Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Katanya besok ada gerhana total ya?” Samba membuka kotak bekal makan siangnya, ia membawa set menu makan siang komplit, itu sedikit berlebihan untuk anak SD seperti dirinya. Pikiran itu, Tiar simpan sendiri, karena tentu saja Samba tidak akan suka mendengar komentar buruk soal bentuk tubuh.
“Iya besok, jam 8.45, aku sudah mempersiapkan diri untuk itu, lihat, aku beli kacamata khusus ini bersama Ayahku kemarin,” timpal Abet memperlihatkan kacamata khusus bergambar gerhana matahari, menimbulkan kesan keren dan menegaskan bahwa kacamata tersebut berbeda dengan kacamata biasanya.
Tiar terkesan, namun itu tidak berarti apa-apa baginya, ia heran kenapa anak laki-laki selalu membesar-besarkan sesuatu, mereka berdua bahkan bukan anak TK lagi. Sementara itu, Samba yang menyeringai mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Aku juga punya, nih,” kacamata gerhana bertema galaksi dengan hiasan bintang, yang ditunjukkan Samba tidak kalah kerennya dengan milik Abet.
“Kamu tidak ada komentar soal itu?” Abet menyadari bahwa Tiar hanya diam saja tanpa berbicara apapun, “Seperti biasa, kau tidak pernah tertarik soal ini, aku ragu apa kau ini sungguh anak kelas 6 SD atau bukan ya,” Abet kemudian mengunyah paprikanya sembari memperhatikan Tiar dengan seksama.
Tiar menutup kotak bekalnya, lalu meminum susu rasa strawberry yang ia beli dari toko di dekat rumah. ia berikan dua lagi dengan rasa yang sama kepada Abet dan Samba, kebetulan pemilik toko memberinya diskon sebagai pelanggan tetap, beli 1 gratis 2. “Aku hanya berpikir itu biasa saja, cepat habiskan makan siang kalian, lima menit lagi bel bunyi.”
Sepulang sekolah, Abet menenteng sepedanya karena ban belakangnya kempes. Tiar mengikuti dari belakang, sembari membaca komik baru yang ia beli seminggu lalu. Kemudian, Tiar melirik ke arah langit, seperti memastikan sesuatu dan membuat langkahnya terhenti. Sebenarnya ia tidak tahu mengapa ia melakukannya, tapi jujur saja Tiar merasa seperti ada sesuatu yang menarik perhatiannya dari langit sana. “Bukankah langit itu seperti manusia? Selalu menampilkan warna berbeda seolah ia sedang merasakan sesuatu.”
Abet berhenti, lalu melihat ke arah yang sama dengan penasaran, ia terkekeh, seperti menganggap Tiar gila, “Sebaiknya berhenti membaca komik Biru dan Camar, Kakakku sudah memberitahumu kan? Itu komik aneh yang memanfaatkan kepolosan anak-anak seperti kita, bahkan kau kemarin meracau bahwa setiap kepala manusia disetting punya setidaknya ruang aneh.”
“Itu tidak ada hubungannya, dengan komik Biru dan Camar, lagi pula kau hanya membaca setengahnya dan tidak menyelesaikan sampai habis, jadi jangan asal menyimpulkan lalu menyamakan dengan komik lain, intinya Biru dan Camar masterpiece, legenda yang tidak dapat digantikan,” Tiar memalingkan muka dari Abet dengan kesal, lalu pergi meninggalkannya. Abet merasa bersalah, ia terus memanggil-manggil nama Tiar.
“Maafkan aku Tiar, aku hanya bercanda, hei! Jangan tinggalkan aku sendiri, tunggu aku,” Abet mendorong sepedanya sambil berlari, berusaha untuk mengejar Tiar.
Keesokan harinya, Tiar berniat untuk bangun lebih awal, ia penasaran sehebat apa gerhana yang diceritakan oleh Abet dan Samba. Bukankah itu hanya fenomena alam biasa. Tiar memakai kacamata gerhana yang Ayahnya beli beberapa tahun lalu. Tiar menunggu cukup lama, tapi tidak ada tanda-tanda dari gerhana matahari. Kemudian ia menelepon Abet dan Samba.
“Kau bilang mulainya jam 8.45, ini sudah jam 9 lebih tapi tidak terjadi apapun, sepertinya itu berita hoax,” Keluh Tiar.
“Aku yakin itu benar, bahkan itu diumumkan hampir di semua stasiun televisi dan--,” Abet mendadak diam.
“Halo, dan apa?” tanyaku, yang kemudian disambut oleh suara antusias Abet.
“Lihat! Itu dia sebentar lagi, gerhananya segera tiba, hei Samba, Tiar kalian melihatnya kan?”
“Iya aku lihat, haruskah kita mengambil foto,” timpal Samba. Langit yang semula terang, secara perlahan mulai mendung seperti akan hujan, namun tidak ada gerhana matahari, bahkan suasana saat itu tetap terang, kemudian sesuatu tiba-tiba muncul, gerombolan hitam seperti telur kodok ada diantara awan-awan hitam itu, dengan disertai warna kemerahan seperti senja hari.
“Bukankah langit itu sedikit aneh, apa kalian berdua melihatnya?” tanya Samba diujung telepon.
“Apa maksudmu? itu mengesankan, kau salah lihat kali," sahut Abet. Tiar menatap langit itu sekali lagi, yang ia rasakan bukan perasaan takjub atau kagum seperti Abet dan Samba, tapi rasa ngeri yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Apa yang kalian katakan, bukankah gerombolan bintik hitam itu, seperti mata manusia?” ujarku. Selama beberapa saat Samba dan Abet hanya diam.
“Apa maksudmu, tidak ada bintik hitam, sepertinya kau salah lihat, coba lihat baik-baik,” tukas Samba.
“Itu benar, lihat baik-baik, itu bahkan tidak mirip dengan mata,” sahut Abet. Meski melihatnya berulang kali, tetap saja yang kulihat adalah bintik hitam seperti mata manusia. “Apa hanya aku saja yang melihatnya seperti itu?” pikir Tiar.
Tiar berpikir fenomena itu hanya akan terjadi sekali saja, namun kejadian aneh terus bermunculan. Kali ini, langit itu tidak lagi memperlihatkan bintik-bintik hitam, melainkan biru lebam seperti yang biasa dialami oleh orang ketika terluka. Bercak-bercak biru tersebut, hanya dilihat oleh Tiar saja, tapi Abet dan Samba, bahkan masyarakat juga tidak melihatnya. Tiar merasa takut ketika melihat bintik hitam di langit, sekarang ia merasa sedikit cemas, sampai berpikir mungkin dunia ini akan segera berakhir atau bisa saja ada serangan dari luar angkasa semacam meteor jatuh.
“Aku merasa tidak enak badan, disini mulai dingin, padahal musim salju masih lama,” keluh Samba mengusap kedua tangannya agar dirinya tetap hangat.
“Kau bercanda, aku malah merasa kepanasan, alergiku kambuh lagi, aku mau ke Apotek untuk membeli obat, apa kau mau ikut Tiar?” ujar Abet membuyarkan lamunan Tiar. Abet terus menggaruk-garuk lengannya yang sudah merah.
“Ah iya, aku ikut,” Tiar gelagapan dan membuat Abet bingung.
“Apa kau baik-baik saja?” Abet meletakkan tangannya didahiku seperti memastikan demam atau tidak, Tiar tersipu tapi berusaha menyembunyikannya karena sudah sejak lama bagi ia menyimpan rasa suka terhadap Abet.
Abet terlihat panik, membuat Tiar bingung,”Kau demam!” Abet mulai khawatir, “Sebaiknya kita pulang, apa kau pusing? Biar, aku menggendongmu,”
Tiar mengernyitkan dahi heran,”Aku baik-baik saja, kau pasti mengerjaiku lagi,” Tiar terkekeh, tapi tawanya tidak disambut oleh Abet. Kemudian Samba menempelkan tangannya juga ke dahi Tiar, dan ia terkejut sama seperti Abet.
“Demammu tinggi, Tiar, biar aku saja yang bawakan tasmu, kau digendong Abet,” Samba mengambil tas dan menenteng sepeda Abet. Sementara itu, Abet berjongkok dan memberikan kode agar Tiar naik ke punggungnya. Ia hanya bisa pasrah, membiarkan kedua temannya membantu dirinya.
Tiar memutuskan untuk bolos sekolah, sebenarnya hari ini ia ingin masuk, tapi orang tuanya memaksa Tiar untuk tetap di rumah. Jujur saja, Tiar tidak merasa pusing atau lidah pahit seperti orang sakit. Karena merasa bosan, ia memutuskan untuk membaca buku, kemudian Tiar menyadari bahwa kali ini langit menampilkan sesuatu yang berbeda dari kemarin. Hari ini siang lebih cepat dari biasanya, meski waktu masih menunjukkan pukul sembilan, dan ia baru membaca buku dua jam, seharusnya cuaca tetap terang, tapi mengapa langit menjadi gelap seperti malam hari.
Ponsel Tiar berdering, yang meneleponnya ternyata adalah Abet.
“Ada apa?” tanyaku.
Abet terdengar terengah-engah, selama beberapa saat ia tidak berbicara apapun, membuat Tiar mulai khawatir, “apa kau baik-baik saja, apa yang terjadi?”
“Samba, dia dilarikan ke rumah sakit,” lirih Abet disela isak tangisnya. Tiar terkejut, tenggorokannya terasa tercekat, Tiar tidak bisa bernafas, mungkin karena syok mendengar Samba sakit. Sontak ia langsung bergegas pergi ke rumah sakit dengan mengayuh sepedanya dengan kencang. Tiar bahkan tidak mengabari orang tuanya, mungkin nanti saja jika sudah sampai di rumah sakit, karena Tiar tidak ingin menunggu terlalu lama, ia harus menemui Samba dan Abet.
Abet yang termenung di kursi tunggu rumah sakit, langsung berdiri ketika melihat Tiar. Sorot matanya yang sembab dan bibir sedikit pucat, membuat Tiar cemas.
“Apa kau baik-baik saja?” Tiar menanyakan keadaan Abet terlebih dulu, sebelum memastikan kondisi Samba. Pertanyaan Tiar kemudian disambut anggukan Abet.
“Samba?”
Selama beberapa saat Abet terdiam, ia seperti sulit untuk menjelaskan sesuatu, Tiar menunggu dengan sabar. “Sebenarnya, Samba sedikit aneh hari ini, ia menjadi pendiam dari biasanya, aku bertanya apa kau baik-baik saja, tapi—” Abet yang tak sanggup menyelesaikan ucapannya, hanya bisa terisak. Tiar mendekat ke Abet dan memeluknya.
Beberapa jam sebelumnya.
Samba hanya menatap bekalnya, meski menu makan siang hari ini adalah rendang dan telor ceplok, ia sama sekali tidak menyentuh makanannya. Abet yang bingung dengan perilaku Samba sedikit bingung.
“Jika kau tak mau, biar aku saja yang habiskan,” Abet mengambil dengan cepat mengambil potongan daging di bekal Samba. Namun, Samba tidak bereaksi atau menunjukkan rasa kesal ketika makanan kesukaannya direbut.
“Ambil saja, aku benar-benar tidak selera makan hari ini,” Samba menyerahkan kotak bekal makan siangnya ke Abet.
“Ada apa denganmu? Kau sakit?” tanya Abet.
“Sebenarnya, aku tak bisa makan apapun semenjak kemarin, rasanya ketika aku mencoba makan sesuatu, aku akan otomatis memuntahkannya, semua yang kumakan terasa hambar dan tak enak,” di sela tertawa Samba, terdengar tampak lirih.
Abet menenangkan Samba,” Aku pikir itu wajar, mungkin kau kepikiran Tiar yang sakit, aku mengerti, memang sepi jika Tiar tidak ada di sekolah, tapi tenang saja, besok dia akan segera kembali sekolah,”
“Kuharap begitu,” timpal Samba. Kemudian, ia melirik ke langit dengan senyum tipis di bibirnya. Abet sontak melihat ke arah yang sama.
“Kau tahu, sebenarnya aku melihat sesuatu yang aneh disana, berbeda dengan yang Tiar atau kamu lihat, Tiar bilang itu kumpulan bintik hitam seperti mata, tapi aku pikir yang kulihat malah lebih menyerupai gumpalan darah,” jelas Samba tak sedikit pun menoleh ke Abet.
Angin berhembus kencang, tidak ada suara apapun di sekitar, waktu seakan ikut berhenti mungkin lebih tepatnya ucapan Samba membuat perhatian Abet terkunci untuk dirinya. Abet hanya tertawa keras, meski ia sendiri tidak tahu apa yang diucapkan oleh Samba adalah lelucon atau bukan.
“Akhir-akhir ini, aku merasa tidak bisa menikmati apapun,” lirih Samba disela tawanya,” Kau ingat Kakekkku? Dia selama seminggu lebih merasa bahwa makanan yang ia santap tidak enak, padahal biasanya ia paling displin soal makan teratur, lalu Kakekku mati, apa aku juga akan seperti itu?” Samba yang terengah-engah, menatap Abet, ia menoleh ke langit dengan raut wajah ketakutan.
“Hei! Apa kau baik-baik saja?” Abet memegang lengan Samba dengan khawatir. Nafas Samba menjadi tidak beraturan, tiba-tiba ia sontak berteriak lalu meringkuk sambil menutup kepalanya. Kemudian ia memuntahkan makanan yang tadi dimakannya. Abet memberikan sebotol air untuk Samba, tapi dihempaskan begitu saja oleh Samba. Setelah itu, Samba kehilangan kesadaran.
Beberapa jam saat ini.
Tiar meremas jemarinya, mendengar apa yang dialami oleh Samba, jelas tidak masuk akal. Namun, Abet tidak akan berbohong disituasi seperti ini. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan, dokter kesulitan memutuskan diagnosis karena tidak ditemukan penyakit yang menyerang tubuh Samba. Kondisi Samba semakin lama makin memburuk, ia yang semula bertubuh gempal, kini tubuhnya hanya menyisakan tulang yang terbungkus kulit.
Abet dan Tiar akan menjaga Samba secara bergantian, meski orang tua Samba merasa sungkan dan meminta mereka berdua tidak melakukannya.
“Serahkan Samba padaku, fokus saja pada sekolah, aku yakin Samba pasti juga berpikiran begitu,” Ibu Samba tersenyum, meski kantung mata yang hitam itu terlihat jelas menandakan ia tidak cukup istirahatnya.
Setelah perjuangan Samba untuk bisa sembuh, sepertinya ia memilih menyerah dan tidak bangun lagi dari koma panjangnya. Bersamaan dengan kematian Samba, suasana langit pun ikut berubah, bukan berubah menjadi biru sedikit lebam atau bintik-bintik menyerupai mata manusia, melainkan malam panjang yang tidak lagi berganti menjadi siang hari.
Kehidupan Tiar berubah sepenuhnya, pemerintah mulai menyesuaikan, dengan menciptakan teknologi baru bernama sirkadian buatan yang dibuat untuk bisa meniru konsep siang dan malam. Pemerintah membuat pencahayaan yang secara rutin dilakukan sesuai jadwal, dengan menggunakan lampu spektrum khusus. Ada dua warna yang digunakan, putih kebiruan menandakan pagi hari dimulai pada pukul 07.00, kemudian cahaya berubah hangat kemerahan berarti sudah malam hari, akan dimulai pada pukul 20.00.
“Ini seperti mimpi, kita tidak pernah mengira bahwa bumi akan bergerak dengan cara sebaliknya,” Abet memberi segelas susu coklat hangat kepada Tiar.
“Tapi, aku tidak pernah terbiasa dengan ini, tidak peduli sehebat apa teknologi yang ada disekitarku, itu tidak mengubah fakta bahwa aku merasakan kiamat setiap hari,” keluh Tiar dengan pandangan yang tidak lepas dari langit.
Abet mengelus kepala Tiar, membuat Tiar terkejut, “Apa yang kau lakukan?”
“Dilarang protes, beginilah caraku menenangkan seseorang, Ayahku selalu mengatakannya, ketika seseorang terluka, cukup dielus atau beri dia pelukan, terkadang saran tidak selalu memberi jalan keluar,” Abet tersenyum.
Tiar sontak menginjak kaki Abet, “Mengelus kepala perempuan itu tidak sopan,”
Abet meringis sambil memegang kakinya,” Tapi setidaknya aku berusaha kan? Kenapa tidak terima saja, menginjak kakiku itu sedikit kasar tahu,”
Tiar tertawa terbahak-bahak, membuat Abet semakin kesal. Namun, tiba-tiba keluar darah dari hidung Abet. Kemudian, Abet kehilangan kesadaran.
“Hei! Ada apa denganmu?” tanya Tiar. “jangan bercanda, kau pasti menjahiliku, aku tidak akan tertipu dengan trik murahanmu ini, bangunlah atau kau kuinjak lagi,”
Abet tidak bangun, meski Tiar mengguncang tubuh Abet, tetap saja tidak membuat anak laki-laki itu bangun. Kemudian Abet dibawa ke rumah sakit. Setelah itu, dokter melakukan pemeriksaan.
Kini Abet dirawat, dokter mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan tubuhnya. Hal itu mengingatkan Tiar dengan kejadian yang dialami Samba. Kekhawatiran menyelimuti dirinya, ia berpikir kejadian aneh terus datang semenjak langit berubah-ubah.
“Sampai kapan akan terus dikejar kematian?” lirih Tiar. “ini bukan lagi kiamat, tapi penyiksaan tak bermoral oleh seseorang, ah ya mungkin saja kan,” Tiar begitu frustasi, sehingga membuat ia merasa bahwa hal ilmiah pun tidak bisa menjelaskan kejadian-kejadian ini.
“Singkirkan wajah jelek itu, aku baik-baik saja, beberapa obat yang kuminum, pasti akan membuatku sembuh, percayalah,” Abet terlihat santai, meski kondisi tubuhnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ia katakan, hanya butuh waktu sebulan, penampilannya berubah mengerikan. Kantung mata yang semakin hitam, beberapa anggota tubuhnya bahkan lebam seakan dikeroyok oleh gerombolan orang.
Tiar menghela nafas kasar, “menyebalkan melihatmu tetap berpikir positif, meski nyawamu entah bisa sampai tahun depan atau tidak, sesekali katakan saja bahwa ini menyakitkan bagimu,”
Abet terkekeh, ia seperti biasa menyembunyikan perasaannya. Satu-satunya kelemahan Abet yang tidak pernah Tiar terima dari sahabatnya.
“Jika aku mengeluh, apa itu mengubah semuanya?” Abet yang semula tertawa hanya menatap Tiar dengan ekspresi serius.
“Apa kau ingat ucapanmu soal langit?” tanya Abet membawa Tiar pada ingatan saat sepulang sekolah. “sepertinya aku mulai mempercayai ucapanmu, dan berpikir jika manusia itu adalah langit yang kita lihat selama ini, bukan diri kita, Tiar.”
Tiar mengernyitkan dahi, ia berusaha mencerna ucapan Abet,”Apa maksudmu?”
“Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti, tapi aku merasakannya, pada saat gerhana kamu melihat semacam bintik hitam menyerupai mata, Samba melihat gumpalan darah, yang aku lihat justru adalah letupan warna yang berubah-ubah, aku merasa itu menakjubkan, tapi setelah mendengar cerita kalian, ternyata itu bukan sesuatu yang baik,” jelas Abet.
“Dan kau berusaha menyembunyikannya, karena berpikir itu hanya akan membuat kita berdua takut kan?” tanya Tiar yang kemudian disambut dengan anggukan Abet.
Percakapan tersebut, menjadi terakhir kali bagi Abet, karena satu bulan kemudian sekali lagi Tiar harus menyaksikan kematian seseorang yang sudah ia anggap berharga. Disaat semua orang menangkupkan tangan dan menundukkan kepalanya untuk berdoa, hanya Tiar yang tidak melakukannya. Hatinya hanya diisi oleh kemarahn tidak terbendung.
Di bawah pohon ek, tempat yang biasa gunakan untuk bermain dengan Samba dan Abet. Tiar menangis, entah sejak kapan wajahnya basah, sekeras apapun ia menahannya, tetap saja airmata itu keluar. Tiar kemudian menumpahkan kekesalannya, pada langit yang ia lihat sekarang.
“Apa kau begitu menikmatinya?!” teriak Tiar. “teman-temanku mati, dan kau hanya menonton dengan menampilkan pertunjukan aneh dibelakang awan, jika memang kau yang manusia, bukan kami, maka kau tidak akan pernah melakukan hal se-picik ini, mengandalkan kode-kode agar dimengerti atau dipuji, itu tindakan pengecut sialan!”
Setelah mengatakannya, tiba-tiba gempa bumi terjadi, Tiar terkejut berpikir ia akan mati. Namun, setelah gempa itu berhenti, tidak ada yang terjadi. Kemudian tangan besar muncul dari langit, bersamaan dengan sosok menyerupai seorang gadis. Tiar tidak bisa mengalihkan pandangan dari sosok misterius itu, gadis itu menelusuri seluruh kota seperti mencari sesuatu. Sampai, ia menatap Tiar dan mulai mendekat, Tiar berusaha untuk lari tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Gadis itu menangkap Tiar lalu mendekapnya.
“Padahal kita ini satu orang, tapi kau selalu memisahkan diri, menghilangkan diri, tertidur di padang tandus ini, dan aku harus bersusah payah mencari, kemana sosok asli dari tubuh ini, dan akhirnya aku menemukanmu, jati dirimu bersuara lantang, lebih keras dari suara-suara itu,” gadis itu tersenyum pada Tiar, bukan senyuman menakutkan yang diperlihatkan, melainkan senyum yang menyiratkan kesedihan dan rasa letih.
Tiar seperti dijejali sesuatu dipikirannya, sesuatu yang lebih besar dan seperti akan menyobek kepalanya. Seketika semuanya menghitam, dalam samar-samar kegelapan, suara Tiar terdengar, “Benar kata Abet, langit itu manusia, dan kita hanya partikel kecil dari bagiannya,”
Kemudian Tiar menutup matanya, menyandarkan kepalanya di roh itu.
”Sekarang aku ingat, kau hanya ingin menjemputku, kalo begitu, mari bangun kembali sesuatu yang hilang itu,”
...
“Apa kau bisa dengar saya?”
Seorang gadis dengan pakaian rumah sakit, perlahan membuka matanya. Matanya menelisik ke setiap sudut ruangan tersebut. Di depannya, seorang psikiater dengan name tag Sari terus berbicara padanya.
“Saya tanya sekali lagi, sedang jadi siapa kamu hari ini?” tanya Dokter Sari.
“Tiar, hari ini aku menjadi Tiar Kawa Felara,” ujar Tiar dengan yakin.
Setelah sesi terapi berakhir, Dokter Sari mempersilahkan Tiar untuk pulang dan menyarankan ia untuk mengikuti konsultasi lebih lanjut. Seorang pria paruh baya, memasuki ruang kerjanya, ia berjalan dengan bantuan tongkat. Di belakang pria itu ada dua pengawal yang memakai setelan perawat.
“Apa semuanya berjalan lancar?” tanya pria itu.
“Hasilnya memuaskan, projek In Tenebris ini benar-benar melelahkan pada awalnya, tapi melihat dampaknya yang bermanfaat terhadap subjek itu terasa menyentuh hati saya, Prof Bertho,”Dokter Sari tidak berhenti tersenyum.
“Syukurlah, pada awalnya saya sempat skeptis, mungkin saja subjek 211 ini akan berakhir dengan kematian tragis seperti subjek 210 di projek Orleander, “ujar pria paruh baya bernama Prof Bertho. Sorot matanya beralih ke laptop milik Dokter Sari, yang ternyata masih menyala.
“Dari dulu, saya selalu penasaran, sebenarnya apa motivasimu sehingga projekmu kebanyakan adalah tentang sisi kegelapan manusia?” tanya Prof Bertho.
Selama beberapa saat Dokter Sari terdiam, kemudian tersenyum, “karena saya mencintai kompleksitas manusia, mereka bukan makhluk yang hanya hidup dari niat baik dan logika, melainkan dari sesuatu yang melebihi itu, seperti rasa takut, kemarahan, kecemasan, keberanian dan cinta,” Dokter Sari beranjak bangun, menghampiri manekin otak manusia, tatapannya penuh arti.
“Bagi saya kompleksnya manusia seperti cerita yang ditolak, ditelan mentah-mentah, bahkan tumbuh terlalu liar, sampai ia hidup dalam kompleksitas yang tidak bisa dikenali sebagai miliknya sendiri, untuk mengatasi itu mereka mengambil salah satu dari dua jalan pintas yang bisa diambil yaitu mengubur sebagian dari dirinya atau membunuh bagian kompleksitas milik orang lain,” jelas Dokter Sari.
Prof Bertho tampak puas mendengar jawaban Dokter Sari.
“Sepertinya saya tahu inti dari projek In Tenebris dan Orleander, kau ingin membandingkan sesuatu dari keduanya, jika di projek Orleander kita diperlihatkan tentang inferioritas seseorang yang membawanya pada keserakahan dan haus pengakuan dengan mengabaikan norma, maka diprojek kali ini, yaitu In Tenebris, sesuai arti namanya dalam kegelapan, menunjukkan terkadang ketakutan itu harus dihadapi dengan berani, bukankah itu maksudmu?”
Dokter Sari mengangguk, “Saya menggunakan konsep Shadow dari psikoanalisis Jung, seperti Anda ketahui, Shadow adalah potongan ingatan yang ditekan dan emosi yang tidak diakui, sehingga ia tidak dilihat oleh kesadaran, Saya memaksa Shadow dari subjek 211 yang terpecah jadi beberapa kepribadian, agar keluar dan menunjukkan sosok aslinya, dengan cara membalikkan cara kerja dari kenyamanan bias atau defense mechanism yang dibuat oleh subjek 211, metode ini disebut metode pemutusan pola kenyamanan atau pattern reversal therapy,” Dokter Sari lalu menyuguhkan secangkir kopi untuk Prof Bertho.
“Apa itu?” tanya Prof Bertho kemudian meniup pelan kopi yang masih panas.
“Pembongkaran pola pertahanan, yang menghancurkan defense mechanism sehingga memungkinkan terbukanya celah kemunculan Shadow, saya lakukan dengan cara membuat narasi palsu dan cermin moral yang memberikan sugesti pada subjek 211, bahwa ia bukan korban tapi pelaku bagi dirinya sendiri.”
“Ini menarik, saya cukup puas dengan projek ini, untuk selanjutnya, projek apa yang ingin kamu buat, Sari?” tanya Prof Bertho.
“Saya sudah memikirknya, Prof, tapi untuk namanya, saya belum menentukannya, saya pastikan projek selanjutnya akan menarik,” senyum Sari penuh percaya diri.
“Saya akan menantikannya,” ujar Prof Bertho.