Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Iblis Betina
0
Suka
13
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suatu malam aku bertemu dengan iblis betina. Mula-mula aku mengumpat pada gelapnya jalan malam yang mendekap, juga pada sunyi yang begitu kencang seolah aku pantas melalui malam ini seorang diri. Remang lampu jalan turut serta mencibirku yang berjongkok di pinggir jalan tanpa suara. Hela nafas berulang kali lepas dari mulutku. Sepeda motor yang setiap harinya ku tunggangi, hari ini memilih untuk menyerah. Tepat pada pukul dua, dini hari. Ponselku pun nyaris padam, beruntungnya masih sempat aku mengirim pesan pada abangku untuk menjemput ke sini. 

“Sialan.” 

Boleh jadi pohon-pohon di belakangku sudah bosan mendengarku menggerutu. Berkali-kali ku coba menyambungkan telepon pada si Abang, tapi tak kunjung dapat tanggapan. Belasan pesan pun sudah ku kirim, tak juga ku lihat tanda sudah dibaca. 

“Untung jalanan sepi,” 

ku pandangi jalan kosong yang sunyi ini, sedikit lega karena malam ini rupanya rembulan sedang cantik-cantiknya. Paling tidak, ia bisa menjadi teman di tengah rasa cemasku yang semakin menjadi. Tapi seringkali, Malam dan perempuan tak pernah bisa berkawan, barangkali perempuan memang harus selalu berdampingan dengan Sang Surya. 

Belum sempat ku rayakan kesendirian ini dengan benar, datang sepasang laki-laki yang berboncengan dengan sepeda motor. Pada awalnya mereka hanya menatapku dari atas motornya, sembari lewat dengan kecepatan setara dengan larian bayi. Lalu mereka berputar arah, dan kembali ke arahku. 

Pria yang dibonceng turun dari motornya, “Kenapa ini motornya, Neng?” perut buncitnya bergoyang saat ia berjalan mendekat. “Mogok, ya?” 

Aku berdiri, bergantian ku pandangi mereka berdua. Kawannya yang satu sedikit lebih tinggi, rambutnya tipis nyaris botak, ada sedikit keriput di ujung matanya. Pakaiannya berantakan, setelan kaos dan celana pendek selutut yang warnanya sudah pudar. Sementara si gempal tadi, kepalanya plontos licin, bibirnya hitam keunguan, kaos ketat yang dikenakannya seolah teriak minta dilepas, tak sanggup lagi menutupi tubuhnya yang membengkak, celananya lebih pendek, tapi sedikit tertutup oleh sarung yang melingkar pada sebelah pundaknya. 

“Iya nih, mang. Abang saya lagi di jalan ke sini sih.” kataku sembari tetap menjaga jarak. Memastikan mereka tahu, seseorang sedang datang ke sini. 

“Mau ditemenin apa bantu dorong nggak sama Aa?” Si jangkung cekikikan, dan menyikut kawan gempalnya. “Deket ini mah. Di depan ada bengkel kok,” 

Bohong

Aku tau betul rute  ini, lima tahun sudah setiap hari ku lewati jalan ini. “Nggak usah, Mang. Di sini aja, nunggu abang saya.” 

Sialan. Belum tentu ia sudah baca pesanku. 

Si botak melangkah mendekat, “Ah bahaya atuh di sini mah, Neng. Perempuan nggak boleh di luar sendirian malam-malam, rawan orang jahat.”  

Aku berdecih, lalu ku balas, “Memang kalau siang nggak ada orang jahat?” Firasatku buruk sekali. Ku tengok ponselku, ia sudah padam. 

“Ya enggak juga sih, tapi kalau malam orang jahat lebih banyak.”  Si jangkung menimpali. 

Mereka beradu pandang, lalu sesekali menyeringai. “Yaudah, mending enengnya saya anter dulu ke rumah pake motor saya buat panggil abangnya. Terus, temen saya aja yang jagain motornya. Nun, coba kau cek motornya.” ujar si botak pada kawan Jangkungnya. 

“Siaap.” Si Nun yang diberi instruksi lantas saja menyentuh motorku asal. 

Sementara si buncit sudah berada di atas motornya, “Ayo, Neng. Cepet!” 

Lalu ia melirik pada si Nun, “Gantian ye, Nun. HAHAHA”  

Aku berpura-pura mengecek ponsel, “Ini abang saya udah deket, Mang.” 

Mereka berdiam sejenak, si Nun melongok, berusaha melihat ponselku yang sudah padam, lalu memberi kode pada kawannya. “Ah, Kelamaan, Jik. Langsung ajalah!” serunya kemudian. “Mau kau dulu apa aku dulu ini?” 

Belum sempat aku mendebat, tiba-tiba saja tangan si Nun sudah mencengkeram lenganku. Kawannya yang dipanggil, Jik, ikut pula ia mengunciku dengan tangan besarnya. Tubuhku berontak buat main, menggeliat seperti ulat yang menempel pada jaring laba-laba, menjadi mangsa. Tangan Nun mulai menjelajahi wajahku, lalu perlahan bergerak turun ke bawah,

“Dasar Sampah!” ku ludahi wajahnya. 

Sebagai ganti, tamparan pedas mendarat di wajahku. Nafasku tercekat, belum pernah sekalipun seorang pria menampar wajahku. Bapak selalu penuh kasih, Abang, walau sering kali menyebalkan tapi tak sekalipun ia pernah membentak. Jik dengan licik memanfaatkan pertahananku yang mengendur, ia menjatuhkan ku ke tanah. Lengan kuatnya masih memiting dua tanganku di belakang tubuh, dua kaki-nya mengunci kaki ku. Lalu Nun, dengan kasar berusaha menarik celana jeansku hingga nyaris setengah paha. 

Bibirku bergetar, teriakan serapah terlontar sembarang, mataku mengabur terhalang air mata. Diam-diam aku mencemooh Tuhan yang katanya selalu ada untuk hambanya, lantas dimana Ia disaat aku sedang mengemis pertolongan? Pantas saja, sesekali kulihat manusia bersekutu dengan Iblis.  

Tak gentar, aku terus melawan. Kalau sampai asa ku hilang, habis sudah nasibku. Aku terus menggeliat, berteriak, menggigit, apa saja ku lakukan. Sumpah mati, Dunia tak pernah ramah terhadap perempuan. Malam yang seharusnya cantik itu, malah disalahkan atas busuknya orang-orang yang berjalan di bawahnya. 

Belum selesai dengan perlawananku, tiba-tiba saja kudengar seorang perempuan memekik dari arah belakang. Keras sekali, sampai-sampai bulan pun takut dan sembunyi dibalik awan. Jik dan Nun sontak berhenti, lalu menoleh ke sumber suara. Ku lihat wajah mereka nampak pucat pasi, bulir keringat mengalir di dahi. 

“Kau pernah dengar soal Setan Perawan di Jalan ini, Nun?” Jik berbisik pelan, tanpa mengalihkan pandangannya. 

“Bicara apa kau? Jelas-jelas itu Iblis Betina!” 

Aku menoleh pada sosok yang membuat mereka mematung itu. Jantungku mencelos, tubuhku ikut kaku dan lidahku pun tercekat. Ku lihat perempuan itu tanpa berkedip. Rambutnya hitam legam, panjang dan kusut sekali, gaun merah muda di tubuhnya sudah nampak compang camping, kakinya menghitam karena lumpur yang mengering, belum lagi dengan kuku-kuku di jarinya yang memanjang tak berbentuk, mata merahnya menatap tajam pada Jik dan Nun. Ia menyeringai, memamerkan barisan giginya yang kuning dan mulai berkarang. 

Perempuan itu berlari cepat ke arah Jik dan Nun dengan kedua tangan yang merentang ke depan, ia juga memekik kencang. Nun belum sempat menghindar, ketika kuku-kuku panjang wanita itu mengukir wajahnya, meninggalkan jejak goresan merah yang dalam. Sementara Jik sudah kembali ke Motornya, 

“Pukul saja, Nun! Dia hanya orang gila! Cepat kau kemari!” teriaknya dari atas motor. 

Nun segera melepaskan cengkraman perempuan itu dari tubuhnya, ia terbirit menuju motor. “Dasar Jalang!” 

Mesin motor menderu, dan membawa mereka menjauh dari sini. Ku lihat perempuan itu masih kesal dengan mereka, lalu ia beralih menatapku. Aku tentu saja berjengit kaget, kedua tanganku sudah berada di depan dada, bersiap untuk serangan kedua. Kali ini, mungkin lebih gila. Namun tiba-tiba saja, dia menyeringai, atau… tersenyum? Apakah itu cara dia tersenyum? 

“Kau cantik.” ujarnya. Keningku mengerut, itu adalah kalimat yang tidak ku duga akan keluar dari mulutnya. Ia melangkah lebih dekat, matanya seolah sedang menelanjangiku. Irisnya bergerak kesana kemari, menguliti ku satu demi satu. “Rambutmu indah, mereka tak pantas menyentuhmu”

Dia bicara seperti orang normal, dan aku mulai merasa sedikit lebih tenang. “Kata orang, kalau malah orang jahat lebih banyak. Dan mereka hanya salah satunya.” 

“Mereka bahkan tak pantas dikatakan sebagai ‘Orang’, mereka hanyalah hewan liar. Binatang.” balasnya. Dan kali ini aku mungkin setuju. 

Diam-diam kupandangi juga wajahnya, rasanya seperti tak asing. Bentuk wajahnya kecil, bibirnya pun mungil, hidungnya sedikit mancung, aku merasa pernah melihat wajah ini. “Kau tampak tak asing,” 

“Orang sering merasa begitu. Tapi mungkin kau memang pernah mengenalku.” 

Aku benar-benar merasa pernah melihatnya. Bilik-bilik ingatan itu kembali ku sibak, satu persatu ku gali kembali. Entah ada di bilik yang mana, tapi aku tahu betul aku pernah melihatnya. Mungkin saat aku remaja, atau mungkin saat aku masih berseragam putih merah. Atau mungkin di antara keduanya. Aku memilin ujung baju, berpikir keras. Lalu kemudian aku teringat, di suatu masa, dimana ibu-ibu desa ramai sekali berkumpul di setiap pagi. 

Mereka tak hentinya membicarakan tentang seorang perempuan gila yang menghabisi seorang pria, setelah ia menyetubuhi asal adik perempuannya. Ku dengar, warga desa saling berbisik, polisi tak mau menerima laporannya karena bukti kurang kuat. Juga, yang tertuduh adalah anak seorang pejabat ternama di Desa. Itu dia, perempuan itu adalah dia. 

“Kau menghilang sepuluh tahun lalu,” ujarku. Ku lihat wajah perempuan itu sedikit terkejut, “Setelah mereka mehardikmu karena menghabisi anak seorang pejabat, dan mereka menyebutmu Iblis Betina.” 

Matanya nampak tajam, “Aku hanya membuang sampah.” katanya. 

Aku mengangguk, 

“Kau pantas melakukannya. Dan, benar, Aku mengenalimu. Kau adalah - “ 

“Weni!” 

Belum sempat aku selesai bicara, seseorang memanggilku. Ternyata itu Abangku, wajahnya nampak khawatir. Ia turun dari motornya, dan berlarian menghampiriku. “Wen! Ayo, pulang! Kau sedang bicara dengan siapa?” 

“Ini, Bang. Sama Sri Wening! Kau ingat perempuan yang dulu disebut -” aku menoleh ke arah Wening, dan kalimat ku berhenti. Dia tidak di sana. Tidak ada jejak sedikitpun dari keberadaannya.

“Bicara apa kau? Sejak tadi kau sendirian.” 

Ah, begitu rupanya. “Bang,” aku masih membelakanginya, menatap kosong trotoar jalan yang berkerikil itu, “Aku baru saja bertemu dengan Iblis Betina.” 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Iblis Betina
Tiri Tirtha
Cerpen
Bronze
Jejak Kebaikan yang Tak Berujung
Ron Nee Soo
Novel
Tamu
Vivianhervian
Novel
Gold
Dark Memories
Noura Publishing
Skrip Film
METASEL
iwan Kurniawan
Novel
Bronze
HILANG
mahes.varaa
Novel
Demi Arwah Kekasihku
Arzaderya
Skrip Film
Polisi yang Tak Melawan Penjahat
Muhamad Wildan
Cerpen
Ayah di Seberang Sungai
Fazil Abdullah
Skrip Film
Misteri bayangan di koridor sekolah
zaidan Ammar ghazani
Cerpen
Menerka Dibalik Kisah Kehidupan
dreaminghand
Cerpen
ABANG-ABANG LAMBE
Heru Patria
Novel
MISTIS & MEDIS
Linda Fadilah
Cerpen
Menerka Dibalik Kisah Kehidupan
dreaminghand
Skrip Film
Death distrik
Vaearen
Rekomendasi
Cerpen
Iblis Betina
Tiri Tirtha
Flash
Bronze
Pak, Tahun ini Aku Wisuda.
Tiri Tirtha
Novel
Sangkar Duri
Tiri Tirtha