Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ibu di Balik Jeruji
1
Suka
1,898
Dibaca

Tuk. Tuk. Tuk.

"Pencuri."

Kata itu melayang di udara, berat dan menusuk, seperti tombak yang menghujam langsung ke ulu hati.

Hakim mengetukkan palunya sekali lagi, suaranya menggetarkan seluruh ruang sidang yang dingin dan pengap.

"Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan ini, majelis hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara."

Sejenak, ruangan seolah membeku.

Sari tetap duduk di kursi terdakwa, punggungnya lurus, tetapi kedua tangannya mengepal di atas pangkuannya. Matanya kosong, menatap meja kayu di depannya, tetapi telinganya menangkap segala bisikan dan gumaman di antara bangku-bangku pengunjung.

"Hukuman dua tahun? Untuk mencuri obat?"

"Tapi mencuri tetap mencuri."

"Ibu macam apa yang mencuri? Seharusnya dia bekerja lebih keras!"

"Di negeri ini, hukum memang kejam untuk orang kecil."

Sari menarik napas pelan, tetapi udara yang dihirupnya terasa berat. Seberat pandangan mata orang-orang yang kini tertuju padanya.

Di bangku pengunjung, seorang perempuan tua menggenggam erat kerudung lusuhnya, menahan air mata agar tak jatuh. Itu Bu Siti, tetangga yang sudah seperti ibu sendiri. Satu-satunya yang datang untuknya hari ini.

Tak ada siapa pun selain dia.

Tak ada suami, karena lelaki itu telah lebih dulu dipanggil Tuhan setelah kecelakaan kerja yang tidak mendapat santunan. Tak ada keluarga, karena mereka telah lama menjauh, menghindari aib yang kini melekat di namanya.

Tak ada pengacara yang bisa memperjuangkan haknya dengan lebih gigih, karena yang ia dapatkan hanyalah pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang terlalu sibuk menangani kasus serupa.

Di depan, jaksa masih berdiri tegap, ekspresinya kaku, suaranya dingin. Seolah yang baru saja ia jatuhkan bukanlah kehidupan seorang ibu, melainkan hanya satu angka dalam statistik kriminalitas tahunan.

Sari menatap lurus ke lantai ruang sidang.

Di luar jendela, matahari bersinar terang, seolah tak peduli.

Di dalam dadanya, ada sesuatu yang hancur.

Dua tahun. Dua tahun tanpa Adit. Dua tahun tanpa bisa memeluknya.

Dua tahun untuk sebotol obat seharga seratus lima puluh ribu rupiah.

Ia ingin berkata, "Aku bukan pencuri. Aku hanya seorang ibu."

Tapi di mata hukum, tidak ada perbedaan antara seorang ibu yang mencuri demi anaknya dengan seorang pencuri yang mencuri demi dirinya sendiri.

Hukuman tetaplah hukuman.

Di negeri ini, harga sebuah nyawa lebih murah daripada selembar kwitansi apotek.

Hujan turun deras di gang sempit tempat Sari tinggal. Air selokan yang meluap membawa bau anyir yang menusuk hidung.

Adit, bocah kecilnya yang baru berusia tujuh tahun, terbaring lemah dengan napas tersengal. Dadanya naik turun tak beraturan, demam tinggi membakar tubuhnya.

Sari menggenggam tangan kecil itu, merasakan panas yang menyengat kulitnya.

"Sebentar, Nak... sebentar lagi..." bisiknya, air mata menggantung di pelupuk mata.

Ia berlari ke luar rumah, mendatangi satu per satu tetangga, warung, bahkan pabrik tempatnya bekerja.

"Tolong... pinjamkan uang, anak saya sakit..."

Tetapi tak seorang pun mampu membantunya.

Ia pergi ke rumah sakit, berharap belas kasih. Namun, petugas administrasi hanya meliriknya dengan dingin.

"BPJS belum aktif, Bu. Silakan bayar tunai dulu."

Sari mengatupkan rahang. Matanya mulai berkabut.

"Saya hanya butuh antibiotik... anak saya sekarat..." suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Petugas itu tetap pada sikapnya. "Maaf, Bu. Aturan tetap aturan."

Langit seakan runtuh.

Di sudut gang yang sepi, Sari berdiri di depan sebuah apotek kecil. Rak-rak kaca berjajar di dalamnya, berisi obat-obatan yang bisa menyelamatkan nyawa putranya.

Tangannya gemetar.

Sirup demam dan antibiotik itu ada di hadapannya. Harganya Rp150.000.

Di sakunya, hanya ada Rp20.000.

Dalam keputusasaan, tangannya bergerak.

Ia mengambil dua botol kecil itu, menyelipkannya di balik bajunya, lalu berbalik hendak pergi.

Namun, takdir bertindak lebih cepat.

CCTV menangkap gerakannya. Seorang satpam mencengkeram lengannya dengan kasar.

"Apa yang Ibu lakukan?"

"Aku hanya butuh obat ini... anakku sekarat..." suaranya lirih, tetapi tak ada belas kasihan dalam mata pria itu.

Beberapa menit kemudian, mobil polisi datang.

Ia ditangkap.

Di dalam sel tahanan, Sari duduk diam, menyusun ulang kepingan hidup yang telah hancur berkeping-keping.

Seorang perempuan berbadan kekar menatapnya dengan tatapan mengejek.

"Kenapa masuk?" tanyanya.

Sari menunduk. "Aku mencuri obat."

Tawa perempuan itu meledak. "Hahaha! Dia masuk karena mencuri obat!"

Di sudut ruangan, seorang napi tua hanya tersenyum pahit. "Jangan terlalu dipikirkan, Nak. Di sini, ada yang masuk karena mencuri sepotong ayam. Sementara mereka yang mencuri miliaran tetap duduk nyaman di kursi kekuasaan."

Sari menggigit bibir. Air matanya jatuh, tapi tak bersuara.

Dua tahun kemudian.

Langit begitu cerah. Awan putih melayang tenang di langit biru, seolah dunia baik-baik saja.

Sari berdiri di depan gerbang besi. Tangannya gemetar saat menyentuh pagar dingin itu.

Udara bebas menyusup ke paru-parunya, tetapi ia tak merasa lega. Ada sesuatu yang menghimpit dadanya, lebih berat dari tahun-tahun yang ia habiskan di balik jeruji.

Adit. Anaknya.

Ia bergegas menuju rumah kontrakan lamanya, berharap menemukan putranya di sana. Tapi rumah itu telah kosong. Dindingnya mengelupas, pintunya terkunci rapat.

Seorang ibu tua yang sedang menyapu halaman rumah sebelah menghentikan gerakannya begitu melihat Sari. Bu Siti.

Ia berdiri diam, matanya membulat.

"Sari, kamu sudah bebas?" suaranya hampir bergetar.

"Ya Bu, saya sudah bebas. Di mana Adit, Bu?" tanya Sari, suaranya parau.

Bu Siti menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Ayo ikut denganku," katanya pelan.

Mereka berjalan dalam diam. Setiap langkah terasa seperti mimpi buruk yang semakin nyata.

Di sudut kota, di antara tembok yang kusam dan berlumut, berdirilah sebuah panti asuhan kecil. Bangunannya sederhana, dengan pagar besi yang berkarat dan halaman berdebu.

Begitu melihatnya, napas Sari tercekat.

Bu Siti menggenggam jemarinya erat.

"Setelah kau dipenjara, Adit sempat tinggal bersamaku," ucap Bu Siti lirih. "Tapi aku hanya seorang janda tua. Aku tak bisa memberi makan dengan layak, apalagi membayar biaya berobatnya…"

Sari menatapnya tanpa berkedip.

"Aku menitipkannya di sini. Kupikir, setidaknya di panti ini, ia akan mendapat makanan hangat dan tempat tidur yang lebih baik…"

"Tapi…?" Sari menggantungkan kalimatnya, perasaannya mendadak terasa lebih buruk dari hukuman yang telah dijalaninya.

Bu Siti menunduk. Air matanya jatuh.

"Adit sakit, Sari. Penyakitnya makin parah. Dokter bilang paru-parunya rusak karena infeksi yang tak tertangani."

Dunia Sari tiba-tiba hancur berantakan.

"Tidak…" bisiknya.

Tangan Bu Siti mengeratkan genggaman. "Ia bertahan selama beberapa bulan, menunggumu."

Sari mematung. Angin bertiup pelan, membelai wajahnya yang dingin.

"Dia sering bertanya, 'Kapan Ibu pulang?' Aku selalu bilang, 'Ibumu sedang pergi sebentar, Nak, dia akan kembali untukmu.'"

Bu Siti menelan isakannya.

"Dan kau tahu apa jawabnya?"

Sari menggeleng pelan.

"Dia bilang, 'Baik, aku akan menunggu Ibu. Aku janji tidak akan pergi ke mana-mana.’”

Hati Sari seakan dicabik. Dadanya terasa berlubang.

"Tapi dia akhirnya pergi, Sari…" suara Bu Siti lirih.

Kakinya goyah. Dunianya runtuh.

Sari jatuh berlutut di depan gerbang panti itu, tangannya mencakar tanah yang lembap. Tubuhnya terguncang, napasnya tersengal.

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku, Bu?" suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Bu Siti menunduk, tangannya menggenggam ujung kerudungnya erat.

"Aku ingin, Nak..." suaranya bergetar. "Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Aku mencoba pergi ke penjara sekali, tapi mereka bilang aku harus ada izin resmi. Aku tak tahu harus menghubungi siapa. Dan... aku juga tak punya uang untuk bolak-balik ke sana."

Sari terdiam. Dadanya terasa sesak.

"Jadi kau benar-benar tidak tahu..." Bu Siti melanjutkan, matanya berkaca-kaca. "Tak ada seorang pun yang datang ke penjara untuk memberi tahu. Tak ada surat. Tak ada telepon. Tak ada siapa-siapa."

Sari menatap kosong ke depan. Ia mengerti sekarang. Di dalam jeruji besi, ia bukan hanya dipenjara secara fisik, tetapi juga dipenjara dalam kesunyian.

Bu Siti menyeka air matanya. "Ayo, Nak… Aku akan mengantarmu ke tempatnya."

Mereka berjalan melewati lorong kecil yang berujung ke sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU), tak jauh dari panti asuhan. Di sudut tanah yang masih basah, berdiri sebuah nisan kecil, tanpa nama, hanya batu sederhana dengan ukiran kayu yang mulai lapuk oleh hujan.

Di sanalah Adit terbaring untuk selamanya.

Sari jatuh berlutut di depan nisan itu. Tangannya menyentuh tanah yang masih lembap, seolah berharap bisa merasakan hangatnya tubuh Adit di bawah sana.

Bu Siti mengeluarkan sesuatu dari lipatan kainnya, selembar kertas yang sudah menguning, terlipat rapi.

"Adit menulis ini untukmu sebelum dia pergi…" katanya sambil menyerahkannya kepada Sari.

Jari-jari Sari gemetar saat membuka lipatan itu.

Tulisan kecil dan rapi itu milik Adit.

"Ibu, aku janji akan menunggu. Aku tidak akan pergi ke mana-mana."

Air mata Sari jatuh, membasahi kertas itu. Dadanya terasa begitu hampa.

Ia memeluk surat itu erat-erat, seolah bisa menghidupkan kembali sesuatu yang telah lama pergi.

"Tunggu aku, Nak..." bisiknya serak.

Hujan mulai turun.

Tapi Sari tak lagi peduli.

Di negeri ini, seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya disebut pencuri.

Tapi mereka yang mencuri masa depan bangsa, masih duduk nyaman di balik jendela istana.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Broken Heart
sunshinequin
Skrip Film
PERNIKAHAN IBU
Eko Hartono
Flash
Bronze
Warisan
silvi budiyanti
Flash
Jiwa Kecil
SIONE
Cerpen
Bronze
Aku Hujan, Kau Berteduh
Juli Prasetya
Cerpen
Ibu di Balik Jeruji
Tresnaning Diah
Novel
Putih Yang Menyamar Hitam
Senna Simbolon
Novel
Bronze
Mengikat Irama Jiwa
Rosidawati
Flash
Bronze
Pion Kecil
Silvarani
Novel
Bronze
Beranda ( Kitab Puisi Asmaradhana )
RENDRA ABIMANYU
Novel
Bronze
Lipstik ~Novel~
Herman Sim
Novel
Menantu pemalas keluarga pak Ramlan
Tajudin
Novel
Bronze
Jerat Luka Di Lembah Duka
Tirabella
Skrip Film
Cerita Untuk Kenna
sinatrio
Flash
FWB (Farah, Wulan, Bintang)
Xianli Sun
Rekomendasi
Cerpen
Ibu di Balik Jeruji
Tresnaning Diah
Cerpen
Dalam Setiap Musim, Aku Memilihmu
Tresnaning Diah
Cerpen
Barang Biasa, Cerita Luar Biasa
Tresnaning Diah
Cerpen
Melesat Sat Set: Di Antara Peluh, Paket, dan Perjuangan Tanpa Batas
Tresnaning Diah
Cerpen
Hal-Hal yang Tidak Pernah Kupelajari dari Ibu
Tresnaning Diah
Cerpen
Putus, Tapi Nggak Putus Asa
Tresnaning Diah
Cerpen
Sebuah Dermaga untuk Pulang
Tresnaning Diah