Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
INDAH DELILAH
Lelaki paruh baya berbaju dinas menghampiri, perempuan bergincu merah menerima dan sekali transaksi kesepakatan pun terjadi. Karena tiga bilik yang disediakan warung remang itu sesak, lelaki paruh baya berbaju dinas duduk di dipan ruang depan warung yang telah disediakan. Terdengar lantunan serak Si Gimbal Bang Sodiq New Monata yang diikuti suara menggemaskan Nella Kharisma bersama dentum gendang koplonya membawakan lagu Pamer Bojo. Perempuan bergincu merah membuatkan kopi lalu duduk menemani. Dua puluh menit kemudian, perempuan bergincu merah memberi isyarat dan bilik yang dikehendaki pun tertutup rapat.
"Ah, hari ini kau payah!" Lelaki paruh baya berbaju dinas kecewa.
"Bukankah saban kau kesini aku melayanimu seperti ini, Mas?" bela perempuan bergincu merah sambil merapikan atasan ruffled top tak berlengan dan melorotkan sedikit rok mininya.
Indah Delilah namanya. Ia salah satu pramuria di bilangan Pantura Tengah yang operasinya di warung remang perkampungan Alas Roban. Perkampungan yang dibuat pemerintah di awal periode orde baru guna menampung penggawean kebanyakan warganya yang berprofesi sebagai pramusyahwat. Customer warung remang tersebut umumnya sopir-kernet truk atau sejenisnya karena itu area persinggahan kendaraan-kendaraan dari timur atau barat yang melewati jalur arteri pantura. Namun, data di warung remang Indah Delilah menunjukkan pelanggan warung remang (hanya) ada empat golongan, golongan sopir-kernet; golongan lelaki berbaju dinas; golongan karyawan industri-industri menengah di seputaran Kabupaten Batang; dan golongan umum. Golongan terakhir ini prosentasenya hanya lima persen.
Indah Delilah mengetahui profesi tamu-tamunya lantaran salah satu syarat menjadi tamu warung remang Indah Delilah adalah menyimpankan identitas diri di meja administrasi warung yang berada di dekat pintu masuk ruang depan jika bermaksud booking seorang angel. Bersama dengan itu, customer pun wajib menandatangani kesepakatan berkelakuan baik kepada angelnya di dalam bilik dengan konsekuensi jika terjadi kekerasan, maka akan dilaporkan kepada pihak berwajib. Jika customer tidak berkenan dengan tata tertib itu, pihak warung tidak segan mempersilakannya angkat kaki. Jika memaksa, satuan pengamanan perkampungan Alas Roban siap memasang badan.
Dari puluhan warung remang di perkampungan Alas Roban dengan rupa jenis pengelolaan dan customernya, Indah Delilah mempunyai pelanggan yang berbeda. Ia biasa dimahari lelaki paruh baya berbaju dinas salah satu instansi negara di dekat sana. Pengakuan pelanggannya, Indah Delilah high quality, tubuh matangnya sintal, proporsional. Sorot matanya tajam, suaranya serak-serak basah, manis bibirnya menawan memadu layak dengan hidung mancung ala manusia-manusia timur tengah. Ia pantas bertengger di lokalisasi bintang lima.
Maka, yang kuat membayarnya hanyalah lelaki berdompet tebal saja. Yang kasat mata berdompet tebal di bilangan Pantura Tengah dari empat golongan di atas adalah lelaki berbaju dinas. Dan itu cukup menjadikan Indah Delilah berwibawa sehingga pelanggan selain lelaki paruh baya berbaju dinas, segan.
Pengakuan pelangganya lagi di lain waktu, ini juga yang menjadikannya bertarif mahal, Indah Delilah punya daya pikat utama di sektor bibir, lebih spesifik pada bagian gincunya. Itu terjadi lantaran Indah Delilah selalu mengenakan gincu warna merah atau yang menyerupainya; merah merona, merah muda, merah muda salmon, merah muda karang laut, merah pigmen, merah karat, merah maron, dan merah ruby. Bahkan sesekali ia kenakan gincu spanish red, fire engine red, chili red, dan chocolate cosmos.
Indah Delilah meyakini bahwa pesona bibir bisa memancarkan aura kewibawaan melalui guratan gincu yang dikenakan jika tepat menghiasnya. Indah Delilah merasa warna merah cocok baginya karena melambangkan kegembiraan, energi, cinta, percaya diri, dan diyakini membangkitkan gairah. Terakhir ini yang digemari banyak lelaki.
“Merah adalah seksualitas!” yakin Indah Delilah mantap di hadapan cermin besar yang terpasang di ruang tengah warung sembari bibirnya membuat adegan sebuah kecupan tanpa lawan.
***
"Kali ini kau berbeda, kau payah, Indah!" kecewa lelaki paruh baya berbaju dinas sambil melemparkan dua lembar seratusan.
"Apa yang kau anggap beda dan payah, Mas?"
"Pokoknya kau tidak memuaskanku!" ucapnya lalu meninggalkannya.
***
Sesampainya di rumah kontrakan pukul 03.00 dini hari, seusai menengok Lintangwati putri semata wayang dan menyelimutinya, Indah Delilah bercermin dengan seksama. Menggerayangi pipi dan sebagian tubuhnya. Mengamati lengkuk tubuh yang ia jajakan setiap malam sejak masih sangat muda.
Yakinnya yang ia punya masih mempesona. Indah Delilah percaya diri bahwa aset yang dikaruniakan Gusti Pangeran kepadanya masih jauh dari kata kendur dan payah seperti dugaan si lelaki paruh baya berbaju dinas pelanggan tetapnya. Lalu ia merebah dan kembali melamunkan gairah profesinya.
Beberapa hari belakangan ini memang Indah Delilah merasa kehilangan fokusnya bekerja. Gairahnya menjajakan diri surut seperti gelombang air laut saat senja. Pendapatan yang ia banggakan dan ia gunakan untuk menafkahi buah hatinya terkesan kotor dan mengganggu jiwa. Sesuatu yang ia panaskan dan desahkan untuk kepuasan pelanggan pun belakangan ini tak ia rasa. Passionnya meredup lantaran anak tunggalnya, Lintangwati (12 tahun), penasaran dan selalu bertanya setiap sarapan apa pekerjaannya.
Tentu Indah tidak menjawab jujur apa adanya. Tentu ia tidak ingin anak semata wayangnya mewarisi profesinya. Dan atas dasar itulah, Indah Delilah punya keingina kuat berhenti saja.
***
Usaha Indah Delilah pensiun dini begitu serius dan temenanan. Sudah seminggu ia tidak berangkat dinas. Godaan yang saban hari menghampiri ia tolak mentah-mentah. Ada yang dengan cara halus dan ada pula yang harus melibatkan tajamnya lidah.
Teman sekantor selalu menelpon dan mengirimkan pesan singkat menanyakan perihal absennya, menawari proyek-proyek besar yang membuat Indah Delilah pusing kepala, dan beberapa kali lelaki paruh baya berbaju dinas pelanggan tetapnya mengirim pesan singkat nakal mengajaknya. Padahal di pertemuan terakhir ia kecewa. Perihal tabu begitulah barangkali, walau kecewa selalu menagih dan membuat candu.
Semuanya, syukur ia lalui dengan usaha mengekang diri yang ekstra tinggi. Indah Delilah kini fokus dan berusaha keras membiasakan pola hidup barunya sebagai ibu rumah tangga biasa.
"Ibu kena PHK, Cah Ayu," jawab Indah Delilah suatu pagi atas pertanyan Lintangwati,
"Kenapa, Bu?"
"Pihak kantor lebih memilih tenaga berpendidikan tinggi katimbang ibu, Nak." Indah Delilah mengelabuhi. Lintangwati menatap ibunya kasihan. Keduanya berpelukan.
"Makanya kamu harus sekolah yang tinggi ya, Nak!" "Iya, Bu."
"Biar tidak jadi seperti ibu!" ada raut harapan menggelantung di tulus kelopak mata Indah Delilah.
***
Pasokan beras dan rempah dapur menipis. Tabungannya menyisakan beberapa lembar dua puluh ribuan. Awal bulan menjadi agenda rutin membayar beberapa tagihan; SPP Lintangwati dan beragam kebutuhan sekolahnya; tagihan listrik dan PAM. Indah Delilah diam dalam hening, pening. Ia berpikir dan memutuskan harus bekerja atau lebih tepatnya mencari pekerjaan secepat dan sekilat-kilatnya.
Ia beranjak dan melamar menjadi buruh laundry di tetangga jauhnya –yang tidak tahu profesi lamanya. “Kau terlalu cantik untuk menjadi buruh cuci, Jeng!” ucap juragan laundy menolak.
Ia melamar menjadi penjaga atau pelayan di toko kelontong orang kaya kampungnya, ditolak lantaran pemilik toko mengenal dan mengetahui latar belakang Indah Delilah. “Khawatir jika kuterima kau, tokoku jadi tak laku!” tolaknya mentah-mentah.
Di bawah terik surya yang menyengat, Indah Delilah melamar menjadi penjaga atau pelayan photo copy dekat lembaga pendidikan, tak ada lowongan.
“Adanya lowongan menjadi istriku, berkenankah kau?” ucap pemilik photo copy memberi tawaran lain, ia sudah menduda lima bulan. Indah Delilah berlalu tanpa membalikkan badan.
Indah Delilah memberanikan diri menghampiri tempat jagal kambing dan sapi, “Ini pekerjaan lelaki!” kata sang juragan jagal sembari menatapnya nakal. Indah Delilah beranjak ke pasar mencari celah kesempatan dan lowongan, justru yang ia dapatkan adalah gojlokan (bully) yang menyudutkan sang mantan pekerjaan.
Lalu ia sowan kepada seseorang yang kebanyakan warga menyebutnya ustadz sebab style pakaiannya menunjukkan demikian dan tampak rajin beribadah di langgar. Indah Delilah berangapan bahwa pemuka agama itu arif dan bijaksana. Masalahnya yang pelik ia harap kunjung mendapatkan solusi.
Apa yang terjadi? Indah Delilah berjalan keluar dari rumah yang ia kunjungi dengan lunglai seolah tak berdaya. Seorang ustadz yang telah ia sangka arif dan bijaksana telah memberinya predikat ahli neraka.
"Ah lelah nian jiwa raga hamba, Tuhan." Sambatnya sambil melangkah pulang.
***
Bintang berhamburan berkerlip menghiasi langit. Bulan sabit bertengger gagah menyipitkan pandangan dan tersenyum cantik. Lelaki paruh baya berbaju dinas tampak sumringah dan terus menyunggingkan bibirnya isyarat ada yang menarik. Rupanya ada perempuan bergincu merah yang ia lirik.
"Selamat datang, Indah Delilahku sayang!" sapanya hormat sambil mencolekkan jemari telunjuknya ke dagu Indah Delilah. Indah Delilah risi, jijik, dan ada segumpal keinginan untuk segera pergi.
"Mari, Sayang!" ajak lelaki paruh baya berbaju dinas sambil menggandeng Indah Delilah ke bilik. Indah Delilah berusaha menolak dengan mengibaskan tangan.
Gejolak perasaan Indah Delilah antara tidak jadi menjajakan diri tapi tidak memperoleh uang yang ia harapkan dan mengiyakan ajakan lelaki paruh baya berbaju dinas tapi ia sendiri merasa risi dan jijik, membuncah bak rebusan air mendidih.
Kemudian, Indah Delilah melemas dan dalam sekejap pasrah berbaring dalam pelukan lelaki paruh baya berbaju dinas (lagi).