Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
0
Suka
18
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sierra menunggu koper dari conveyor belt di Bandara Soekarno-Hatta. Kedatangannya ke Jakarta bukan tanpa agenda tersendiri. Sierra bermaksud ingin mencari ibu kandungnya.

Dari bayi, ia sudah diadopsi oleh sepasang suami istri kewarganegaraan Australia. Setelah masa dinas keluarga tersebut di Jakarta berakhir, Sierra dibawa pulang ke negeri kangguru tempat kedua orangtua angkatnya itu berasal.

Sejak menyadari perbedaan fisik yang ia miliki dibandingkan orangtuanya, Sierra sudah diberitahukan asal-usul dirinya. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Bahwa sang ibu tidak dalam kondisi yang tepat untuk membesarkan seorang anak. Yah, apapun penjelasan dari Mommy Eliza, Sierra tidak terlalu peduli dengan kenyataan tersebut. Sampai saat ini.

Menginjak usia 24 tahun, Sierra sumpah mati penasaran dengan sosok ibu kandungnya. Apakah kulitnya seputih kulit yang dimiliki Sierra? Apakah matanya hitam kelam seperti kerikil? Nah, sekarang adalah saat yang tepat untuk mengetahui jawaban dari semua pertanyaannya itu.

Atau justru tidak, ujar Sierra dalam hati. Taksi yang dikendarainya sudah terparkir di depan Yayasan Damai Kasih. Namun, perempuan berambut hitam panjang itu mendadak ingin berbalik menuju bandara dan terbang ke Australia.

Kembali ke pangkuan sang ibu. Kembali ke pelukan hangat si ayah. Namun, ia sudah di sini. Sayang rasanya jika ia tidak mendapatkan pencerahan atas pertanyaan yang selama ini mengawang-awang di kepalanya. Hanya saja, Sierra tidak yakin kalau usahanya akan berhasil. Walau bagaimanapun, kejadian itu sudah lama berlalu, bukan?

Setelah berkubang dalam pikirannya sendiri, Sierra membuka pintu dan siap menemui ibu kandung yang tak pernah dikenalnya seumur hidupnya itu.

“Saya Sierra, Bu,” kata Sierra memperkenalkan dirinya dengan Bahasa Indonesia yang lancar. Ia memang belajar bahasa ini sejak mengetahui kalau ibu kandungnya berasal dari Indonesia.

“Saya diadopsi dari yayasan ini sekitar 24 tahun yang lalu. Maksud kedatangan saya adalah ingin mencari ibu kandung saya.”

Wajah Ketua Yayasan langsung berubah. “Maaf, Yayasan tidak bisa memberikan data yang Anda minta. Itupun kalau datanya memang ada di yayasan ini,” katanya.

Bukan Sierra pula namanya kalau ia tidak siap dengan yang ia alami saat ini. Ia mengatakan kalau ibu angkatnya telah memberikan izin untuk memberikan data tersebut. Sierra mengeluarkan surat kuasa yang tersimpan di tasnya. Melihat surat tersebut, Ketua Yayasan hanya menggelengkan kepalanya.

“Saya mohon, Bu.”

Ketua Yayasan masih menggeleng.

“Baiklah.” Sierra membereskan surat-surat dan foto yang sebelumnya ia perlihatkan kepada Ketua Yayasan. “Ibu angkat saya menjamin kalau Ketua Yayasan akan senang hati membantu kalau saya menunjukkan surat-surat ini. Tapi, ternyata saya belum beruntung kali ini,” kata Sierra tersenyum.

“Terima kasih sudah mau membantu saya sejauh ini, Bu Alisha.”

Ketua Yayasan terdiam dan tidak mengacuhkan sodoran jabat tangan dari Sierra.

Sierra menarik kembali tangannya dan mengangguk sopan. Mungkin di sini, menolak berjabat tangan tidak dianggap aneh sama sekali. Ingatan Sierra melayang ke sebuah berita yang pernah ia baca tentang seorang menteri yang menolak bersalaman dengan istri seorang presiden. Yaaah, pasti begitu, batinnya.

“Bu Alisha?” itu kata-kata yang keluar dari mulut Ketua Yayasan dengan penuh heran.

Sierra menoleh. “Ya, Anda Bu Alisha, kan? Ketua Yayasan?”

“Saya memang Ketua Yayasan, saat ini. Bu Alisha yang Anda maksud sudah mengundurkan diri dari Yayasan sekitar 10 tahun yang lalu.”

Mendengar itu, hati Sierra berdegup kencang karena masih ada harapan. Ia harus bertemu dengan Ibu Alisha. Langsung saja Sierra meminta alamat Bu Alisha dan berharap semoga mantan Ketua Yayasan Damai Kasih itu bisa membantunya.

***

Ternyata, pikirannya salah. Saat keesokan harinya Sierra mendatangi Bu Alisha, perempuan yang sudah berusia hampir 70 tahun itu, tidak bisa diajak ngobrol serius. Setiap Sierra ingin mengingatkannya akan kejadian 24 tahun lalu, Bu Alisha malah menatap wajahnya dan bilang kalau ia mirip sahabatnya dulu. Atau, mungkinkah sahabat Bu Alisha memang ibu kandungnya?

Asisten Bu Alisha menginterupsi Sierra. Nama sosok yang menemani mantan Ketua Yayasan itu adalah Mbak Leili.

“Maaf ya, Mbak. Namanya orang sudah berumur, jadi susah diajak ngobrol. Tapi, dulunya Bu Alisha nggak seperti ini, kok, Mbak. Ibu menyenangkan banget dan bijaksana. Saya sudah lebih 20 tahun ikut Ibu, jadi sangat mengerti karakternya.”

Dua puluh tahun. Saat ini, Sierra berumur 24 tahun. Secara matematis, pikiran Sierra asyik sendiri menghitung segala kemungkinan. “Mbak Leili kenal sama yang dibilang sahabat oleh Bu Alisha?”

“Namanya Sari. Karena sahabatnya inilah, Bu Alisha mendirikan Yayasan Damai Kasih, Mbak. Sari hamil di luar nikah dan laki-lakinya tidak mau tanggung jawab. Karena nggak mau ketahuan sama warga kampung, Sari aborsi dan akhirnya meninggal.”

Baiklah, satu opsi sudah tercoret. “Mbak Leili masih ingat peristiwa di Yayasan sekitar 24 tahun lalu? Ada kejadian luar biasa saat itu, Mbak?”

“Wah, saya masih 10 tahun waktu itu, Mbak. Saya belum bareng Ibu.”

Kemungkinan yang tersisa pun sudah tercoret. Apa ini artinya ia harus menyerah? tanya Sierra dalam hati. Saat Sierra membereskan tasnya dan siap-siap pamit, bel pintu depan rumah Bu Alisha berbunyi.

“Sebentar ya, Mbak. Saya tinggal dulu!”

Sierra mengangguk dan melihat-lihat interior ruang tamu. Perhatiannya tertuju kepada kumpulan foto yang terletak di atas meja. Banyak foto-foto Bu Alisha bersama orang lain. Tunggu, teman-teman Bu Alisha ternyata berasal dari berbagai usia. Bahkan, ada yang masih remaja dan sedang mengandung. Mungkinkah mereka adalah orang-orang yang dibantu Yayasan Damai Kasih?

Masuk akal, teman-teman Bu Alisha di semua foto adalah perempuan. Tunggu, tidak semuanya. Di foto ini, Bu Alisha berfoto bersama seorang laki-laki, kata Sierra saat melihat foto itu lekat-lekat.

“Maaf, Mbak. Tadi harus ketemu sama tamu Ibu dulu. Biasalah, Mbak. Orang-orang yang dulu pernah ditolong Ibu yang selalu datang menjenguk.”

Sierra melihat secercah harapan dari kalimat Mbak Leili, ia mengeluarkan foto dari dalam tasnya. “Mbak Leili pernah melihatnya datang ke sini? Cewek remaja yang di tengah?”

Keluarga Australianya pernah berfoto dengan ibu kandung Sierra dan satu-satunya foto itu sekarang yang sedang dilihat-lihat oleh Mbak Leili.

“Fotonya agak buram, Mbak. Jadi, saya nggak pasti. Sepertinya ini Mbak Rika… tapi mirip juga dengan Tante Sonya. Eh, apa Teteh Linda, ya?”

“Boleh minta tolong dibikin list-nya aja, Mbak Leili. Siapapun yang terpikir oleh Mbak saat melihat foto itu.”

Mbak Leili segera memenuhi permintaan Sierra. Tapi, ketika daftarnya hampir selesai, ia ragu-ragu untuk menuliskan nama terakhir.

“Kenapa, Mbak?”

“Mata perempuan yang di foto itu sama banget dengan orang ini, Mbak. Tapi… kayaknya nggak mungkin, ah. Soalnya, yang pernah datang mengunjungi Ibu itu laki-laki.”

“Tulis saja, Mbak Leili. Siapa tahu dia salah satu keluarganya.”

Selembar kertas bertuliskan orang-orang yang kemungkinan besar adalah ibunya sudah ada di tangan Sierra. Beberapa dari mereka ada yang meninggalkan alamat dan nomer telepon yang untungnya dicatat pula oleh Mbak Leili.

***

Ternyata tidak segampang yang ia duga. Menelusuri satu-satu orang-orang yang ada di daftar Mbak Leili memakan waktu, tenaga, dan perasaan.

Waktu ia bertemu Mbak Rika, perempuan itu menghardik dan memintanya jangan mengingat-ingat kesalahan yang pernah dilakukannya dulu. Ketika ia menelepon Teteh Linda, wanita itu jadi sedih karena anaknya sudah meninggal dunia dan wanita itu masih menyalahkan diri sendiri akibat kelalaiannya tersebut.

Belum lagi saat ia mendatangi rumah Ibu Jelita, Siska, dan Arini yang mengirim seekor anjing untuk mengusir Sierra alih-alih membolehkannya bertemu.

Sekarang, Sierra sudah ada di depan pintu rumah Bagas. Laki-laki yang menurut Mbak Leili sering mengunjungi Bu Alisha dan punya mata yang sama dengan yang di foto Sierra.

Semoga Bagas punya informasi apapun tentang ibu kandungnya. Kalau gagal juga, mungkin sudah saatnya Sierra menghentikan pencarian dan pulang ke Australia.

Ia pun membunyikan bel.

“Mas Bagas? Saya Sierra dan diadopsi sekitar 24 tahun dari Yayasan Damai Kasih. saya ingin mencari tahu tentang ibu kandung saya. Apakah mungkin beliau adalah kakak atau adik perempuan Anda?”

Mata Bagas menatapnya lekat-lekat.

Sierra ciut sejenak. Namun, ia mengingat-ingat lagi alasan terbesarnya menyambangi negara tropis ini. Sudah terlambat untuk menyerah. Ini adalah usahanya yang terakhir. Jika tidak ada hasil, ia dapat pulang ke Australia dengan hati yang lebih ringan. Ia mengepalkan tangan demi mengumpulkan kekuatan dan melanjutkan, “Jadi, kalau boleh minta tolong, bisakah Anda melihat foto ini dan kalau-kalau ada informasi yang bisa Anda berikan?”

Sebuah foto ia sodorkan ke arah pria itu. Sierra melihat reaksi kaget dari pria itu. Walaupun ia berusaha menyembunyikannya, Sierra yakin laki-laki itu tahu sesuatu tentang ibu kandungnya.

“Anda kenal dengan ibu saya?”

Bagas menggeleng. “Maaf, nggak bisa bantu kamu,” katanya penuh kelembutan.

“Tolonglah! Saya nggak bermaksud mengacaukan kehidupannya. Saya hanya ingin mengenalnya. Saya tidak akan mempertanyakan keputusan yang ia lakukan 24 tahun yang lalu. Saya hanya ingin bertemu.”

“Maaf, tapi saya tidak tahu apa-apa.”

“Anda bohong. Saya tahu Anda mengenali foto itu.”

“Saya memang tidak tahu,” jawab Bagas tegas.

Sierra tidak akan menyerah. Tidak setelah akhirnya ia mendapat secuil petunjuk ini. Ia mengubah taktik. Tidak lagi mendesak, tetapi ingin bercerita tentang hidupnya saja. Setidaknya, meskipun Bagas tetap menolaknya, laki-laki itu mungkin bisa menyampaikan isi hatinya tersebut kepada sosok remaja yang jelas-jelas dikenali oleh sosok di hadapannya itu.

“Kamu tahu, saya diadopsi oleh keluarga Australia. Di sekolah, saya sering diejek karena fisik yang berbeda dari Mommy dan Daddy. Saya benci melihat cermin karena selalu membuatku bertanya-tanya, siapa aku? Mungkin menurut Anda ini masalah sepele, kadang-kadang saya juga berpikir hal yang sama. Saya ingin berwajah serupa dengan orang tua saya. Tapi, tentu saja itu tidak bisa. Saya bingung, saya harus hidup sebagai siapa?”

Berkubang kembali ke memori masa lalu itu membuat dadanya sesak. Namun, Sierra harus bertahan. Ia berdeham sebelum melanjutkan, “Nggak terhitung berapa kali saya ingin melupakan tentang ini dan melanjutkan hidup saja, seadanya. Tapi, saya sudah di sini. Dan, saat Anda mengenali foto itu, saya yakin Anda tahu sesuatu. Saya nggak akan menyerah, sebelum pertanyaan dan rasa penasaran itu terjawab.”

“Hati-hati, banyak tanya banyak sesatnya,” ujar laki-laki itu mengutip sebuah peribahasa yang Sierra tidak yakin tahu apa artinya.

“Jadi, yakinkan dulu apa kamu memang ingin mengetahui jawaban rasa penasaranmu itu.”

Lanjutan kalimat itu membuat wanita itu lebih paham. Curiosity killed the cat, pikirnya dalam hati. Sierra menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Saya siap! Jadi, tolonglah saya,” pintanya lirih.

Laki-laki itu tidak menjawab apapun. Ia berlalu ke dalam kamarnya dan keluar membawa sebuah album foto. Ia menyerahkan album itu ke tangan Sierra. “Kalau nanti kamu melihat foto di dalam album ini, jangan salahkan saya karena tidak memperingatkanmu.”

Ada jeda sejenak sebelum Bagas berkata, “Sayalah orang yang ada di dalam foto itu.”

Sierra tidak mengerti dengan kalimat Bagas. Sudah jelas-jelas foto yang ia pegang adalah foto orang tua angkatnya bersama ibu kandungnya, cewek muda yang sedang hamil besar. Apa ada sosok laki-laki asing yang turut terpotret di sana? Sierra meneliti lagi foto-foto tersebut. Tidak ada.

“Sayalah perempuan yang 24 tahun lalu hamil dan melahirkan kamu.”

“Tapi... Anda laki-laki,” bantah Sierra dengan tenggorokan seperti dipenuhi batu kerikil.

“Ya,” Bagas tertawa. “Ironisnya, dari dulu saya memang nggak pernah merasa jadi seorang perempuan.”

“Tolong, jangan bercanda. Kamu tidak mungkin ibu kandungku.”

“Bukalah album itu! Ada foto-foto lain di sana saat saya bersama orang tua angkatmu, Eliza dan Donald.”

Bagas mengucapkan nama kedua orang tuanya dengan lantang. Itu berarti keduanya memang saling mengenal. Namun, apakah itu cukup untuk membenarkan bahwa laki-laki tersebut adalah ibu kandungnya? Ia sudah mengulang-ulang berbagai skenario apa yang mungkin terjadi jika ia bertemu dengan wanita yang melahirkannya itu. Hanya saja, tidak ada satupun yang menggambarkan bahwa ibunya bukanlah ibu-ibu.

Bagaimana ia harus bersikap terhadap ibu kandungnya yang telah melakukan operasi perubahan jenis kelamin? Apakah ia harus memeluknya dan mengatakan kalau ia merindukannya setengah mati? Apa yang harus ia lakukan?

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Toxic
Donquixote
Cerpen
SYURGA YANG DILELANG
Hans Wysiwyg
Cerpen
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
SURIYANA
Novel
Bronze
Darah dan Pankreas Abel
Silvia Oktaviani Puspandini
Novel
A-Teen
Zzardna
Skrip Film
Tak baik bukan berarti tak bahagia
Ita sarry
Flash
Cinta antara Air dan Api
Noveria Retno Widyaningrum
Flash
Harapan Laura
Leni Juliany
Cerpen
Bronze
Jebakan Untuk Wawan
Ron Nee Soo
Novel
Senandung Burung Fenghuang
Muhammad Yulius
Novel
Jodoh Aini
Isna Nur Isnaini
Novel
Bronze
Terjebak Cinta Seleb Basket
Nurul Adiyanti
Flash
Bronze
Karena Hanya Nara
AlifatulM
Flash
Bronze
2024 dan 2025
Kiara Hanifa Anindya
Cerpen
Bronze
Milo dan Silo
Foggy FF
Rekomendasi
Cerpen
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
SURIYANA
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Flash
Di Bawah Tempat Tidur
SURIYANA
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Novel
Cinta Ini Rasa Itu
SURIYANA
Novel
Berharap Madu, Terdulang Permata
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Flash
Tumbal Tambal
SURIYANA
Flash
Tiga Menit untuk Selamanya
SURIYANA
Flash
Mengakhiri Kesendirian
SURIYANA
Flash
Sang Pengasuh
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Karmini Karmila
SURIYANA
Flash
Badut
SURIYANA