Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tanganku mulai gemetar saat kusentuh lagi kanvas ini, setiap warna seolah menyimpan pecahan jiwaku yang retak, mencoba merangkai kembali dunia yang telah lama hilang. Aku duduk bersama kenangan dan mimpi-mimpi kecilku. Kanvas putih ini satu-satunya tempat dimana aku bisa berteriak tanpa suara.
"Lukisan bukan sekadar gambar. Lukisan adalah jendela jiwa kita," begitu kata Ibu, mengulang nasihat Ayah yang kini hanya hidup dalam ingatan.
Malam itu, kubuka kembali kotak tua yang kusimpan di bawah tempat tidur. Isinya potongan-potongan koran tentang pameran lukisan, dengan nama “Pratama” tercetak tebal. Nama Ayah. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, tapi kini terasa asing di lidahku.
Aku baru tujuh belas tahun, tapi beban di pundakku seolah sudah menua. Tas plastik lusuh yang kubawa ke sekolah menjadi bahan ejekan, isinya hanya sebungkus nasi dan telur dadar tipis.
"Lihat, anak pelukis gagal," bisik mereka saat aku lewat. Kata-kata itu menancap seperti paku di hati. Di malam hari, bisikan-bisikan itu masih bergema dalam mimpiku, bercampur dengan pertanyaan yang tak pernah berani kuajukan pada Ibu.
Mengapa Ayah meninggalkan kita? Apakah aku tak cukup berharga untuk ditinggali?
Rumah kami cuma gubuk beratap bocor di pinggir kota, Ketika hujan turun, aku dan ibu menari-nari memindahkan ember penampung air. Kami menyebutnya "tarian ember" — tarian kecil yang menghibur kami di tengah kemiskinan.
"Hidup kita seperti lukisan," ujar Ibu suatu malam ketika listrik padam, ditemani cahaya lilin redup. Dari celah pintu, kulihat ia membuka amplop tua berisi sepucuk surat bertulisan tangan dengan rapi. Di dalamnya terselip selembar uang, tak banyak, tapi cukup membuat Ibu menatapnya lama.
Pagi berikutnya, saat sarapan dengan nasi dan garam, aku memberanikan diri bertanya, "Bu, kenapa Ayah pergi?"
Ibu menghentikan suapannya. Matanya yang biasanya cerah mendadak redup.
“Cinta saja tidak cukup ketika mimpi seseorang terlalu besar untuk ruang yang kita miliki,” ujarnya lembut. “Ayahmu memilih lukisannya, karena ia percaya itulah jalan hidupnya."
"Apakah ayah pernah mencintai kita?"
Ibu mengelus rambutku. "Tentu saja. Hanya saja, cinta bukanlah alasan baginya untuk tetap tinggal."
Ayah pergi saat aku baru bisa merangkak. Tapi Ibu tak pernah menjelekkan namanya. “Ayahmu pelukis hebat," katanya selalu. "Dia hanya terlalu mencintai lukisannya hingga lupa mencintai kita."
Suatu hari, saat melewati toko mainan, mataku terpaku pada boneka bermata biru. Kaca etalase itu seakan menjadi pembatas antara mimpi dan kenyataan.
"Ibu," bisikku ragu, "boneka itu... cantik sekali."
Ibu menatapku melihat keinginan murni yang jarang terlihat di mataku. "Lomba menggambar minggu depan," katanya dengan senyum yang menyembunyikan kekhawatiran. "Jika kamu juara pertama, ibu akan belikan boneka itu."
Malam-malam berikutnya kuhabiskan menatap kertas kosong. Aku ingin melukis sesuatu yang indah, sesuatu yang layak menang, tapi goresan tanganku terasa hampa. Seolah bagian dari diriku ikut hilang bersama kepergian Ayah.
"Mengapa begitu sulit?" tanyaku pada kesunyian. "Mengapa aku tak bisa melukis seindah Ayah?"
Aku membenci diriku. Aku juga membenci Ayah yang meninggalkan kami demi sebuah mimpi yang tak pernah ia bagi.
"Aku tidak bisa melukis, Bu…." isakku. "Tidak seperti Ayah."
Ibu duduk di sampingku, membelai rambutku. "Kamu tidak perlu melukis seperti Ayahmu," katanya lembut. "Lukislah seperti dirimu sendiri. Ceritakan apa yang ada di sini," Ia menyentuh dadaku. "Itu akan menjadi lukisan terindah."
Suatu sore, aku pulang lebih awal dan tak sengaja melewati galeri seni kecil. Angin membawa aroma cat minyak yang begitu familiar. Di sana, terpanjang lukisan-lukisan dengan nama yang tak asing: Pratama.
Dengan jantung berdebar, aku masuk. Di sudut ruangan, seorang pria berambut uban sedang melukis. Tangannya bergerak anggun namun gelisah, seolah mencari sesuatu di setiap goresan.
"Permisi," suaraku bergetar, "Apakah Anda...Pratama?"
Ia menoleh perlahan. Tangannya yang memegang kuas terhenti di udara. Matanya — yang selama ini hanya kulihat dalam foto usang — kini menatapku langsung.
"Kamu..." suaranya parau. "Mata itu... mata ibumu."
Sesuatu dalam diriku runtuh saat itu. Aku bukan lagi anak yang ditinggalkan, tapi bukti hidup dari kesalahan yang tak bisa ia hapus.
Tangannya terangkat, ingin menyentuh wajahku. Tapi aku hanya berdiri, membeku.
“Apa itu kamu? Putri kecil Ayah?”
Aku sudah besar, Ayah. Aku bukan anak kecil lagi.
Pandangan Ayah teralihkan ke kanvas kosong di tanganku. “Kamu ingin melukis?”
Aku tak menjawab. Tapi perlahan, kuambil sketsa-sketsaku dari tas. Ia mengamatinya lama, jemarinya menyentuh lembut goresan pensilku.
“Kau melukis seperti... diriku dulu,” bisiknya. “Terlalu ingin sempurna, terlalu takut salah.”
Ia mengambil pensil dan membuat beberapa goresan awal. “Lanjutkan dengan ceritamu sendiri. Jangan takut salah. Kesalahan adalah bagian dari lukisan yang hidup.”
Di rumah, Ibu mulai curiga.
“Siapa yang mengajarimu?” tanyanya suatu malam.
“Aku belajar sendiri, Bu,” kataku—untuk pertama kalinya, aku berbohong padanya.
Ibu hanya tersenyum dan mengelus rambutku. Tapi matanya... tampak redup.
Hari lomba pun tiba. Lukisanku menggambarkan seorang anak perempuan berdiri di antara dua dunia: sisi gelap dan sisi terang. Di antaranya, sebuah jembatan kecil terbentang. Aku menamainya Jembatan Pulang.
Lukisan itu menang. Para juri terdiam oleh kedalaman emosinya—rindu, pengkhianatan, harapan, penerimaan—semua berpadu.
Aku menang. Aku bisa membeli boneka itu. Tapi rasa hampa menyergap. Kemenangan terasa pahit.
Malam itu, aku menangis dan menceritakan segalanya pada Ibu. Tentang Ayah. Tentang bantuan sketsanya.
Ibu diam. Air matanya mengalir, tanpa suara. Kupikir ia akan marah, tapi yang kutemui adalah kepedihan dan pengertian.
“Nak,” ucapnya memelukku, “hidup ini seperti melukis di kanvas yang terus bergerak. Kadang kita butuh goresan orang lain untuk menemukan arah. Tapi pada akhirnya, kamulah yang menentukan warna dominan dalam lukisan hidupmu.”
Keesokan harinya, aku dan Ibu mengunjungi galeri tempat Ayah bekerja. Tak banyak kata. Tapi di sana, tiga jiwa yang luka mulai belajar merajut benang yang lama putus.
“Lukisanmu indah,” kata Ayah. “Jembatan itu... apa yang ingin kau sampaikan?”
Kutatap mereka berdua. “Bahwa kadang, untuk pulang, kita harus membangun jembatan sendiri.”
Ayah tersenyum pahit. Ia mengerti.
Lalu ia mengeluarkan sebuah boneka bermata biru dari bawah mejanya. “Aku melihatmu menatapnya di toko itu,” katanya. “Aku membuatnya sendiri.”
Kutatap boneka itu, lalu Ayah. Banyak yang ingin kukatakan—tentang kesepian, mimpi buruk, perasaan tak cukup berharga. Tapi yang keluar hanya, “Terima kasih... Ayah.”
Malam itu, aku duduk di depan piala kecil yang berkilau. Boneka bermata biru tergeletak di sampingku—impian yang akhirnya terwujud.
Tapi mataku tertuju pada Ibu. Ia sedang menjahit di sudut ruangan, cahaya lilin menyinari wajahnya yang lelah. Jari-jarinya bergerak lembut di atas kain lusuh kami.
Sesekali ia tersenyum melihat piala itu. Tapi aku menangkap sesuatu di matanya—kekosongan yang terlalu lama ia simpan.
Selama ini aku kira akulah yang paling sakit karena ditinggalkan Ayah. Ternyata, Ibulah yang lebih dulu kehilangan cintanya.