Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Ibu Jangan Mati
5
Suka
2,609
Dibaca

Part 1

Hari ini Kiamat?

  Gilang duduk terdiam beberapa menit setelah ia mengetahui tidak ada orang di rumah. Padahal ia mau mengkonfirmasi kepada emaknya apakah yang dikatakan oleh Bu Sumiyati itu benar atau tidak adanya.

   Sepertinya, kata-kata Bu Sumiyati membuat ia shock. Shock yang dapat membuat sel-sel syaraf di kepalanya hampir meledak. Ia harus menenangkan diri kalau tidak mau mati muda. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Sebenarnya Gilang ingin sekali menyanggah perkataan Bu Sumiyati. Tapi ia adalah penggosip nomor satu di komplek ini.

   Semua perkataannya meskipun dianggap gosip belaka, berakhir dengan kenyataan. Seperti dulu, si Marni yang digosipkan hamil di luar nikah. Semua orang menganggap itu tidak mungkin karena Marni orangnya pendiam dan tidak neko-neko. Tapi akhirnya, semua orang geger mendapat berita Marni tengah melahirkan dibantu bidan Nita. Sejak itu, tidak ada yang tidak percaya oleh Bu Sumiyati. Di mulutnya, gosip adalah fakta yang tertunda.

   Gilang memijit kepalanya yang pusing. Bagaimana sekarang? Ia tidak tahu emaknya berada di mana, karena emaknya tidak memiliki hp. Mengenai hp, padahal Gilang sudah berkali-kali membujuk emaknya untuk menggunakan hp. Agar mudah diketahui keberadaannya di mana. Tapi emaknya tetap kekeh tidak mau dengan alasan pusing belajarnya, karena sudah diajarkan berkali-kali oleh Gilang tapi tetap tidak bisa juga.

  Emaknya kalau sudah keluar dari rumah memang lama. Jangankan seperti sekarang yang Gilang tidak tahu kemana perginya, belanja di tukang sayur saja lama sekali. Sampai pernah Gilang sindir bahwa emaknya ke tukang sayur tidak hanya langsung belanja ikan, tapi juga ikut menangkapnya di lautan makanya lama.

  Ia membutuhkan jawaban, kalau tidak, pembuluh darahnya benar-benar akan pecah. Gilang mengambil hp yang ia letakkan di meja bundar kesayangan emaknya. Mencari nomor sahabat satu-satunya yang ia punya di kantor. Sebenarnya Surya bukan hanya teman kantor saja, melainkan teman main kelereng, teman satu SD, SMP, SMA, dan teman jomblo.

  Sudah dua puluh empat tahun usia mereka tapi masih saja jomblo. Benar-benar tidak malu dengan truk gandeng. Truk saja memiliki gandengan, masa' mereka tidak punya.

   Bagi Gilang, mereka berdua sudah seperti panci dan tutupnya. Kurang kompak apa mereka berdua? Bahkan dalam urusan berbohong ke orang tua masing-masing saat ingin bolos sekolah saja mereka kompak.

  Ya, benar, Surya lah orang yang paling tepat untuk diajak bicara. Siapa tahu ia memiliki solusi atas permasalahannya yang pelik ini. Panggilannya pada Surya terus memanggil, tidak juga berdering. Hari ini, sudah dua kali Gilang dibuat kaget. Pertama karena ucapan Bu Sumiyati, yang kedua karena Surya tidak juga mengangkat panggilannya.

  Padahal Surya termasuk orang yang fast respon dalam mengangkat panggilan. Dia dan hpnya seperti kembar dempet, bahkan saat mandi pun Surya membawa hpnya ikut mandi bersama dirinya.

  Selang beberapa puluh detik, panggilan Gilang diangkat oleh Surya.

"Halo, Bro, gawat, Bro, gawat!!!" Gilang memulai percakapan dengan memekik.

"Gawat apa, Bro? Kalau ngomong itu yang jelas. Gue lagi sibuk ini, jangan ganggu, lah."

Klik!

  Surya mematikan teleponnya. Kini Gilang kaget untuk ketiga kalinya. Sepanjang mengenal Surya, tidak satu kali pun ia mematikan hp. Tidak pernah. Gilang tidak putus asa, mencoba menghubungi Surya kembali.

  'Brengsek, lo, Sur, awas lo kalau ketemu, gue telan hidup-hidup!' Gilang memaki-maki sendiri.

  Setelah terangkat, Gilang langsung bicara cepat sebelum diputus lagi oleh Surya. "Jangan matiin telponnya, Bro. Ini beneran gawat, kiamat, Bro, kiamat!!"

  Surya yang mengangkat telepon seraya menyeruput kopi langsung tersedak saking kagetnya. "SERIUS, LO, SEKARANG KIAMAT?? Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin biar gue bisa siap-siap???"

Klik!

   Surya mematikan panggilan untuk yang kedua kalinya. Kini gantian Surya yang memaki-maki Gilang tidak karuan. 'Brengsek itu Gilang, mau kiamat nggak bilang-bilang. Gue belum persiapan apa-apa. Belum mengabari mamak gue di rumah, belum menikah. Banyak yang belumnya. Kalau tahu sekarang akan kiamat, gue sudah siap-siap dari jauh-jauh hari.' Surya dengan cepat memasukkan semua benda yang berada di mejanya.

  Berkas-berkas penting, foto keluarga dan juga foto gebetannya si Ina. Sudah dua belas tahun Surya menyukai Ina dari ia masih piyik, tapi karena pengecut, ia tidak pernah mengutarakannya. Tidak lupa juga ia memasukkan sepatu kesayangannya yang ia dapatkan pas flash sale sebelas sebelas alias sebelas November kemarin.

   Semua yang menurutnya penting sekarang sudah pindah ke dalam tasnya. Begitu cepat dan cekatan Surya melakukan itu, padahal di kantor ia terkenal bekerja dengan lelet. Ya mau gimana lagi, namanya juga mau kiamat. Ia harus lekas membereskan yang ia anggap penting sebelum semua yang ada di dunia ini menjadi abu.

   Di tengah-tengah kepanikannya membereskan barang-barang berharganya, terpikirkan olehnya apakah ia harus memberitahu bos nya juga. Siapa tahu kalau bos nya diberikan kabar paling penting ini, ia akan dipromosikan jabatan. Tiba-tiba Surya menepuk jidatnya sendiri, 'Bodoh, kalau sudah kiamat, yang namanya promosi jabatan tidak bakal berguna lagi.'

  

   Yang paling penting bagi Surya sekarang adalah menghafal doa-doa keselamatan. Ia mengambil hpnya yang sudah dimasukkan ke dalam tas paling dalam, dengan susah payah ia mengambilnya kembali. Ia mencari doa-doa keselamatan dan sibuk menghafalnya.

   Tahu sekarang bakalan kiamat, ia akan menjual MOGE alias motor gedenya dan menyumbangkan semua hasil penjualannya ke salah satu panti. 'Halah, memang benar brengsek Gilang!!' Surya fokus kembali pada hpnya. Kali ini ia mencari "SOFIA" yakni market place paling terkenal di Indonesia.

  Ia akan membeli barang-barang yang dapat melindungi dirinya dari kiamat nanti. Seperti helm anti pecah untuk kepalanya dan baju anti api. Sudah ia cari dan masukkan keranjang, kini ia bingung bagaimana caranya agar barang tersebut hari ini juga sampai.

  Surya terpikirkan untuk memilih pengiriman yang instan saja. Dari tadi ia tidak memedulikan panggilan Gilang. Ia mendiamkannya, Surya benar-benar kesal dengan Gilang. Harusnya Gilang mengabari Surya minimal h-2 agar ia tidak kelimpungan seperti ini.

  Karena lewat jalur telepon Surya tidak mau mengangkatnya, akhirnya Gilang mengirimi chat kepada Surya dengan caps lock yang bocor.

Gilang Putra Bumi: "MAKSUD GUE CUMA KIASAN GOBLOK!!! SIAPA YANG TAHU KAPAN KIAMAT. TOLOL LO NGGAK ILANG-ILANG DARI OROK!! GOBLOK LO SUMPAH!!!"

  Tadinya Surya tidak mau membacanya karena masih fokus beres-beres, tapi akhirnya ia terpancing membaca chat Gilang dan kaget dengan isi chat nya. "Ternyata sekarang bukan kiamat???" Surya menarik napas panjang. Ia lega seraya membanting tubuhnya ke kursi.

"Bener juga kata Gilang, kok gue tolol amat ya?"

Part 2

Si Bodoh Surya

   Surya hampir sampai ke rumah Gilang. Tadi di telpon, Gilang menyuruh Surya ke rumahnya karena ia butuh solusi secepatnya. Katanya Gilang sedang memiliki masalah berat yang tidak pernah terjadi selama hidupnya. Surya langsung menggeber motornya secepat cahaya, takut temannya itu kenapa-kenapa.

  Bukan apa-apa, sepanjang Surya ingat, Gilang selalu punya masalah berat selama hidupnya. Waktu SD Gilang pernah di bully seminggu karena cepirit di dalam kelas. Waktu itu Gilang memang sedang diare. Dan keburu keluar sebelum minta izin ke toilet. Tidak hanya Gilang yang malu, Surya sebagai sahabat karibnya juga malu.

   Waktu mereka berumur empat tahun, Gilang juga pernah alat kelaminnya terjepit resleting. Coba, sakit apa bagi lelaki yang jauh lebih menyakitkan dibanding terjepit resleting? Surya yang melihatnya saja ikutan ngilu, apalagi Gilang yang merasakannya. Itu terjadi karena emak Gilang lupa memakaikannya sempak.

  Gilang juga pernah kecelakaan parah, ditolak gebetan saat nembak yang ke seratus kalinya, kecebur empang dan segudang masalah lainnya. Kalau Surya disuruh menjalani kehidupan Gilang dengan diberi upah satu miliar juga Surya tidak mau. Satu miliarnya mau, menjadi Gilang nya tidak mau. Lalu, masalah apa yang beratnya jauh lebih parah daripada itu semua?

  Dan kini ia sudah memasuki gang besar menuju rumah Gilang. Bapak-bapak yang sedang main gaplek di pos ronda dan emak-emak yang sedang memberi makan anaknya sambil bermain meneriaki Surya karena terlalu mengebut. Sampai akhirnya ia menabrak pekarangan rumah Gilang.

   Bunyi tabrakan yang lumayan kencang membuat Gilang yang sedang memijit dahinya kaget. Ia beranjak keluar rumah ingin melihat siapa bajingan tengik yang merusak rumahnya. Akhir-akhir ini memang sering kejadian sekelompok bocil-bocil merusak pagar, tanaman dan bahkan mencoret-coret dinding dengan kata-kata jorok. Tapi biasanya dilakukan pada malam hari, siapa bocil yang mau bunuh diri melakukannya siang terik begini. Sebelum melangkah ke luar, Gilang mengambil tongkat kasti yang ia taro di belakang pintu.

   Begitu keluar, baru saja ingin memaki bocil yang merusak pagar rumahnya, apalagi saat Gilang melihat tanaman emaknya juga habis tak bersisa. Sebelum ia mengayunkan tongkat kasti yang ia pegang, Gilang melotot begitu lihat motor siapa yang terjatuh bersama pemiliknya. Itu Surya, ia kenal dengan pasti postur tubuh sahabatnya itu, apalagi motor butut yang sedang nyusruk, itu motor yang sudah dimiliki Surya selama lima belas tahun, dan Surya baru menyervisnya lima belas kali. Alias dalam satu tahun hanya diservis satu kali. Tidak heran kalau motor bututnya sudah sekarat.

"Surya, lo lagi ngapain? Eh, buset, tanaman emak gue sampe ludes semua lo tabrak. Kalau emak gue tahu, dibunuh lo! Mayat lo dibuang di kali." Sambil mengomel, Gilang sibuk menyelamatkan tanaman emaknya yang masih tersisa.

"Bukannya nyelametin gue, lo! Malah nyelametin tanaman." Surya segera beranjak meski ia merasakan nyeri sekujur badan. "Nyesel gue buru-buru ke rumah lo tanpa peduliin nyawa gue sendiri. Ada lampu merah gue terobos, sampe lupa pake helm."

"Lah, kagak ada juga yang nyuruh lo nggak pake helm sama terobos lampu merah. Gue cuma nyuruh lo ke rumah gue." Gilang hanya sekedarnya saja menjawab omongan Surya. Ia tetap fokus merapikan tanaman emaknya yang berantakan.

"Tapi lo bilang tadi urgent. Lo punya masalah pelik, gue kira lo mau bunuh diri." Bibir Surya maju lima senti. Dia tidak habis pikir Gilang lebih memedulikan tanaman gocengan daripada dirinya, sahabat satu-satunya.

"Ngaco, lo!! Biar begini-begini gue juga masih inget Tuhan. Ajaran emak gue tuh!" Gilang memukul kepala Surya dengan pot yang berisi kaktus.

"Astagfirullah, Gilang!! Gila lo! Lo mau bunuh gue, ya? Kalau gue geger otak gimana??" Surya mengusap kepalanya yang terkena pukulan pot.

"Ya nggak papa lo yang mati. Daripada gue yang mati dicekik emak gue, kalau lihat tanamannya rusak kayak gini." Muka Gilang masih saja ditekuk, ia tidak dapat membayangkan wajah emaknya yang murka padanya kalau lihat tanaman kesayangannya hancur.

"Jadi sebenarnya lo ada masalah serius nggak sih? Sampe bolos kerja segala. Kalau nggak ada gue mau balik ke kantor nih, kerjaan gue masih banyak. Gara-gara lo ngomong mau kiamat, gue jadi nggak fokus kerja tadi."

"Haha, lagian tolol, mana ada manusia tahu kiamat. Bego lo dipelihara!!" Gilang tertawa keras sebentar tapi tiba-tiba ia berubah termenung.

"Mana gue udah pesen helm anti pecah sama baju anti api di Sofia. Gue juga udah hafalin doa-doa keselamatan yang gue lihat di google," ujar Surya seraya mengusap bokongnya yang nyeri terkena ujung pagar.

  Entah bagaimana ceritanya ujung pagar itu bisa menusuk bokongnya. Tahu-tahu sudah nyeri saja.

"Wkwkwk ngakak kampret. Makanya ada hikmah di balik kejadian ini. Lo banyakin ibadah sebelum lo mau mati. Masa' nunggu kiamat dulu baru mau berdoa."

   Ucapan Gilang lumayan nusuk mental Surya. Mereka sahabatan berdua emang udah kayak setan sama malaikat. Gilang mah taat banget, lurus aja hidupnya nggak kayak Surya, sholat aja masih senin kamis.

  Surya cuma mendengus kasar tanpa berani menjawab.

"Bro, jangan kaget ya kalau gue cerita." Gilang sudah memulai bercerita tanpa memedulikan Surya yang masih meringis.

"Ho-oh." Surya menjawab singkat.

"Kata Bu Sumiyati, tetangga ujung komplek, gue bukan anak emak gue. Waktu kecil gue dibuang sama emak kandung gue dan diambil sama emak gue yang sekarang."

  Gilang hampir menangis menceritakan kisahnya, saat Surya saking kagetnya malah tersedak. Dan Gilang malah fokus menepuk-nepuk punggung Surya.

"Kayaknya gue salah cerita sama orang." Gilang mengambil napas kasar.

  Sedang Surya buru-buru masuk ke dalam rumah Gilang untuk mengambil minum agar rasa sakitnya menghilang.

"Lang, lo cerita di sini aja." Surya setengah berteriak menyuruh Gilang masuk, setelah minum dua gelas besar. Gilang menurut, meski dengan misuh-misuh.

"Lo keselek apaan sih? Orang nggak lagi makan juga. Keselek dosa lo sendiri?" sindir Gilang yang duduk di sofa berhadapan dengan Surya.

"Gue denger cerita lo keselek ludah gue sendiri, Lang."

"Goblok lo natural emang." Kini Gilang malah tertawa kencang. Kenapa di dunia ini ada orang-orang yang keselek sama ludahnya sendiri. Hahaha.

"Nggak usah ngatain gue mulu. Lo cerita yang bener! Lo kata siapa bukan anak emak lo? Gue kenal lo dari kecil, perasaan emak lo yang Bi Ira itu kagak ada yang laen."

"Kata Bu Sumiyati, Sur."

"Siapa Bu Sumiyati?"

"Tetangga ujung komplek si biang gosip."

"Hahahaha!!! Terus lo percaya, Lang, sama biang gosip? Hahaha, sekarang malah, lo, yang kelihatan tolol. Ckck, tolol banget asli, segala biang gosip dipercaya."

   Surya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar lumut selang! Gue kira lo ada masalah apa sampe gue harus mempertaruhkan nyawa begini."

"Tapi kemungkinan Bu Sumiyati bener itu seratus persen, Sur." Gilang menatap Surya dengan tatapan frustrasi. Bagaimana caranya memberitahu banner pecel lele ini?

"Emang dia nabi, sampe bener seratus persen?" Surya tetap kekeuh tidak percaya.

"Dia bukan nabi, tapi biang gosip. Dan biasanya emang selalu bener gosip-gosip yang dia ceritain."

"Gini, nih, kalau terlalu sering bergaul sama emak-emak, malah kemakan gosip. Yaudah gini aja, kita tanya Bu Sumiyati bisa ngasih buktinya nggak dia?"

"Oh iya." Gilang menepuk jidatnya sendiri. "Kenapa nggak kepikiran buat minta bukti sama dia ya?" Gilang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Otak lo kebanyakan nonton bokep, makanya keruh kayak comberan. Nggak bisa mikir jernih."

  Gilang langsung mengambil benda apapun yang berada di dekatnya, kebetulan ada asbak di meja dan melemparkannya pada Surya. Sedangkan Surya yang sudah hapal tabiat Gilang langsung melarikan diri.

Part 3

Semua gara-gara Sofia

Gilang dan Surya sepakat menuju rumah Bu Sumiyati memakai motor Gilang karena sepertinya motor Surya sudah tidak bisa diselamatkan.

"Kalau cerita Bu Sumiyati bohong, lo gantiin tuh si item. Gara-gara lo motor gue rusak." Surya mengelus motornya seraya menunggu motor Gilang dikeluarkan dari garasi.

"Iya ntar gue gantiin sepuluh. Motor lo sama tanaman emak gue masih mahalan tanaman emak gue."

Surya yang emosi menoyor kepala Gilang. "Sombong lo jadi orang. Orang sombong berteman sama setan."

"Ya, lo, setannya." Gilang kembali ngakak. Orang-orang macam Surya gampang sekali omongannya dibalikin.

Surya tidak menanggapi perkataan Gilang. "Gue harap tuh emak-emak yang ngasih tahu lo cerita ini ternyata fitnah. Biar gue dapet motor baru. Wkwkwk," ujar Surya sumringah.

Gilang hanya menoleh pada Surya dengan tatapan dalam. " Gue harap juga begitu, karena sumpah gue mendingan keluar duit buat beliin motor lo ketimbang nerima kenyataan kalau gue anak pungut."

Surya malah jadi tidak enak mendengar ucapan Gilang.

"Bro, Bi Ira itu mau nyokap kandung atau nyokap angkat lo, itu nggak penting. Yang penting, dia sayang sama lo. Lo termasuk orang yang beruntung bisa dapet kasih sayang seorang ibu." Surya merangkul Gilang.

"Tapi gimanapun juga seorang anak itu butuh identitas, Bro. Tentang siapa orang tua biologisnya. Kalau lo di posisi gue juga pasti ngerasain hal yang sama."

Surya terdiam, membenarkan perkataan Gilang. Surya hanya berharap ini semua omong kosong.

..............

Hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk sampai di rumah Bu Sumiyati. Maklum, walau paling ujung, mereka tetaplah tetangga satu komplek. Baru saja memarkirkan motornya, terdengar suara tangisan yang sepertinya milik Bu Sumiyati.

Surya dan Gilang terperanjat. Mengapa ada suara teriakan? Apa yang terjadi pada Bu Sumiyati?

Gilang melihat ada seorang anak muda berjaket oranye yang sedang terlibat adu debat dengan Bu Sumiyati yang menangis tidak karuan. Dengan sigap Surya mendorong tubuh anak muda tersebut.

"Heh, maling, lo, yak? Maling kan lo?" tuduh Surya yang membuat anak muda itu ketakutan.

"Eng ... Enggak, Bang."

"Ngaku, lo, jangan bohong." Gilang bersiap memukul anak muda itu sampai Bu Sumiyati melerainya.

"Bukan, dia bukan maling. Dia cuma kurir paket dari Sofia." Bu Sumiyati menjelaskan dengan air mata yang masih mengalir.

Surya dan Gilang langsung menatap jaket oranye yang dipakai pemuda itu. Ah, iya, benar, para mamak mereka juga sering berbelanja di market place Sofia ini. Tapi, kenapa Bu Sumiyati menangis?

"Terus, kalau dia cuma kurir, kenapa Ibu nangis?" tanya Surya yang tidak mengerti. Apalagi Bu Sumiyati tidak hanya menangis, tapi juga disertai dengan teriakan-teriakan histeris membuat orang panik.

"Dia bilang saya ada COD sprei tujuh ratus ribu. Padahal saya nggak pesen, saya cuma lihat-lihat aja. Karena bagus saya pesan bohong-bohongan, tapi kok sampai beneran."

Surya, Gilang dan pemuda berjaket oranye itu meringis mendengar penuturan Bu Sumiyati. Bagaimana bisa pesan bohongan tapi sampai beneran. Pemuda itu bangkit dan menjelaskan bahwa pesanan Bu Sumiyati sudah masuk dalam sistem yang harus dikirim. Dan Bu Sumiyati harus membayar sesuai dengan yang tertera di paket tersebut.

Seketika, kepala Gilang semakin sakit. Cobaan apalagi ini, tadi Surya merusak tanaman emaknya yang mahal sampai ia hampir berhenti napas tiba-tiba, sekarang Bu Sumiyati juga membuatnya sakit kepala.

"Bu, nggak ada yang namanya pesen bohongan. Kalau Ibu udah klik pesan, ya otomatis dikirim." Surya juga membantu menjelaskan kepada Bu Sumiyati.

"Ya terus gimana? Saya juga bukan nggak mau bayar, spreinya bagus banget. Tapi uangnya nggak ada. Gimana dong?" Bu Sumiyati menangis sampai eye linernya luntur ke pipi.

Surya menyikut lengan Gilang. Sedang Gilang tahu pasti apa maksudnya Surya. Ia pasti menyuruh Gilang untuk menalangi belanjaan Bu Sumiyati. Baru tadi dipalak motor, sekarang Gilang harus keluar uang lagi. Tapi ia tidak memiliki pilihan, ia harus menolong Bu Sumiyati.

"Oke, gini, Bu, saya bersedia bayarin paket Ibu. Tapi Ibu janji buat kasih tahu sama saya sejujurnya saya itu anak kandung emak saya atau bukan. Sepakat?"

Bu Sumiyati hanya mengangguk, yang penting permasalahannya dengan pemuda Sofia itu cepat selesai. Seketika Gilang mengeluarkan uangnya dan cepat-cepat membayar sesuai dengan tagihan paket.

"Makasih banyak ya, Mas. Kalau nggak ada, Mas, saya pasti dikira maling karena ibu ini teriakin saya." Pemuda itu berterima kasih pada Gilang yang hanya dibalas anggukan oleh Gilang. "Makanya, Bu, lain kali kalau nggak punya uang jangan belanja. Biar nggak puyeng!"

Pemuda itu bergegas karena tahu Bu Sumiyati pasti mengamuk. "Dasar kurang ajar ya, lo, Tong. Awas lo ke sini lagi!"

"Udah, Bu, udah nggak usah diladenin." Surya sekeras tenaga menahan Bu Sumiyati yang hendak mengejar pemuda tadi.

"Bener, Bu, kata temen saya nggak usah diladenin. Mending Ibu jawab pertanyaan saya, tadi pagi Ibu bilang saya bukan anak kandung emak saya. Ibu bohong apa cuma fitnah?" Tatapan Gilang tajam, membuat Bu Sumiyati mundur ke belakang dan duduk di sofa.

Surya dan Gilang mengikutinya. Kali ini mereka duduk berhadapan.

"Iya, Ibu bohong, kan? Saya bertemen sama Gilang dari orok, Bu, sebab Bi Ira sama emak saya sahabatan. Dari dulu emaknya Gilang ya Bi Ira, nggak pernah ganti-ganti," ucapan Surya dibalas pelototan oleh Gilang. Memangnya seorang ibu itu barang, sampai bisa ganti-ganti.

  Bu Sumiyati meradang dibilang bohong oleh Surya. Emosinya saja belum habis karena bertengkar dengan pemuda Sofia tadi. Sekarang harus berurusan dengan pemuda kunyuk macam Surya.

"Heh, saya mana pernah bohong? Saya juga ngasih tahu Gilang demi kebaikannya. Supaya dia tahu siapa ibu kandungnya. Nggak ada untungnya juga buat saya!" Bu Sumiyati menggerbak meja hingga membuat Surya dan Gilang kaget bersamaan.

"Maaf, Bu, temen saya emang sedikit kurang ajar." Gilang buru-buru menenangkan Bu Sumiyati. Kalau cuma gara-gara Surya Bu Sumiyati ngambek dan akhirnya tidak mau memberi buktinya, bisa gawat. "Ibu bisa ngasih bukti ke saya kalau saya bukan anak kandung emak saya?"

"Saya tuh nggak punya bukti. Karena waktu itu emak kandung kamu cuma ngontrak di komplek ini dua bulan. Dulu kamu masih kecil banget, apalagi adik perempuan kamu, kayaknya baru lahir."

  Gilang ternganga, ia memiliki adik perempuan? Emaknya tidak pernah memberitahu padanya.

"Orang tua kamu itu tertutup sekali. Dua bulan ngontrak jarang sosialisasi sama tetangga. Jangankan ikutan ngegosip, belanja di tukang sayur saja buru-buru alasannya anaknya nggak ada yang jagain."

   Gilang dan Surya serius mendengarkan penjelasan Bu Sumiyati, "Terus Bu?" tanya Gilang penasaran.

"Yang terakhir saya tahu, ibu kamu itu pergi dari rumah. Bapak kamu duluan, terus kamu sama adik kamu ditinggal di rumah sendirian. Sampai kamu dulu masih kecil banget, umur empat tahun kali. Kamu minta tolong ke tetangga, minta makan, sama adik kamu nangis-nangis. Ditanya ibu kamu di mana, kamu bilang nggak tahu."

   Seketika tubuh Gilang terasa kaku. Ini benar kisahnya? Kenapa kisahnya hampir sama dengan kisah-kisah yang ia baca di novel? Tidak, ia harus menguatkan hati. Emak bilang, laki-laki tidak boleh menangis. Ia harus tegar, meski hatinya runtuh.

Part 4

Surya VS Emak

  Surya menatap Gilang yang tampaknya begitu terpukul dengan perkataan Bu Sumiyati. Bagaimana caranya ia dapat menyelamatkan Gilang agar tidak sedih seperti itu.

"Maaf, nih, Bu, bukannya saya lancang. Tapi cerita Ibu mirip banget sama cerita di novel-novel yang saya baca. Kayaknya nggak mungkin banget kejadian di hidupnya Gilang."

   Surya menepuk bahu Gilang berkali-kali, mencoba menenangkan sahabat satu-satunya itu.

"Kamu menuduh saya bohong?" Tiba-tiba Bu Sumiyati mengacungkan pisau. Entah didapat dari mana pisau tersebut. Memang di meja kecil depan sofa itu ada piring yang berisi buah-buahan. Mungkin Bu Sumiyati baru saja memakan buah.

"Eh, maaf, Bu, maaf. Nggak gitu maksud saya." Surya reflek bersembunyi di belakang tubuh Gilang. Bukan apa-apa, ia belum menikah, masa' mau mati konyol di tangan emak-emak biang gosip yang baru berantem sama kurir paket karena tidak punya uang. Di mana harga diri Surya.

"Bu, maafin teman saya. Dia hanya coba menenangkan saya yang syok." Entah untuk ke berapa kalinya Gilang menyelamatkan Surya. Tampaknya Surya memang tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri.

"Saya nggak suka dibilang pembohong. Walaupun saya nggak punya buktinya, bukan berarti saya bohong. Kamu tanya emak kamu langsung aja Gilang, kalau emak kamu tetap nggak mau ngasih tahu, tanya aja Bu Murti noh, ketua RT seumur hidup. Dia juga tahu kejadiannya."

   Bu Sumiyati menjelaskan dengan berapi-api, sementara Gilang memejamkan matanya dan menarik napas berkali-kali untuk menenangkan dirinya. "Iya, Bu, nanti saya tanya emak saya. Terima kasih banyak ya, Bu, atas penjelasannya," lanjut Gilang.

  Ia mencoba berdiri, tapi hampir kehilangan keseimbangan. Sepertinya vertigo yang dimilikinya kambuh. Surya dengan sigap menopang tubuh Gilang hingga tidak jadi jatuh. Benar kata Bu Sumiyati, Gilang harus bertanya kepada emaknya sendiri. Semoga kali ini emaknya udah sampai di rumah.

"Permisi ya, Bu," ujar Surya singkat yang dibalas pelototan oleh Bu Sumiyati. Keluar dari rumah Bu Sumiyati, Gilang masih oleng, hingga Surya menawarkan bantuan.

"Sini gue aja yang nyetir motornya." Surya langsung mengambil kunci motor yang Gilang keluarkan dari sakunya. Tepat, memang untuk saat seperti ini, Surya orang paling tepat yang berada di sisinya.

"Thanks, ya, Sur." Gilang berkata singkat.

"Beneran, deh, feeling gue Bu Sumiyati bohong, Lang. Bi Ira itu ya nyokap lo." Entah untuk kesekian berapa kalinya Surya mencoba menghibur Gilang.

"Apa untungnya, Sur, dia bohong sama gue? Nggak ada."

 

   Surya kehabisan kata untuk membalas omongan Gilang. Benar kata Gilang, Bu Sumiyati bahkan tidak mengambil keuntungan sedikit pun, kecuali sprei seharga tujuh ratus ribunya dibayarin. Itu pun kebetulan abang Sofia datang ke rumahnya. Bukan direncanakan pas Gilang datang ke rumahnya.

.............

  Baru saja mereka berdua sampai di rumah Gilang, sudah disambut emak yang sedang bertolak pinggang dengan mata yang melotot. Surya menatapnya ngeri, pasti tidak jauh-jauh dari masalah motor Surya yang menabrak tanaman emak.

  Baru menghentikan motornya, belum turun dari motor, emak Gilang sudah menghampiri mereka berdua.

"Surya, turun, lu!! Ini pasti kerjaan, lu, kan? Tanaman gue rusak semua karena ulah motor butut lu kan?" Pekik emak seraya menjewer telinga Surya.

"Aduh, ampun, Mak, ampun. Surya beneran nggak sengaja, sumpah, Mak." Surya mengangkat dua jari tangannya tinggi-tinggi, mengisyaratkan bahwa apa yang ia ucapkan benar.

"Dari kecil, lu, kalau buat ulah selalu bilang nggak sengaja. Udah hafal gue, nggak mempan lu bohongin!!" ujar emak dengan logat betawi yang kental.

"Beneran, Mak, sumpah, Mak." Surya yang sedang bergulat dengan emak malah melihat Gilang dengan santainya masuk rumah tanpa memedulikan dirinya.

"Gilang, woy, bantuin gue napa. Ini emak lo mau bunuh gue. Bentar lagi juga kuping gue putus nih sama emak lo. Yang bener aja apa, Mak, jewer kuping saya kayak mau buntungin. Kenapa nggak sekalian pake gergaji aja biar cepet?" sindir Surya. Emak malah terpancing dengan perkataan Surya.

"Bener juga lu, bentar gue cariin gergaji. Terakhir kali gue lihat di mana yak?" Emak melepaskan tangannya di kuping Surya. Ia masuk ke dalam mencari gergaji.

"Astagfirullah dia beneran. Emak, dengerin saya, Mak. Saya berani sumpah nggak sengaja rusakin tanaman Emak. Saya ngebut ke sini karena panik Gilang bilang dia mau bunuh diri." Surya membuntuti emak. Apapun Surya lakukan agar emak mempercayainya.

  Emak reflek berhenti. "Yang bener aja anak gue mau bunuh diri. Terus apa fungsinya dari TK udah gue suruh ngaji di ustadz Munir?" Surya yang ditanya seperti itu hanya mengangkat bahu. "Kenapa lu mau bunuh diri? Cemen banget mental anak laki jaman sekarang. Udah dikasih hidup enak bukannya bersyukur, lu!" Kali ini emak menatap Gilang yang sedang tertunduk lusuh.

"Kenapa sih, lu, Lang? Ada masalah kerjaan? Tinggal pindah kantor laen. Ditolak Ipeh? Emang kadang-kadang lu bloon banget heran gue. Timbang cewek di dunia ini banyak yang lu mau cuma Ipeh doang. Ntar gue beliin obat, mata lu minus kali cuma bisa lihat Ipeh doang."

   Emak terus saja nyerocos khas emak-emak. Sementara Gilang menjambak rambutnya sendiri. Belum bertanya panjang lebar pada emaknya saja, emaknya sudah membuatnya lelah. Apalagi ia bertanya.

"Emak, ini masalah Gilang gede, Mak. Bukan receh kayak yang Emak contohin barusan." Surya berusaha menyetop omongan Emak sebelum Gilang benar-benar mati bunuh diri.

"Emang kenapa dia?" Emak bukannya fokus pada Gilang malah mengambil rajutan yang belum ia selesaikan. Seolah menganggap apa yang akan dikatakan adalah hal yang remeh.

"Kata Bu Sumiyati, tetangga pojok, noh. Gilang bukan anak Emak, tapi anak pungut. Bohong kan dia ya, Mak?" Surya bertanya tanpa basa-basi.

   Seketika, emak gilang berhenti menyulam saking kagetnya mendengar pernyataan Surya. Jarum di tangannya jatuh ke lantai. Matanya terbelalak dan ekor netranya melirik ke arah Gilang. Sedetik, dua detik, suasana hening, sampai akhirnya tiba-tiba emak tertawa kencang.

"Hahaha, lu, Lang, percaya aja omongan Bu Sumiyati. Udah tau dia biang gosip. Ya lu anak gue sama bapak lu, lah. Hahaha." Tertawa emak cukup kencang.

"Hahaha!!" Surya juga ikut tertawa mendengarnya. Tawa emak mungkin dapat meyakinkan Surya bahwa emak bisa dipercaya.

"Emak, Gilang nggak tahu Gilang anak kandung Emak apa bukan. Yang Gilang tahu pasti, Gilang udah hidup dua puluh empat tahun sama Emak. Gilang tahu ekspresi Emak saat bohong atau enggak. Emak lagi bohong sekarang, Gilang tahu," suara Gilang hampir hilang ditelan masa. Sementara Surya menjadi semakin bingung.

"Gimana dah maksudnya? Durhaka lo, Lang, nuduh Emak lo bohong. Yaudah, apa yang dia bilang ya lo harus percaya." Surya mulai ceramah pada Gilang. "Bener begitu kan, Mak?" Surya berpaling dan tersenyum ke arah Emak. Tapi Emak tidak menjawab kata-katanya.

Part 5

Pengakuan

   Hening. Seisi ruangan itu hening agak lama hingga membuat Gilang yang tertunduk mendongakkan kepalanya. Bagaimanapun ia seorang laki-laki dewasa. Ia harus menghadapi masalahnya, bukan lari dari kenyataan.

"Emak lagi bohong, Gilang tahu. Sebenarnya Gilang bahagia hidup sama Emak selama ini dan nggak butuh apa-apa lagi. Kebahagiaan Gilang utuh sama Emak. Tapi, denger dari Bu Sumiyati bahwa Gilang juga punya adik perempuan yang sampai sekarang Gilang nggak tahu keadaannya, Gilang sedih, Mak." Gilang mencoba menelusuri nurani emak paling dalam. Meminta belas kasihnya.

  Gilang mencoba tegar menatap emak yang mulai gemetar. Bagaimana emak tidak sedih mendengar penuturan Gilang, anak yang ia besarkan seperti anak kandungnya sendiri. Menemani ia yang menjanda puluhan tahun. Gilang adalah hadiah yang diberikan Tuhan untuk menemaninya. Akhirnya, Emak tersenyum menatap Gilang, walaupun Gilang adalah anugerah dari Tuhan, tapi emak sadar bahwa Gilang bukan miliknya. Suatu saat, emak harus siap bila Gilang mempertanyakan masalah ini.

"Iya, Nak, kamu memang bukan anak kandung Emak. Tapi kamu tahu kan, bahwa rasa sayang Emak jauh melebihi dari rasa sayang ibu kandung?" Emak mulai menangis, Surya syok mendengar penjelasan emak dengan membelalakkan matanya.

"Jadi bener, Mak, Gilang bukan anak kandung?" Tanpa Gilang sadari, air matanya menetes di pipi.

Selama ini ia menyangka hidupnya sudah sempurna. Punya emak yang sayang padanya walau bawel setengah mati dan sering mengomelinya. Punya bapak yang sudah almarhum. Kata emak bapak meninggal saat ia masih kecil. Emak sering mengajaknya ziarah ke makam bapak untuk mendoakannya. Sempurna bukan?

Sekarang, dengan pengakuan emak barusan. Bahwa ia bukan anak kandung emak. Hidupnya seperti tidak jelas. Ia tidak tahu siapa bapaknya, siapa ibunya, bahkan adik perempuan yang dikatakan Bu Sumiyati. Ia seperti orang yang kehilangan arah.

   Emak hanya mengangguk menjawab pertanyaan Gilang. Ia memejamkan mata untuk menguatkan hatinya, sebelum ia memberikan penjelasan pada Gilang tentang apa yang harus Gilang ketahui.

"Dua puluh tahun yang lalu, waktu usia kamu empat tahun, keluarga kamu pindah ke komplek ini. Ibumu sedang mengandung waktu itu. Tidak berapa lama, saat ibumu melahirkan, kami para tetangga turut bersuka cita dan ingin menjenguk. Tapi entah kenapa, keluarga kamu sepertinya begitu tertutup. Bahkan bapak kamu tidak menerima kehadiran kami dengan alasan anaknya sedang rewel."

   Emak terhenti sejenak untuk mengambil napas. Surya dengan cekatan mengambil air di dapur dan memberikannya pada emak. Sedang kepala Gilang dipenuhi pertanyaan, sebenarnya, dirinya berasal dari keluarga yang seperti apa.

"Waktu itu, kami semua bingung dengan sikap keluarga kamu. Tapi kami tidak punya hak untuk ikut campur. Sampai akhirnya, kami sering denger suara ibu kamu nangis-nangis. Kayaknya, ibu kamu lagi dipukulin, Nak."

   Perkataan emak mengundang reaksi Gilang yang sudah diduga oleh emak. Tangan Gilang terkepal menahan amarah, wajahnya merah padam. Apa yang terjadi kepada ibu kandungnya? Kenapa ayah kandungnya harus berbuat jahat kepada ibunya. Pertanyaan-pertanyaan menyeruak di benak Gilang.

  Gilang sangat emosi, dari ia kecil saja, ia selalu diajarkan oleh emak untuk bersikap baik kepada semua perempuan. Tidak boleh kasar apalagi sampai memukul. Gilang jaga benar nasihat emak. Tapi kenapa ayahnya sendiri justru melakukan hal yang keji kepada ibunya.

"Setelah beberapa minggu, ayah kamu pergi entah kemana. Kami ke rumah kamu lagi dengan maksud ingin menanyakan apa yang selama ini terjadi. Tapi ya itu, ibu kamu tidak membuka pintu, sepertinya ia telan sendiri masalahnya. Jadi, kami nggak bisa berbuat apa-apa."

   Pikiran Gilang gelap. Kenapa ibunya tidak melapor polisi atas tindakan ayahnya. Pasti saat itu, ibunya begitu frustrasi menghadapi permasalahan berat dalam hidupnya sampai tidak tahu harus berbuat apa.

"Sampai suatu hari, kamu yang masih berusia empat tahun, keluar rumah sambil meminta tolong. Katanya kamu sama adik kamu lapar karena sudah tidak makan dari kemarin. Kami tanya dimana ibu kamu, kamu cuma bilang ibu pergi nggak tahu kemana."

  Kali ini tangis Gilang pecah. Kenapa di usia yang begitu kecil ia dan adiknya harus merasakan penderitaan hebat seperti itu. Apa yang ada dipikiran kedua orang tuanya. Tidak hanya Gilang dan emak yang menangis, tapi Surya pun juga ikut menangis. Ia menangis karena kasihan kepada Gilang.

  Emak memeluk Gilang erat, menenangkannya. Memang tidak mudah bagi seorang anak mendengar kesengsaraan hidupnya di masa lalu.

"Terus, Mak, kemana sekarang adik Gilang?" Gilang mendongakkan kepalanya. Emak mengusap air mata di pipi Gilang sebelum lanjut cerita.

"Untuk adik kamu, Emak minta maaf ya, Nak. Waktu itu Emak cuma hidup sendiri, pas-pasan. Emak cuma bisa angkat kamu sebagai anak, nggak bisa sama adik kamu juga. Dan tetangga komplek juga nggak ada yang bersedia buat mengadopsi adik kamu. Jadi kami putusin buat membawa adik kamu ke panti asuhan."

  Tangis Gilang semakin menjadi. "Ya Allah, Mak. Emak mendingan nggak usah ngasuh Gilang tapi ngasuh adik Gilang aja, Mak. Emak nggak kasihan sama adik Gilang? Dia masih bayi, Mak. Nggak bisa nyari makan."

  Air mata Gilang semakin deras, sementara Surya malah nangis lebih sesenggukan daripada Gilang.

"Tau, Mak, Emak tega banget sama adiknya Gilang," ujar Surya seraya mengusap pipinya dengan siku tangannya.

"Bukan begitu maksud Emak. Justru karena adik Gilang masih bayi, makanya Emak nggak sanggup beliin susunya. Kalau Gilang dulu, dikasih nasi sama tempe juga udah bisa makan."

  Gilang mengangguk, mencoba mengerti. Setidaknya emak sudah baik karena mau mengadopsinya. Emak tidak memiliki pilihan karena kondisinya memang sedang susah.

"Gilang boleh tahu, Mak, di mana panti asuhan tempat adik Gilang berada?"

"Ya, sebentar, Emak ambil dulu alamatnya." Emak beranjak, menuju kamarnya.

  Selama menunggu, Gilang justru tertawa melihat wajah Surya yang demek karena terlalu banyak menangis.

"Gue yang anak pungut, gua yang ditinggalin ibu kandung gue, kenapa malah lo yang nangis, dah, Sur?" sindir Gilang seraya tertawa.

"Gue juga ikutan sedih tau!! Lagian ngapa bokap kandung lo tega amat mukulin emak lo? Cuma cowok pecundang yang berani mukulin cewek, Lang."

  Gilang mengangguk setuju. Ia juga sempat mempertanyakannya. Tapi ia tidak peduli dengan alasan ayahnya nya. Ia tidak perlu bertemu ayahnya hanya untuk mengetahui alasan itu.

  Emak datang tidak hanya membawa kertas bertuliskan alamat, tapi juga sebuah figura foto perempuan cantik sedang menggendong bayi dengan tangan kanannya dan menggenggam anak laki-laki dengan tangan kirinya.

"Ini figura foto, Emak ambil dari rumah kamu."

"Ini ibu kandung Gilang, Mak?" tanya Gilang lirih. Emak hanya mengangguk singkat. Gilang bertanya dalam hati, beban sebesar apa yang menimpanya hingga ia tidak kuat dan dengan tega meninggalkan kedua anaknya.

Part 6

Pencarian Adik Perempuan

  Gilang menatap lirih figura foto itu. Tampak seorang perempuan cantik dengan make up sederhana menghiasi wajahnya. Dalam benak Gilang terbesit sebuah harapan. Semoga suatu saat nanti ia dapat bertemu dengan ibunya dan mempertanyakan apa alasan ibunya meninggalkan ia dan adiknya sendirian. Lalu ia beralih pada sebuah kertas. Tampaknya alamat itu cukup lengkap. Pasti ia bisa menemukannya.

"Emak, Gilang mohon izin mau nyari adik perempuan Gilang boleh, Mak?"

Gilang berkata lembut. Emaknya tertegun, apakah itu artinya Gilang akan meninggalkan dirinya untuk selamanya?

"Boleh, Nak. Tapi kamu kembali pulang kan, Nak? Emak nggak sanggup kalau hidup tanpa kamu, Nak."

"Iya, Mak, Gilang pasti pulang. Gilang udah nganggep Emak adalah Emak kandung Gilang sendiri."

  Emak tersenyum lega. Ia tidak akan ditinggalkan sendirian oleh Gilang. Emak yakin Gilang akan menemani seumur hidupnya.

"Lang, lo mau nyari adek lo? Gue ikut dong, Lang." Surya kali ini buka suara.

"Nggak usah, Sur. Ntar lo ikutan susah. Lo kan banyak kerjaan. Pak Makmur marah nanti sama lo kalau lo ikutan nggak masuk."

"Ah, bodo ah. Kerja mulu gue, kaya kagak, tipes iya. Gue kan cuma mau bantuin lo, Lang. Gimanapun juga lo sahabat gue, adek lo juga tanggung jawab gue!"

"Udah biarin, Lang, si Surya ikut sama kamu. Dari kecil kan kamu berdua udah kayak lembar dempet." Emak menyela, mendukung Surya.

"Noh, lihat, Emak lo aja dukung gue, Lang. Pokoknya gue nggak mau tahu, gue mau ikut. Titik."

  Gilang mengambil napas kasar. Ia tahu tidak akan bisa membantah Surya. Surya adalah orang yang keras kepala. Jangankan Gilang, semua orang di kantor tahu itu.

"Yaudah tunggu bentar. Gue mau ke kamar siap-siap." Gilang beranjak.

"Ho-oh," jawab Surya singkat.

"Ntar kalau di panti dia nggak ketemu adeknya, lu hibur ya, Sur." Emak berbisik pelan pada Surya.

"Lah, ngapa gitu si Gilang bisa nggak ketemu adeknya?" Surya malah memekik hingga membuat Emak menoyor kepalanya.

"Dasar, lu, yak!! Jangan kenceng-kenceng, nanti Gilang denger. Ya, namanya panti asuhan, Sur, kita nggak tahu adeknya udah diadopsi orang atau belum."

"Bener juga, Mak." Surya setuju pada perkataan Emak. "Surya kasihan dah, Mak, sama Gilang. Kenapa Gilang punya hidup kayak begini sih, Mak," bisik Surya pada Emak. Tanpa Surya tahu bahwa Gilang sudah berada di ruang tamu lagi.

"Nggak usah sok-sokan kasihan sama gue, lo, Sur. Kasihan sama diri lo sendiri, dosa lo kebanyakan sampe nggak bisa lo itung. Nonton bokep mulu sih lo. Haha." Gilang tertawa singkat.

"Astagfirullah, Gilang. Memfitnah itu jauh lebih jahat daripada tidak memfitnah, Gilang."

"Siapa yang fitnah? BTW, lo aja ya, Sur, yang nyetir?" Gilang memberikan kuncinya pada Surya. Energinya sudah habis mendengar pengakuan emak yang membuatnya syok.

................

  Surya dan Gilang memeriksa alamat itu setelah keluar komplek. Alamatnya cukup jauh, di Sabang, Jakarta Pusat. Sedang mereka berada di Ciputat, Tangerang Selatan. Lumayan juga, melewati Jakarta Selatan, dari Ciputat lurus terus menuju Pondok Indah, lalu Blok M, lurus lagi Sudirman, lalu Sarinah. Sabang bisa dibilang di belakang Sarinah. Untuk seorang Surya yang sudah terbiasa menempuh jarak jauh dalam mengemudi motor, baginya ini sudah biasa.

  Tapi bagi Gilang, ini bukanlah hanya sekedar misi mencari alamat. Tapi ia mencari adiknya yang tidak pernah ia jumpai sebelumnya. Terbesit beberapa pertanyaan di benak Gilang, bagaimana wajah adik perempuannya saat ini? Bagaimana kehidupannya? Apakah ia bisa hidup dengan tenang? Adakah orang tua baik hati yang mengadopsinya? Atau bagaimana? Pikiran Gilang melayang jauh, tidak sadar Surya meneriakinya beberapa kali.

"Gilang, woy, budek amat jadi orang gue panggil nggak nyaut-nyaut!!" Surya bahkan harus memutar kepalanya ke belakang dalam keadaan nyetir.

"Apaan, sih, lo, udah nyetir aja yang bener. Lurus aja terus juga nyampe," balas Gilang yang kesal lamunannya terusik.

"Gue haus, mampir dulu ya ke indoapril?"

   Gilang menggelengkan kepalanya. "Kayak bocah aja lo, baru jalan dikit minta mampir."

"Songong, lo, gue dikata bocah!" Ujar Surya tidak terima.

"Yaudah tinggal mampir doang, jangan bacot kayak emak-emak."

    Tidak lama, Surya sudah parkir di indoapril yang sudah ia incar dan langsung memarkirkan motornya.

"Gue tunggu di sini aja, mau beli aer doang kan, lo?" tanya Gilang yang malas turun dari motor.

"Iye, beli aer doang." Surya menengadahkan tangannya di depan wajah Gilang.

"Mau apa lagi sih, lo? Udah buruan masuk, gue empet liat muka lo!" hardik Gilang. Tapi Surya tidak menyerah, ia tidak menurunkan tangannya. Malah menaikkannya lebih tinggi hingga hampir mengenai wajah Gilang.

"Bagi duit dong, ceban aja. Hehe."

"Lo mau beli aer putih aja malak dah!" sahut Gilang kesal.

"Waelah, lo, medit banget lo jadi orang. Jangan medit-medit, Lang, biar kuburan lo lebar."

  Gilang melirik Surya dengan tatapan horor. Ia mengeluarkan uang dan menyuruh Surya pergi dari hadapannya.

  Surya sudah masuk ke dalam, sementara Gilang bosan duduk di depan indoapril. Ia mengamati sekitar, tampak ada bocah SD yang ingin menaiki angkot tapi tidak jadi. Ia tampak ragu-ragu, antara naik dan tidak, padahal supirnya sudah menunggu tapi akhirnya bocah itu tidak juga naik.

  Karena penasaran, Gilang menghampiri bocah SD tersebut. Usianya sekitar sembilan tahun, dengan wajah memelas yang tampak kaget dengan kehadiran Gilang.

"De, kamu kenapa kakak perhatiin kok bingung gitu mau naik angkot?"

  Bocah SD itu tampak menimbang apakah ia harus memberikan jawaban pada orang yang tidak ia kenal ini atau tidak.

"Aku nggak punya uang buat naik angkot," ujarnya sedih.

"Lho, kenapa? Kamu nggak dikasih ongkos sama orang tua kamu?" tanya Gilang penasaran.

"Aku dikasih ongkos sama ibu putri, tapi tadi ada adik panti yang dipalak uangnya sama preman. Sedangkan jalan ke panti masih jauh. Aku kasih aja uangku untuk dia naik angkot. Jadi sekarang aku yang nggak punya uang buat naik angkot," jelasnya dengan tertunduk.

   Sedang Gilang bak tersambar petir mendengar kata 'panti'. Ia langsung terpikirkan bagaimana nasib adiknya di panti. Pasti jauh lebih tidak enak dibandingkan dengan dirinya yang diasuh oleh emak seperti anak sendiri.

  Gilang memejamkan mata beberapa saat lalu mengeluarkan dompetnya. Ia memberi uang dengan pecahan sepuluh ribu sebanyak lima buah pada bocah SD tersebut.

"Ini buat kamu."

  Bocah SD itu tampak begitu kaget dengan uang yang disodorkan Gilang. "Aku nggak mau, kata Ibu Putri kita nggak boleh mengemis-ngemis sama orang."

"Siapa Ibu Putri? Pasti Ibu Putri itu ibu panti kamu ya?"

   Pertanyaan Gilang dengan cepat dibalas anggukan.

"Bilang sama Ibu Putri, kamu dapat hadiah ini dari kakak karena udah mau menolong adik kamu sendiri. Ibu Putri pasti bangga dengernya."

  Seketika, senyumnya mengembang. Ia mengambil uang dari tangan Gilang dan menatapnya sumringah.

"Terima kasih ya, kak, udah mau nolong aku. Dadah, kakak." Bocah SD itu melambaikan tangannya seraya menyetop angkot yang datang. Sampai di dalam angkot pun ia masih tersenyum riang.

  Kali ini, Gilang yang pias. Ia memikirkan semoga Adik perempuannya baik-baik saja. Semoga tidak mengalami kesusahan seperti yang dialami bocah SD itu. Tiba-tiba Surya datang memberikan air mineral kepada Gilang. Gilang hanya mengambilnya tanpa berkomentar apa-apa.

"Lah, ngapa muka, lo? Asem banget kayak sayur asem!"

   Gilang tidak peduli, ia menghampiri motor dan meminta kuncinya kepada Surya.

"Gue aja yang bawa motornya. Lo lelet kayak keong."

   Sepertinya kali ini Gilang tidak bisa menahan lagi agar bisa cepat bertemu dengan adik perempuannya.

Part 7

Hai, Adinda!

Sepanjang perjalanan Gilang ngebut hingga membuat Surya ngeri. Ada lampu merah terobos, kakek-kakek yang sedang nongkrong di warteg menggelengkan kepalanya melihat Gilang membawa motor seperti orang kesetanan. Sampai-sampai diteriaki maling oleh warga yang terusik dengan aksi ngebut Gilang.

Surya sendiri sudah berantakan. Berkali-kali ia memegang helm kalau tidak mau helmnya terlepas. Ia menoyor kepala Gilang untuk menyuruhnya berhenti.

"Lang, lo, sebenarnya ada dendam apa sih, Lang, sama gue? Sampe niat banget bawa motor ngebut. Pengen banget bunuh gue kayaknya lo. Tadi Bi Ira yang pengen bunuh gue, sekarang lo. Kita pengen ketemu adek lo, Lang, bukan ketemu malaikat maut. Hihhh!!!" Surya merinding mendengar ucapannya sendiri.

Omongan Surya yang panjang lebar tidak didengarkan oleh Gilang. Ia tetap ngebut, tidak peduli dengan sekitarnya.

"Bu, awas, Bu, awas. Ini ada pasien RSJ belajar nyetir, awas!!!" Surya teriak-teriak seraya melambaikan tangannya melihat ibu-ibu hamil yang hendak menyebrang di hadapannya. Untung berkat peringatan dari Surya, ibu-ibu itu tidak jadi menyebrang.

"Gilang, lo, gila ya?? Itu ibu-ibu hamil hampir ngelahirin di jalanan saking kagetnya lihat lo!! Pelan dikit apa woy, awas kalau sampe gue kenapa-kenapa, gue tuntut lo di akhirat."

Gilang tetap mengebut seolah tidak ada yang berbicara dengannya. Bukannya semakin pelan karena diomeli Surya, malah semakin kencang. Bahkan membuat mata Surya kelilipan karena kemasukan debu. Surya hanya memejamkan matanya sepanjang perjalanan.

'Terserah deh, Gilang mau apa. Yang penting gue merem aja kalau nggak mau mata gue buta,' batin Surya seraya menundukkan wajahnya.

..........

"Bangun, lo, Sur. Enak banget tinggal tidur doang!!" Gilang mengatakan hal itu setelah ngerem mendadak yang membuat Surya hampir terpental ke tengah jalan.

"Siapa yang bisa tidur kalau lo ngebutnya kayak dikejar setan!! Ini di mana? Di akhirat?" sindir Surya yang begitu kesal pada Gilang. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Sampai di kiri jalan ia melihat sebuah rumah besar bertuliskan "Panti Asuhan Cinta Kasih"

"Lah, udah nyampe ini?" tanya Surya terkesima. Minimal kalau dari Ciputat ke Sabang bisa ditempuh dengan jarak satu setengah jam paling cepat. Itu juga kalau dikemudikan superman. Gilang lebih hebat lagi, bisa sampai dengan satu jam saja. Luar biasa.

"Udah lah, lo tidur mulu."

"Ngejek gue terus lo! Udah ayok masuk!"

Gilang mengikuti langkah Surya. Ia masih terkesima dengan panti itu. Dari kecil Gilang tidak pernah di bawa ke panti. Ternyata tempatnya besar juga.

Di ruang tamu, ada seorang resepsionis yang menyambut mereka dengan ramah. Menanyakan ada keperluan apa dan ingin bertemu dengan siapa. Gilang dan Surya bingung harus menjawabnya. Benar juga, kenapa tadi mereka hanya meminta alamat kepada emak. Bukan bertanya siapa orang yang menerima adik Gilang di panti ini. Sekarang mereka berdua kebingungan.

"Lo, sih, keburu-buru. Udah kayak nggak kebagian gaji aja. Orang mah nanya dulu yang detail ke emak lo, adek lo diterima sama siapa di panti ini atau bawa foto adek lo, minimal nama dah. Lo mah kagak, main ngacir aja!! Sekarang kalau udah begini gimana? Lo juga yang repot kan!! Mana emak lo kagak punya handphone. Lagian juga Bi Ira heran banget gue diajarin timbang ngangkat telpon aja kagak bisa-bisa. Belom disuruh ngangkat galon."

Gilang yang sudah terbiasa mendengar ocehan Surya telinganya sudah kebal. Tapi berbeda dengan mba-mba resepsionis itu, gendang telinganya hampir pecah mendengar ocehan Surya. Ia berinisiatif menghubungi ibu pemilik panti, Ibu Nina.

"Halo, Bu, ini ada dua orang ribut di depan. Saya bingung mau handlenya. Ibu bisa bantu? Baik, Bu, terima kasih ya Bu."

"Tuh dengerin, gara-gara congor lo, mbaknya bingung. Lo berisik amat dah!" Gilang memperingatkan Surya.

"Lah, sama, Mbak, bukan situ doang yang bingung, ini kita juga bingung. Pegangan dah biar nggak bingung," sahut Surya asal.

Mbaknya tidak menanggapi. Ia fokus ke komputernya kembali. Tampaknya kesal dengan ocehan Surya yang mirip bebek. Tidak berapa lama, Ibu Nina datang menemui mereka. Seorang perempuan paru baya yang cantik serta anggun. Melihat kecantikan Ibu Nina di usia senja, sudah dapat dipastikan Ibu Nina seorang idola di masanya.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Ibu Nina dengan sopan.

"Selamat siang, Bu. Ini temen saya mau cari adeknya, tapi nggak tahu namanya. Emang bloon banget dia, saya juga malu jadi temennya."

Gilang menghempas Surya untuk minggir. "Udah lo nggak usah ngomong deh. Tambah runyam urusannya, lagian bukan gue doang yang bego. Harusnya kalau gue lupa nanya nama, lo yang nanya dong ke emak gue!!" balas Gilang seraya tersenyum tidak enak pada Ibu Nina yang merasa tidak nyaman. Sedang Surya hanya menggaruk kepalanya. Benar juga apa yang Gilang katakan.

"Selamat siang, Bu. Maaf sebelumnya bikin gaduh. Saya ke sini mau cari adek saya yang dititipkan ke panti ini dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu dia baru saja lahir. Kira-kira usianya baru sebulan."

Gilang mencoba menjelaskan apa yang dia tahu, sementara Bu Nina mengangguk mengerti. "Berarti sekarang usianya sudah dua puluh tahun ya?" tanya Bu Nina.

"Iya, Bu," sahut Gilang dan Surya bersamaan. Mereka tersenyum sumringah.

"Namanya siapa?" tanya Bu Nina lagi.

"Nah, lho, dia nanya nama kan, lo! Gue kata juga apa, tanya namanya." Surya melirik ke arah Gilang yang dibalas pelototan oleh Gilang.

"Maaf saya lupa nanya namanya." Gilang menggaruk kepalanya. "Tapi kata emak saya, dulu dia dititipkan ke panti karena kedua orangtuanya pergi begitu saja dari rumah."

Sekilas Bu Nina tampak berpikir, mencoba mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu. Sedang Gilang hanya berharap semoga Bu Nina bisa mengingatnya, karena ia tidak memiliki informasi apa-apa lagi untuk diberi tahu.

"Orang tuanya pergi begitu saja dari rumah? Dulu, Ibu ingat pernah ada kejadian menggegerkan di Tangerang Selatan. Ada satu orang balita dan satu bayi ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya di dalam rumah hingga mereka kelaparan. Ibu ingat betul kejadian itu," ujar Ibu Nina masih mengernyitkan alisnya, berpikir lebih jauh.

"Nah, ini, nih, Bu, bocah balitanya yang sekarang udah kayak bujang lapuk." Surya menunjuk Gilang tanpa merasa bersalah.

"Kamu yang bernama Gilang?" Mata Ibu Nina berkaca-kaca. Ia terharu karena tidak menyangka dapat bertemu lagi dengan anak balita yang ditinggalkan ibunya.

"Benar, Bu, saya yang bernama Gilang. Adik saya, masih ada di sini atau sudah diasuh orang tua lain seperti saya?" Gilang bertanya dengan hati-hati.

"Adik kamu, bernama Adinda. Dia sudah tidak tinggal di sini lagi, karena berdasarkan peraturan panti, anak yang sudah lulus SMA dan bekerja, dianggap sudah dewasa dan sudah memiliki penghasilan sendiri. Oleh karenanya ia harus keluar dari panti untuk menghidupi dirinya sendiri. Karena masih banyak anak kecil yang butuh diasuh."

Seketika wajah Gilang pias. Di mana adiknya sekarang?

Part 8

Pertengkaran

"Terus adeknya dia dimana dong, Bu, sekarang?" tanya Surya tidak sabaran. Bukan apa-apa, masalahnya Surya kasihan sama Gilang kalau tidak dapat bertemu dengan adiknya. Gilang sudah hampir mati dua kali tadi di jalanan akibat mengebut. Gilang sudah mengorbankan nyawanya, masa sampai tidak bertemu.

Ibu Nina menenangkan Surya, ia menghampiri mbak-mbak resepsionis untuk mengetahui informasi tentang Adinda.

"Lia, coba kamu search informasi terbaru tentang Adinda ya."

"Baik, Bu."

"Kalian berdua sabar ya. Soalnya sudah beberapa bulan ini Adinda tidak ke panti. Sebelumnya, ia selalu mengunjungi adik-adiknya. Memberi mereka jajanan dan mengajak ke taman untuk bermain."

"Emang, Ibu, nggak bertanya sama dia? Kali aja dia ada masalah, Bu." Gilang menahan emosinya. Menurut Gilang harusnya panti ini tidak lepas tangan meski Adinda sudah besar. Bagaimanapun juga, tidak mudah hidup sendirian di dunia ini.

"Saya sudah bertanya. Tapi anak itu tertutup sekali. Dari dia kecil juga dia jarang curhat sama saya, jarang menangis, jarang tertawa, pokoknya dia tipe anak yang jarang mengekspresikan emosinya."

'Jadi selama ini, Adinda selalu memendamnya sendirian?' batin Gilang pedih.

"Ibu, sudah ketemu," ujar Lia memberikan selembar kertas pada Ibu Nina.

"Mana sini saya lihat." Ibu Nina mengambil selembar kertas dari Lia, lalu membacanya dengan seksama.

"Ah, ini, terakhir kali saya merekomendasikan dia kepada teman saya pemilik restoran bebek presto. Dan menurut data terakhir, Adinda masih berkeja di sana. Ini alamatnya." Ibu Nina menyodorkan kertas itu tapi langsung direbut Surya.

"Mana sini gue lihat." Surya langsung membaca alamat itu.

"Sur, gue lagi nggak mau bercanda. Sini balikin kertasnya." Lama-lama Gilang kehabisan kesabaran juga pada Surya.

"Siapa yang ngajakin lo bercanda, Lang? Nih lihat bebek presto Bu Ridha, Lang, jaraknya kurang lebih lima kilo aja dari sini. Kalau lo bawa motornya kayak orang kesetanan kayak tadi, paling gue baru duduk di motor, juga udah nyampe."

.................

Benar saja ucapan Surya, Gilang lumayan kencang mengendarai motornya. Sudah berapa kali Surya hampir terpental di jalanan karena Gilang tiba-tiba mendadak berhenti melihat lampu merah.

"Gilang, kalau lo ngebut terus, lo udah mati sebelum ketemu adek lo. Pegang omongan gue," ujar Surya seraya menoyor kepala Gilang.

Akhirnya Gilang menurut, ia tidak lagi mengebut walau tidak pelan juga mengendarainya. Sampai akhirnya, mereka sampai juga di sebuah restoran besar bertuliskan "Bebek Presto Bu Ridha" restoran itu bernuansa joglo. Lumayan besar juga dan sepertinya termasuk restoran kelas atas kalau dilihat dari dekorasinya yang mewah.

Tapi di depan restoran terlihat ribut-ribut. Orang-orang dari dalam keluar seraya menggerutu. Surya dan Gilang heran melihat kejadian itu.

"Ada apaan nih, Lang, di restoran mewah orang pada panik? Beneran kiamat kali yakk?" Surya menatap bingung melihat orang-orang keluar dengan mimik kesal.

"Hush, ngaco, lo!!" Gilang menghampiri salah satu orang yang keluar dari dalam restoran. "Maaf, Bu, kalau boleh tahu, ada apa ya di restoran sampai Ibu keluar?" tanya Gilang sopan.

Ibu-ibu itu menjawab dengan nada ketus. "Saya juga nggak tahu, tuh!! Lagi enak-enak makan malah ada yang berantem. Kan jadi nggak enak makan. Mending saya pulang," ujar Ibu itu seraya berjalan menuju mobilnya.

"Hah? Ada berantem apaan, Lang? Nggak ada adab banget, orang lagi pada makan pake berantem!" tanya Surya bingung.

"Mana gue tahu!" Gilang berjalan menuju restoran meninggalkan Surya yang masih kebingungan.

Begitu masuk, benar saja, ada dua orang perempuan yang sedang bertengkar dan saling berteriak. Ada juga beberapa orang yang melerai. Dua perempuan itu tampak tidak imbang apabila dilihat dari segi umur. Karena yang satu perempuan paruh baya yang satu perempuan berusia dua puluhan. Tapi sepertinya perempuan paruh baya itu tampak tidak kalah energi, ia juga dikawal oleh beberapa orang berpakaian security.

Gilang mendekat ke beberapa pelayan yang malah menonton saja, bukan membantu melerai. "Mbak, kalau saya boleh tahu, mereka bertengkar karena apa? Kok nggak dipisahin?"

"Udah dipisahin, Mas, tapi Adinda masih aja ngotot sama Ibu Ridha. Adinda bilang Ibu Ridha pemilik restoran ini adalah ibunya. Kayaknya Dinda udah stress, deh, ya, nggak?" Pelayan itu bertanya kepada temannya yang dijawab anggukan oleh temannya yang lain.

Sedang Gilang? Ia sangat kaget begitu nama Adinda disebut.

"Lang, dia bilang yang lagi berantem namanya Adinda. Berarti adek lo, Lang, ayok kita deketin."

Kali ini Gilang setuju dengan Surya. Mereka berdua sibuk menyeruak diantara keramaian. "Minggir, minggir, saya mau lewat. Pada minggir kenapa dah!" Surya kesal karena orang-orang yang menonton itu tidak mau beranjak dari tempatnya berdiri.

Dengan susah payah Gilang dan Surya mendekati kedua orang yang sedang bertengkar itu. Tidak mudah, karena ada beberapa security yang menghalangi untuk mendekat. Sampai akhirnya Gilang memutuskan untuk diam di tempat daripada harus ribut dengan security. Lagi pula jaraknya sudah lumayan dekat. Gilang ingin fokus mendengar apa yang menjadi sumber pertengkaran mereka.

Apa benar yang dikatakan pelayan tadi? Bahwa Adinda bersikeras mengatakan bahwa Ibu Ridha adalah ibunya? Kalau benar begitu, berarti, perempuan paruh baya yang berada di hadapannya ini, juga ibunya?

"Kamu jangan ngaco!! Saya nggak punya anak, anak saya sudah meninggal semua." Ibu Ridha berteriak pada Adinda yang menangis sesenggukan.

"Tapi kemarin waktu saya disuruh membersihkan ruangan ibu, saya melihat foto ibu jaman dulu. Foto itu persis seperti foto mama saya yang diberikan oleh ibu panti!" Adinda tidak kalah teriak. Sepertinya dirinya sudah frustrasi, tapi memutuskan untuk tidak menyerah.

"Kamu jangan ngaku-ngaku anak saya, ya! Security, tolong dong beresin ini. Masa' ngurusin satu bocah aja nggak bisa, gimana mau nangkep maling?"

Sontak beberapa security mendekap tubuh Adinda agar tidak mendekati Ibu Ridha lagi.

"Din, udah, Din, jangan ngaco. Nanti kamu dipecat. Jangan cari gara-gara, kamu kan lagi butuh duit buat bayar kos-kosan. Kalau kamu dipecat, kamu bayar pakai apa?" Mang Ujang mencoba menenangkan Adinda. Tapi Dinda menggeleng.

"Saya nggak mencoba nyari gara-gara, Mang. Saya cuma mau ketemu ibu kandung saya. Dari kecil saya dibesarkan di panti tanpa tahu siapa orang tua saya. Itu menyakitkan buat saya." Air mata Dinda mengucur deras di pipi. Sementara Gilang yang mendengar perkataan Adinda memejamkan matanya. Benar kata Adinda, ia juga hanya ingin tahu siapa orang tua kandungnya. Itu saja.

"Dari sekarang, kamu saya pecat tidak hormat. Mulai besok kamu tidak usah masuk lagi. Minggir!!" Ibu Ridha beranjak, tapi Adinda memegang lengannya memohon agar ibu Ridha berhenti.

"Bu, maaf, saya cuma pengen tahu siapa orang tua kandung saya. Saya nggak perlu pengakuan ibu, apalagi berharap bisa tinggal sama ibu. Seenggaknya saya tahu kalau ibu saya masih hidup." Dinda dengan kuat memegangi lengan Ibu Ridha sementara para security mencoba melepaskan tangan Adinda.

Gilang sudah tidak tahan lagi melihat hal ini. Ia harus turun tangan membantu adiknya. Gilang menyerobot security yang sedang menjaga hingga membuat security itu murka, tapi Gilang tidak peduli.

"Adinda, apa kamu punya foto Ibu Ridha jaman dulu?" tanyanya pada Adinda. Adinda mengangguk mantap, ia mengambil foto di saku yang telah ia curi dari ruangan Ibu Ridha. Adinda menyerahkannya pada Gilang, sedang Gilang terkejut. Benar, ini adalah foto perempuan yang emak perlihatkan padanya.

Sementara, Ibu Ridha juga terkejut melihat laki-laki muda yang begitu mirip dengan mantan suaminya dulu.

"Pras?" ujarnya hampir-hampir tidak terdengar.

Part 9

Sebuah Alasan

"Pras?" suara Ibu Ridha hampir-hampir tidak terdengar.

  Mungkin yang berada di ruangan itu tidak dengar. Tapi posisi Gilang dan Adinda yang sangat dekat dengan Ibu Ridha mendengar begitu jelas. Gilang menoleh ke arah Ibu Ridha seraya tersenyum. Sedang Ibu Ridha semakin syok, perawakannya, tubuhnya, wajah mudanya, bahkan senyumnya, kenapa anak laki-laki ini begitu mirip dengan Prasetyo, mantan suaminya.

'Jangan-jangan dia ini ....' Ibu Ridha menggeleng. Dadanya bergemuruh, dari awal berdebat dengan Adinda ia sudah menyangkal pada dirinya sendiri, bahwa gadis itu begitu mirip dengannya di kala muda. Tapi ia tidak mengenali nama Adinda karena mungkin itu adalah nama pemberian orang yang menemukan bayinya saat ia tinggal begitu saja.

   Tapi, Gilang ia tinggal saat berusia empat tahun, usia yang cukup untuk dapat memberitahu namanya ke semua orang yang menemukannya di rumah saat ia tinggal. Laki-laki muda ini begitu mirip dengan Pras, kali ini Ibu Ridha tidak bisa menyangkalnya.

"Siapa nama kamu?" tanya Ibu Ridha seraya menajamkan telinga. Diam-diam ia berharap bahwa laki-laki muda ini bukan anaknya yang bernama Gilang.

"Gilang!" jawab Gilang mantap.

  Ibu Ridha membelalakkan matanya, lalu terjatuh lemas. Mendengar nama Gilang, seluruh tubuhnya gemetar.

"Kakak siapa?" tanya Adinda. Ia bingung kenapa tahu-tahu ada seorang lelaki menyeruak masuk di tengah keributan ini.

"Aku kakak kamu!" jawab Gilang dengan mata berkaca-kaca.

   Kali ini, Dinda yang membelalakkan matanya. Kejutan apa lagi ini, baru saja ia dibuat kaget mengetahui kenyataan bahwa ibu kandungnya adalah seorang pemilik restoran di tempatnya bekerja. Kini ada laki-laki yang mengaku sebagai kakaknya? Dinda mencoba tegar, meski tubuhnya sama lemasnya dengan Ibu Ridha.

"Ibu, Ibu, nggak papa, Bu?" Beberapa pelayan sibuk mengambil minum dan membantu Ibu Ridha duduk di kursi. Ia semakin lemas begitu Gilang mengatakan bahwa Adinda adalah adiknya. Jadi, sebelumnya, mereka berdua terpisah? Apakah hidup mereka selama ini baik saja?

"Kalian berdua ikut saya ke mobil." Ibu Ridha menunjuk Gilang dan Adinda. "Tolong bantu papah saya," lanjut Ibu Ridha menyuruh beberapa karyawannya dan beranjak keluar restoran.

  Gilang hendak mengikuti Ibu Ridha keluar, sebelum ia melihat bahwa Adinda masih menatap dirinya dengan tatapan tidak percaya.

"Kenapa?" tanya Gilang lembut. Ternyata adiknya sekarang tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik. Meski ia merasa bersalah karena tidak membersamai dalam setiap momen kehidupannya, tetap saja Gilang bangga.

"Aku punya kakak? Kakak, kakak aku?" tanya Adinda polos.

"Iya, kamu adik aku."

"Ya Allah, kakak!" teriak Adinda. Gilang dan Adinda berpelukkan. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa mereka bisa berkumpul kembali.

"Et, udah, ntar aja pelukannya. Ntar emak kandung lo keburu kabur, noh." Surya memperingatkan Gilang dan Adinda.

   Gilang dan Adinda bergegas. Berlari menuju mobil yang dimasuki Ibu Ridha, tanpa peduli bisik-bisik satu restoran tentang mereka.

   Saat Gilang dan Adinda hendak masuk mobil, security melarang Surya yang juga ingin masuk mobil.

"Anda nggak boleh masuk. Anda bukan anak kandung ibu, kan?" tanya security bertubuh kekar kepada Surya.

"Eh, Pak, mohon maaf jangan salah. Saya itu kembar dempetnya Gilang. Di mana ada Gilang di situ ada saya. Ya, masa' saya nggak boleh masuk!!"

"Jadi Anda juga anak kandung ibu?" tanya security bingung.

  Kali ini Surya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya, bisa dibilang begitu, dah," ujar Surya biar cepat. Akhirnya Surya diizinkan masuk dengan duduk samping supir. Sementara Ibu Ridha, Gilang dan Adinda duduk bertiga di belakang.

  .................

   Hening menyelimuti mobil. Tidak ada satu pun orang yang mau berbicara duluan. Mereka sibuk dalam pikiran masing-masing. Tidak menyangka akan terjadi hal besar seperti ini dalam hidupnya.

"Saya mau tanya, kenapa kalian mencari saya?" Ibu Ridha memecah keheningan yang membuat seisi mobil menoleh ke arahnya. Gilang dan Adinda kaget dengan pertanyaan itu. Seperti yang sudah Adinda berkali-kali katakan, ia hanya ingin tahu siapa orang tua kandungnya. Itu saja.

"Harusnya kalian menganggap saya sudah mati. Tanpa saya pun, kalian bisa hidup dengan baik. Kenapa kalian harus mencari seorang Ibu jahat seperti saya yang sudah meninggalkan kalian?" Tangisan Ibu Ridha ia simpan rapat-rapat dalam hati. Di sini, ia adalah seorang ibu yang jahat. Tidak boleh menangis, karena nanti mereka tidak akan percaya kalau ibunya jahat.

"Kenapa saya harus mencari? Karena saya harus tahu, apa alasan Ibu meninggalkan kami berdua. Di usia kami yang masih begitu kecil." Kali ini Gilang yang bersuara dengan gemetar.

  Sedangkan Adinda menunggu. Itu juga yang menjadi pertanyaannya selama ini.

  Netra Ibu Ridha menatap ke depan. Ia menerawang, mencoba mengingat yang terjadi pada masa lalunya yang kelam. "Waktu itu, bapak kalian selalu mukulin saya setiap hari. Dari masalah besar sampai masalah kecil seperti handuknya basah saat ia hendak pakai pun saya selalu dipukuli. Hingga membuat saya depresi dan hampir gila. Orang tua saya di Surabaya tahu saya frustrasi. Mereka membawa saya pulang ke rumah, dengan syarat tidak boleh membawa kalian. Karena pernikahan saya dengan bapak kalian tidak mendapatkan restu. Orang tua saya tidak menginginkan kalian. Saya yang waktu itu tidak waras, hanya menurut pada mereka." Kali ini suara Ibu Ridha yang bergetar.

  Adinda memejamkan mata. Kenapa ayah kandungnya begitu tega membuat ibunya menderita. Kalau Adinda di posisi ibunya, ia mungkin akan melakukan hal yang sama. Sedangkan Gilang mencoba membayangkan seperti apa ayah kandungnya yang tega menyakiti ibunya. Tapi ia menggeleng, tidak kuat membayangkannya.

"Apapun yang terjadi pada masalah orang dewasa hingga membuat hampir gila, pantaskah seorang ibu meninggalkan anak-anaknya? Asal Ibu tahu, tidak ada satu pun anak di dunia ini yang minta dilahirkan. Kalian lah yang memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan keturunan." Gilang mencoba menguasai emosinya.

"Memang tidak pantas. Untuk itu setiap hari saya mengubur ingatan tentang kalian. Karena saya tahu apa yang saya lakukan tidak bisa dimaafkan."

"Dan Ibu mampu melakukannya?Mengubur ingatan tentang kami?" Gilang menggeleng tidak percaya.

"Enggak sama sekali. Oleh karenanya saya tersiksa setiap hari. Saya justru lebih tersiksa di saat saya mengingat tentang kalian dibandingkan dipukuli bapak kalian setiap hari. Saya jauh lebih tersiksa." Air mata Ibu Ridha mulai menetes, tubuhnya bergetar hebat karena begitu kuat menahan tangisan yang akhirnya pecah juga.

"Kalian tidak pernah tahu, setiap hari saya berpikir bagaimana caranya untuk mati. Karena bagaimanapun, saya memang lega bisa berpisah dengan bapak kalian. Tapi sungguh, dalam satu hari pun saya tidak bisa hidup tanpa kalian. Saya benar-benar tersiksa. Saya tahu saya pantas mati."

"Ibu, Ibu, jangan berpikiran kalau Ibu tidak termaafkan. Apapun yang terjadi di masa lalu, jangan pernah berpikir bahwa Ibu tidak pantas. Jangan pernah berpikir untuk mati, Bu. Aku butuh Ibu."

  Adinda meraih tubuh Ibu Ridha yang gemetar. Mereka berdua berpelukan. "Maaf, maafkan, Ibu," lirih Ibu Ridha.

"Aku nggak pernah menganggap Ibu jahat kok. Jadi jangan meminta maaf terus, Ibu memang salah. Tapi rasa bahagia aku bisa ketemu Ibu jauh lebih besar ketimbang rasa sakit hati aku tidak punya Ibu," ujar Dinda dengan suara serak. Ia bahagia karena bisa bertemu dengan Ibu kandungnya.

  Ibu Ridha menoleh ke arah Gilang, "Kamu juga mau memaafkan Ibu, Nak? Ibu mohon maafkan Ibu."

"Iya, Bu. Semua hal yang pernah terjadi di masa lalu kita kubur sama-sama. Yang penting, sekarang aku tahu siapa Ibu dan adik aku." Gilang memeluk Ibu Ridha dan Adinda. Mereka bertiga saling berpelukan seraya menangis.

  Tidak hanya mereka, Surya yang duduk di bangku depan pun ikut menangis bahagia. Akhirnya sahabatnya Gilang menemukan ibu kandungnya.

  Mereka bertiga selama ini dipisahkan oleh keadaan yang kejam. Bukanlah suatu yang mudah berada di posisi Ibu Ridha walau juga bukan suatu yang dapat dibenarkan ia meninggalkan kedua anaknya. Sedang Gilang dan Adinda? Bukannya mereka tidak sakit hati ibunya selama ini sudah meninggalkannya. Tapi, mengubur ego demi kebahagiaan di masa yang datang dengan memaafkan ibunya itu merupakan suatu pilihan yang tepat.

  Terkadang dalam hidup kita memang di tempatkan dalam posisi yang begitu berat dan putus asa. Tapi di saat posisi kita benar-benar jatuh, bukankah tidak ada hal lain yang bisa dipilih selain berusaha bangkit dan memperbaiki hal-hal yang pernah hancur?

  Tamanmu mungkin pernah terbakar, tapi bukan berarti semua selesai. Yang perlu kamu lakukan hanya menanam tanaman kembali. Untuk bisa indah seperti semula.

  

   

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
((Banner pecel lele)) 🤣🤣🤣
wah cerita yang bagus ,kasih rekomendasi cerita dong,buat orang badmood
@vitririzasa : Ibu Nina tahu kak. Justru karena Bu Nina tahu alasan Ibu Ridha yg meninggalkan kedua anaknya, makanya Ibu Nina coba mendekatkan Adinda pada Ibu Ridha. Ibu Nina mengerti alasan Ibu Ridha yg terpaksa meninggalkan Gilang dan Adinda. Ia berharap smg suatu saat Ridha bs menerima Adinda. Makanya Adinda ditempatkan di sana. Btw, makasih kak udh mampir :)
Pemilik restoran bebek presto adalah bu Ridha tak lain adalah teman bu Nina pemilik panti asuhan, bu Nina tau kejadian 20 tahun lalu berarti dia tau dong kalo bu Ridha ibunya Adinda dan Gilang? Berarti dia sengaja merekomendasi Adinda karena bu Ridha ibunya? Atau bu Nina tidak pernah tau siapa bu Ridha, cuma tau kejadiannya saja, sehingga Adinda yg berkerja di sana hanya kebetulan
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Cerpen
Bronze
FIRASAT EMAK
Efi supiyah
Cerpen
Mati Itu Pasti; Lapar Itu Setiap Hari
Andriyana
Cerpen
Bronze
Istirahatlah
Jamilah Prita
Cerpen
Bronze
Wanita Pembatik
Nabilla Shafira
Cerpen
KABULKU
Racelis Iskandar
Cerpen
04 Dia Tabib
Bima Kagumi
Cerpen
Bronze
Koridor-koridor yang Diisi Nyanyian Murai
Jie Jian
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Si Anak Angkat
Veara Mart
Cerpen
Bronze
HRD Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Diari Raka
zain zuha
Cerpen
Bronze
Pelangi Di Atas Tiara
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Mekarnya Mahkota Anggrek Larat
Angelica Eleyda Hitjahubessy
Cerpen
Keseharian Yang Begitu Biasa
arkanaka
Rekomendasi
Cerpen
Ibu Jangan Mati
Siti Soleha
Novel
Burn Out
Siti Soleha
Flash
Bronze
Anak Perempuan Ayah
Siti Soleha
Novel
Bronze
Can't Stop
Siti Soleha
Flash
Bronze
Suara adalah Aib
Siti Soleha
Flash
Bronze
Kembang dan Nasibnya
Siti Soleha
Flash
Bronze
Menit ke Tujuh
Siti Soleha