Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cinta pertama itu seperti, ...
"Hai, Ayura!" sapa seseorang tiba-tiba.
Suaranya terdengar begitu hangat, dengan memamerkan garis-garis senyuman miliknya. Lalu, tanpa menunggu perintah dariku, ia segera duduk di hadapanku, memandangku dengan tatapan sepasang bola matanya yang berbinar-binar.
... Rasanya seperti secangkir kopi latte yang kini sedang kugenggam erat di atas meja kayu berbentuk bulat. Terasa menghangatkan di tubuh mungilku ini. Hingga rasa dingin yang menyelimuti hari sabtu malam ini lenyap seketika.
"Hai, Arka!" balasku dengan menampilkan senyuman termanisku, walau ku akui tidak semanis miliknya.
"Maaf ya, aku terlambat." Dengan raut wajahnya yang terlihat sedang mengutarakan sebuah penyesalan sekaligus kekhawatiran, aku bisa mudahnya menebak jika ia tidak suka membuat waktuku terbuang hanya untuk menunggu dirinya.
"Nggak! Kamu nggak terlambat, kok!" cepat-cepat aku menyangkalnya. "Aku yang datangnya kecepatan, soalnya udah nggak sabar pengen ketemu sama kamu," rayuan gombalku menyerbunya.
Mungkin jika orang lain yang mendengarnya, mereka akan memuntahkan kembali minumannya. Tetapi kulihat, dia tertawa bahagia sambil mengelus lembut rambut ikal berponi kepunyaanku, yang kubiarkan terurai panjang menyentuh pundak. Tidak peduli dengan pandangan orang di sekitar kedai kopi kekinian yang sedang ramai pengunjung. Jantungku pun semakin kacau dibuatnya.
Seperti kopi ini, terasa sangat lembut dan manis. Membuatku candu dan ingin selalu merasakannya.
# # #
Sorak-sorai para penonton menggema di lapangan hijau. Kedua tim kesebelasan dari SMA Abdi Semesta dan SMA Karya Nusa sedang beradu kekuatan dan kekompakan dalam menguasai bola, untuk memperebutkan sebuah gelar juara utama di turnamen sepak bola antar sekolah kali ini.
Aku, masih mengenakan seragam putih abu-abuku dengan name tag bertuliskan 'Ayura Kinara', duduk paling depan di antara pendukung SMA Karya Nusa. Tetapi bukan bola menggelinding di atas rumput hijau yang kutuju oleh pandangan kedua netraku, melainkan sosok bernomor punggung 7 bernama Arka Pradiptyo.
80 menit pun sudah berlalu dengan skor seimbang, 1 lawan 1.
Seiring bola itu digiring dan ditendang kesana-kemari, degupan jantungku berirama cepat. Aku memang tidak begitu mengharapkan tim sekolahku menjadi juara, aku hanya ingin melihat dan mendengar teriakan kemenangan dari laki-laki itu.
Laki-laki yang berhasil membuatku merasakan jatuh hati untuk yang pertama kali, hanya karena dia pernah menyebut namaku dengan suara khasnya yang berkarisma, bagiku.
'Ayura!' teriaknya saat itu, ketika sedang berlari cepat menghampiriku di pertandingan lari estafet pada jam pelajaran olahraga kelas 10-B.
Seketika itu juga detak jantungku tidak karuan, dan wajahku pun terasa memerah padam. Untung saja, panasnya terik sang surya menghantam bumi ini bisa kujadikan sebagai alibi.
Aku berdiri kaku, menunggu tubuh tingginya mendekat untuk segera meraih tongkat estafet darinya.
'Ayura!' panggilnya lagi, saat giliranku yang berlari menuju garis akhir. 'Ayo, kamu pasti bisa!' Mendengar dia menyemangati diriku yang lemah dengan pelajaran olahraga, terutama berlari, ragaku langsung tersentak. Seakan semangat juang kemerdekaan merasuki jiwaku.
"Aaaaaahhh!" pekikku, bersama para pendukung sekolahku, ketika melihat tendangan bola dari Arka berhasil ditangkis oleh kiper dari kandang lawan.
Sama seperti ketika itu, dua orang dari satu reguku merasa kecewa dengan usaha kerasku yang masih belum bisa meraih kemenangan. Tetapi, dengan santainya, Arka menepuk pelan pundakku yang sedang tertunduk lemas karena kehabisan nafas.
'It's okay, kamu udah lakuin yang terbaik, kok,' pujinya, sambil memperlihatkan senyumnya yang begitu tulus.
'It's okay, Arka. Masih ada waktu, kamu pasti bisa!' Kini akhirnya aku bisa membalas kata-katanya yang berhasil menjadi cahaya di hidupku. Walaupun hanya terucap dalam batin.
# # #
Dan sampai sekarang pun, kata-kata itu sudah seperti menjadi teman hidupku, melekat di sepanjang hari.
Arka mengecup lembut punggung tangan kananku setelah mendengarnya. Entah seperti apa reaksi orang-orang melihat adegan romantis ini. Ragaku hanya ingin segera meluncur indah ke angkasa, dengannya.
"Aku ingin seperti ini selamanya sama kamu. Boleh?" tanyaku meminta izin.
"Aku akan selalu ada kapanpun kamu butuh aku. Saat kamu tertawa bahagia, menangis, ataupun marah-marah, aku pasti akan datang," janjinya. Dan tidak terlepas oleh rayuan senyumannya.
"Terima kasih," ucapku. Sementara hatiku tidak berhenti mengagumi pesonanya. Dari potongan rambut bergaya undercut pendeknya yang tidak pernah berubah, hidung lancipnya yang membuatku iri, hingga dua titik tahi lalat di pipi kanannya yang sangat menarik perhatianku.
"Dan kalau kamu mendekat, mungkin aku sudah mencium bibir kamu," godanya nakal.
Aku jadi malu sendiri membayangkan sepasang bibir tebalnya itu sedang mencumbu mesra bibir kecil milikku. Hingga tidak terasa aku sudah menggigiti bibir bawahku sendiri.
Tidak ingin memikirkannya lebih jauh lagi, segera kualihkan saja dengan menceritakan hari-hariku. Mulai dari penatnya bekerja mengurus keuangan perusahaan, lalu kedua orang tuaku yang selalu cerewet menyuruhku segera menikah di usia 25 tahun ini, dan ditambah kelakuan adik laki-lakiku, yang kini sedang berada pada fase kenakalannya di bangku SMA. Tidak pernah ada kata bosan baginya untuk menjahili kakak satu-satunya ini.
Dan yang membuatku semakin riang gembira, Arka tidak pernah sedetik pun berpaling, selalu memperhatikan kata demi kata di setiap lisanku.
Hingga 1 jam pun berlalu, aku masih tidak ingin melepaskannya.
Seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya, sosok laki-laki lain datang, menempati tempat duduk dimana Arka berada.
"Udah lama?" tanyanya.
"Nggak, kok," bohongku sambil memandangi secangkir kopiku yang sudah kosong, dan masih belum rela sosok Arka pergi menghilang begitu saja tergantikan olehnya.
Perawakannya memang lebih tampan dari Arka. Dengan rambut hitam pendeknya yang dibiarkan memiliki poni memanjang hampir menutupi alis lebatnya, hidung yang tidak kalah runcingnya, dan juga bibir atas yang berbentuk sangat tipis dibandingkan bibir bawahnya. Tetapi, tetap saja masih kalah dengan pesonanya cinta pertama, bagiku.
# # #
Pluit berbunyi. Arka berlari mengelilingi lapangan, diikuti oleh teman-teman satu timnya yang segera beramai-ramai memeluknya. Hasil dari tendangan jauh nan indah yang diberikan oleh Arka di menit terakhir, telah membawa timnya meraih kemenangan dengan skor 2 - 1.
Begitu juga denganku, turut bersenang hati melihatnya dengan memberikan tepuk tangan meriah, lalu memeluk Nadia si teman sebangkuku yang sedari tadi ikut menyaksikan di sampingku.
Setelah puas memamerkan kebahagiaannya di hadapan para penonton, sorot mata Arka tiba-tiba saja melirik ke tempatku berada. Dengan langkah semangat berhias senyuman, dia berjalan mendekati.
"Selamat ya, Arka!" ucapku bangga, sambil memberi salam tangan dengan hangat.
"Terima kasih, Ayura!" Membalas salam tanganku dan memberikan senyumannya yang semakin bermekaran untukku.
"Congrats juga, kesayanganku." Nadia turut memberikan ucapan selamat, dan segera memeluk tubuh bercucuran air keringat itu.
Sementara Arka membalas pelukannya dengan mesra. "Thank you, babe."
Dan aku, hanya bisa meringis iri dalam batin melihatnya.
# # #
Seperti kopi latte, walaupun memang terasa manis, tetapi rasa pahitnya pun masih ada.
Arka, dari dulu sampai sekarang, bukanlah siapa-siapa bagiku. Dia hanyalah cinta pertamaku yang tidak pernah tersampaikan. Bahkan tidak akan kubiarkan siapapun mengetahui tentang yang kurasa ini.
Hingga terciptalah sosok Arka dalam dunia imajinasiku yang selama ini menemaniku.
"Kamu kenapa?" Tampaknya laki-laki yang kini di hadapanku mulai curiga dengan sikapku yang terdiam.
"Nggak apa-apa." Hanya itu yang mengalir dari bibirku.
Nama lengkapnya Aldan Mahardika, sudah hampir 2 tahun lamanya kita menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Tentu saja aku menyukainya. Aku suka dengan sepasang matanya yang memandangku dengan lembut. Aku suka ketika dia memetik gitar dan menyanyikan sebuah lagu untukku. Dan aku juga suka karena dia mencintai diriku ini yang tidak secantik para wanita di sekitarnya. Tapi, entah kenapa sosoknya masih belum bisa menggeser Arka dari hatiku.
Mungkin memang benar seperti orang-orang bilang. Cinta pertama itu sangat sulit dilupakan. Apalagi jika tidak pernah ada kesempatan untuk memilikinya.
"Mau langsung nonton aja sekarang?" tanyanya lagi.
"Iya, boleh."
Dia segera berdiri dan meraih tanganku.
'Jadi, boleh kan, aku terus seperti ini bersamamu, Arka?' batinku kembali bertanya dan meyakinkannya.
Aku bisa melihat bayangan Arka yang tersenyum memandangku. Dan aku membalasnya dengan bahagia, sambil merangkul manja lengan kokoh dan nyata milik Aldan.