Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Indahanya Surga Di Telapak Kaki Ibu
Oleh: Willy Abdillah
Terdengar suara kokokan ayam yang bertabrakan dari dua ekor ayam yang berbeda, uh... Ternyata sudah pagi. Jam berapa ini? Kenapa jamku tidak berbunyi? Apakah dia rusak? Mungkin baterainya sudah habis. Aku membuka jendela, matahari belum terbit, sepertinya ia masih harus beristirahat sebelum menyinari seluruh dunia kembali.
"Adi! Ganti baju, bentar lagi azan subuh." Titah ibuku.
"Iya, Bunda." Kujawab dengan setengah roh yang belum kembali.
Aku menghirup udara pagi yang masih segar, terasa angin sepoi-sepoi masuk lalu menggelitik hidungku. Aku menutup jendela tersebut lalu berjalan menuju lemari baju dan membukanya, aku mengganti pakaianku dengan baju koko putih dan sarung cap gajah duduk.
"Allahu Akbar Allahu Akbar." Benar saja kata ibu, sebentar lagi azan. Aku segera keluar dari kamarku lalu menjumpai ibuku yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Adi, wudhu dulu, air keran masjid mati, jadi kita wuduknya di rumah."
"Ya, Bunda. Tungguin, Adi."
"Cepat! Nanti, Bunda tinggalin, Kamu."
"Ya, ini sudah mau cepat, Bunda."
Aku segera berwudhu dengan cepat, walau begitu aku tetap mementingkan kesempurnaan wudhu, semua bagian yang wajib dan yang sunnah aku bersihkan sampai benar-benar suci dari kotoran. Setelah semua selesai aku langsung keluar dari kamar mandi dan menemui ibuku yang tengah duduk di meja makan.
Kami berangkat ke masjid yang jaraknya hanya berkisar lima ratus meter dari rumah kami. Kami berjalan dengan terburu-buru karena takut salat akan dimulai. Tidak ada obrolan yang tercipta, aku memang jarang mengobrol dengan orang tuaku karena ia harus pergi bekerja sebelum matahari terbit dan pulang beberapa saat seblum azan magrib.
Ibuku berstatus janda, ayahku meninggal dunia ketika aku berumur dua tahun. Aku sendiri seharusnya adalah anak kedua tetapi abangku yang lebih tua lima tahun dariku meninggal bersamaan dengan ayahku dalam insiden tabrakan yang mengenaskan. Aku tak tahu dengan pasti apa penyebab kecelakaan itu, ibuku tak pernah memberitahuku tentang hal itu. Sejak insiden tersebut ibuku harus bekerja keras setiap hari, banting tulang demi meneruskan hidup kami. Ia tak mengenal kata lelah, peluh keringat sudah seperti konsumsi sehari-hari. Ibuku bekerja sebegai tukang cuci keliling mulai dari desa ke desa, kampung ke kampung, bahkan sampai kota.
Aku tersadar dalam lamunanku ketika ibuku menepuk bahuku, ia mengisyaratkanku agar masuk dari pintu kanan masjid karena pintu masuk menuju shaf lelaki dan shaf perempuan dipisah.
Aku berdiri di shaf keempat, subuh ini sangat ramai, pada subuh hari-hari lainnya shaf shalat hanya sampai dua baris saja. Aku segera bertakbir pada saat jama'ah telah mengaminkan al-Fatihah, aku tidak sempat untuk ikut mengaminkan surah tersebut karena imam itu langsung menyambung dengan surah yang tidak pernah kudengar-sudah jelas bukan dari juz tiga puluh.
Orang yang mengimami kami adalah orang asing, delapan tahun aku tinggal di desa ini tak pernah melihat orang itu sama sekali. Suara imam ini begitu fasih dan merdu sehingga telinga yang mendengarnya menjadi terpana akan kemerduannya.
"Assalu'alaikum warahmatullah." Ucap imam tersebut seraya menoleh ke kanan dan diikuti oleh kami.
"Assalamu'alaikum warahmatullah." Ucap imam tersebut sambil menoleh ke kiri mengakhiri shalat subuh ini-lagi-lagi diikuti oleh kami.
Kakiku begitu pegal, sura yang dibacakan imam tadi benar-benar panjang, ditambah kefasihannya yang menambahkan durasi salat ini. Imam tersebut melanjutkan dengan mebaca zikir dan do'a masih dengan kefasihan dan kemerduannya. Shaf anak-anak telah hilang dari tempatnya, telah lama mereka keluar dari masjid dan bermain di luar. Mereka baru akan pergi jika orang tuanya telah selesai menongkrong di halaman masjid-biasanya itu akan sampai matahari terbit.
Bacaan zikir telah selesai, begitu juga do'a, semua telah selesai, tapi tak ada satu orang pun yang bangkit dari tempat duduknya kecuali ketua BKM (Badan Kemakmuran Masjid) kampung kami. Ia berdiri tegak di depan seluruh makmum, yang memperkenalkan imam subuh barusan. Ternyata imam tersebut adalah imam besar di masid raya ibu kota.
"Pantas saja makmumnya ramai, imam kali ini adalah orang besar. Kalau saja bukan dia pasti tidak seramai ini." Gumamku dalam hati seraya tertawa kecil.
Ketua BKM kampung kami duduk setelah memperkenalkan imam masjid raya ibu kota tadi. Namanya imam Abdul Kadir, ia tinggal di perkarangan masjid bersama keluarganya. Umurnya berkisar lima puluh tujuh tahun, menikah pada umur dua puluh delapan tahun dan dikaruniai dua orang anak lelaki dan satu orang anak perempuan.
Imam Abdul Kadir beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju mimbar. Jenggotnya yang tebal menutupi sebagian wajahnya, ia memulai khutbahnya, banyak hal yang ia sampaikan. Aku tak memperhatikan dengan begitu baik, semua yang ia sampaikan hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Di tengah khutbah subuh mubarak itu muncul lah kata-kata yang membuat benakku penasaran.
"Surga itu ada di telapak kaki ibu." Kata imam tersebut. Belum sempat aku mendengar definisi kalimat itu, mendaratklah sebuah tepukan di bahuku.
"Nurdin,"
"Ada apa?" Yang ditepuk bertanya.
"Bang, Adi, Abang dipanggil." Yang menepuk menjawab.
"Siapa yang memanggil, Abang, Nurdin?"
"Mana saya tahu."
"Kok bisa tak tahu?"
"Bang kok banyak tanya, sih?"
"Ya iyalah, ini tuh penting, tahu."
"Ya udah ikut saja sini."
Aku terpaksa mengalah pada bocah ini, aku mengikutinya keluar dari masjid. Ia menunjuk seorang wanita paruh baya. Ibu! Aku akhirnya berjalan ke arah ibuku, aku tak menghiraukan Nurdin yang menatapku kesal karena meninggalkannya begitu saja. Aku lupa, hanya sedikit orang saja di kampung ini yang mengenali ibuku karena memang ibuku jarang berinterkasi dengan penduduk kampung, ia harus bekerja keras dari pagi sampai sore sehingga tak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan penduduk kampung bahkan dengan keluarga.
"Bunda, ada apa?" Aku mengulang pertanyaanku yang tadinya kutanyakan pada Nurdin, kepada ibuku.
"Kita harus pulang, Adi."
"Iya, Bunda."
Aku berjalan mengiringi ibuku, ia berjalan dua langkah di depanku. Lagi-lagi tak ada obrolan yang tercipta, hening sepanjang jalan. Tak ada suara kecuali suara air yang mengalir di parit sebelah jalan. Udara masih saja segar, terasa sejuk dan dingin.
Kami berdua sampai di depan pintu rumah, aku masih tenggelam dalam lamunan yang berisi tentang pertanyaan apa definisi perkataan imam Abdul Kadir barusan.
"Adi, ayo masuk." Titah ibuku menyadarkanku dari lamunanku.
"Iya, Bunda." Jawabku seraya masuk ke dalam rumah.
"Ini, Bunda masakin telor dadar, nanti dimakan, ya."
"Ya, Bunda."
"Bunda harus cepat-cepat bekerja. Jadi, Adi kerjain kerjaan rumah. Cuci piring, nyapu rumah, mengepel, mengelap kaca dan lain-lain, paham?!"
"Paham, Bunda."
"Nanti kalau sudah selesai semua langsung mandi dan makan. Berangkat ke sekolah, jangan main-main ke mana!"
Titah ibuku selalu saja bermacam-macam, banyak dan melelahkan. Aku terkadang mengeluh dalam hati, tetapi peluh keringat ibuku saat pulang bekerja di sore hari selalu saja menyadarkanku bahwa pekerjaannya jauh lebih berat dariku. Tangan yang memerah dan bekeriput bekas menggosok baju langganannya selalu membuatku terhenyak dan menahan lisanku untuk tidak protes akan pekerjaanku, karena delapan tahun aku hidup di desa ini tidak pernah menjumpai anak seumurannku yang mengurusi semua pekerjaan rumah sepertiku.
Ibuku berangkat kerja dengan becak peninggalan ayahku, aku memperhatikannya sampai menghilang dari cakrawala penglihatanku. Aku segera melaksanakan titah ibuku, mencuci piring, menyapu rumah, mengepel, mengelap kaca, plus aku menyeterika dan melipat baju karena waktu masuk kelas masih sangat lama. Gerak gesitku menyelesaikan semua pekerjaan dalam waktu yang singkat-gerak gesitku hanya dalam hal ini karena setiap hari aku mengerjakannya.
Aku langsung mandi setelah semua tugas selesai, semua anggota tubuhku kubersihkan supaya segar dan tidak mengantuk di kelas nanti. Selesai mandi aku segera menghidangkan telor dadar yang sudah dingin di atas piring kaca yang masih berbau sabun ekonomi karena baru saja kucuci. Aku juga meletakkan nasi putih dari rice cooker, nasinya masih panas, mungkin ibuku memasaknya sebelum berangkat ke masjid tadi.
Setelah selesai mandi dan makan aku berangkat ke sekolah, jaraknya lumayan jauh, namun bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga semua penduduk desa tak perlu diantar dengan kereta.
***
Suara lonceng terdengar gagah, pertanda waktu pelajaran ke lima telah habis. Guru pelajaran bahasa indonesia yang sedang mengajar di kelas kami terpaksa mnghentikan pejelasannya, ia menandai bukunya lalu mengucapkan salam dan pergi.
Satu menit berlalu, guru sejarah islam pun masuk ke kelas kami, ia duduk dan mengucapkan salam. Dengan lihai ia membuka buku absen dan memanggil nama kami satu-persatu, semua hadir, tak ada seorang pun yang memiliki halagan sehingga tak bisa datang ke sekolah. Pelajaran sejarah islam telah selesai, semua bab di buku tebal itu telah semua kami pelajari. Guru tersebut lebih memilih untuk meberikan motivasi daripada diam tak melakukan apa-apa.
"Orang tua adalah segalanya, dialah surganya dunia. Sayangilah mereka selagi masih ada. Mereka telah merawat dari kita berbentuk janin yang kecil dan mungil hingga sekarang. Lihatlah kondisi kita yang sekarang, ada yang kuat, ada juga yang pintar, ada yang lihai dan lain-lain. Janganlah membuat mereka marah! Dan berusaha lah untuk mendapat ridha dari mereka. Sesungguhnya ridha Allah terletak pada orang tua, begitu juga dengan kemarahan. Makanya ada sebuah pepatah mengatakan, surga itu ada di telapak kaki ibu!" Jelasnya panjang.
Hening tercipta, semua menghayati kata-kata guru kami tersebut, ia melanjutkan penjelasannya, topik pemicaraan bertukar-tukar. Guru kami yang satu ini, bukanlah pemcara yang baik, namun kesan awalnya tentang mencari ridha orang tua sangatlah membekas di hatiku.
Guru pelajaran sejarah islam tersebut terus melanjutkan motivasinya dengan pejelasan yang setengah-setengah. Tetapi itu memuatku puas, penjelasan awalnya menjawab pertanyaanku atas kata-kata imam Abdul Kadir tadi pagi.
Penjelasan guru sejarah islam kami berhenti dengan terdengarnya lonceng pulang, semua merapikan buku dan memasukkannya ke dalam tas. Guru kami mengucap salam dan pergi. Aku keluar dari kelas, menyusuri teras kelas yang berjejer sepanjag bangunan. Aku sampai di gerbang sekolah, berhadapan langsung dengan jalan yang cukup ramain dengan orang tua yang ingin menjemput anaknya. Semua kendaraan terparkir di tepi jalan, aku berjalan melewati jalan itu dengan pelan, pikiranku melayang-layang entah kemana. Aku sempat berhenti di tengah jalan memikirkan hadiah yang mungkin cocok untuk ibuku. Sampai sebuah truk kodisel berdiri beberapa meter di sampingku, tak mungkin sempat untuk menghindar.
"Brak!" Aku tersungkur ke tepi jalan, kepalaku membentur keras gerobak eskrim yang berjualan di tepi jalan. Aku berpikir nasibku akan sama seperti ayah dan abangku, mati dalam insiden tabrakan yang mengenaskan. Pandanganku berubah menjadi hitam pekat dan...
***
Aku terbangun di ranjang dengan seprai hijau, sebuah selang tertambat di tanganku. Kepalaku dipenuhi perban yang menjengkelkan. Aku memperhatikan sekitar, di sebelah kananku hanya ada dinding berwarna putih yang membentang sedangkan di sebelah kiriku ada tirai yang tertutup. Di samping tempat tidurku terdapat meja kecil yang tersusun di atasnya sebungkus Roma Kelapa dan secarik kertas, tanganku yang lemah mencoba mengambilnya. Tertulis di sana namaku, Adi Irawan. Pasien Rumah Sakit Mitra Jaya. Ruangan Unit Gawat Darurat. Dan biaya sebesar lima juta rupiah. Aku terhenyak melihat jumlah itu, aku berpikir dari mana ibuku mendapat uang sebanyak itu.
"Adi!" Ibuku yang datang dari balik tirai langsung memelukku erat. Wajah yang awalnya pucat karena cemas akan keadaanku berubah menjadi bahagia, tercipta senyuman manis dari bibirnya.
"Bunda." Panggilku.
"Iya, Anakku. Ada apa?"
"Dari mana, Bunda bisa mendapat uang lima juta?"
"Semua pasti ada jalannya, Allah itu Maha Pemurah. Lagipula semua akan, Bunda berikan asal, Adi tetap berada di pangkuan, Bunda."
"Aku terdiam mendengar jawaban ibuku, perkataannya tulus, tak ada satu pun tanda bahwa ia berbohong. Selama aku di rumah sakit, ibuku selalu berada di sisiku, ia tak pernah pergi dalam jangka waktu yang lama-paling lama sepuluh menit.
Kata-kata imam Abdul Kadir dan guru sejarah islamku benar. Ibu adalah suatu hal yang paling indah di dunia ini, benar adanya ibu itu surganya dunia. Mulai sekarang aku akan berjanji untuk terus mencari ridha ibuku, karena dengan begitu ridha Allah pun akan didapat dan nanti jika waktu di dunia berakhir akan disambung dengan surga di akhirat.
Masjid Jami' Dayah Perbatasan Darul Amin.
Selasa, 27 Februari 2024.