Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ah, masa,” kataku ketika mendengar cerita itu dari seorang rekan jurnalis, “terlalu berlebihan.”
“Kau jangan anggap ini main-main,” jawabnya dengan wajah seperti acuh tak acuh. Raut wajahnya menunjukkan: kaupercaya atau tidak, bukan urusanku! Yang penting aku tak berbohong!
“Aku tak percaya.”
“Ya, terserah.” Kawanku tetap memasang wajah yang serupa.
Sidang pembaca, akan kuceritakan kisah yang membuat saya skeptis itu. Saya sendiri tak meragukan adanya hantu seperti kuyang dan mariaban, atau suatu kota tak kasat mata yang dihuni para jin di tenggara Kalimantan Selatan. Tapi untuk keanehan yang satu ini, aku agak tak percaya.
Kata kawanku itu, di suatu daerah empat jam dari sini, di hulu sungai, ada sebuah wilayah. Kita namakan saja dengan Kecamatan Oejan. “Kalau kaupunya hati yang tak betul-betul bersih, jangan ke sana,” katanya.
Temanku itu bercerita, pernah suatu ketika ada seorang serdadu yang mengantarkan bantuan sembako ke sebuah kecamatan bersebelahan Oejan. Dalam perjalanan pulang yang melewati Oejan, ia singgah di sebuah kedai minum di sana.
“Apakah Bapak seorang tentara?” kata pemilik warung.
“Ya, sudah jelas tentara lah, Cil. Tinggi dan kekar. Baju bapaknya loreng,“ jawab seorang bapak berumur yang memakai peci songkok, merasa perlu untuk menjawab lebih dulu dari si tentara.
“Tidak, maksudku, jarang-jarang ada tentara ke sini. Kayanya baru pertama kali.”
“Hehe. Iya, Bu. Saya tadi ditugaskan untuk mengantar bantuan ke sebelah sana yang habis kena banjir.”
Seorang anak kecil, kelas 5 SD, menyahut, “Wah, Bapak tentara keren sekali. Hatinya baik. Saya kira tentara itu seram-seram, Pak!” Disedotnya es setrup. “Saya kira tentara itu cuma bisa dar-der-dor dan baris-berbaris!”
“Eh, tentara juga manusia, Nang. Punya hati!” Bapak yang pakai songkok itu terdengar bijak.
Tentara itu tersenyum tipis, matanya menoleh sebentar ke anak itu, lalu mengambil satu lapis kue apam dan mengunyahnya.
“Tapi, omong-omong, Pak. Apakah Bapak pernah pergi berperang?” Si bapak peci songkok malah meneruskan soal dar-der-dor.
“Kalau yang dimaksud menembak musuh sih belum pernah, Pak. Saya hanya pernah terlibat menjaga beberapa kawasan, pegang senapan juga, tapi saya tak pernah menggunakannya untuk melumpuhkan orang. Selagi saya masih bisa menghentikan orang dengan tangan atau kaki.”
“Hmm. Itu tetap keren sih, Pak.” Acil warung ternganga. “Tapi pasti pernah menembakannya saat latihan, kan, Pak?”
“Oh, kalau itu sudah sering!” bocah SD itu yang menjawab. “Saya pernah nonton film tentang tentara, Pak, mereka menghabiskan banyak peluru saat latihan!”
Senyum si tentara kini agak lebih lebar. Dia mengaduk teh yang masih panas agar gulanya lebih merata. Lalu mencium aromanya sebentar. “Iya, saya bahkan termasuk yang paling sering mengeluarkan peluru. Selain latihan menembak, saya juga ditugaskan melatih pistol untuk tentara-tentara pemula.”
Kini semua mulut orang-orang yang ikut mendengar percakapan itu menganga. Ada yang terbuka lebar, ada yang tak terlalu. Ada yang cuma dua detik, ada yang lebih. Ada lima orang yang sedang mewarung termasuk sang serdadu dan dua orang lainnya.
“Masya Allah! Saya pegang pistol saja belum pernah!” kata si songkok.
“Eh, apakah Bapak membawa pistol sekarang?” Mulut si bocah SD belum tertutup rapat. Ia masih kagum.
“Eh… e... Iya, saya, bawa. Tentu.”
Entah bagaimana orang-orang yang duduk disitu termasuk pemilik warung beralih ke semak belukar di belakang. Tentara itu tiarap di antara semak-semak dengan memegang senjata mengarah ke depan. Sebelumnya ia merayap-rayap dengan lengan dan sekujur kakinya.
“Hebat! Seperti yang saya lihat di TV, Pak!” kata bocah itu sembari bertepuk tangan. Pemilik warung, bapak songkok, dan dua orang lainnya juga menepuk-nepukkan tangan mereka berulang-ulang. Sementara serdadu itu tersenyum-senyum, berdiri, dan menyingkirkan rumput dedaunan yang menempel-nempel di seragam kebanggaannya.
“Konon, itu pertama kali sekelompok warga sipil bisa ‘memerintah’ seorang prajurit tiarap di semak belukar dan mengeluarkan pistolnya,” kata temenku itu sembari menggoyangkan jari telunjuk dan jari tengahnya di kedua tangan saat kata “memerintah”.
“Macam komandan menyuruh anak buahnya saja,” ia menambahkan.
Kalau mendengar cerita temanku itu, mungkin saja itu terjadi. Tapi yang aku ragu percaya adalah bahwa kalau tak benar-benar punya hati yang tak bersih, jangan pergi ke sana. Seserius itu kah? Dan bahwa orang-orang Oejan yang duduk di kedai minum bisa “memerintah” siapa saja, bukan sekali-dua seperti yang terjadi pada si prajurit, termasuk pada suatu ketika ada seorang artis singgah di Oejan.
Kali ini kejadiannya di warung yang tak hanya menjual minuman dan kue-kue, tapi juga menu sarapan.
“Aih, cantik banget, Pian! Mau pesan apa ading bungas?”
Perempuan itu tersenyum tipis saja. Sudah biasa ia dipuji.
“Nasi kuning, lauknya ikan haruan, Cil. Minumnya teh hangat.”
“Kalau suaminya?”
“Eh, ini bukan.”
“Oh, temannya, ya?”
Ah kepo banget sih, batin perempuan ini. Tapi ia sadar tidak sedang di Jakarta. Ia mau bilang kalau laki-laki yang menemaninya ini temannya, tapi tak yakin Huzai akan menyesuaikan diri. Ia akan tetap berlaku seperti asisten. Nanti orang juga curiga. Ah jawab jujur saja, batinnya.
“Oh ini asisten ulun, Cil.” Tiga detik kemudian, ia menyesalinya. Tahu apa orang kampung kata “asisten”?
Tapi ia salah.
“Oh, asisten? Ading bungas ini artis ya? Model? Pantes auranya beda. Aduuuh, warung Acil kedatangan artis. Pantas saya juga rada familiar.”
Orang-orang yang memang sedari tadi mencuri-curi pandang dengan perempuan cantik dan berpakaian agak mewah ini serempak menoleh, juga diikuti oleh pengunjung warung yang sebenarnya tadi tidak memperhatikan.
Sang artis ini diam saja. Lagi-lagi ia juga biasa mengalami hal ini. Paling nanti kalau sudah selesai sarapan, ia mesti menyisihkan waktu sekitar sepuluh menit untuk melayani permintaan foto.
“Kalau saya tolong buatkan nasi kuning lauk telur itik, Cil. Minumnya samakan saja,” Huzai mengalihkan suasana.
“Oh iya iya. Sebentar saya buatkan.”
Si artis ini tidak tahu sedang berhadapan dengan apa.
Ada seorang pria dewasa mungil yang dipanggil Utuh, ia mengantarkan pesanan. Setelah menyerahkannya, ia berdiri di situ saja menatap artis kita dengan wajah seperti kebingungan, rona orang yang takut sekaligus penasaran. Si artis juga bingung ditatap seperti itu.
“Eh sudah, minumannya ini saja, Om,” Huzai yang bicara.
Utuh tetap begitu saja.
“Setelah apa saja yang kamu lakukan, menjadi ini itu, kamu pikir kamu berubah di mataku? Tidak! Kamu tetap saja lelaki lima tahun lalu, yang membanting pintu mobil dan mengucapkan sumpah serapah! Kamu pikir dengan segala pencapaian ini itu, kamu juga bisa mencapaiku?”
Tiba-tiba Utuh mengucapkan kalimat itu keras-keras. Buuuk! Tak lupa ia menggebuk meja setelah mengucap kata terakhir. Gelas teh yang diantarkannya tadi bergoyang, airnya berseliweran ke luar gelas, sedikit membasahi meja.
Semua yang di warung terkejut. Huzai terkejut. Acil warung terkejut. Pembeli yang keenakan menghirup kuah lontong terkejut. Pembeli yang mengaduk-aduk gula di dalam gelas terkejut. Pembeli yang sedari tadi mencari-cari dompetnya terkejut.
Namun artis kita tidak terkejut. Dia hanya tertegun sebentar lalu tersenyum.
Utuh membalas senyumnya.
“Amang hafal dialog itu?”
“Bagaimana tak hafal kalau ulun sudah menonton Lelaki Berengsek dua puluhan kali?”
Artis kita tersenyum lagi.
Utuh membalas senyumnya.
Pada senyum artis kita itu, gerak bibirnya, terkoneksi dengan otaknya yang menyediakan fakta, yang juga terkoneksi dengan hatinya yang menghantarkan rasa, dan bahwa dalam benak, dirinya bercakap-cakap:
“Film itu kan nomor kedua yang paling tak laku dari yang pernah gue bintangin. Bukan, tapi ini bukan hanya soal kuantitas. Film itu juga habis-habisan dikritik para kritikus. Film itu dinilai buruk secara kuantitatif-kualitatif.
Dan diriku malah menganggap sebaliknya. Aku merasa paling hidup saat melakoninya. Tentang hubungan. Tentang percintaan. Tentang ketidaksetiaan. Tentang apa yang bisa lebih bagus dari itu?
Dan ternyata, ada orang antah-berantah di daerah yang kalau ke bioskop saja mesti menempuh perjalanan tiga jam, yang mengapresiasi. Aku sudah tahu! Filmku itu hanya underrated dan hanya orang tertentu yang mengerti!”
“Kak Pasta, ngapain di sini?” Utuh memutus lamunan dan senyuman sang artis yang berlangsung satu menit sepuluh detik, cukup lama untuk khayalan di tengah percakapan.
“Eh iya, tadi habis syuting di Loksado. Acara wisata begitu. Ini mau ke Utara. Orang di Loksado bilang, kalau mau cari sarapan bisa di warung-warung nasi kuning sekitar sini.”
Lelaki kecil di hadapan Pasta inilah yang dicari-carinya selama ini. Penonton yang arif. Sinefil kampung yang tak kampungan!
“Maaf, namanya siapa?”
“Orang-orang memanggilku, Utuh. Tapi kalau untuk Pian, bolehlah panggil nama asli saya, Salahuddin bin Haji Mukhtar!”
“Wah nama saya enggak ditanya, kah?” timpal acil. Pasta mendengarnya, tapi fokusnya tidak ke sana.
“Om Salahuddin sudah nonton film saya yang mana saja?”
“Wah kalau disuruh menyebutkan judulnya satu persatu saya tak hafal. FIlm Pian kan banyak, ada 11 judul. Ditambah 4 series, 5 sinetron, 5 video klip, dan 6 iklan. O iya, ada lagi! 2 iklan pemerentah anti-narkoba!”
Pasta tersenyum, kali ini giginya terlihat.
Utuh membalas senyumnya, giginya memang sudah terlihat dari tadi.
“Tapi kalau disuruh milih film yang paling saya suka, saya suka film Tendangan Terakhir. Mbak Pasta cakep banget di situ! Main kuntau, menghajar orang yang kerasukan buaya kuning. Tapi Pian tak kenal takut!”
“Sinefil kampung yang elit!” Teriak Pasta dalam hatinya. Salahuddin ini menyukai dua film tak laku yang justru Pasta apresiasi setinggi langit. (Dan film itu juga dicerca habis-habisan oleh pegiat kuntau karena sembarangan menyebut-nyebut suatu kumpulan gerakan sebagai kuntau, ya mau bagaimana lagi kalau tak ada dana riset.)
“Bagaimana gerakan Mbak saat melakukan tendangan terakhir? Begini?” Utuh memperagakan gerakan. Badannya bergoyang-goyang. Tangannya memukul-mukul. Kakinya menendang-nendang. Random.
Pasta tertawa cekikikan.
Lima menit kemudian orang-orang di kedai sudah berada di depan warung, di pinggir jalan raya. Kaki Pasta sudah tak lagi dilindungi high heelsnya, menginjak pasir bercampur bebatuan yang untungnya belum panas karena hari masih belum terik.
Ia bermain bela diri. Menari-nari. Melakukan gerakan bertahan, menghindar, menangkis. Orang-orang dari kedai lain, penduduk sekitar, dan pengendara motor yang iseng, ikut mengerubungi perempuan berusia tiga puluh lima yang menawan itu.
Pertunjukkan diakhiri dengan gerakan tendangan terakhir. Pasta mundur, melangkah dengan cantik seolah-olah sedang melihat situasi lawan. Lalu ia maju menggertak. Tangan kanannya memukul. Lalu ia membawa tubuhnya ke bawah, gerakan menghindar. Dengan cepat kemudian ia melayangkan kakinya secara horizontal. Itu belum tendangan terakhir.
Lawannya —yang tak terlihat— terjatuh, dan kembali berusaha berdiri. Serta-merta Pasta melakukan tendangan terakhir sebelum “musuh” benar-benar berdiri. Dari sisi kanan, ia menendang kepala lawannya dan membuat lelaki si buaya kuning —sebagaimana di film— pingsan. Hantu buaya kuning yang merasukinya keluar dan kembali ke alamnya.
Penonton bertepuk-tangan sementara Pasta menunduk-nundukkan badannya dengan posisi tangannya seperti emoji favoritmu ketika berterima kasih di WhatsApp. Sementara klakson kendaraan menyalak-nyalak karena terhalang penonton yang meluber sampai ke jalan raya.
“Pasta yang anggun itu? Dusta!” kataku kepada si rekan jurnalis. “Tak bisa aku membayangkan orang secantik dan se-berprestasi dia berlaku bodoh.”
Si rekan jurnalis menggoyangkan kedua bahunya ke atas, mulutnya dimonyongkan. Lagi-lagi memasang wajah seolah tak peduli.
“Begini saja, kalau kau tak percaya, tanya saja orang-orang di Oejan atau direct message si Pasta! Tanya, apakah dia pernah bakuntau di pinggir jalan di depan warung di Oejan?”
Mendengar kata direct message itu, sebuah ide tebersit. Segera aku membuka Instagram, mencari akun Pasta.
“Kapan kira-kira kejadiannya?”
“Lihat saja berita di situs kita, di situ aku yang meliput kunjungannya ke Loksado.”
Hanya dua menit, aku sudah menemukan beritanya. Tertulis tanggal 28 September 2022. Aku segera menggulir layar ponsel dengan cepat, mencari postingan di sekitar tanggal berita. Easy. Aku menemukan fotonya. Location yang berada di atas foto berukuran 4:3 itu memperkuat kemungkinan.
Wajah Pasta sedikit berkeringat dan rambutnya awut-awutan. Lengan bajunya yang tiga perempat itu tersingsing sedikit. Bersamanya, ada banyak warga yang ikut berfoto. Di bawah foto tersebut, tertulis rentetan kalimat:
Selalu senang jika ada kesempatan pulang ke Banua. Pulang, bukan hanya soal bernostalgia atau menemui sanak-kerabat. Pulang, pun soal menemukan diri kembali.
Lelaki kecil yang kurus itu, yang dirangkul Pasta di bahu, sepertinya orang yang dipanggil Utuh. Ia, dibantu segenap orang-orang di warung, berhasil “menipu” Pasta. Entahlah, apakah itu benar-benar rekayasa, sebuah rencana, atau bukan. Inilah yang ingin kubahas setelah ini.
Selain tentara dan artis, orang lain yang katanya pernah menjadi korban ada dokter, atlet, pengusaha sawit, koki, pembalap, qari, dan pendakwah.
Apakah orang-orang yang melakukan hal-hal konyol setelah bercakap-cakap di kedai minum di Oejan benar-benar terjadi secara natural? Apakah orang-orang di Oejan benar-benar suka memuji, tak ada niatan memperdaya korbannya?
Kemungkinan lain, yang isunya juga santer di kalangan yang mengetahui “prahara” kedai minum di Oejan, adalah bahwa orang-orang Oejan memang melakukan sebuah persekongkolan di balik panggung (di balik kedai minum!).
Seorang redaktur yang menerima kiriman dari kontributor di media kami, ikut nimbrung.
“Aku pernah mendapat tulisan soal orang-orang Oejan. Tapi tak aku loloskan untuk terbit karena gaya penulisannya jelek sekali,” katanya. “Lagian, apa pentingnya juga kita memuat soal itu? Sudah pasti aku kena damprat pemred. Seperti biasa, kita hanya memuat tulisan opini perihal pembangunan ekonomi, pendidikan, politik, sosial-budaya, sosial-agama, dan yang sejenis.”
Lalu dia bercerita tentang isi tulisan yang ditolaknya itu. Ada banyak hal yang sama dengan isu-isu yang sudah beredar di kalangan kami, tapi yang menarik dan berbeda yakni tentang kebiasaan memuji orang-orang di Oejan yang sudah tersosialisasi sejak dini.
Anak-anak kecil usia 6-7 tahun, yang berarti sekitar kelas 1 SD, sudah biasa saling melempar sanjungan. Si penulis bercerita pernah suatu ketika anaknya ingin membawa setrika ke sekolah. Si penulis bingung, buat apa anak kelas 1 SD membawa setrika. Ternyata ada temannya di kelas yang memuji seragamnya yang rapi sekali. Sekali waktu si bocah SD itu juga ingin membawa sabun cair ke sekolah. Usut-diusut ternyata ada yang menyanjung aroma tubuhnya yang wangi.
Si penulis geram lalu melatih anaknya itu cara memuji sebagaimana yang ia dapat dari ayahnya —kakek si bocah SD. Dan dia terkekeh-kekeh ketika melihat anak tetangga membawa dua buah kaca spion yang sudah ia lepas dari sepeda motor ibunya dan satu plastik sayur-mayur dingin yang diambil dari kulkas. Entah kata-kata sanjungan apa yang diberikan kepada si anak tetangga.
“Aku ingin membuktikannya,” kataku.
“Hahaha. Jangan main-main! Kaukira ini perkara remeh-temeh?”
“Bukankah sudah tugas kita sebagai wartawan untuk mendapatkan fakta?”
“Tidak salah kalimatmu itu. Tapi fakta jenis itu tidak mungkin juga kita muat. Bukan urusan publik.”
“Kalau begitu aku akan ambil cuti.”
***
Tiga minggu kemudian aku sudah duduk di salah satu kedai minum di Oejan. Membawa tas berisi kamera, alat perekam, juga memakai kartu pengenal. Di saku, kumasukkan buku kecil. Pakaian lengkap seorang wartawan.
“Pesan apa, Mas?” kata pelayan warung yang kira-kira usianya dua puluhan akhir.
“Ada mie instan ya?”
“Ada, Mas.”
“Satu ya, rasa soto banjar.”
Aku berusaha berkata sedatar mungkin, seperti orang yang tak peduli. Aku tak akan sudi ditipu seperti yang lain, kalau cerita yang beredar memang benar. Warung masih sepi. Hanya ada aku. Semoga nanti orang-orang lain akan datang untuk benar-benar memujiku, mengujiku.
Enam menit, pelanggan lain belum ada yang datang.
Satu menit berikutnya, laki-laki berperut besar datang. Ia menuju ke belakang meja yang dipenuhi kue-kue, kerupuk, minuman botol, dan beragam chiki.
Ia menoleh ke arahku.
“Sudah pesan, Mas?”
“Eh, sudah, Pak. Tadi pesan mie.”
“Oh iya. Tunggu saja. Kalau minumnya sudah?”
“Belum. Boleh deh pak, es teh manis.”
“Sebentar, ya.”
Aku mesti bersiap dengan segala kemungkinan. Jangan sampai aku kalah dengan orang-orang ini. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda yang berarti. Perempuan yang di awal tadi datang membawa satu mangkok mie. Asapnya mengepul-ngepul menghantarkan aroma antropologis. Jika sedang lama mendapat tugas di Jakarta, aku kangen dengan mie instan rasa ini.
“Terima kasih.”
“Iya.”
Ia kembali ke balik meja. Duduk di sana memencet-mencet ponsel.
Laki-laki paruh baya berperut besar keluar membawa satu gelas es teh manis. Tanpa kata-kata ia langsung meletakkannya di dekatku. Lalu menghilang di balik dapur. Setelah itu hening.
Mie kuah ini masih panas, bisa melepuh lidahku.
Aku menatap sekitar. Perempuan itu masih memencet-mencet ponsel. Kakinya dinaikkan ke kursi. Cantik juga rupanya orang hulu sungai ini.
Tapi bagaimanalah jika tidak ada yang mengajakku bicara. Bagaimana dengan misiku untuk mendapat fakta.
Perempuan penjaga warung ini memiliki paras sederhana orang kampung, bentuk wajahnya tirus senada dengan tubuhnya yang kurus tak terlalu, tingginya sepantaran denganku yang berarti kira-kira 164 senti. Jika dia berdandan secara serius, bolehlah bersaing menjadi duta kabupaten.
Sepi. Warung masih sepi, sama sepinya dengan hidupku di pertengahan tiga puluhan ini.
Dari panas, temperatur mie dan kuahnya sudah berubah menjadi hangat. Aku mulai menyendoknya (dengan garpu). Aku mulai curiga dengan kebohongan cerita itu. Orang-orang berkisah dengan cukup “ngeri” soal Oejan. Masih ingat yang kusampaikan di awal-awal? Katanya, “Kalau kaupunya hati yang tak betul-betul bersih, jangan ke sana.”
Apa itu teknik pemasaran? Wah, sangat mungkin. Biar orang-orang penasaran lalu pergi ke sini. Tapi… ide itu kan terlalu rumit untuk sebuah marketing.
Jadi, bagaimana?
Aku sudah menandaskan mie dan mereguk segelas penuh es teh manis, menyisakan serpihan es batu dan gula yang tak larut.
Dua puluh sembilan menit waktu sudah kuhabiskan. Tak ada pelanggan lain. Tak ada obrolan. Haruskah aku kembali lagi ke sini saat kedai lebih ramai? Atau ke kedai lain? Perempuan ini diam saja dari tadi, masih menyentuh-nyentuh layar ponsel. Cuek dengan pelanggannya. Manis.
Sudah. Kuputuskan saja balik dulu ke penginapan murah yang kusewa di kota. Nanti sore baru ke sini lagi. Atau aku tak usah lagi balik, sepertinya kisah-kisah itu memang mitos belaka.
Aku menyerahkan uang ke perempuan itu. Ia tak berkata apapun. Sebelum beranjak pulang aku membuka tas kamera, mengeluarkannya, dan memotret-motret sebuah wastafel yang letaknya tak jauh dari meja berisi kue-kue tadi. Menurutku, bentuknya unik.
Tiga buah ban mobil bekas disusun bertumpuk-bertumpuk, dan ditengah-tengah lubang ban itu diletakkan sebuah baskom yang sudah dilubangi. Di atasnya terpasang sebuah keran.
Aku memotret-motretnya seperti pecinta fotografi dengan tingkat kesadaran nilai seni yang tinggi.
Sebelum pulang, aku mau bicara ke perempuan kedai tadi, sekadar pamit. Tak sempat aku berkata-kata, dia sudah berdiri bersama bapak-bapak berperut buncit tadi, menatapku aneh.
“Mas, ngapain ngefoto-foto itu segala?” tanya si bapak buncit.
“Eh, salah ya? Eh, memangnya kenapa?”
“Semenjak puluhan tahun yang lalu aku membuka kedai ini, semenjak itu pula ada ratusan wartawan atau ratusan orang membawa kamera, eh apa namanya fotografer? Tak pernah ada yang tertarik memotret wastafel itu. Kamu memotretnya? Aneh sekali, Mas. Aneh sekali.”
“Enggak aneh, kok, Bah. Masnya keren, bawa kamera. Kamu wartawan yang nulis-nulis berita di koran itu ya? Keren-keren-keren!” perempuan itu “membelaku” dengan wajah menahan tawa.
Dan akhirnya tawanya pecah juga. Pun tawa si bapak. Terbahak-bahak. Mereka berdua saling tetap. Lalu berjalan ke arah dapur, masih tertawa-tawa. Menyisakan aku.[]
Keterangan:
Acil atau cil: bibi
Ading: adik
Amang: paman
Bungas: tampan/cantik
Mewarung: nongkrong
Nang atau anang: kata sapaan untuk anak kecil lelaki
Oejan: Sebutlah dengan pelafalan modern. “Oe” bukanlah “u”, dan “j” bukanlah “y” sehingga cara membacanya bukan “Ujan” atau “Uyan” tetapi O-E-JAN.
Pian: kamu (dengan cara yang sopan, mesra, atau kepada yang lebih tua)
Ulun: saya (dengan cara yang sopan, mesra, atau diucapkan oleh yang lebih muda)