Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ibu, Aku Merindukanmu
0
Suka
11,820
Dibaca

Ini cerita tentang Raka, pemuda manis yang masih duduk dibangku SMA. Usianya baru 17 tahun. Dia adalah murid yang cukup cerdas, murid yang sopan tutur kata dan perilakunya. Namun, kisah hidupnya tidaklah semanis dan semulus yang kalian kira. Umurnya memang masih belia, akan tetapi Raka harus berjuang banting tulang demi menghidupi kebutuhannya. Ayahnya sudah lama meninggal, sedangkan sang ibu? Ia tak tau dimana keberadaannya.

Sekarang Raka terpaksa harus hidup sendirian, tanpa orangtua maupun sanak saudara. Maka dari itu Raka sampai rela bekerja serabutan, apapun akan ia lakukan, demi bisa mendapat uang untuk kebutuhan makan dan sekolahnya. Rasa lelah kerap datang menyerang, hingga membuatnya ingin menyerah menyusul sang ayah. Namun, bersamaan dengan itu, ingatan tentang perjuangannya untuk mewujudkan cita-cita yang selama ini ia dambakan selalu muncul, seakan  menyemangatinya untuk kembali bangkit dan tak berputus asa.

Mengenai keberadaan sang ibu, Raka tau jika beliau masih hidup. Entah karena apa, ibunya kabur dari rumah, yang mana saat itu dirinya masih berumur 10 tahun. Tanpa mengucapkan sepatah kata maupun salam perpisahan, sang ibu pergi meninggalkannya sendirian.

Berhari-hari Raka menanyakan keberadaan sang ibu. Mencari-carinya di setiap sudut rumah, namun tak pernah sekalipun ia menemukan wujud sang ibu. Mengapa ibunya tidak kembali pulang? Kemana perginya ibu? Sang ayahlah yang selalu disampingnya, yang selalu menghiburnya, menggendongnya ketika ia menangis.

Ayah pulalah yang selama ini merawatnya dengan baik, menyekolahkannya agar Raka mampu meraih cita-citanya. Ayah jugalah yang selalu menyisihkan uang hasil kerjanya hanya untuk membeli kue cokelat di hari ulang tahun Raka. Terkesan sederhana, akan tetapi cukup bermakna. Ayah adalah cinta pertamanya, mengalahkan rasa cintanya kepada sang ibu. Ayah adalah pahlawan yang mampu memberinya semangat dan inspirasi untuk hidup dengan lebih baik dan belajar dengan sangat rajin agar kelak mampu memberikan tawa bahagia kepada sang ayah.

Ayahnya pernah berkata kepadanya, “Raka, dengarkan ayah. Wanita itu sudah bukan ibumu lagi, dia bukan keluarga kita lagi. Jadi Raka tidak usah menanyakan keberadaannya lagi. Dia sudah bahagia dengan kehidupan barunya, dan ayah disini juga bahagia hidup berdua bersamamu, Nak. Ayah berjanji akan merawat dan menjagamu dengan seluruh kekuatan ayah. Jangan menangis lagi ya Nak. Walau tanpa ibu, tapi ayah akan berusaha memberikan kehidupan yang terbaik untuk Raka. ”

“Ayah menangis?” tukas Raka kecil.

“Ayah menangis karena ayah sayang sama Raka. Ayah sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Raka jangan tinggalkan ayah. Janji ya?”

Tanpa diduga, Raka memeluk ayahnya. Mengelus kepala sang ayah sembari berucap kalimat manis yang membuat tangis ayahnya semakin tak terbendung dan balas memeluk sang putra tak kalah eratnya, “Ayah jangan menangis. Raka janji akan selalu disamping ayah. Raka janji akan jadi anak yang baik dan nurut sama ayah. Karena Raka sayang banget sama ayah. Ayah adalah yang terbaik bagi Raka,”  walau sebetulnya Raka kecil masih belum memahami dengan baik maksud dari ucapan sang ayah, tapi Raka tidak mau bertanya lagi, takut jika ayahnya akan semakin menangis.

“Raka?” panggil seorang pak tua yang sedang melambaikan tangannya dihadapan Raka.

“Ah, iya pak?” jawab Raka sesaat setelah tersadar dari lamunannya.

“Kamu ini loh, yang lainnya pada sibuk angkat-angkat barang tapi kamunya malah ngelamun bae,” ucap pak tua itu dengan raut sensi.

“Sakit mungkin pak,” celetuk salah satu pekerja disana.

“E-enggak kok pak. Saya sehat,” jawab Raka meyakinkan. Kenapa jadi salah paham gini sih! Bodoh kau, Raka!

“Yaudah sana lanjut kerja. Kalo mau dibayar tuh jangan males-malesan, paham?” ucap pak tua, atau sebut saja Pak Wiratno. Beliau adalah orang kaya, pemilik kebun jagung yang luas ini. Wataknya memang tegas, akan tetapi di sisi lain beliau adalah orang yang baik dan pengertian.

Hari ini sedang berlangsung panen jagung di ladang pak Wiratno. Dan kebetulan sekali sekolah Raka juga sedang libur, jadi ia bisa memanfaatkan waktunya untuk bekerja dengan baik. Lumayan, uangnya bisa ia gunakan untuk membeli stok beras untuk beberapa minggu kedepan.

Ladang ini sangatlah luas, sehingga banyak memakan waktu dan tenaga. Apalagi cuaca hari ini cerah tak berawan. Sang surya bersinar dengan sempurnanya, yang mana cukup untuk membakar kulit. Berjam-jam menjemur diri, berkutat dibawah matahari, memanen ribuan jagung yang tiada habisnya. Rasanya ingin menyerah, ingin segera pulang dan tidur di kasur kesayangan. Namun apa boleh buat, seperti inilah resiko pekerjaan, apapun harus berani dilakukan demi sejumput uang untuk makan.

Raka jadi mengingat kembali perjuangan almarhum sang ayah, bekerja banting tulang dari fajar hingga petang. Bahkan ketika hujan mengguyur pun akan ayahnya terjang. Semua itu demi keluarganya, anak semata wayangnya, Raka. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Lima tahun kemudian ayahnya pergi untuk selamanya, meninggalkan luka dan kesedihan yang mendalam bagi Raka. Kehidupan indah bersama sang ayah kini hanya tinggal kenangan. Jika rindu, ia hanya mampu datang berkunjung ke pemakaman, memandangi batu nisan yang bertuliskan nama ayahnya sembari bercerita apa saja yang ia lakukan seharian.

Cklek

Brak

“Akhirnya sampe rumah juga,” ucap Raka sesaat setelah memasuki area rumah kecilnya, lalu segera meluncur ke kamar mandi bermaksud membersihkan diri dari debu dan keringat setelah hampir seharian bekerja di ladang jagung. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, tadi Pak Wiratno sempat mengajak para pekerja makan bersama sembari mengobrol santai di halaman rumahnya.

Lima belas menit kemudian, Raka sudah duduk manis diatas kasurnya dengan aura yang lebih segar dan baju ganti yang lebih wangi. Dikeluarkannya sepucuk foto ukuran 4x6 dari dalam laci disamping kasur. Foto seorang perempuan cantik yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri, senyuman lembut ibunya di foto tersebut menggetarkan hati Raka. Sudah hampir 2 tahun ini Raka berusaha mencari informasi mengenai keberadaan sang ibu. Ia kerap meminta bantuan orang-orang di media sosial untuk segera memberitahunya jika ada yang mengenali atau bahkan bertemu dengan ibunya. Ia yakin do’a dan usahanya akan membuahkan hasil, Raka hanya perlu sedikit lebih bersabar saja.

Tring

Ada notifikasi pesan masuk. Diangkatnya handphone bekas yang dibelinya dua tahun lalu. Seorang pengguna sosial media mengiriminya pesan online. Raka kemudian membaca pesan tersebut, dan betapa terkejutnya ia bahwa didalam pesan itu berisi informasi alamat rumah ibunya, dan si pengguna sosial media tadi juga mengatakan kepada Raka untuk segera datang ke alamat itu karena kemungkinan sang pemilik rumah akan pergi keluar negeri esok hari.

Tak tau bagaimana, namun Raka baru sadar ia sudah berlari di jalanan yang sedang hujan, tanpa payung ataupun jas hujan. Napasnya tak beraturan, ditambah dinginnya angin malam yang menusuk kulit. Salahkan dirinya yang hanya memakai setelan kaos pendek dan celana training serta sandal jepit, tapi sekali lagi Raka tak peduli, ia hanya bahagia dan kalut karena hari yang dinantinya datang juga. Akhirnya Tuhan menjawab do’anya, dan ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini barang semenit pun. Raka terus berlari sembari mencari kendaraan umum yang bisa mengantarnya ke rumah sang ibu, dan syukurlah, dari arah utara terlihat siluet bajaj yang berjalan dengan kecepatan sedang, tanpa menunggu lama Raka berdiri di tengah-tengah jalan raya sembari melambaikan tangan bermaksud menghentikan bajaj tersebut. Untungnya ia sempat mengantongi uang bayaran hasil bekerjanya tadi siang.

“Pak tolong anterin saya ke alamat ini, cepetan!” ucap Raka terburu-buru.

“Kamu ini dateng-dateng langsung main serobot masuk aja, sabar napa!” jawab pengemudi bajaj dengan raut wajah kesal. Pasalnya ia hampir saja menabrak bocah remaja yang tiba-tiba menghadangnya di tengah jalan yang sedang hujan.

“Ayo pak cepetan, saya buru-buru ini! Saya bakal bayar berapapun yang bapak mau, tapi tolong pak cepetan berangkat,”

“Tck. Yaudah iye-iye, berangkat nih!” setelah perdebatan singkat tersebut, si sopir pun segera meluncurkan bajajnya menuju lokasi yang dimaksud.

Memang jaraknya agak jauh, tepatnya di pinggiran kota sebelah barat. Jika boleh jujur, Raka belum pernah datang ke daerah tersebut. Ini adalah pertama kalinya bagi Raka bepergian agak jauh dari rumah, tapi tak apa, dimanapun itu akan ia tempuh asal bisa berjumpa dengan ibu kandungnya.

30 menit berlalu, bajaj yang ia tumpangi sampai di depan sebuah rumah besar yang diyakini adalah lokasi tempat tinggal ibunya. Raka sempat terpana dengan arsitektur rumah tersebut yang terlihat cukup besar dan megah.

Ibu beneran tinggal disini?, batin Raka. Sedikit tak percaya dengan si pengirim alamat, takut-takut jika ia ditipu, dan rumah yang ada didepannya ini ternyata bukan rumah sang ibu.

Hujan masih setia mengguyur jalanan, tapi tidak sederas tadi. Bahkan pak sopir merasa curiga dengan gelagat si pemuda. Pasalnya sejak turun dari bajaj ia hanya berdiam diri memandangi rumah besar itu dengan kondisi tubuh basah kuyup karena terkena air hujan. Raut wajahnya seperti orang linglung, membuat si sopir sempat berpikir jika Raka sedikit tak waras.

“Heh mas, saya mau pulang ini. Mana ongkosnya?” ucap pak sopir mengawali percakapan.

“Oh, eh, iya pak. Berapa ongkosnya?” tanya Raka.

“90 ribu,” jawab pak sopir dengan entengnya.

“Hah! Mahal banget pak!”

“Banyak omong kamu, udah sini cepetan duitnya!” ucap pak sopir jengkel.

“I-ini pak, m-maaf duitnya basah,” tukas Raka lirih sembari menyodorkan uang seratus ribu.

“Kamu ini nyusahin aja! Uang basah dikasih ke saya. Yaudah nih kembaliannya,”

Setelah memberikan kembalian, si sopir bajaj langsung tancap gas meninggalkan Raka sendirian. Raka memandang uang sepuluh ribu di tangan kanannya. Ini adalah uang terakhir yang ia punya. Kembali ia memasukkan uang tersebut ke saku celana. Raka berjalan menuju gerbang rumah besar itu, berkali-kali ia menghela napas, mempersiapkan diri, tubuhnya nampak bergetar menahan gugup yang mulai menyerang, tangannya terulur menekan tombol bel. Hening, kembali ia menekan bel tersebut.  Tak lama, seseorang membuka gerbang sembari memegang sebuah payung kecil.

Raka sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya, wanita dihadapannya, yang sedang menatapnya dengan bingung. Wanita cantik ini, ibunya.

Benarkah ini ibu!? Batin Raka. Hatinya bahagia membuncah, detak jantungnya kian menyerbu. Ini bukan mimpi, kan!? Ucapnya girang dalam hati.

“Ibu…” lirih Raka, masih tak menduga dengan kenyataan bahwa sang ibu berdiri didepannya.

“Maaf, siapa ya?” ucap wanita itu, bingung.

“Ibu… ini Raka. Raka anak ibu,” jawab Raka, senyum cerah terpatri di wajah tampannya. Ia sangat yakin ibunya masih mengingatnya.

Wanita tersebut kaget dengan apa yang didengarnya. Raka!? Rupanya putranya dengan sang mantan suami kini sudah dewasa. Tak percaya bahwa anaknya akan datang menemuinya. Siapa yang sudah memberinya alamat rumahku? Batin wanita itu. Rasa marah dan benci kembali muncul ketika mengingat masa lalunya. Menikah karena hamil diluar ikatan sah, dan terpaksa hidup miskin dengan serba keterbasan. Membuatnya stress dan tertekan, hingga tak tahan dan pergi meninggalkan suami serta anaknya tanpa salam perpisahan.

Dan sekarang, ia sudah memiliki suami baru, dikaruniai dua anak lucu-lucu. Kehidupan yang lebih mapan dan menjamin masa depan. Apa yang ia butuhkan juga mudah didapatkan. Ia lebih bahagia dengan kehidupannya yang sekarang.

“Apa maumu? Seharusnya kau tidak datang kesini,” ucap wanita itu dengan nada dingin.

“Apa?” Raka terkejut dengan jawaban sang ibu, “Apa maksud ibu—”

“Diam! Jangan panggil aku ibu! Kau pikir kau siapa, hah!?” bentak wanita tersebut, “Itu adalah masa lalu. Sekarang aku bukan ibumu, dan kau bukan anakku!”

Raka tak mampu berkata, bibirnya diam membisu, pendengarannya mendadak tuli. Benarkah wanita didepannya ini ibunya? Mengapa berbicara demikian?

“Gara-gara ayahmu, aku harus hidup susah! Tidak bisa makan enak! Tidak bisa beli barang yang aku inginkan. Ayahmu tak bisa membahagiakanku! Dan melihatmu berdiri sekarang ini sama saja mengingatkanku dengan pria miskin itu—”

“CUKUP IBU! Ayah sudah meninggal, kenapa ibu terus-menerus menyalahkan ayah! Ayah sangat baik, beliau selalu berusaha membahagiakanku walau tanpa keberadaan ibu. Ayah selalu mengajakku jalan-jalan ketika hari libur, mengajakku makan makanan enak ketika ayah mendapat gaji, membelikanku hadiah ketika aku mendapat nilai baik saat ujian. Ayah bekerja keras demi masa depanku, ibu harus tau itu! Ayah adalah segalanya bagiku!” ucap Raka murka, napasnya terengah-engah efek dari gejolak marah ditambah rasa dingin yang kian menyelimuti seluruh kulit. Ibunya seperti tak punya rasa iba melihat putranya basah kuyup diterpa air hujan di malam hari.

“Raka rindu ibu… Raka selama ini berjuang agar bisa berjumpa denganmu, bu. Aku ingin memeluk ibu…” tangis Raka pecah kala ia mengatakan semuanya. Kegelisahan bercampur kesedihan juga kerinduan yang amat mendalam. Ia sudah kehilangan ayah untuk selamanya, maka dari itu ia tak ingin jika harus kehilangan sang ibu, lagi. Namun, apa yang ibunya ucapkan selanjutnya membuat hati Raka bagai dihantam batu besar, sakit sekali, hingga membuatnya tak mampu berdiri.

“Aku tak bisa mengabulkan permintaanmu. Sudah cukup sampai disini, pulanglah, dan jangan pernah datang kesini lagi!” ucap wanita itu sebelum akhirnya menutup pintu gerbang dan menguncinya dari dalam.

Tangisannya kian terdengar keras, bahkan hujan pun semakin deras seakan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Raka. Ia tak percaya ibunya pergi meninggalkannya untuk kedua kali. Tatapan mata sang ibu menyiratkan segalanya, ya, ibunya memang sudah tak mencintainya, tak peduli keadaannya, apa yang Raka harapkan dari semua ini?

Segalanya berakhir sia-sia. Ia putus asa. Ekspektasi yang ia junjung tinggi-tinggi, kini telah hancur berkeping-keping. Sejenak ia menengadah ke arah langit malam, menatap dengan tatapan kosong, air matanya bercampur baur dengan guyuran air hujan. Penampilannya sangat kacau dengan mata bengkak dan tubuh kian putih memucat.

“Ayah…” ucapnya parau, Raka sadar ia sudah tak punya kesempatan lagi, “Ibu… aku merindukanmu,”

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Mirror
Lolita Alvianti susintaningrum
Novel
DENDAM (kau buat ibu kami menangis, kuhancurkan keluargamu)
Zainur Rifky
Cerpen
Ibu, Aku Merindukanmu
D.Agustin
Novel
Bronze
Menoreh Luka di Hati
Handi Yawan
Novel
Bronze
Kattok Mencari Dalang
Gusty Ayu Puspagathy
Novel
Bronze
About Time
Sartika Wulandari
Flash
BAPAK
Isnani Q
Novel
Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?
Shinta Puspita Sari
Novel
OPEN THE HEART
RF96
Novel
TAK SELAMANYA SURGA DI KAKI IBU
mahes.varaa
Cerpen
Bronze
Tarian diatas Kanvas
Siti Aminatus Solikah
Cerpen
Bronze
Sayang Atau Dendam : Arti Di Balik Pengkhianatan
muhamad jumari
Novel
The Day We Find Love
L
Novel
Sudah Tiba Saatnya
Martha Melank
Cerpen
Bronze
Veny Bertemu Izrail
Salim
Rekomendasi
Cerpen
Ibu, Aku Merindukanmu
D.Agustin
Flash
Siapa Disana?
D.Agustin
Flash
Sesuatu di bawah Tempat Tidur
D.Agustin