Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Gedung Tua dan Peserta Baru
Udara Makassar di akhir Juni terasa lengket, memeluk Ratna dengan kelembapan khas pesisir. Namun, hatinya justru membuncang, seakan segala kegelisahan telah tergerus oleh janji pekerjaan baru yang terbentang di depannya. Ratna, seorang wanita muda dengan semangat membara, baru saja diterima sebagai pegawai pemerintah. Penempatan pertamanya bukan di kota besar yang ia bayangkan, melainkan di sebuah kota kecil, jauh dari hingar-bingar, di mana ia harus mengikuti pelatihan awal selama tiga bulan. Sebuah langkah besar, sekaligus penuh misteri.
Bus yang membawanya melaju perlahan, menembus deretan pohon rindang dan bangunan-bangunan tua yang seolah membisikkan kisah masa lalu. Tujuan akhirnya adalah sebuah gedung tua, yang menurut informasi, dulunya adalah peninggalan Belanda. Bayangan asrama modern, dengan fasilitas lengkap dan suasana ramai, perlahan memudar digantikan oleh lanskap yang didominasi oleh arsitektur kolonial yang megah namun tampak usang.
Ketika bus akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi, Ratna mematung sejenak. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua yang menjulang, warnanya kusam ditelan waktu, dengan jendela-jendela besar berteralis besi yang tertutup debu. Lumut-lumut hijau merambat di beberapa bagian dinding, memberikan kesan purbakala yang menakutkan sekaligus memukau. Gedung itu sungguh besar, terlampau besar untuk sebuah asrama pelatihan. Aura sunyi nan angker seperti kabut tipis yang menyelimuti seluruh bangunan, meski di siang bolong.
“Ini Asrama Nusantara, Mbak,” ujar seorang panitia dengan senyum ramah, membuyarkan lamunan Ratna. “Bekas asrama tentara zaman kolonial. Sejarahnya panjang sekali.”
Ratna mengangguk, mencoba tersenyum meskipun perasaannya campur aduk. Ia menyeret kopernya melintasi halaman berkerikil, suara roda koper yang berderit memecah kesunyian. Langkah kakinya terasa ganjil, seolah tanah di bawahnya memiliki ingatan akan langkah-langkah ratusan tahun yang lalu. Memasuki lobi, aroma apek khas bangunan tua langsung menyeruak, bercampur dengan bau kayu lapuk dan sedikit aroma disinfektan. Langit-langitnya tinggi, dengan pilar-pilar besar yang kokoh, dan cahaya matahari yang masuk lewat jendela kaca patri memancarkan pola warna-warni yang menari di lantai marmer yang dingin.
Setelah proses administrasi yang singkat, Ratna diberikan kunci kamar nomor 203. Ia melangkah menyusuri koridor panjang di lantai dua. Cahaya yang minim membuat bayangannya sendiri terlihat memanjang dan menari di dinding. Jendela-jendela di sepanjang koridor, meskipun besar, hanya menyajikan pemandangan taman yang rimbun dan entah kenapa terasa suram. Ratna merasakan desiran aneh di punggungnya, seperti ada bisikan-bisikan tak kasat mata dari masa lalu yang mencoba menarik perhatiannya.
Setibanya di depan kamar 203, Ratna menarik napas dalam-dalam. Kenop pintu yang terbuat dari kuningan terasa dingin di tangannya. Ia mendorong pintu, dan engsel berderit pelan. Kamar itu cukup luas, dengan dua ranjang tunggal yang tertata rapi, sebuah lemari pakaian dua pintu, dan meja belajar yang tampak sudah usang. Gorden abu-abu tebal menutupi jendela, menghalangi cahaya sepenuhnya.
Di ranjang sebelah kiri, seorang wanita sedang duduk, punggungnya menghadap pintu. Rambutnya lurus dan panjang, terurai menutupi bahunya. Ia mengenakan blus putih polos dan rok panjang berwarna gelap. Ratna memperhatikan, wanita itu duduk sangat tegak, seolah membeku, dengan tangan bertumpu di pangkuan.
“Halo…” sapa Ratna, mencoba memecah keheningan. “Saya Ratna. Teman sekamar kamu, ya?”
Wanita itu perla...