Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perkenalkan, namaku Panda. Tentu saja, itu bukan nama asliku.
Dua bulan lalu salah satu anak di kelas telah memberikanku julukan nama seperti itu. Namanya Aldy, salah seorang sahabatku yang duduk di tepat di depan meja guru akibat ketahuan menyontek. Julukan Panda tersebut disebabkan oleh dua kantung mata milikku yang makin lama makin menghitam. Betul, aku kurang tidur.
“Hei tukang ngantuk, malam ini ajari aku fisika, ya?” Begitulah pinta manusia bertahilalat di antara alis layaknya orang India, si Aldy, ia mengatupkan kedua tangannya sambil memohon-mohon.
Sebenarnya aku malas sekali mengajari manusia satu ini karena ia tidak pernah bisa paham.
“Ayolah, Pan. Nanti kamu kutraktir bakso segitiga di warung Bude.”
Sial. Mendengar tawaran tersebut entah kenapa mulutku langsung berkata “iya” dengan gampang. Kulihat Aldy sangat gembira dan langsung merangkul pundakku sepanjang perjalanan dari lab menuju kelas.
“Kamu mau yang isi apa?” Tanyanya.
“Ayam mercon.”
Mulutnya langsung berdecak, “Kamu pilihnya selalu yang mahal-mahal!”
“Ayam mercon atau nilai fisika turun?”
Aldy lantas mengacak rambut mangkokku dan agak menoyor, sepertinya ia kesal.
“Heh, kalau kamu main-main sama kepalaku nanti tidak ada gantinya lagi!” Balasku sambil melotot.
“Ah, kamu nggak seru, Pan!”
Begitulah, Aldy. Tentu aku tidak mau kalah dengan membalas kembali toyoran di kepalanya. Biar dia jadi pintar sedikit, siapa yang akan mengira kalau tiba-tiba dirinya nanti akan jadi jenius sains saat kepalanya terbentur? Kemungkinan kecil tetaplah bernama kemungkinan. Sesampainya di kelas aku dan Aldy berpisah di antara kursi dan meja. Kakiku melangkah ke mejaku sendiri, tepatnya di dekat pintu barisan nomor empat. Sementara Aldy dengan kaki gotai berjalan menuju mejanya, aku tahu ia begitu tak bersemangat karena pelajaran berikutnya adalah matematika yang diajar oleh Bu Ida Galak.
Sekolah kami berlangsung hingga pukul tiga sore. Kemudian malam harinya, saat-saat yang aku tunggu dan aku suka yaitu belajar. Tetapi kali ini Aldy di sini dan bersama lima orang lainnya. Meli, Adit, Ilham, dan Nanda yang berasal dari kelasku. Lalu ada satu sosok asing yang sepertinya dari kelas sebelah, entah aku tidak tahu.
“Aku Vita.” Katanya sambil tersenyum seraya menjabat tanganku.
“Panda.”
“Ih, lucu namamu.” Responnya setengah tertawa kecil, aku di sini cuma membalas dengan senyum.
Gadis berambut sebahu tersebut ternyata berasal dari kelas 8-F, jauh sekali ruang kelasnya, pantas aku tidak pernah tahu. Kami semua duduk lesehan di karpet ruang tamuku dan semua buku berada di atas meja. Masa-masa menjelang ujian begini pasti rumahku akan mendadak ramai. Penuh dengan teman-temanku.
“Camilannya mana nih?” Aldy menyenggolku pelan.
Benar, aku menepuk jidatku karena lupa. Segera kupencel bel kecil di dinding dan kukatakan permintaanku di mikrofon yang tersambung. Ya, aku tidak mau menjamu tamu-tamuku dengan tangan kosong. Kemudian aku kembali ke meja tamu dan mendapati Vita dengan wajah terheran.
“Kamu ngapain tadi?” tanyanya.
“Biasa.” Kata Aldy mendahuluiku, “Dia lagi panggil bibi, itu lho yang biasa masak di dapur.”
Vita menatapku dengan takjub.
“Kamu kan pertama kali ke sini, pasti kaget, iya nggak?” Kalimat Nanda ini disetujui oleh yang lain.
Yah, begitulah respon mereka waktu pertama kali ke sini, terutama saat mengetahui bahwa bangunan besar berlantai dua dan berbentuk mirip rumah yang kami gunakan saat ini adalah tempat menerima tamu saja. Aliasnya bukan bangunan utama.
“Mami kamu kemana, Pan?” Tanya Meli, “Biasanya kelihatan.”
“Tidur, Mel. Nggak enak badan.” Kataku.
Aku tertawa saja melihat mereka kecewa. Tentu, karena Mamiku adalah orang yang suka bercanda dengan mereka, kadang Mami juga memberikan mereka uang jajan kecil saat pulang dan Mami yang selalu paling bersemangat saat melihatku punya teman. Beberapa menit kemudian datanglah seorang wanita paruh baya berkemeja putih dan memakai rok abu-abu selutut, Bi Yati, pengasuhku yang membawa begitu banyak camilan.
“Dimakan ya adik-adik sekalian, biar semangat belajarnya.”
Setelah semua beres, Bi Yati membawa nampan kosong tersebut dan menghilang di balik pintu.
“Sekarang, kalian buka materi yang belum kalian pahami.” Ujarku sambil membuka buku catatan kosong.
Kompak mereka membuka buku paket fisika itu. Inilah yang aku suka saat mereka kemari, anak-anak ini begitu semangat belajar. Begitu aku tahu materinya langsung saja kubuatkan soal untuk mereka. Pengecualian untuk Aldy, yang harus belajar di bawah pengawasanku, maka aku harus membuat penjelasan yang paling sederhana sedunia.
“Awas kalau nilaimu tidak sesuai KKM!” Aku melirik tajam pada manusia berdahi aneh tersebut.
Aldy terlihat cengegesan sambil memakan kue brownis di mulutnya, “Tenang saja wahai Pak Guru.”
Aku menghela napas pelan, tentu saja selalu begini akhirnya. Aldy, Aldy, aku lelah mengajarimu.
“Eh, Pan aku belum paham materi tentang kalor.” Vita menggeser posisi duduknya lebih dekat ke arahku.
Tanpa basa-basi aku menjelaskan semuanya secara sederhana agar dia lebih gampang untuk memahami. Ah, tapi sama saja dengan Aldy, rupanya Vita juga tak dapat menghiburku malam ini.
“Hei, apa kamu nggak takut tinggal di rumah sebesar ini? Mana hampir tidak ada orang lagi.” Celetuk Adit sambil memberikan lembar jawaban dari soal yang kubuat tadi.
“Maksudmu?”
“Ya, apa kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?”
Aku mengangkat alis sambil menatapnya, “Kan ada Bi Yati.”
“Mama kamu?”
Aku makin mengerutkan alis, “Dia kan lagi tidur. Memang kenapa?”
Kulihat tangan Ilham menepuk bahu Adit sambil menggelengkan kepala. Aku menatap mereka dengan kebingungan.
“Maksudnya kamu nggak takut di sini? Secara logika, Pan, di rumah sebesar ini dan sepi pastinya banyak cerita seram atau cerita hantu bukan? Kamu paham nggak?”
Giliran aku menatap Meli, kalimatnya barusan benar-benar aneh, “Secara logika, hantu itu kan tidak ada, Mel.”
Sama dengan Adit, Meli juga jadi lebih pendiam setelah aku berkata begitu. Aneh sekali tapi biar saja. Aku memberikan penjelasan pada Aldy dan Vita dengan cara yang sama, beruntung Vita sudah jauh lebih paham. Namun, sekali lagi aku mulai lelah mengajari seorang Aldy. Waktu terus berjalan hingga jam telah menunjukkan pukul sembilan tepat. Seperti biasa aku pun mengakhiri waktu belajar ini, lagipula tidak baik bagi otak untuk belajar lama-lama. Aku pun memanggil Bi Yati kembali untuk membawakan plastik kresek.
“Buat kalian saja. Di sini nggak ada yang ngabisin.” Kataku sambil memberikan plastik kresek warna bening untuk mereka.
“Makasih Pandaaa…” Aldy juga ikut-ikutan membungkus camilan tersebut.
“Hei, siapa suruh kamu boleh pulang dulu? Kamu harus les privat sebentar.” Aku menahan bahunya agar tidak bergerak kemana-mana, “Nggak boleh pulang sebelum paham satu soal!”
“Gaes… tolong!”
Mereka hanya menertawai Aldy yang meronta-ronta dan berusaha lepas dari cengkeraman tanganku di bahunya. Setelah mereka beres-beres, Bi Yati mengantar mereka ke gerbang depan. Di sini aku segera menuliskan tiga buah soal untuk Aldy, tidak usah banyak-banyak karena aku tahu akhirnya bakal seperti apa.
“Hei, Al. Apa maksud mereka tadi menanyakan soal hantu?”
Aldy kini mulai menatapku dengan bingung, “Hah? Kamu masih kepikiran?”
Aku mengangguk.
“Oh, jadi kamu takut, ya?”
“Takut apa?” tanyaku.
“Hantuuu…” Aldy menyorotkan senter ponselnya dari bawah mukanya.
“Enggak, aku tahu hantu itu enggak nyata.” Aku menghela napas sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “Cuma penasaran saja, apa maksud mereka bertanya begitu?”
“Mereka cuma usil saja.”
“Betul?” tanyaku ulang.
“Iyalah, buat apa juga kalau tidak untuk ngusilin kamu?”
Aku mengangguk-angguk saja. Baguslah kalau itu cuma usil belaka.
“Rumahmu itu sepi akhir-akhir ini, Pan. Jadi aku ngajak mereka buat bikin keramaian, biar kamu nggak kesepian.”
Aku pun menoleh ke arahnya sejenak, tanpa berkata-kata, lalu kualihkan pandanganku kembali pada buku pelajaran. Dia benar. Rumah ini memang sepi. Detik demi detik ruangan ini jadi lebih sunyi. Aldy sedang serius mengerjakan soal yang sudah kubuat.
“Selesai.”
Kuterima lembaran jawaban dari tangannya. Tak perlu waktu lama untuk memeriksanya.
“Selamat! Akhirnya kamu benar semua!” Seruku sambil tertawa.
“Yang benar?”
“Seratus buat kamu.”
Manusia berdahi aneh tersebut lantas berdiri dan melompat kegirangan. Sebagai penghargaan, kupersilahkan dia untuk membawa camilan lebih banyak dari yang lain. Jam telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam pas. Setelah membereskan barangnya, aku mengantar Aldy ke arah gerbang depan yang tak jauh dari sini. Di jalan masuk, di antara lampu-lampu penerangan kami saling menjahili. Begitulah aku dan Aldy sahabatku. Sesampainya di gerbang aku duduk dengannya di dekat pos satpam yang kosong, menunggu tukang ojek langganannya.
“Gimana si Vita tadi menurutmu?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Dia tadi kayaknya tertarik sama kamu.”
Kutatap mata Aldy cukup lama sebelum akhirnya aku menjawab, “Aku enggak.”
“Hah?” Ia terkejut, “Seriusan? Vita yang cantik begitu kamu tidak tertarik?”
“Kalau kamu tertarik buat kamu saja.”
Aldy tersenyum lebar, “Boleh banget!”
Baguslah, aku memang tidak tertarik dengan gadis itu. Jelas tak akan kuungkapkan padanya seperti apa wanita yang jadi seleraku.
“Pan.” Katanya lagi, “Kantung matamu itu jelek banget, sumpah.”
“Terus mau apa?”
“Ya, tidurlah. Makin lama makin hitam saja.”
Tepat saat ia berkata begitu, sebuah sorot lampu terang datang menyilaukan kedua mata kami. Rupanya tukang ojek langganan Aldy telah datang. Ia segera berpamitan untuk pulang. Sepeninggalnya, aku masih berdiri di sana sendirian sambil menatap aspal jalanan yang lengang selama nyaris lima menit. Kuusap mukaku dengan kasar, aku benar-benar mengantuk. Kututup pintu gerbang dan menguncinya, aku berjalan melewati pos satpam kosong itu tanpa sepatah kata.
Sepi. Satpam tersebut, aku sudah memecatnya.
Sesampainya di dalam rumah kecil, aku menyebutnya begitu, aku langsung berjalan menuju kamar Bi Yati. Kubuka gagang pintunya, tetapi terkunci dari dalam. Kuketuk pelan hingga kugedor keras, tetapi tak ada jawaban dari sana. Cukup lama aku berdiri di depan pintu kamarnya. Apa yang sedang dia lakukan di dalam sana?
“Aku butuh teman mengobrol, Bi.”
Kuketuk agak pelan dari sebelumnya, tetapi Bi Yati tak muncul juga dari dalam sana. Ah, berhenti dulu malam ini. Kepalaku pusing. Aku tidur saja lah.
“Selamat malam, Bi.” Kataku sebelum pergi meninggalkan tempat tersebut.
Aku berjalan menuju kamarku yang ada di bagian ujung bangunan ini. Masih di lantai satu, tidak mungkin juga aku tidur di belakang, tepatnya bangunan utama rumah ini. Tidak, terlalu luas dan jauh. Sesungguhnya aku tak mengerti mengapa begitu banyak bangunan. Namun, jika tak ada kamar mau di mana tamu-tamu kedua orang tuaku diletakkan?
Sejenak aku berhenti di depan sebuah lemari kaca ini. Besar, tinggi, dan menyimpan berbagai piala milikku. Semuanya juara satu. Indah sekali. Lalu mataku tertuju pada piala warna perak di tempat paling ujung, kuambil benda tersebut dan menciumnya. Piala juara dua olimpiade ini adalah favoritku. Kemudian aku meletakkannya kembali dan pergi menuju kamarku.
Nyaring sekali suara kunci kamarku itu.
Aku menghela napas panjang sambil mengusap muka. Dua bulan adalah waktu yang berat. Sejak saat itu aku yang membalas surel-surel pekerjaan Papi. Sejak saat itu malam hari adalah waktu yang paling aku benci.
Duk. Duk. Duk.
Telingaku menajam mendapati suara tersebut lagi.
Duk! Duk! Duk!
Sialan! Lagi-lagi ketukan itu! Makin lama makin keras, suaranya benar-benar menyiksa telingaku.
“Lepaskan! Lepaskan!”
Aku tak tahan. Ini sudah keterlaluan!
“LEPASKAN!”
“Papi dan Mami sayang kamu!”
Aku tertawa. Persetan!
“Kalau begitu kenapa kalian marah saat aku juara dua? Ha!”
“Lepaskan!”
Duk! Duk! Duk!
Tak dapat kubendung air mataku saat mengingat semuanya. Persetan! Aku segera menggeser ranjangku dari tempatnya. Ini dia! Ini dia! Aku bersimpuh pada bekas tanah serta lantai keramik yang terbongkar dan tak kupasang kembali dengan benar waktu itu. Aku tertawa keras dibarengi air mata yang deras. Kepalaku jadi pusing mendengarnya! Kukepalkan tanganku dan kupukul-pukul lantai yang sedikit menggunduk dan penuh dengan tanah tersebut.
“Berisik! Berisik! Berisik! Papi! Mami! Kalian sudah mati!”
Tamat.