengan kegiatan yang buruk.
"Dimana Rayendra?" Tanya Erlan.
"Kami tak bisa melacak tempatnya tuan." ucap salah satu anggotanya.
Sungguh Erlan ingin membunuh Rayendra saja, pria itu sudah gila. Dia terus memproduksi barang haram itu untuk di jual ke seluruh dunia mafia.
Hahh memang gila!
Sekitar lima jam berlalu akhirnya, anggota Dark Heaven yang ditawan oleh pasukan Rayendra sudah kembali karena pasukan Erlan menukarnya dengan barang haram yang sebelumnya akan dihancurkan oleh Erlan.
"Aku akan pulang Damian, tolong kau jaga anggota kita dan satu lagi jangan ada pertumpahan darah lagi. Kita memang mafia kumpulan orang jahat tapi masalah barang haram itu harus kita jauhi." Pesan Erlan.
Mereka memang kumpulan penjahat, namun mereka hanya bergerak dalam persenjataan ilegal dan misi tertentu.
Memang diakui Erlan juga bukan orang baik tapi dia tak pernah mau bersentuhan dengan barang haram seperti narkoba.
"Baik tuan, semoga pernikahan anda berjalan dengan baik dan bisa hidup bahagia." ucap Damian.
Erlan tersenyum menatap Damian, seluruh anggota menunduk hormat pada tuan mereka itu.
Akhirnya Erlan pun pulang kembali ke negaranya malam itu.
***
Hari-hari terus berlalu dan hari ini adalah hari pernikahan untuk kedua orang itu.
Tampak Nadira di balut dengan busana muslim pernikahan yang mewah, mereka melaksanakan acara sakral itu Masjid yang begitu besar.
Tak begitu lama, akhirnya mereka sah menjadi suami istri di hadapan agama dan negara.
Erlan tersenyum menatap gadis cantik di hadapannya, tampak Nadira mencium lembut punggung tangan Erlan.
Ya mereka resmi menjadi pasangan setelah Ijab Qobul itu.
"Terima kasih karena mau menerimaku sebagai suamimu." ucap Erlan tersenyum.
"Terima kasih juga karena mau menerimaku sebagai istrimu." balas Nadira.
Tampak mereka berdua saling melempar senyum.
Akhirnya acara pernikahan pun selesai dan hari ini Nadira resmi tinggal di kediaman baru yaitu rumah Erlan.
Mereka tidak tinggal di rumah orang tua Erlan tapi rumah pribadi Erlan sendiri.
***
Malam itu setelah menyelesaikan shalatnya, Nadira tampak mencari sosok Erlan namun tak juga menemukan pria yang baru saja berstatus sebagai suaminya itu.
Kini Nadira merasa lebih baik setelah mendapatkan obat dari Dokter psikiaternya, tapi setelah obat itu hilang fungsinya di dalam tubuhnya maka reaksi tubuh Nadira kembali seperti sebelumnya.
Ya bisa disebut Nadira bergantung pada obat miliknya itu.
Klek
Erlan tampak masuk ke kamar itu.
"Kau mencariku?" Tanya Erlan.
"Apa kau tidak shalat?" Tanya Nadira.
Sungguh ini seperti tamparan untuk Erlan.
Apakah ia pantas bersujud di hadapan Allah saat ia sudah melakukan banyak dosa.
Erlan hanya mematung hingga Nadira kembali berucap.
"Ah maaf jika ucapanku begitu, hmm kamu sudah makan?" Tanya Nadira lagi.
"Kau mau makan?" Tanya Erlan.
Nadira hanya mengangguk, mereka pun akhirnya makan malam bersama di ruang makan.
Malam itu setelah menyelesaikan makan bersama, tampak Erlan dan Nadira berada di kamar pengantin mereka berdua.
Gugup! Itulah yang terjadi.
Sudah pasti, Nadira merasa sangat gugup.
Lalu Erlan?
Terlihat pria itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya menatap Nadira yang masih duduk membelakanginya.
"Kau tidak tidur?" Tanya Erlan pada Nadira yang masih duduk di atas ranjang.
"Ya?" Balas Nadira yang sedari tadi hanya melamun.
"Apa kau hanya ingin duduk seperti itu tanpa mau tidur, memangnya kau tak lelah?" Tanya Erlan.
Nadira terlihat menatap Erlan.
Saat mata mereka bertemu, Erlan tau disana ada keraguan dan bingung.
"Tenang saja, aku tak meminta hal yang aneh. Kita tidur saja." ucap Erlan.
Erlan merasa jika ia tak akan pernah mau melakukan hubungan jika tidak sama-sama mencintai.
Kini tampak Nadira ikut merebahkan tubuhnya menyamping membelakangi Erlan.
"Apa kau takut?" Tanya Erlan.
Nadira tak menjawab pertanyaan itu.
"Hanya untuk malam ini saja kita tidur bersama di kamar ini, besoknya aku akan pindah dan tidur di kamar lain." ucap Erlan.
DEGH
Apa-apa an ini, Nadira kaget. Maksud pria itu apa?
"Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Nadira.
Erlan menghembuskan nafasnya lalu berucap.
"Maaf." lirih Erlan.
Itu bukan jawaban untuk Nadira, itu malah terdengar lebih menakutkan.
"Apa kamu hanya menganggap pernikahan ini seperti permainan?" Tanya Nadira.
Erlan diam.
"Kenapa tidak mengatakannya dari awal, jika kau hanya ingin menjadikan pernikahan ini hanya sebagai status saja? Jika memang begitu maka aku tak akan pernah melakukannya." ucap Nadira.
Sungguh hati Nadira sangat sakit, ia pikir Erlan bersungguh-sungguh ingin menikahinya ternyata pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu hanya mempermainkan sebuah pernikahan yang sakral di mata Tuhan.
"Apa alasan kamu menikahiku?" Tanya Nadira lagi.
Memangnya apa lagi?
Umur Erlan sudah terhitung tua dan ia tak ingin mendapatkan pasangan yang sembarangan lagi pula kedua orang tuanya menjodohkannya dengan gadis baik-baik kenapa ia harus menolak?
Lagi pula ia tak takut jika kelak ia akan jatuh cinta dengan Nadira.
Harus kah Erlan berkata jujur pada Nadira?
Tidak.
Erlan memilih diam saja.
Tampak Erlan menuruni ranjang itu dan berucap.
"Aku akan tidur di kamar lain, jadi kau bisa tidur disini." ucap Erlan seraya meninggalkan Nadira sendirian.
Nadira sedih dan terpukul.
Bisa-bisanya ia setuju pada pernikahan ini, lihatlah pria itu bahkan tak merasa bersalah.
Awalnya Nadira pikir, mereka akan kembali mengenal satu sama lain saat sudah menikah, ternyata tidak. Erlan hanya mempermainkannya saja.
Tanpa sadar Nadira meneteskan air matanya.
"Apakah aku berdosa jika terlibat dalam hubungan pernikahan yang seperti ini? Ya Allah maafkan diriku ini." ucap Nadira.
Tak lama setelah itu Nadira pun terlelap dalam tidurnya.
***
Keesokan harinya.
Seperti biasa saat ia di rumahnya, Nadira tak lupa menjalankan shalat subuhnya.
Jangan lupa Nadira adalah gadis yang beragama, setelah itu ia membersihkan tempat tidurnya lalu menuruni tangga menuju dapur.
Dapur itu kosong tak ada siapa pun.
Nadira terlihat menyiapkan beberapa sayuran, seolah ia akan memasak.
Sungguh kelincahan tangan gadis itu dalam memasak seperti sudah ahlinya.
Sosok Erlan saja bahkan masih tidur di kamarnya.
Sekitar satu jam masakan itu jadi, wangi tercium begitu sangat wangi di rumah itu.
Nadira menyusun makanan itu di atas meja, kemudian saat ia akan mencuci piring ia dikejutkan oleh seorang wanita tua pelayan rumah itu.
"Nyonya memasak?" Tanya pelayan itu.
Nadira kaget, sangat kaget.
"Akh." pekik Nadira dan tak sengaja menjatuhkan piring yang tengah ia cuci.
"Maaf Nyonya, maaf." lirih pelayan itu.
"Tidak, tidak apa-apa." jawab Nadira.
Namun tubuhnya kembali gemetar, sungguh reaksi tubuhnya kembali lagi. Nadira langsung menunduk seraya membersihkan pecahan piring itu, namun pelayan itu memegang tangan Nadira untuk tak melakukan itu. Nadira kembali kaget dan tangannya mengenai pecahan itu.
"Maaf, maaf." lirih Nadira langsung berlari ke kamarnya.
Tangannya bahkan sudah mengeluarkan darah, pelayan itu gugup sekaligus takut.
Nadira sudah berada di kamarnya, ia merogoh tas miliknya dan mengambil obat miliknya.
'Nadira kau harus sadar.' batin Nadira menguatkan dirinya.
Brak
Nadira terduduk di lantai, tubuhnya bergetar hebat. Ia menekuk lututnya lalu bersembunyi di balik lutut itu mencoba menenangkan dirinya.
Sungguh Nadira takut, rasanya ia sudah hampir mati.
Tiba-tiba botol obat miliknya terjatuh dari atas lalu menggelinding ke sampingnya.
Glek
Nadira segera mengambil obatnya lalu menelan obat itu.
"Nadira tenanglah." ucapnya menenangkan dirinya sendiri.
Tangannya yang masih berlumuran darah itu ia genggam kuat.
Disisi lain.
Erlan baru keluar dari kamarnya dan mendapati pelayan tengah membersihkan pecahan piring yang berserakan.
"Apa yang terjadi?" Tanya Erlan bingung.
"Tadi nyonya kaget dan tak sengaja menjatuhkan piring. Lalu tuan...." Ucapan pelayan itu terpotong saat melihat Erlan sudah berlari menaiki tangga menuju kamar Nadira.
Erlan bahkan melihat beberapa bercak darah yang tercecer.
Sungguh Erlan panik.
Brak
Erlan mendorong kuat kamar milik Nadira.
Tatapan Erlan langsung terfokus pada wanita yang menutup lukanya dengan perban kecil.
"Nadira..." Panggil Erlan terdengar cemas.
Nadira menoleh ke sumber suara itu dan mendapati Erlan yang melangkah ke arahnya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Erlan menyentuh kedua bahu Nadira.
Sungguh sentuhan itu tak jadi masalah dan tak berefek pada tubuh Nadira.
Bukan karena obat yang sudah Nadira konsumsi karena sebelum ada obat itu Nadira juga baik-baik saja atas sentuhan Erlan.
Nadira mengangguk dan berucap.
"Aku baik-baik saja, bisakah lepaskan tanganmu dari bahuku?" Tanya Nadira.
Sungguh itu gerakan refleks karena Erlan cemas bukan karena ingin modus.
"Maafkan aku." ucap Erlan memundurkan dirinya.
Nadira tak membalas ucapan Erlan dan kembali pada kegiatan awalnya yaitu menutup lukanya.
Sedangkan Erlan menatap wajah cantik Nadira yang masih fokus pada aktivitas nya.
Setelah selesai, Nadira menoleh dan menatap Erlan yang tengah memandangnya.
"Ada apa? Apa ada yang ingin kamu sampaikan?" Tanya Nadira terdengar dingin.
"Hmm, tadi aku kaget mendengar suara pecahan itu..." Ucapan Erlan terpotong.
"Maafkan aku karena mengganggu tidurmu, lain kali aku akan lebih berhati-hati." ucap Nadira.
"Tidak, bukan begitu." lirih Erlan.
"Erlan, ada satu hal ingin ku katakan."Ucap Nadira terdengar serius.
Erlan pun ikut menatap mata coklat milik Nadira itu.
"Apa?" Tanya Erlan.
Nadira menatap wajah Erlan.
"Jika kamu menganggap pernikahan ini hanya untuk kebahagian orang tua kita maka aku akan belajar untuk menyetujuinya, bisakah aku mengajukan satu syarat saja." ucap Nadira.
Aneh kenapa rasanya Erlan tak senang dengan ucapan itu ya?
"Katakanlah." ucap Erlan.
"Bisakah kita saling menghormati kehidupan masing-masing?" Tanya Nadira.
"Maksudmu?" Ucap Erlan.
"Aku tau ini rumahmu, tapi bisakah kita punya privasi masing-masing. Mulai hari ini mari tidak mencampuri urusan masing-masing, kamu memang tau kelemahanku tapi bukan berarti kamu harus ikut mencemaskan ku. Aku tak ingin kita kelak mengalami kesalahpahaman dalam perasaan, jadi ayo saling menghormati masing-masing dari kita." ucap Nadira terdengar seperti tawaran.
Erlan hanya menganggukan kepalanya.
"Aku akan menjalani tugasku selayaknya istri dan kamu juga tapi untuk perasaan bisakah jangan memainkannya, karena bisa saja kelak aku mencintaimu karena kebaikanmu maka dari itu ku katakan sekarang sebelum semuanya terlambat. Dan lagi katakan jika kau sudah lelah dengan pernikahan ini nantinya." ucap Nadira tersenyum.
Ia cukup berat mengatakan ucapan itu.
Entahlah, ada rasa aneh pada Erlan saat mendengar ucapan Nadira.
Memangnya hanya Nadira yang bisa jatuh cinta?
Bagaimana jika kelak Erlan yang lebih dulu mencintai Nadira.
Ah ini melelahkan sekali.
"Erlan?" Panggil Nadira.
Erlan menatap Nadira dan berucap.
"Ya aku mengerti." ucap Erlan lalu pergi meninggalkan Nadira.
Seperginya Erlan. Nadira tampak duduk di ranjangnya itu.
'Ya, itu keputusan yang bagus Nadira. Itu akan lebih baik kedepannya, sebelum kamu merasa terluka nantinya.' batin Nadira seraya tersenyum.
__________
Nadira tampak keluar dari kamarnya, ia mendapati Erlan yang tengah duduk di ruang makan.
Ditatapnya pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu.
"Ayo makan." ajak Erlan dan dibalas anggukan oleh Nadira.
Nadira tampak membantu Erlan mengambil makanan, Erlan hanya tersenyum.
"Terima kasih." ucap Erlan dan dibalas anggukan oleh Nadira.
Mereka pun makan dalam keheningan, hingga terdengar suara ponsel milik Nadira.
Tring tring.
Nadira menatap ponselnya dan mendapati nomor ibu panti.
"Angkat saja." ucap Erlan.
Nadira pun mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum, Dira ini ibu." ucap ibu panti.
"Waalaikumsalam bu, ada apa menelpon sepagi ini." ucap Nadira.
"Ibu mau menyampaikan sesuatu, hari ini donatur yang biasa membiayai panti kami akan datang dan ada acara kecil-kecilan. Ibu mau mengundang Dira, selama inikan Dira sudah sangat baik karena membantu anak-anak disini. Jika Dira ada waktu, ibu harap kamu bisa datang." ucap ibu panti menyampaikan maksudnya.
Nadira tampak mengangguk.
"Baiklah bu, nanti kalau Nadira bisa datang maka Dira akan telpon lebih dulu." ucap Nadira.
"Terima kasih ya Dira." ucap ibu panti.
"Baik bu, sama-sama." ucap Nadira menyudahi telepon itu.
Kini Erlan tampak menatap wajah Nadira seolah bertanya.
Namun Nadira terlihat kembali melanjutkan makannya yang tertunda tadi karena mengangkat panggilan.
Hingga terdengar suara Erlan.
"Ada apa? Apa ada janji?" Tanya Erlan.
Nadira tampak mengalihkan matanya untuk menatap suaminya itu.
"Ya, ibu panti mengundangku katanya ada acara kecil-kecilan di panti. Apa aku bisa pergi?" Tanya Nadira.
"Hm, pergilah." balas Erlan.
Setelah mendapat izin dari suaminya itu, Nadira pun kembali melanjutkan makannya.
Setelah sarapan pagi itu selesai, Nadira tampak mengantarkan Erlan sampai ke depan pintu keluar.
"Aku pergi dulu." ucap Erlan.
Sungguh Nadira sangat ragu untuk mengatakannya.
"Ada apa?" Tanya Erlan saat melihat Nadira seolah ingin berucap.
'Apakah itu harus dilakukan? Bukankah pernikahan ini hanya status saja?' batin Nadira masih dengan lamunannya.
Hingga kembali suara Erlan terdengar.
"Kau baik-baik saja?" Tegur Erlan.
Nadira kaget.
"Hmm, hati-hati ya." ucap Nadira seraya tersenyum.
Erlan membalas senyum itu lalu berucap.
"Kau juga, jangan lupa membawa obatmu." ucap Erlan.
Ah Nadira sangat senang, ucapan Erlan seolah mencemaskan dirinya.
Tapi apakah boleh jika nanti Nadira memiliki perasaan pada suaminya sendiri?
Sudahlah jika kelak hubungan mereka harus kandas, Nadira akan tetap ikhlas.
Tapi bisakah Nadira mencobanya dulu, mungkin saja Erlan kelak akan bisa mencintainya juga.
Tampak Nadira melangkah lalu mengambil punggung tangan Erlan dan menciumnya.
"Hati-hati di jalan ya." ucap Nadira seraya langsung pergi karena rasa gugupnya.
Sungguh ia malu sekali.
Erlan tersenyum saat mendapat sentuhan lembut di tangannya.
"Cantik sekali, kenapa ia tak sekalian meminta sebuah ciuman di keningnya." ucap Erlan saat Nadira sudah masuk ke dalam rumah.
***
Nadira pergi menggunakan sebuah taksi online yang ia pesan.
Sesampainya di panti, Nadira disambut bahagia oleh anak-anak termasuk Erik anak yang paling suka dengan Nadira.
"Assalamualaikum." ucap Nadira.
"Waalaikumsalam, kamu sudah datang, ayo masuk." ajak ibu panti.
Ibu panti juga tau sakit yang Nadira derita makanya wanita itu hanya melempar senyum pada Nadira.
"Bu, aku baik-baik saja." lirih Nadira seraya menghampiri ibu panti.
"Kamu sudah..." Ucapan ibu panti terpotong saat mendapati Nadira menggelengkan kepalanya.
"Dokter meresepkan sebuah obat untukku, setidaknya penyakit itu dapat teratasi setelah aku mengkonsumsinya." Ucap Nadira.
"Begitu ya, syukurlah kalau begitu." ucap ibu panti tersenyum.
Hingga siang hari Nadira membantu ibu panti dan yang lainnya memasak untuk menjamu donatur.
"Kamu lelah istirahatlah Dira." ucap ibu panti.
"Tidak kok bu, sebentar lagi juga sudah selesai." ucap Nadira.
"Terima kasih ya sudah membantu, oh iya tadi ayah dan bundamu memberi kami sumbangan barang lagi untuk panti." ucap ibu panti.
"Ibu mengundang mereka juga?" Tanya Nadira.
"Iya." ucap ibu panti mengangguk.
Nadira hanya tersenyum.
Sungguh Nadira akan berkata apa nanti dengan bunda dan ayahnya tentang pernikahannya itu.
Tak lama semua makanan sudah siap tersaji diatas meja.
"Ayo ke depan, kita tunggu tamu." ucap ibu panti mengajak anak-anak panti.
"Bu sebentar ya, aku ke dapur dulu." ucap Nadira.
"Ada apa? Apa ada yang ketinggalan?" Tanya ibu panti.
"Tidak bu, sepertinya aku harus meminum obatku sebelum sakitnya kambuh lagi saat bertemu banyak orang." Ucap Nadira.
"Baiklah ibu duluan ya." ucap ibu panti dan dibalas anggukan oleh Nadira.
Sekitar sepuluh menit lamanya barulah Nadira keluar menemui ibu panti, namun sepertinya tamu sudah berdatangan termasuk Ayah dan Bundanya Nadira.
Nadira tersenyum ke arah Ayah dan Bundanya.
"Ayah, Bunda." sapa Nadira.
"Oh, sayang kamu disini?" Tanya bundanya seraya menarik lembut tangan anaknya itu.
Sungguh bundanya tak menyangka jika anaknya itu kini sudah mulai bersosialisasi dengan lingkungan.
Nadira tersenyum manis pada kedua orang tuanya dan ikut duduk di dekat ayah dan bundanya itu.
Hingga pada akhirnya tamu yang ditunggu-tunggu pun datang.
"Silahkan masuk pak." sapa ibu panti pada seorang pria yang sangat tampan dengan tubuh yang atletis ditambah pakaian yang tampak cocok untuk pria itu.
Pria itu tersenyum dan berucap.
"Panggil Rayendra saja bu, aku belum terlalu tua untuk bisa dipanggil bapak." ucap pria itu terkekeh.
Ayah dan bunda juga Nadira tampak ikut menyambut kedatangan donatur panti itu.
Rayendra terlihat menatap wajah cantik yang berada di tengah dua orang yang tak lain adalah Tony dan Almira.
"Mari duduk Rayendra." tawar ibu panti.
Rayendra tersenyum dan ikut duduk di ruang itu.
Percakapan pun berlangsung disana, namun Nadira tampak tak tertarik dengan perbincangan orang-orang itu lalu memilih bermain dengan anak-anak panti.
Hingga hari pun terus berlalu sampai sore hari.
"Terima kasih banyak atas jamuan makan yang sangat enak ditambah dengan keramahan kalian padaku." ucap Rayendra.
"Kami lebih berterima kasih pada kamu." ucap ibu panti.
Rayendra hanya tersenyum, matanya teralihkan saat mendapati sosok gadis cantik yang tengah tersenyum seraya bercerita pada anak-anak.
"Dia juga tinggal di panti ini?" Tanya Rayendra mengeluarkan rasa penasarannya itu.
Tampak ayah dan bundanya Nadira juga ibu panti memperhatikan arah yang Rayendra maksud.
'Nadira?' lirih bundanya.
"Ah tidak, dia Nadira. Gadis itu sering mengajarkan anak-anak mengaji. Oh ini orang tua Nadira." ucap ibu panti seraya mengenalkan kedua orang tua Nadira.
Rayendra tersenyum ramah pada orang tua Nadira, namun bunda Nadira malah menjadi was-was karena melihat tatapan Rayendra yang seolah tak melepas pandangan itu pada putrinya.
***
Disisi lain.
Erlan mengepalkan tangannya saat mendapati pesan dari Damian, bahwa Rayendra telah datang ke Negaranya.
"Sialan, apa yang ingin kau lakukan disini." ucap Erlan terdengar marah.
***
Kini Nadira duduk di dalam mobil bersama kedua orang tuanya.
"Nadira, bagaimana hubungan kalian apa semuanya baik-baik saja?" Tanya bunda Nadira.
Nadira menganggukan kepalanya.
"Baik bun." ucap Nadira.
"Syukurlah. Apa Erlan bersikap baik denganmu Dir?" Tanya ayahnya lagi.
"Erlan baik yah." ucap Nadira.
Tampak kedua orang tua Nadira tersenyum.
Mobil itu sudah sampai di sebuah rumah mewah yang tak lain adalah kediaman Erlan dan Nadira.
"Bunda dan ayah mau masuk dulu gak?" Tawar Nadira.
"Bunda dan ayah langsung pulang aja ya Dir, salam buat Erlan ya. Sepertinya dia belum pulang kerja ya?" Ucap bundanya.
"Sepertinya memang belum bun." ucap Nadira menatap arah mobil yang dipakai Erlan memang tak ada di depan rumah.
"Ya sudah, kami pulang ya Nak." ucap ayahnya.
Nadira menganggukan kepalanya seraya melambaikan tangannya.
Setelah itu Nadira masuk ke kediamannya itu, tampak Nadira melangkah masuk ke kamarnya.
Gadis itu membersihkan diri lalu melakukan tugas wajib bagi makhluk beragama.
Tak lama Erlan datang, tampak pria itu menuju ke kamar Nadira.
Tok tok tok
"Nadira, apa kau sudah kembali?" Tanya Erlan.
Tampak Nadira diam, karena nyatanya gadis itu belum menyelesaikan shalatnya.
Klek
Erlan membuka pintu itu dan mendapati sosok gadis yang tengah menjalani ibadahnya.
Erlan kembali menutup pintu itu lalu menuruni tangga.
'Sosok seperti Nadira, apa pantas dia mendapat pria sepertiku ini?' batin Erlan.
Tak lama Nadira ikut menuruni tangga, ia sudah selesai dengan shalatnya.
Ia melihat sosok Erlan yang sudah duduk di ruang makan.
"Tadi kamu mengetuk pintu?" Tanya Nadira.
Erlan mengangguk menatap wajah Nadira yang selalu tampil cantik dengan balutan busana muslim di tubuhnya.
"Aku hanya menanyakanmu, ku pikir kau belum pulang. Lalu apa kau sudah makan?" Tanya Erlan.
"Sudah di panti dan aku masih kenyang." balas Nadira.
Erlan menganggukan kepalanya.
"Bagaimana? Acaranya seru?" Tanya Erlan.
"Hm." balas Nadira seraya duduk menemani Erlan makan.
Sungguh Erlan ingin berlama-lama makan agar bisa terus duduk bersama dengan Nadira.
"Di panti kedatangan donatur, dia sangat baik sekali. Berkatnya panti bisa berjalan dengan baik." ucap Nadira membuka obrolan.
Erlan tersenyum.
"Benar-benar orang yang baik ya." balas Erlan.
"Hm, dia masih muda tapi punya jiwa yang begitu dewasa." ucap Nadira.
"Wanita?" Tanya Erlan.
Nadira menggeleng.
"Pria." ucap Nadira.
Erlan kembali menganggukan kepalanya.
Tiba-tiba seorang pelayan datang dan berucap pada Erlan, jika ada tamu yang datang.
"Siapa?" Tanya Erlan.
"Sepupu tuan." ucap Pelayan itu.
Erlan sedikit tak suka mendengar saat tahu yang datang adalah sepupunya.
Pastilah ia penasaran dengan gadis mana yang dinikahi oleh Erlan.
"Kamu punya tamu?" Tanya Nadira.
"Hm, kau masuk saja ke kamarmu." ucap Erlan.
Nadira hanya menganggukan kepalanya.
Erlan menyudahi makannya seraya menuju ke ruang tamu.
Tampak sosok Rayendra tersenyum melihat kedatangan Erlan.
"Hai." sapa Rayendra.
Erlan hanya diam dan duduk di hadapan Rayendra.
"Sombong sekali." lirih Rayendra.
"Katakan, untuk apa kau datang." ucap Erlan datar.
Rayendra menyunggingkan senyumnya menatap Erlan.
"Aku kemari ingin menyapa istrimu." ucap Rayendra.
"Tak perlu." ucap Erlan.
"Wah, memangnya secantik apa sampai kau sembunyikan begitu?" Tanya Rayendra terdengar mengejek.
Erlan berdecak kesal mendengar ucapan Rayendra.
"Kau pergilah." usir Erlan.
"Lebih baik kau kenalkan bukan, dari pada aku mencari tahunya sendiri?" Ucap Rayendra terdengar menakutkan.
Erlan menghembuskan nafasnya kasar.
"Tak perlu ingin tahu tentangku." ucap Erlan terdengar seperti peringatan.
Rayendra menampilkan senyum mengejeknya.
"Apa dia jalang?" Tanya Rayendra terdengar berbisik.
Mata Erlan menampilkan kilat emosi.
"Sialan." ucap Erlan menatap wajah Rayendra tak suka.
Yang ditatap malah terkekeh.
"Makanya aku ingin tau, jalang seperti apa yang kau simpan." ucap Rayendra lagi.
"Pergi kau sialan dari rumahku." ucap Erlan meninggi.
Lagi-lagi Rayendra hanya terkekeh.
"Ku peringatkan padamu, jangan mengganggu bisnisku atau akan ku ganggu jalangmu." ucap Rayendra penuh penekanan.
Erlan hanya diam dengan wajah datarnya.
Tampak Rayendra melangkah pergi dari tempat itu namun terdengar suara Erlan lagi.
"Jangan mengatakan istriku jalang karena dia perempuan terhormat, jangan samakan aku denganmu yang suka dengan banyak jalang!" ucap Erlan seraya pergi menuju ke kamarnya.
"Terhormat? Iblis sepertimu hanya akan mendapat wanita murahan, Erlan." ucap Rayendra seraya pergi dari rumah Erlan.
Sedangkan di kamarnya tampak Nadira tengah mendengarkan musik rohani muslim di telinganya.
Ia bingung tak ada hal lagi yang ia lakukan selain menyibukan dirinya dengan hidup dipenuhi keagamaan.
Tok tok tok
Erlan mengetuk pintu kamar Nadira.
Karena gadis itu tengah mendengar musik maka ia tak tahu jika Erlan tengah mengetuk pintunya.
Tok tok tok
"Nadira, kau sudah tidur?" Tanya Erlan.
Lagi-lagi tak ada jawaban yang Erlan dapatkan, karena cemas pintu itu pun langsung dibuka oleh Erlan.
Ceklek
Sosok gadis tengah memejamkan mata sambil mendengar alunan musik di telinganya.
Erlan tersenyum menatap gadis itu.
"Apa aku harus mengganggunya?" Tanya Erlan.
Saat Erlan akan menutup kembali pintu itu, tiba-tiba Nadira membuka matanya.
Mata dua orang itu bertemu.
Nadira melepaskan earphone dari telinganya.
"Ada apa?" Tanya Nadira mendekati Erlan yang tengah berdiri.
"Hm, ada yang ingin ku katakan." ucap Erlan.
"Masuklah." balas Nadira.
Erlan duduk di sofa kamar itu dengan Nadira disampingnya.
Mereka masih saling diam.
"Ada apa?" Tanya Nadira membuka percakapan itu.
"Tadi sepupuku yang datang." ucap Erlan.
Nadira menatap sebentar wajah Erlan.
"Dia ingin menyapamu." ucap Erlan.
"Apa sekarang?" Tanya Nadira.
"Tidak. Lain kali." ucap Erlan.
Nadira menganggukan kepalanya.
Sepertinya akan lebih baik jika Erlan mengenalkan langsung Nadira pada Rayendra dari pada pria itu malah melakukan hal yang membuat Nadira dalam bahaya nantinya.
"Baiklah, aku bisa saja." ucap Nadira.
Erlan menganggukan kepalanya lalu kembali berucap.
"Apa kau bosan berada di rumah terus?" Tanya Erlan.
"Tidak. Aku sudah biasa menjadi gadis yang tinggal didalam sangkar." ucap Nadira seraya tersenyum.
Entah kenapa senyum Nadira seolah membuat perasaan Erlan merasa lega.
"Nadira." panggil Erlan lagi.
"Hm?" balas Nadira.
"Apa kita bisa jadi teman? Saling bercerita? Lalu jika kita kelak dapat saling mencintai satu sama lain aku juga tak keberatan." ucap Erlan menyampaikan isi hatinya.
DEGH
Nadira menatap Erlan dengan wajah tak percaya.
Nadira pikir Erlan tak ingin menjalani sebuah pernikahan.
"Kamu serius?" Tanya Nadira.
Erlan menganggukan kepalanya.
"Hm. Bagaimana apa kau mau?" Tanya Erlan.
Nadira hanya menganggukan kepalanya.
"Hm kita bisa jadi teman." ucap Nadira.
'Benar, jatuh cinta padamu sepertinya bukan hal yang sulit bagiku Nadira.' batin Erlan menatap gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu.
~~~~~
1 tahun pernikahan pun terlewati.
Tampak malam itu Erlan mengajak Nadira makan malam di sebuah hotel mewah, tangannya menaut di lengan Erlan.
"Jangan takut Dira, aku akan selalu berada disampingmu." lirih Erlan.
Mata Nadira teralihkan menatap Erlan.
"Aku baik-baik saja, kamu yang terlihat mencemaskanku." lirih Nadira tersenyum.
Belum keduanya masuk terdengar suara seseorang yang menahan langkah keduanya.
"Erlan, bagaimana bisa sampai selama ini kau belum mengenalkan sosok bidadari ini kepadaku?" lirihnya.
Erlan membalikan badannya menatap sosok Rayendra.
Nadira ikut menatap Rayendra.
"Oh?" ucap Nadira tampak terkejut.
Rayendra hanya tersenyum menatap wajah terkejut Nadira.
"Hay, kita bertemu lagi." ucap Rayendra tersenyum pada Nadira.
Erlan menggeram, ia menarik tangan Nadira ke sisinya.
"Sedang apa kau? Pergilah, kita hanya berurusan berdua saja!" sentak Erlan.
Rayendra terkekeh.
"Ayo makan malam bersama." ajak Rayendra.
Erlan menatap datar Rayendra.
"Nadira, bagaimana kalau kita makan malam di rumah saja. Masuklah ke mobil lebih dulu, tunggu aku." lirih Erlan tersenyum pada Nadira.
Nadira segera mengangguk, ia bisa paham ada sesuatu pada kedua Pria itu.
Rayendra memberikan senyumnya pada Nadira.
Seperginya Nadira, Rayendra menatap Erlan.
"Hahh gila kau Erlan, iblis sepertimu malah mendapat bidadari yang begitu baik, Sialan! Aku sangat iri." ucap Rayendra menatap datar Erlan.
Erlan mendekat kearah Rayendra.
"Jangan mengusiknya!" ucap Erlan.
Rayendra tersenyum.
"Aku pernah melihatnya di panti, bagaimana mungkin dia milikmu hm? Dari banyak perempuan kenapa harus dia?" tanya Rayendra.
Erlan tersenyum.
"Karena dia takdirku!" balas Erlan.
"Sial!" umpat Rayendra lalu pergi.
Erlan kembali menyusul Nadira ke mobil.
"Maaf membuatmu menunggu, makan malamnya kita tunda ya." lirih Erlan tersenyum.
Nadira mengangguk, gadis itu memilih tak membahas masalah yang tengah terjadi itu.
Keduanya kembali ke kediaman mereka, satu tahun ini mengajarkan Erlan begitu banyak pengalaman hidup baik.
Nadira mengajarkan banyak kebaikan hanya satu yang belum pernah Erlan lakukan yaitu shalat.
"Ada apa? Apa perasaanmu sedang tidak baik-baik saja? Apa kamu mau shalat?" tawar Nadira.
Nadira tersenyum menatap diamnya Erlan.
"Aku tau kamu adalah Pria yang baik sejak awal, kamu juga mengerti shalat. Erlan, saat kamu mencoba mendekatkan dirimu pada Allah maka perasaanmu yang sedang marah akan terasa damai. Insya Allah perasaanmu akan lebih baik, shalat adalah jalan untuk umat manusia mendekatkan dirinya pada sang pencipta." ucap Nadira.
Erlan menarik lembut tangan Nadira.
"Apa pendosa sepertiku layak kembali ke jalan yang benar?" tanya Erlan.
Nadira tersenyum.
"Allah tak pernah membandingkan umatNya selagi ia masih mau bersujud memohon ampunan." lirih Nadira.
Air mata Erlan keluar tanpa diminta.
"Ayo kita wudhu, Erlan." ajak Nadira lagi.
Erlan mengangguk setuju.
Untuk pertama kali dalam pernikahan ini, Erlan menjadi imam shalat bagi Nadira.
Setelah shalat itu berakhir, helaan nafas Erlan terdengar.
"Alhamdulillah." lirih Nadira menatap Erlan yang tengah menatapnya itu.
Nadira meraih tangan Erlan lalu mencium punggung tangan Erlan.
"Terima kasih Nadira, kau mau menuntun jalanku." lirih Erlan.
"Allah yang menghendaki semuanya, aku hanya perantara saja." lirih Nadira.
Erlan duduk di hadapan Nadira.
"Perasaanku sudah lebih baik." lirih Erlan.
Nadira mengangguk sambil tersenyum.
Setelah hari pertama itu, selanjutnya Erlan sering menjadi imam untuk Nadira.
______
Malam itu.
Nadira dan Erlan tertidur nyenyak di kamarnya namun ada hal yang Erlan lupakan. Itu tentang Rayendra.
"Bakar kediamannya!" ucap Rayendra memberi perintah pada bawahannya.
"Baik tuan." balas Orangnya.
Tak perlu lama untuk Rayendra sampai di sebuah rumah mewah milik Erlan.
"Kita akhiri segalanya hari ini Erlan, kematianmu kini adalah tujuanku!" ucap Rayendra.
Semua pasukan Rayendra menebar banyak bensin di kediaman Erlan.
"Tuan, apa kita akan membakar keduanya disini? Perempuan itu juga berada disini, apa tuan…" ucapan orangnya Rayendra terhenti saat Rayendra mengangguk.
"Aku tak perduli lagi! Dia sudah menjadi milik Erlan dan aku tak suka bekas Erlan! Bakar semua!" perintah Rayendra.
"Baik tuan!" balas orangnya itu.
Rayendra melempar rokok yang ia sesap membuat api mulai menyala, tak lama setelahnya api semakin besar.
Nadira terbangun menatap asap yang masuk ke celah pintu.
"Astaghfirullah Erlan, ada asap." lirih Nadira tampak kaget.
Mata Erlan teralihkan pada asap yang semakin banyak.
Erlan segera bangun, ia menarik tangan Nadira.
"Kita harus cepat keluar dari sini!" ucap Erlan.
Mata Nadira membulat melihat api yang berkobar begitu besar.
"Erlan sebenarnya apa yang terjadi, ini…" ucapan Nadira terhenti saat mendengar suara tembakan.
DOR
Suara tembakan itu membuat Nadira langsung memeluk Erlan.
Erlan menenangkan Nadira.
"Tak apa ayo kita keluar." ajak Erlan.
Nadira menguatkan dirinya, tak lama pintu ditendang kuat oleh Erlan agar ia bisa keluar.
Tatapan Erlan bertemu dengan Rayendra.
"Sialan, kenapa kau bisa keluar hm?" ucap Rayendra melangkah.
Erlan mendorong pelan Nadira.
"Pergilah Nadira, aku akan menangani ini!" lirih Erlan.
Rayendra tersenyum melihat pasangan itu.
Bruk
Rayendra menendang kuat perut Erlan membuat Erlan terlempar cukup jauh.
"Ssshhh…" ringis Erlan.
"ERLAN!!" Teriak Nadira cemas.
Erlan tersenyum.
"Pergilah!" lirih Erlan lagi.
Rayendra mendekati Erlan, tak lama Erlan berdiri terjadilah aksi pukul memukul.
Brak Bruk
Tak ada yang mengalah hingga Rayendra mengambil sesuatu dari sakunya saat melihat Erlan lengah menahan sakitnya.
Nadira kaget, ia segera berlari memeluk Erlan.
DOR
Satu tembakan membuat Erlan terdiam dan terkejut.
"Nadira…" lirih Erlan tersentak kaget.
Nadira tersenyum menatap Erlan.
Rayendra ikut terkejut, ia hendak berlari namun mobil polisi lebih dulu datang mengepung pasukan Rayendra.
"Nadira! Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau melindungiku?" cerca Erlan menahan Nadira yang hampir tumbang.
Nadira tersenyum, tangannya meraih pipi Erlan penuh sayang.
"Tolong jangan pernah lupakan sholatmu, berjanjilah untuk tidak melupakan Allah dalam setiap langkah hidupmu." lirih Nadira menahan sakit luar biasa karena timah panas terbenam di perutnya.
Nadira meringis, tangannya bergetar namun bibirnya terus tersenyum.
"Ayo kita ke rumah sakit." ucap Erlan lalu menggendong Nadira ke arah mobil polisi.
"Pak antarkan saya ke rumah sakit, tolong!" ucap Erlan.
Polisi segera membawa mobil sedangkan Erlan terus memegangi tangan Nadira.
"Erlan…" lirih Nadira.
"Hm?" balas Erlan yang terus mengeluarkan air matanya.
Nadira tampak tersenyum.
"Bisakah sampaikan maafku kepada orang tuaku? Aku mohon beritahu mereka bahwa aku menyayangi mereka." lirih Nadira.
Erlan menggeleng.
"Tidak, kau akan baik-baik saja!" ucap Erlan.
Nadira tersenyum.
"Kalau aku tahu hari ini adalah hari terakhirku, ada banyak hal yang ingin aku lakukan dengan mereka termasuk dengan dirimu Erlan. Tapi sepertinya Allah memang mengijinkan semuanya sampai disini, ini cukup menyakitkan tapi aku bersyukur pernah mencintai sosok sepertimu Erlan." lirih Nadira menahan sakitnya.
Erlan terisak, ia mengusap wajah Nadira.
"Jangan bicara apapun, kau akan baik-baik saja." ucap Erlan.
Nadira tersenyum, tangannya menggenggam lembut tangan Erlan.
"Aku akan menantimu di surga-Nya Allah." lirih Nadira tersenyum.
Erlan terisak, ia tak bisa berkata-kata lagi.
Nadira menatap mata indah Erlan yang selalu ia kagumi.
"Aku berjanji akan selalu menunggumu, Imamku." lirih Nadira menarik nafasnya cukup dalam.
"Laa ilaha illallah…" lirih Nadira mengakhiri semua rasa sakitnya.
Erlan semakin menangis saat melihat Nadira memejamkan matanya.
"NADIRA!" Teriak Erlan.
______
Satu tahun berlalu….
Erlan berdiri di sebuah makam.
"Assalamualaikum Nadira, ini aku Erlan." lirih Erlan yang kini tersenyum menatap makam seorang gadis suci yang hingga akhir hidupnya bahkan tak pernah melakukan hubungan dengannya.
"Pria terburuk dalam hidupmu datang, aku harap impianmu bisa tercapai. Kita akan bertemu di surga-Nya Allah kelak." lirih Erlan meletakan sebuah mawar putih di makam Nadira.
Erlan mengusap air matanya yang mulai mengalir.
"Satu tahun ini cukup menyakitkan untukku Nadira, tapi Alhamdulillah aku bisa menjalankan permintaan terakhirmu. Aku berharap Allah masih bisa menerimaku di surga-Nya agar aku bisa bertemu dengan bidadari surgaku." lirih Erlan.
Erlan tersenyum mengusap nisan dengan nama Nadira Anastasya.
"Aku pamit dulu, InsyaAllah aku akan kembali berkunjung lagi besok membawa orangtua kita berdua." ucap Erlan.
Erlan berdiri dari posisinya seraya melangkah pergi.
Nadira mengajarkan sebuah arti dalam hidup Erlan, bagi Erlan sosok Nadira seperti cahaya yang menerangi hidupnya yang sudah gelap.
"Terima kasih untuk pelajaran hidup ini, bidadari surgaku. Kau istri terbaik dalam hidupku." lirih Erlan…
~Selesai~
~Tidak semua cinta memiliki akhir yang bahagia, kalau takdir bisa mempersatukan maka dunia bisa memisahkan. Tapi Nadine percaya bahwa cintanya untuk Erlan benar-benar sangat tulus, ia merelakan hidupnya dan membiarkan Erlan tetap berjalan dan mengingatnya hingga akhir~