Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Impian Sang Burung
2
Suka
1,520
Dibaca

Namaku Kenari Lylian, sejak memperkenalkan nama spesies burung ini aku memupuk mimpiku untuk terbang bebas seperti kenari. Saat kelas lima SD, aku mendapatkan tugas menuliskan cita–citaku menjadi pilot karena mimpiku untuk terbang ke angkasa melewati gunung–gunung indah. Kemudian ada anak yang berkata, “Nama kamu Kenari ‘kan? Burung harusnya bisa terbang dong. Jangan–jangan kamu burung jadi-jadian ya?”

Satu kelas langsung menertawaiku. Aku biarkan mereka tertawa selama lima detik, sepuluh detik, lalu menjadi tiga puluh detik. Hingga saut–sautan memanggil namaku dan menirukan suara burung bersiul riang. Aku pikir mereka sekadar bercanda membutuhkan hiburan. Aku biarkan anak-anak itu tertawa sesuka hati agar mendapat pahala kebaikan. Ternyata, aku tidak menyangka candaan mereka itu menjadi makanan sehari–hari.

Setiap aku melangkah, suara siulan burung–burung terus memanggilku. Meja belajar di kelas dipenuhi biji–bijian kuaci dan jagung kering. Beberapa kali rambutku menjadi sarang burung ketika aku menolak memberikan seluruh helai–helai daun berharga pemberian orang tuaku. 

Aku terus menahan tanpa melawan sampai lulus sekolah dasar, tetapi aku tidak menyangka harus menerima perlakuan mereka sampai di bangku SMA. Namaku yang tak biasa membuat sorot mata manusia–manusia itu menganggapku sebagai burung kecil tak berdaya. Aku tidak bisa menceritakan kepada kedua orang tuaku yang sibuk pergi ke sana kemari melompat ke kota hingga benua lain. 

Sebab banyaknya orang–orang salah paham jika aku adalah manusia berwujud burung, maka impianku pun berubah. Aku bermimpi ingin menjadi burung seutuhnya. Terbang dari sangkar yang menjebakku selama bertahun–tahun ternyata tidaklah mudah. 

Aku mewujudkan mimpiku pertama kali saat kelas dua SMP. Siang hari di tengah teriknya hari weekend, aku memanjat pohon di belakang rumah lalu membuat ayunan menggunakan selimut tipis tak terpakai. Saat aku mengikatnya ke dahan pohon terkuat, aku mulai mengayunkan tubuhku setelah menendang pijakan kursi sekuat tenaga sampai kakiku berhasil mengudara. Tidak sampai sepuluh detik aku bertahan, dahannya patah hingga punggungku mencium tanah keras.

Kedua kalinya saat kelas tiga SMP, aku bertengger di pinggir rel untuk menanti kedatangan kereta di tengah teriknya siang itu. Rencanaku untuk terbang tepat kereta lewat berakhir menyelamatkan seorang anak kecil yang bermain di rel bersama teman–temannya tanpa pengawasan orang tua. 

Rencana yang ketiga, tepatnya dua minggu lalu. Aku kembali bertengger di pohon favoritku kala senja berwarna jingga keunguan. Aku mengumpulkan ranting–ranting pohon runcing untuk mengukir kedua tanganku menjadi sayap. Sebelum melakukannya, kegiatanku diganggu oleh perkelahian kucing yang melompat ke arahku sehingga tak disangka aku jatuh dari pohon kedua kalinya. Dua tanganku terkena cakaran harus diperban, pipiku pun mengalami memar dan tergores. serta tangan kiriku harus memakai arm sling selama sebulan penuh.

Apa aku terlihat akan menyerah setelah tiga kali gagal mewujudkan mimpiku? Tentu tidak. Aku tetap berniat mewujudkan mimpiku menjadi seekor burung yang bebas dan terbang tinggi melewati molekul–molekul udara berwarna biru. Aku ingin menggapai gumpalan–gumpalan kapas melayang itu dalam pelukanku. Ingin berkumpul dengan kawan–kawanku bernyanyi menyambut musim–musim yang akan kami lewati.

Aku berniat mewujudkan mimpiku sekarang. Terbang dari roof top sekolah yang jarang dikunjungi siapa pun. Markas terbaik untuk melihat megahnya langit bercahaya terik tanpa memikirkan kicauan burung–burung yang tak pernah berhenti berteriak di telingaku. Ini kesempatan bagus untuk terbang tanpa diganggu manusia lain. Saksi perwujudan mimpiku adalah matahari di atas kepalaku. 

Mula–mula aku menarik napas panjang lalu membuangnya pelan. Bersiap untuk mengepak sayap dari pinggir rooftop. Aku memejamkan mata. Angin pun menerpa wajahku lembut seakan mendukung mewujudkan mimpiku hari ini. Aku kembali menarik dan mengembuskan napas lagi. Kakiku siap untuk melompat. Sekarang, aku siap untuk—

“Lagi berjemur ya?

Suara tenor anak cowok menghentikan aksiku. Mataku yang terpejam sontak terbuka. Sepasang cakar milikku yang berkaos kaki ini berhenti mencengkram pinggiran rooftop tak berpagar. Jika tak salah ingat, suara ini adalah milik ketua kelasku. Lantas, aku memutar tubuh ke belakang memastikan anak yang kupikir adalah cowok itu.

Benar saja, ternyata Joy. Seperti namanya, anak riang gembira pembawa kebahagiaan. Ketua kelas yang dapat diandalkan anak–anak tak terkecuali wali kelas sejak kelas sepuluh. Kami akan sekelas sampai kelas dua belas. Dia juga cukup pintar di bidang olahraga, karena itu dia tinggi semampai. Baju olahraganya sangat pas di tubuhnya seperti atlet profesional. 

Akan tetapi, baru kali ini Joy menghampiriku di luar kelas. Tidak biasanya anak itu berbicara padaku selama aku selalu menjadi burung yang terpojok diri di sudut kelas. Aku pun tidak pernah menyapanya karena banyak sampah yang harus disingkirkan dari kepalaku. 

"Ada urusan apa kamu ke sini," balasku demikian kala tenggorokanku yang kering. Ah, aku lupa minum saking asyiknya menghayal untuk terbang.

 "Menjadi urusanku jika ada anak yang kabur dari pelajaran olahraga." Joy yang berdiri di tengah rooftop menggelindingkan sebotol mineral yang tersegel kepadaku. Berhenti tepat di ujung jari jemari berkaos kaki yang kotor. "Ini buat kamu. Nanti aku bantu carikan botol minumanmu yang hilang ya."

Aku memandang botol mineral berlogo gunung biru tanpa minat. Aku yakin Joy akan meminta imbalan. "Tak perlu, botol itu sudah aku buang karena bocor," kilahku agar dia tak perlu ikut campur urusanku, "lebih baik kamu kembali saja bermain. Aku tidak bisa ikut kelas olahraga karena kondisiku yang sekarang, apa matamu tidak berfungsi?"

Ah, aku sedikit kasar ya. Aku tidak peduli, sih. Jelas-jelas aku sudah izin karena kondisi menguntungkan ini. Lebih menguntungkan jika dia tidak datang ke sini dan mengganggu rencanaku. 

Joy tersenyum ramah seperti biasanya aku lihat dari jauh. "Aku nggak lupa kok. Makanya itu, aku menyusulmu karena pelajaran sudah selesai. Aku berniat ingin memberitahumu tentang pengambilan nilai olahraga dan katanya khusus kamu bisa menyusul."

"Menyusulku?" Ada yang aneh dengan kalimatnya. "Kamu tahu dari mana aku di sini?" Aku langsung waspada mengingat tidak ada seorangpun yang mengetahui kegiatan favoritku untuk berkhayal atau melepaskan penatku di roof top sekolah.

Anak itu tiba-tiba selangkah lebih maju dari posisinya sementara aku langsung mundur karena tidak ingin disentuh olehnya. Terlalu banyak tangan manusia yang sering menyentuhku untuk mencabut sayap-sayap di tubuhku hingga aku merasa takut kepada mereka tak terkecuali si ketua kelas yang sedang berhadapan denganku. 

"Tenang, Kelly. Aku tahu kamu berada di sini karena beberapa kali melihatmu naik ke rooftop.” Joy mendadak mengangkat kedua tangan seakan–akan waspada pada burung lemah ini.

“Kamu berniat mengadukan ke guru agar aku mendapatkan poin minus? Lakukan aja. Sudah sepantasnya ketua kelas melakukan tugasnya agar mendapat poin tambahan.”

Aku menendang botol mineral pemberiannya kembali. Tidak membutuhkan belas kasihan karena kehausan. Mungkin ia juga memberikannya karena melihat bibirku kering pecah–pecah sedikit mengelupas. Aku kembali ke posisi awal menatap lapangan sekolah yang cukup luas di pandang. Langit biru masih menantikan keberadaanku. Memejamkan mata kembali dan merasakan angin menerpa wajahku. Kaki siap melangkah ke depan.

“Oh, kamu lagi cari inspirasi untuk tugas Bahasa Indonesia?”

Lagi, aku membuka mataku. Aku kembali memutar tubuhku menghadapnya untuk kedua kali. 

“Itu loh, tugas membuat puisi. Temanya impian dan harapan hidup. Minggu depan harus dikumpulkan untuk nilai ulangan. Kamu … punya impian apa, Kelly?”

Mengganggu saja. Aku membuang napas menyadari rencanaku gagal karena teringat sebuah tugas tak berguna itu. Padahal, aku sudah sengaja pura–pura melupakan tugas mata pelajaran menyebalkan itu.

“Burung,” jawabku sekenanya. Aku melihat dua burung melintasi langit biru di atas kepalaku. “Aku mau jadi burung.”

“Kenapa kamu mau jadi burung?”

“Aku ingin terbang bebas. Tak peduli sayapku sedang rusak, aku ingin terbang setinggi langit menuju galaksi, tanpa ada yang menghalangiku.”

“Aku juga punya impian bisa terbang kayak Kelly.”

Jantungku mendadak berdegup kencang. Aku kembali menatap Joy yang masih berdiri di tempatnya. Bibirnya tersenyum lebar bagai orang bodoh. Tunggu, bukan waktunya aku terkesima. Aku harus tenang. Joy pasti hanya berbasa–basi.

“Ke-kenapa kamu pengin terbang? Kamu juga mau jadi burung?”

“Iya, aku mau bisa terbang jadi burung meski rasanya mustahil. Aku juga ingin terbang bebas sepertimu. Bundaku pernah memberitahuku, ada langit yang tak bisa ditembus oleh burung atau gunung setinggi apapun. Kamu tau nggak namanya apa?”

Aku benci teka–teki. Membuat isi kepalaku sumpek. Aku bukan anak yang bersabar dengan basa–basi anak SKSD ini. Aku langsung berkata, “Enggak tau. Emangnya apa?”

Joy mengangguk yakin. “Namanya harapan.”

Entah kenapa aku ingin tertawa. Aku sampai menutup mulut agar tawaku teredam. Benar–benar sesuai namanya, dia membuatku senang dengan leluconnya.

 “Harapan? Harapan ‘kan angan–angan doang. Bukan langit ketujuh tapi kamu bilang … harapan? Kalau kamu menyebut ada galaksi aku baru percaya. Apa nggak sekalian aja, kamu anggap langit biru setinggi harapan kosong—”

“Aku serius,” balasnya langsung. Wajah cowok itu terlihat serius dan tidak tersenyum lagi. Aku berhenti berbicara dan menatap lekat perubahan air muka Joy yang tak biasa. “Harapan itu benar–benar ada. Setinggi apapun harapan manusia, atau mimpiku yang berharap bisa terbang tinggi dan orang bilang itu mustahil digapai, aku percaya kita dapat menembus harapan itu.”

“Kita? Aku dan kamu?” Aku tidak mengerti mengapa Joy menyebut kita. Jujur saja level kejengkelanku semakin naik. “Kamu aneh. Siapa yang bilang mau menggapai impian dan harapan bersamamu? Enggak usah sok akrab denganku. Aku tahu kamu selalu dikelilingi banyak orang. Kamu selalu berkicau ria di mana-mana, sementara aku harus menutup mulut agar ketenanganku nggak diusik. Diam pun, bulu-bulu sayapku selalu dicabut dan terluka. Sarangku pasti selalu dipenuhi sampah-sampah kalian. Saat aku mengalami itu semua kamu selalu diam ditempat!” 

Emosiku meledak duluan. Kepalaku mulai mendidih karena perasaan berapi–api. Sudah rencanaku gagal. Seorang anak cowok mendadak banyol di hadapanku. Berkata demikian sok akrab. Aku benci orang seperti Joy. Kuku–kuku jariku ikut bersembunyi di telapak tangan saking kesalnya. 

“Kamu pikir ucapanku bermimpi untuk terbang cuman candaan? Aku benar–benar bermimpi untuk terbang. Terbang untuk pergi jauh dari sini. Terbang setinggi–tingginya agar aku bisa merasakan kebebasan yang sudah lama hilang dari diriku. Semakin aku bangkit dan berharap sayap milikku berdiri tegap, aku kembali jatuh karena kalian yang selalu mematahkan harapanku hidup. Aku sudah terbiasa jatuh dan bangun lagi demi bebas dari tempat ini. Inilah alasanku bermimpi untuk terbang, bukan terbang menuju harapan yang kamu karang, Joy!” 

Kini aku tertunduk malu. Beberapa kalia angin berembus di antara kami sebagai pembatas ruang emosiku yang telah meluap. Seluruh alasan yang aku miliki untuk terbang akhirnya keluar demi menanggapi omong kosong Joy. Sampai di titik ini, aku semakin yakin bahwa wujudku seharusnya burung kenari milik orang tuaku itu. Bukan berwujud manusia. 

“Aku senang kamu jujur padaku.” Joy kembali bersuara lebih lembut. Aku belum berani menatap wajahnya yang entah seperti apa ekspresinya. “Aku nggak akan mengelak semua ucapanmu. Aku lebih takut jika kamu benar–benar berupaya terbang dan berniat jatuh, karena menyimpan luka–luka itu sendirian.”

Hatiku tergerak menatap Joy. Dia sama sekali tidak bergerak di tempatnya, tetapi dia terlihat begitu sedih memandangku. Aku lihat, tangannya terkepal kuat memegang botol mineral yang ku tolak sebelumnya.

“Aku tahu, aku bersalah karena nggak bisa melakukan apa–apa untukmu sejak awal. Aku … aku nggak tau harus bersikap seperti apa untuk membantu memulihkan lukamu. Namun, aku lebih takut jika harapanku untuk menolongmu hanya menjadi angan–angan tinggi. Aku ingin membantumu melebarkan sayapmu lebih lebar. Bukan. Lebih lebar dari apa yang kamu pikirkan!”

Joy merentangkan tangannya selebar mungkin. Pikirku dia bisa saja terbang tertiup angin yang menerpanya cukup kencang hingga kibaran bendera di lapangan terdengar sampai sini. 

“Nama kamu lebih cantik dari apa yang kamu bayangkan.Suara kamu bahkan lebih indah dari nyanyian–nyanyian burung. Kamu punya kesempatan untuk terbang setinggi langit dengan sayap yang lebih kokoh dari burung elang. Kamu ingin ke galaksi? Kamu ingin terbang melihat New York city? Kamu pasti bisa melakukannya dengan wujudmu sebagai Kenari Lylian! Bukan burung kecil yang diremehkan orang–orang itu.”

Lagi. Aku bergeming menatap Joy. Dia baru mengambil napas sebanyak–banyak setelah mengucapkan kalimat menggebu–gebu itu. 

“Kamu … aneh.” Hanya itu yang bisa aku katakan padanya. Baru kali ini aku melihat ada anak yang memujiku berlebihan hingga bulu kuduk merinding bagai di naiki semut–semut kecil. 

“Kamu tau? Cuman kamu yang mengatakan aneh kepadaku secara langsung,” katanya sebelum tersenyum lebar lagi. “Aku memang aneh. Freak. Banyak anak–anak lain yang mengatakan hal serupa diam–diam di belakangku meskipun mereka senang berbicara denganku. Aku juga benci dengan namaku yang aneh, tapi akan lebih aneh jika aku nggak bisa berbahagia dengan melakukan apa yang aku bisa. Sebab aku aneh, orang aneh ini ingin membantumu mengepakkan sayap untuk terbang menuju kebebasan, sebagai sosokmu yang sekarang.”

Tiba–tiba saja dia mengulurkan tangannya yang kosong percaya diri. “Maukah kamu terbang bersamaku?” 

Cringe. Perutku tergelitik dengan aksi heroik a'la karakter pahlawan film. Tanganku berusaha menutup mulut, tapi tidak bisa. Aku benar–benar tertawa melihat manusia aneh ini sok keren sekali. 

“K–kenapa kamu tertawa? A–aku benar–benar mengatakannya secara serius, loh!” Joy mendadak menurunkan tangannya. Aku suaranya kikuk. Pasti dia malu dengan tingkahnya yang menggelikan terpancar dari ucapannya. “A–aku ingin membantumu. Apakah kamu nggak mau menunjukkan sosokmu yang bisa terbang bebas sebagai Kenari Lylian pada orang–orang itu?”

Aku menarik napas setelah puas tertawa. Aku menyeka air mataku yang keluar akibat kelucuan tingkah Ketua Kelas ini. Ya Tuhan, pertama kalinya aku bisa tertawa lepas selain menertawakan rencana terbangku yang selalu gagal. 

Kemudian aku menghentikan tawaku. Menyadari jika aku tak memiliki sesuatu yang membanggakan. Sayapku sejak awal sudah terluka berulang kali. “Aku nggak memiliki hal yang dibanggakan. Sayapku patah. Kakiku belum pasti akan berdiri kokoh karena berkali–kali jatuh.”

“Aku akan membantumu pulih. Bukan masalah jika nggak ada prestasi yang bisa kamu banggakan. Kamu berhak terbang bebas dengan sayapmu menggapai impianmu sebagai Kenari Lylian. Buktikan jika kamu bukan sekadar burung biasa.”

“Gimana caranya?” 

Joy langsung maju mendekatiku hingga jarak kami berbeda sepuluh senti lalu mengulurkan tangannya untuk menaruh botol mineral ke tanganku dengan lembut.

“Kita wujudkan mulai hari ini dengan mengakui nama aneh yang kita punya. Apa kamu mau melakukannya bersamaku?” 

Senyuman bodoh Joy terasa lebih tulus dibandingkan tawanya yang selalu aku lihat dari jauh ketika berkumpul dengan manusia–manusia yang mengelilinginya. Ini pertama kalinya dalam hidupku seseorang menawarkan harapan sebagai diriku sendiri. Aku semakin yakin dengan mimpiku seperti tanganku yang menggenggam erat botol mineral pemberian Joy.  

 Namaku Kenari Lylian. Aku menemukan impian baruku di bawah langit biru nan terik untuk terbang bebas sebagai manusia. Bukan sebagai burung kecil tak berdaya. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Impian Sang Burung
Celica Yuzi
Cerpen
Bronze
Kanak Rinjani
ahmad yusro ahmad yusro
Cerpen
Bronze
Matahari Senja di Tepi Danau
Lely Saidah Al Aslamiyah
Cerpen
Bronze
Keresahan Robin Setiap Pagi
Reynal Prasetya
Cerpen
Hampa
Arkina Melantri
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Solitary
Ravistara
Cerpen
Bronze
Memecat Bos
Ravistara
Cerpen
Bronze
Memeluk Kaktus
Cicilia Oday
Cerpen
Gubuk Kecil di Kota Kuning
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Mimpi yang Dikubur Hidup-Hidup
Muhaimin El Lawi
Cerpen
Tidak Ada Doa Panjang Umur
Yutanis
Cerpen
Bronze
Mantra Untuk Yunan
N. HIDAYAH
Cerpen
Esensi Asasi Afeksi
Rairaa
Cerpen
Kepala Batu
Lusiana
Rekomendasi
Cerpen
Impian Sang Burung
Celica Yuzi
Flash
Kisah Hades dan Athena
Celica Yuzi
Novel
AGATHO: What Have You Done
Celica Yuzi
Flash
Sayang, Mari Kita Berpisah
Celica Yuzi
Novel
Cawan Kosong: Bloodline
Celica Yuzi
Cerpen
Bird (Burung)
Celica Yuzi
Novel
MAPS (Menanti atau Pergi Selamanya)
Celica Yuzi