Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Memasuki pertengahan Desember, Sabtu sore. Jakarta basah lagi. Seperti biasa, tanpa peduli hujan, badai Ray datang lebih awal ke kafe kecil di pojok Jalan Kaliandra, tempat yang sama yang selalu ia kunjungi tanpa jeda hampir setiap akhir pekan. Bukan karena alasan kopinya luar biasa enak, sebagai pecinta kopi ia tahu hanya dari harum wangi kopi, tapi tempat itu menyisakan kenangan yang membuatnya susah lupa.
Ia memilih meja yang sama, di sudut dekat jendela besar dengan kaca lima mili yang dialiri percikan air. Dari sana, ia bisa melihat jalanan basah, orang-orang tergesa, dan mobil yang lewat sambil menyemprotkan genangan air ke trotoar. Dengan makian teriakan para pejalan kaki yang kedinginan dan kuyup. Di depannya, secangkir kopi hitam, tanpa gula. Panasnya mengepul, tapi Ray tahu, nanti juga dingin.
Barista tak perlu bertanya lagi. Sudah tiga tahun, pesanan Ray tidak pernah berubah. Dan begitu pula kebiasaan duduknya, sendirian, membuka buku tapi jarang dibaca, memainkan sendok kecil, dan menatap keluar. Sesekali nanar nyaris melamun.
Sore itu seharusnya seperti sore lainnya. Sampai pintu kafe bergemerincing pelan. Ray menoleh hanya sebentar, tapi cukup lama untuk membuat detak jantungnya berpacu seperti alarm.
Lira berdiri di depan pintu. Jaket hujan kuningnya basah, rambutnya lembap, dan wajahnya, masih sama. Sama seperti terakhir kali Ray melihatnya tiga tahun lalu, di terminal, dengan mata berkaca-kaca dan kata-kata yang tak selesai. Rasanya seperti ulangan dejavu, tapi ini nyata.
“Ray?”
Suara itu menembus ruang yang selama ini kosong.
Ray tidak berdiri. Tidak bicara. Ia hanya menatap, lama, seperti sedang memastikan bahwa ini bukan bagian dari kelelahan pikirannya sendiri.
Lira berjalan pelan ke arahnya. “Kamu masih suka duduk di sini, ya.”
“Kamu masih suka datang tanpa aba-aba,” jawab Ray. Datarnya ia sengaja.
Mereka duduk berhadapan. Seperti dulu. Tapi kali ini, jeda antara mereka seperti dipenuhi kabut.
Sekali lagi Lira menatap mata Ray, lalu menunduk.
“Aku... minta maaf.” Lira membuka pembicaraan. Tangannya menggenggam cangkir hangat yang baru saja dihidangkan. “Tiga tahun bukan waktu yang sebentar.”
“Bukan,” sahut Ray. “Apalagi untuk yang ditinggal tanpa penjelasan.”
Lira menunduk. “Aku pergi karena ayahku kena stroke. Mamaku panik. Semua serba mendadak. Aku bahkan lupa bawa charger malam itu.”
“Dan kamu lupa bawa aku juga?” Ray berkata lirih, tapi tajam.
Lira mengangkat wajahnya. “Aku takut Ray. Takut bilang aku harus pergi. Takut kamu ikut. Takut kamu berhenti nulis. Takut kamu berubah.”
Ray tertawa, getir. “Lucu. Kamu takut aku berubah, tapi kamu sendiri yang pergi.”
***
Tiga Tahun Lalu
Mereka berdiri di antara deru bus malam. Lira memegang tiket, koper kecil di sebelahnya. Ray berdiri diam, wajahnya bingung.
“Kamu serius pergi sekarang?”
Lira mengangguk cepat. “Papa di rumah sakit, Ray. Mama nggak kuat sendiri.”
Ray menggenggam tangannya. “Aku ikut.”
“Jangan,” Lira menjauhkan tangannya. “Kamu punya pameran minggu depan. Dan, aku nggak tahu kapan bisa balik.”
“Jadi ini pamit?”
Lira menggeleng. Tapi air matanya berkata iya.
“Aku cuma pergi sebentar,” ucapnya. Tapi dia tahu itu bohong. Dan Ray tahu juga.
Dia naik ke bus. Tak menoleh lagi. Ray berdiri sampai bus itu lenyap di tikungan.
***
“Aku nulis banyak hal selama tiga tahun,” kata Lira sambil mengeluarkan buku lusuh dari tasnya. Puisi-puisi pendek, memo, surat-surat yang tak pernah dikirim.
Ray membacanya diam-diam. Di antara halaman-halaman yang berantakan, namanya muncul seperti gema.
“Aku nyalahin kamu,” bisik Lira. “Karena kamu nggak pernah nyusul. Nggak pernah tanya aku di mana.”
Ray menutup bukunya. “Aku nulis juga. Di dinding kamar. Di tisu. Di belakang struk parkir. Tapi bukan untuk kamu. Untuk diriku sendiri. Biar aku nggak lupa... gimana rasanya nunggu seseorang yang mungkin nggak balik.”
Mereka kembali diam. Tapi kali ini heningnya tak seberat dulu.
“Aku pengen mulai lagi,” kata Lira. “Kalau kamu masih mau.”
Ray tak langsung menjawab. Ia menatap cangkir kopinya. Uapnya sudah tidak ada. Kopinya dingin. Tapi masih pahit. Masih jujur.
“Kopi ini masih bisa diminum meski sudah dingin,” katanya. “Tapi rasanya beda.”
Lira mengangguk pelan.
“Kalau kita mau mulai lagi, bukan dari awal. Tapi dari sini. Dari kita yang sekarang?”
Lira tersenyum. “Aku nggak nyari yang dulu. Aku nyari kamu. Yang meskipun marah, masih duduk di kafe ini. Yang meskipun kecewa, tetap pesan kopi tanpa gula.”
Ray menghela napas. Lalu tersenyum kecil. “Besok. Jam empat. Di taman dekat halte. Kalau kamu datang, kita jalan bareng ke mana pun. Kalau nggak... aku ngerti.”
Lira berdiri. “Sampai besok, Ray.”
***
Keesokan harinya, 16.05.
Ray duduk di bangku taman. Sinar matahari sore menerobos di antara pepohonan. Tangannya dingin. Di sebelahnya, dua kopi panas dalam cup karton. Satu tanpa gula.
Ia melirik jam. 16.10.
16.12.
16.18.
Seseorang duduk di sampingnya. “Macet,” kata Lira. “Dan aku nyasar tadi.”
Ray menyerahkan cup kopi padanya. Lira tertawa pelan.
“Kamu tahu? Aku nyasar ke arah yang sama sekali salah. Tapi entah kenapa, aku malah nemu jalan yang bikin aku lebih cepat sampai ke sini.”
Ray memandangnya, lama. “Mungkin itu yang disebut takdir.”
Di antara dua kopi panas dan taman yang sunyi, dua hati yang pernah ditinggalkan, akhirnya menemukan jalan pulang.
***
--Ketika cinta yang disangka diam ternyata menyimpan kerinduan yang membuat mereka berdua gila--
Dalam hidup sering kali sesuatu yang kita anggap mati belum tentu benar-benar hilang. Bisa jadi karena ia terbenam jauh di dalam ingatan, dan dalam hati yang dalam, kita merindukannya.
Bisa jadi ia akan melewati hati yang lain, kandas. Menemukan tambatan lainnya, lalu kandas lagi. Hingga akhirnya menemukan labuhan lain yang dianggap bisa menjadi sandaran terakhirnya. Atau kembali ke dalam hati yang sama.
Meskipun kita berusaha menolaknya, tapi karena rasa itu merasa masih memiliki harapan, maka cinta itu sebisanya berusaha tetap bertahan.
Dalam cerita manis dan pahit cinta, cara hati menemukan jalan sering kali tak bisa kita duga. Ketika kita menduga hati kita telah kehilangan, ia tiba-tiba datang seperti tak pernah pergi. Bahkan ketika kita mengira ia telah pupus dan mati, tiba-tiba hadir lagi, dan luka hati itu menyatu sendiri.
Menunggu, menjadi satu-satunya harapan jika masih bisa. Dan jika tidak, biarlah waktu yang menghilangkannya, membiarkan kita lupa tanpa perlu merasakan kehilangan itu sebagai luka.
***
If You Forget Me—by Pablo Neruda
But
if each day,
each hour,
you feel that you are destined for me
with implacable sweetness,
if each day a flower
climbs up to your lips to seek me,
ah my love, ah my own,
in me all that fire is repeated,
in me nothing is extinguished or forgotten,
my love feeds on your love, beloved,
and as long as you live it will be in your arms
without leaving mine.
***
Tetapi
jika tiap hari,
tiap jam,
kamu merasa bahwa kamu ditakdirkan untukku
dengan manis yang tak bisa ditolak,
jika setiap hari ada bunga
yang mendaki ke bibirmu untuk mencariku,
ah cintaku, oh milikku,
dalam diriku api itu akan terulang,
dalam diriku tak ada yang padam atau dilupakan,
cintaku hidup dari cintamu, kekasih,
dan selama kamu hidup, ia akan tetap di pelukanmu
tanpa pernah lepas dari milikku.