Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mojokerto, 23-12-2022, 11.14 WIB
Tepukan halus menyentuh pundakku. Aku paham isyarat itu, karena lenganku sendiri juga mulai terasa ngilu. Aku paham isyarat itu, serta merta kukurangi kecepatan motor. Mataku mulai nyalang memperhatikan pinggiran jalan. Itu isyarat dari istriku, mengharap aku menghentikan perjalanan barang sejenak. Besar kemungkinan istriku sudah merasa lelah.
Siapa juga yang tidak merasa lelah? Panasnya matahari seakan tak kenal simpati pada kami yang tengah menyusuri jalanan untuk hanya untuk bisa merayakan Natal bersama keluarga. Aku sedikit heran, mengapa beberapa hari terakhir ini hujan justru tidak datang? Tidak seperti beberapa hari sebelumnya hingga mengundang banjir di beberapa kota di tanah air. Jangan-jangan, Desember yang identik dengan salju di Eropa dan musim hujan di Asia Tenggara telah berubah?
Ah, aku berpikir terlalu jauh ke tanah berantah.
Satu hal. Panas terik di jalan dan perjalanan panjang nan melelahkan, serta menguras tabungan, adalah resiko kami sebagai orang miskin. Salah satu resiko yang harus kami nikmati menjadi orang miskin adalah terpisah dari orang-orang yang kami cintai; keluarga kami. Natal tahun ini, sebagaimana Natal tahun-tahun sebelumnya, tubuh dan bawaan kami sekeluarga harus menjadi beban yang tak tertolak di punggung motor kami.
Dalam semangat untuk terus menyambung tali kekeluargaan, merayakan hari besar orang-orang tercinta, bersama saudara-saudara senasib-seperjuangan membelah aspal jalanan lintas kota berbaris dalam satu bendera; pemudik.
Tepukan itu mendarat lagi. Menyadarkanku dari angan. Aku mengangguk. Pandanganku menabrak sebuah bangunan pos polisi. Tanganku memberi isyarat balasan kepada istriku, kita berhenti di sini. Aku melihat beberapa pemotor yang nampaknya serupa dengan kami berhenti di sana.
Aku tak tahu bagaimana rona wajah istriku, ku harap dia menyetujui kami berhenti melepas penat sejenak di tempat itu.
Senyuman hangat menyambut, “Selamat siang.. dari mana, mau kemana, Pak?” seurai sapaan halus mengalir dari seorang bapak-bapak polisi saat motor kami kumatikan mesinnya di halaman samping pos tersebut.
Istriku dengan susah-payah turun dari motor kami, ku lirik anak kami digendongannya sedang tidur. Alangkah nikmatnya menjadi balita. Udara sepanas ini, tekanan keadaan seperti ini, tak menjadi alasan penolak untuk bisa tidur nyenyak.
Ku balas senyuman itu dengan lelehan keringat di dahi, di kening, di pipi, beberapa tetesnya jatuh ke bumi. “Surabaya, Pak. Mau ke Madiun.” jawabku.
“Mau Natalan di kampung ini ceritanya?” aku tahu itu hanya basa-basi, namun kuhargai bahasa sapaan kemanusiaan itu.
“Iya, Pak. Tahun kemarin dan kemarinnya absen, Pak. Gak bisa ikut misa Natal bersama keluarga.”
“Monggo, silahkan,” tangan bapak-bapak Polisi itu memberi tanda mempersilahkan kami masuk ke dalam pos polisi yang nampaknya memang difungsikan sebagai tempat berhenti dan beristirahat bagi pemudik seperti kami. Terlihat ada beberapa bed dan sofa di dalam tenda di sebelah pos tersebut.
*****
Mojokerto, 23-12-2022, 11.26 WIB
Puji Tuhan....
Ngilu yang beberapa saat lalu kurasakan di lenganku mulai berkurang. Ku lihat, wajah istriku juga nampak sedikit mencerah. Denyutan segarnya kembali mengisi wajah ibu dari anakku. Anakku sendiri masih terbenam dalam lelapnya. Istriku membaringkannya di sofa.
Berkurangnya lelah di tubuh membuat aku memiliki lebihnya tenaga untuk lebih memperhatikan pos bintang tersebut. Selain bapak-bapak polisi yang menyambut kami tadi, ada empat polisi lain dalam ruangan berdinding tripleks yang disulap mewah tersebut. Dua polisi seumuran bapak-bapak yang pertama, dan dua lagi adalah polwan yang nampaknya masih seumuran adikku. Mereka tampaknya santai, namun beberapa kali melakukan koordinasi melalui alat komunikasi mereka. Kira-kira itu namanya HT, entah apa kepanjangannya.
Salah seorang polwan menghampiri kami. Ku tahu nampaknya dia ingin mendampingi bapak-bapak polisi yang pertama menyapa kami tadi. Mungkin, dalam rombongan kami ada istriku dan anakku.
Dia mengawali sapanya dengan senyuman. Sungguh, manis sekali. Tiba-tiba anganku melayang pada waktu sepuluh atau mungkin lima belasan tahun yang lalu. Aku pernah melihat senyum semanis ini. Senyum polwan ini mirip-mirip dengan senyum satu perempuan dalam perjalanan hidupku.
Ach...
Kok malah teringat masa lalu. Sesuatu dari masa lalu memang tidak boleh dilupakan, namun jika terus membayang hingga sekarang itu bisa mengundang petaka di masa depan. Bukankah sesuatu yang telah terkubur, tak bijak untuk terus dipelihara di alam pikiran?
“Selamat siang, Mbak.. Capek ya?” sapanya pada istriku. Istriku hanya membagi senyumnya dan mengangguk. Alhamdulillah, alat di telinganya itu memang sungguh membantu.
Segera ku sadar kalau istriku tidak akan mampu membalas sapaan itu. Aku segera mendekat. “Maaf, Mbak eh… Bu… Eh…”
“Bu Verra,” sergahnya cepat.
“Maaf, Bu Verra, istri saya.. mmhhh…” saya memberi isyarat kepada Ibu Polwan ini bahwa istriku adalah tuna wicara. Pelan, kucoba sampaikan isyarat tersebut. Aku sendiri mencoba menjaga perasaan istriku.
Wajahnya ayunya sontak pias. Aku yang biasa melihat ekspresi seperti itu jika baru mengetahu kondisi istriku hanya tersenyum.
“Maaf, Pak.. Saya…”
“Bagus, ya, Bu..” mataku belagak memperhatikan keadaan pos tersebut, sengaja kualihkan pembicaraan.
Ekor mataku menangkap kelegaan di wajah ayu polwan tersebut. Aku juga menangkap kelegaan tersebut di wajah bapak-bapak polisi yang pertama menyapa tadi. Ketika salah seorang rekan mereka memanggil, bapak-bapak polisi yang pertama menyapa tadi mengangkat tubuhnya dari sofa. Dia memberi isyarat pamit.
“Santai saja, Pak. Tunggu hingga capeknya benar-benar hilang…” pesannya sebelum beranjak.
“Makasih, Pak,” balasku.
*****
Mojokerto, 23-12-2022, 11.33 WIB
Beberapa waktu berlalu. Tak ada satu dua patahan kalimat di antara sofa-sofa dalam pos polisi tersebut. Beberapa petugas polisi lain yang sebelumnya terdengar santai berbicara, saat ini nyaris tak terdengar. Hanya riuh lalu lalang motor dan mobil yang beredar di jalanan yang memenuhi gendang telinga kami, kecuali istriku tentunya.
Ibu Polwan tersebut kelihatannya masih terpengaruh awal percakapan kami yang mungkin di luar daya kiranya, sehingga tak sejumput pun kata yang mungkin basa-basi mengalir dari bibirnya.
Istriku memberi isyarat agar aku melakukan sesuatu. Aku tahu, istriku juga merasakan kebuntuan suasana ini. Aku yang senantiasa menjaga perasaan istriku agar jangan sampai apa yang ada pada dirinya menjadi sumber masalah, mencoba mencari celah, kira-kira aku bisa berbicara tentang apa dengan sosok polwan muda seusia adikku ini. Aku hanya seorang penjaga sekolah di sebuah sekolah swasta di pinggiran kota Surabaya. Apa yang aku tahu tentang dunia kepolisian? Apalagi dunia polisi wanita?
Saat mata ibu polwan muda tersebut menumbuk anakku yang sedang terlelap di sofa, aku mendapat secercah celah.
“Putranya berapa, Bu Verra??” aku khawatir salah menyebut namanya, ku lirik nama di dada seragam coklatnya.
“Du.. Dua, Pak,” nampak ia kaget. “Kalau bapak, baru satu, ya?”
“Iya, Bu. Belum berani nambah,” besar hasratku mencairkan suasana.
“Lho, mumpung masih muda, Pak. Memangnya kenapa nggak berani?”
“Takut, Bu. Takut nggak bisa memberi yang lebih pada anak-anak,” jawabku sekenanya. Aku pernah mendengar kalimat seperti ini diucapkan oleh Pak Yohanes, salah satu guru muda di sekolah tempatku mengabdi dan mengais rejeki. Kalimat ini diucapkan Pak Yohanes itu meluncur saat ditanya seorang wali murid soal berapa jumlah anaknya.
“Karunia kok ditakuti, sih, Pak..” tuturnya sembari membagi senyum.
Entah, ini sudah senyum ke berapa yang ibu polwan muda ini bagi pada kami. Puji Tuhan, di antara sengatan panasnya matahari Desember ternyata kami bisa menikmati baris-berbaris senyuman. Apalagi, dari sosok seorang aparat yang biasanya ‘dihindari’ di jalan raya ini.
Aku membalas senyumnya, dengan kecut. Andaikata, ibu polwan muda ini tahu berapa gaji seorang penjaga sekolah.
“Kalo Bu Verra berjaga di pos seperti ini, anaknya sama siapa, Bu?” luncurku seperti tak terpikirkan sebelumnya.
Mendadak senyum kecutku berpindah ke bibirnya, “ Kalau Kakak dengan kakeknya, adik dengan pembantu di rumah,” kutangkap ada rasa bersalah dalam kalimatnya.
“Mase nggak sudah libur, to??”
“Suami saya juga anggota, Pak. Berjaga di pos lain,” tanpa sadar alisku terangkat, tanda keterperanjatan. “Liburan seperti ini justru membuat kami tidak bisa kumpul, Pak. Panggilan tugas,” senyum yang tidak kecut kembali terbagi.
Dadaku tiba-tiba terasa lega.
*****
Mojokerto, 23-12-2022, 12.32 WIB
Setelah lelah terasa sedikit berkurang, aku memberi isyarat pada istriku agar membangunkan anakku yang masih terlelap. Kami harus melanjutkan perjalanan. Aku tak ingin kemalaman di jalan. Dan, kulihat mendung hitam berarak di sebelah barat. Mungkin di Jombang atau Kertosono turun hujan. Tubuhku terasa lebih segar, berbeda dengan sebelumnya. Besar kemungkinan tidak hanya beristirahat di pos polisi ini, namun senyuman ibu polwan muda itu juga menjadi tambahan energi. Benar-benar, mirip sekali dengan senyumannya, teman sekolah yang gagal kujadikan ibu dari anak-anakku. Andai saja.....
Segera kubuang jauh pikiran menyesatkan itu. Tuhan telah memberi jodoh perempuan yang sekarang menggendong buah hatiku mengikuti langkahku hari ini, siang ini, mengapa aku masih berandai-andai.
Puji Tuhan, memang punya banyak cara untuk mengingatkan hamba-Nya yang suka berkeluh-kesah sepertiku. Ternyata, di bawah teriknya sengatan matahari, aku masih bisa ditemani keluargaku tercinta. Berbeda dengan ibu polwan muda tersebut, demi panggilan tugas dia justru terpaksa tidak bisa membagi waktu dan dirinya utuh untuk keluarga. Bahkan, kami bersedia berjuang membelah aspal jalanan lintas kota ini juga semata demi bisa bersatu-bersama dengan keluarga. Sebuah ingin baik yang justru membuat orang lain, bapak-ibu polisi sepertinya, tidak bisa bersatu-berkumpul dengan keluarga.
“Maafkan kami semua, Bu Verra dan lainnya. Selamat Hari Natal bagi segenap saudara yang merayakannya...” bisikku dalam hati saat kupacu motor kembali menyusuri aspal jalanan.
--------ooo000ooo--------