Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu diawali oleh senyuman sang mentari dengan cerahnya. Sinarnya menyelimuti seluruh pelosok negeri ini, bahkan setengah dari dunia ini. Di sebuah rumah di wilayah Kebon Jeruk, tepatnya di sebuah panti asuhan bernama “Kasih Bunda”, aktivitas di pagi hari pun mulai berlangsung. Yayasan yang dihuni sekitar 50 orang itu mulai sibuk dengan rutinitasnya. Dari anak yang sulit dibangunkan, berebut kamar mandi, sampai Bi Minah yang kerepotan menyiapkan sarapan. Kegiatan rutin yang sangat biasa dilalui oleh para penghuninya. Kerepotan yang memang dinikmati dan telah menjadi kebiasaan.
Adalah Zelina, gadis berumur 17 tahun yang biasa mengkoordinir anak-anak panti karena memang dia yang paling dewasa diantara yang lain. Sebagian besar masih balita dan ada pula beberapa bayi, selebihnya masih setingkat SD dengan berbagai kelas. Zelina pun merupakan penghuni panti awalnya, dari lahir hingga dibesarkan oleh suami istri Adam, pendiri panti asuhan Kasih Bunda. Layaknya cerita sinetron dan kebanyakan penghuni panti awalnya, Zelina ditemukan saat masih berumur kurang lebih 1 bulan di depan pintu panti. Di tempat ini memang bukan hal aneh mendengar tangisan bayi di luar rumah pada malam hari. Pada kenyataannya banyak orang tua yang tega membuang darah dagingnya sendiri. Zelina masih termasuk salah satu yang beruntung, karena di luar sana ada yang lebih tega membuang bayinya di sembarang tempat yang sama sekali tidak layak atau bahkan membunuh bayinya saat baru lahir.
Di panti inilah, Zelina dididik dan dibesarkan oleh Ibu Adam yang memang dari pernikahannya tidak dikaruniai anak. Karena itulah beliau dan suaminya mendirikan panti ini. Sebagian besar biaya ditanggung sendiri oleh kedua orang berhati mulia itu. Pak Adam adalah pengrajin kayu yang cukup sukses. Membiayai sebuah panti dibantu oleh beberapa donatur, tidak membuatnya jatuh miskin tapi justru sebaliknya. Percaya atau tidak, rezeki tidak putus menghampirinya.
Bapak dan Ibu Adam sudah menganggap Zelina seperti anaknya sendiri. Dia termasuk anak yang cerdas, alasan itulah yang membuat mereka menyukainya. Segala hal bisa dipahaminya dengan cepat. Memang sudah terlihat dari saat dia masih balita. Tingkahnya yang lucu dan sangat aktif dalam memahami lingkungan sekitarnya membuatnya mudah mengerti. Dan Zelina tumbuh menjadi remaja yang manis. Postur tubuhnya mungil dengan rambut panjang lurus terurai. Dia sudah hapal dengan semua pelosok panti tanpa melihatnya sekalipun. Ya, Zelina memang terlahir buta. Namun kelemahannya itu seakan tidak berarti apa-apa. Dia hampir bisa melakukan segala sesuatu di panti tanpa bantuan orang lain karena didikan yang baik dari orang-orang terbaik di sekelilingnya.
₯
“Zelinaaa…bantuin Ibu dulu, Nak, tolong taruh kuenya di dapur,” pinta Ibu Adam yang sedikit kerepotan membawa beberapa bungkusan kue.
“Iya, Bu.”
Dengan cekatan Zelina mendekati Ibu Adam membawa kue-kue basah ke dapur. Dia begitu bersemangat hari ini karena ada acara spesial di panti sore nanti. Ami, adik kecilnya yang telah diadopsi oleh keluarga Pranoto, akan merayakan ulang tahunnya yang ke-7. Atas permintaan Ami, dia diperbolehkan untuk merayakan bersama teman-temannya. Ami termasuk anak yang beruntung karena begitu disayangi oleh keluarga barunya. Semua anak-anak di panti ingin seperti Ami, tapi tidak dengan Zelina. Dia tidak berharap untuk diadopsi oleh keluarga lain karena dia begitu mencintai panti dan keluarga besar yang bersamanya selama ini. Tak pernah terbayangkan bagaimana jadinya dia jika harus berpisah dari orang-orang yang sangat disayanginya. Baginya inilah keluarganya. Dalam hati dia bertekad akan terus berbakti dan mencapai cita-citanya di panti ini. Tidak ada sebersit pun keinginannya untuk mencari orang tua kandungnya karena ia tahu orang tuanya tidak pernah menginginkannya hadir di dunia ini. Sebab itulah dia dibuang ke panti ini. Hmm…dia tidak ingin terus meratapi nasibnya yang terlanjur malang. Zelina ingin membuat hidupnya lebih berarti.
Dan alasan utama kenapa dia menjadi orang yang paling bersemangat hari ini tidak lain dan tak bukan adalah karena acara ini pasti dihadiri oleh Ravel, kakak angkat Ami. Sudah menjadi rahasia umum tentang kedekatan mereka berdua yang terjalin 3 bulan belakangan ini. Dimulai dari seringnya pertemuan yang terjadi diantara mereka karena pada awalnya Ami sering main ke panti akibat belum terbiasa tinggal di rumah keluarga Pranoto. Dan Ravel selalu menemani adik kecilnya itu. Awalnya memang hanya sebatas mengobrol biasa tentang diri masing-masing lalu berlanjut ke berbagai hal yang menarik perhatian mereka berdua. Zelina merasa nyaman mengobrol dengan Ravel dan Ravel pun merasa mempunyai teman diskusi yang cerdas yang bisa menanggapi berbagai hal yang mereka bahas. Zelina memang tidak tahu bagaimana rupa Ravel walaupun dia banyak mendengar dari orang-orang di sekelilingnya yang memuji fisik cowok itu. Toh memang bagaimana pun rupanya baik ganteng atau jelek sama saja. Dia tetap tidak bisa melihatnya. Tapi justru ada yang lebih penting dari sekedar fisik. Ada sesuatu dalam diri Ravel yang begitu menarik perhatian Zelina. Membuatnya ingin lagi…lagi...dan lagi bertemu dengannya.
₯
“Zelina…sini deh ada yang mau aku kenalin ke kamu,” ajak Ravel menuntun tangan Zelina keluar dari ruang utama. Acara sudah mulai santai. Ami dan teman-temannya sedang sibuk berfoto ria.
Dadanya berdegup kencang saat merasakan Ravel menyentuh tangannya. Dalam pikirannya dia sibuk membayangkan apa wajahnya merona merah karena ini. Aura senang menjalari tubuhnya. Membuatnya tidak berhenti tersenyum.
“Kenapa toh, Vel, sampai narik tanganku segala?” tanya Zelina penasaran.
“Naah…ini lho ada yang mau aku kenalin ke kamu.” Suara Ravel terdengar riang.
Zelina menurut mengikuti langkah Ravel dan berhenti di teras. Dalam pikirannya dia menerka siapa yang ingin dikenalkan Ravel padanya. Semerbak wangi parfum menyapa indra penciuman Zelina. Wangi yang lembut. Jelas itu parfum wanita.
“Zel, kenalin gadis spesial aku. Namanya Indira. Panggil aja Indi…”
“Gadis spesial?” gumam Zelina lirih. Dia kaget dan masih belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud Ravel.
“Hi, Zelina. Ravel banyak cerita tentang kamu lho…” suara lembut Indi terdengar kemudian. Pembawaannya begitu ramah.
“Iyalah, Sayang. Zelina ini Esmeralda-nya Jakarta lho. Bisa ngelakuin apa aja tanpa melihat. Mandiri banget deh pokoknya. Aku salut banget sama adeku yang satu ini.”
Sayang? Ade? Jadi selama ini…..
Hatinya langsung menciut. Kaget dengan salah pengertiannya selama ini. Namun dia tahu harus bisa menguasai diri. Walaupun semangat yang sedari kemarin menghiasi hatinya kini tiba-tiba lenyap entah kemana. Dan kenyataannya, Zelina berhasil meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap menatap tegak, tersenyum dan menemani Ravel dan Indi mengobrol satu jam berikutnya, walaupun cemburu membakar habisnya hatinya.
₯
Sekuat apa pun Zelina menahan perasaannya, tetap saja dia membutuhkan pelampiasan. Dan malam harinya, luruh semua tangisnya. Dia menumpahkan air matanya, berharap bisa sedikit melegakan rasa sakit yang dirasanya. Di pikirannya dia berkata kenapa nasib baik enggan menyapanya. Sudah cukup tragis kisahnya yang ditinggal orang tuanya di depan panti asuhan, matanya yang tidak bisa melihat, dan sekarang dia merasakan sakitnya patah hati.
Apakah aku tidak berhak untuk bahagia? Apakah orang seperti aku tidak pantas mendapatkan apa yang aku mau?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus mengganggu pikirannya. Dia tiba-tiba menyalahkan hidup yang selalu tidak berpihak padanya. Kenapa? Kenapa dia harus merasakan jatuh cinta dan patah hati untuk pertama kali dan saat yang sama pula???
Zelina tidak tahu harus menceritakan ini kepada siapa. Dia butuh teman bicara. Tapi di panti ini dia tidak punya teman sebaya. Dia banyak mempunyai adik yang umurnya di bawahnya. Cerita pada Ibu Adam, dia merasa malu. Karena sedekat apa pun mereka, Zelina sungkan untuk menceritakan perasaan cintanya ini.
Zelina bangun dari tidurnya. Dia sudah cukup merasakan pipinya basah karena tangis dan ingin menghirup udara segar. Menuju taman belakang, disitu dia ingin menyendiri malam ini. Mengingat kembali tentang pertemuan pertama hingga saat ini. Apa yang terjadi memang begitu singkat. Tapi tak bisa dipungkiri hal itu sangat berkesan. Memang Zelina tidak pernah pergi atau sekedar hang out dengan Ravel, perjalanan paling jauh yang ditempuh mereka hanya toko buku yang berada di ujung jalan ini. Tapi semuanya terasa menyenangkan. Baru kali ini dia merasakan perasaan seperti itu dan sangat menikmatinya. Jatuh cinta memang indah rasanya. Tapi apa yang dirasakannya sekarang sakitnya pun luar biasa. Dadanya sesak dipenuhi rasa putus asa yang teramat dalam. Semuanya serba pertama kali. Sangat menyenangkan untuk pertama kali dan sakit untuk pertama kalinya pula.
Zelina menarik napas panjang. Lalu diambilnya gitar di samping kursi yang didudukinya. Dalam suasana melankolis seperti ini memang akan terasa nyaman menyanyikan lagu yang bernada sendu. Suara indah nan lirih pun keluar dari bibir mungilnya. Menyanyikan beberapa lagu bertema patah hati membuat perasaannya lebih ringan. Dan jiwa musisinya tiba-tiba muncul. Dia ingin menumpahkan perasaannya ke dalam sebuah lagu. Hasrat itu tiba-tiba menggelora dan timbul banyak kata-kata di pikirannya. Perlahan Zelina mengambil nada pada senar gitarnya. Hingga jam 11 lewat, dia masih mengutak atik nada dan lirik hingga rasa ngantuk menyergapnya.
₯
Entah karena kelelahan atau semangatnya yang sedang drop, Zelina jatuh sakit keesokan harinya. Demamnya tinggi dan membuatnya sering mengigau. Kepalanya berat sehingga dia sulit bangun. Prinsipnya untuk tidak ingin merepotkan orang lain sepertinya tidak bisa dilakukannya karena bagaimana pun juga dia memerlukan bantuan orang lain dalam keadaannya seperti ini.
Ibu Adam yang terlihat begitu khawatir. Dia sendiri yang membuat bubur dan menyuapi Zelina seharian ini. Obat yang diberi dokter pun belum memperlihatkan hasilnya. Zelina masih terlihat lemas dan hanya bisa berbaring seharian.
“Kamu ini kenapa toh, Ndhuk, kok tiba-tiba jadi ngedrop begini?” ucap Ibu Adam lembut sambil mengganti kompresan air dingin.
“Hmmm… Zelina nggak kenapa-kenapa kok, Bu. Cuma perlu istirahat aja ini sih. Ibu nggak usah khawatir. Bapak gimana kalau Ibu disini terus?” ucap Zelina perlahan.
“Woalah…Bapakmu sudah besar bisa jaga diri. Kamu tuh yang kayak begini harus Ibu jagain. Sudah toh, Ndhuk, kalau ada pikiran yang mengganggu coba ya jangan terlalu dipikirin. Begini nih jadinya….”
Zelina tersenyum. Dia merasa sepertinya Ibu Adam tahu apa yang dipikirkannya belakangan ini. Walaupun sekarang adalah saat yang tepat untuk membagi perasaannya, tapi karena keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan, Zelina memilih untuk tidur kembali. Berharap saat bangun nanti, rasa pening di kepalanya bisa mereda.
“Aaahhhh….itu mah sakit cinta, Bu. Sembuhnya ya pake obat cinta juga….”
Sayup-sayup dia mendengar guyonan Bi Minah menimpali perkataan Ibu Adam. Sekarang Zelina semakin yakin kalau orang-orang di sekitarnya memang tahu tentang perasaannya pada Ravel.
₯
Ketika hati ini mulai merasa
Ada dua rasa yang hinggap di hati
Senang tak terkalahkan karena datangnya cinta
Dan sakit tak terkira karena putus asa
Inikah cinta
Inikah asa
Dua rasa di saat yang sama
Lirik lagu yang dibuat Zelina tempo hari sudah hampir jadi. Dia tinggal membuat reff dan nada akhir. Sempat break beberapa hari karena sakit dan sekarang di saat adik-adiknya yang lain istirahat tidur siang, dia kembali melanjutkan menyelesaikan lagunya yang pertama.
Saat sedang memetik gitar dan menyanyikan lagunya dengan lirih, dia baru tersadar kalau ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
“Siapa ya?” tanyanya sambil menoleh ke belakang. Walaupun pandangannya tidak berfungsi, tapi indera perasanya cukup tinggi membuatnya bisa merasakan kalau ada seseorang di sana.
Tawa gelak terdengar. Zelina tahu persis siapa pemilik tawa itu. Senyum tersungging di bibirnya.
“Tau aja nih. Padahal lagi asik dengerin kamu nyanyi lho…” suara Ravel terdengar mendekat. Dia mengambil posisi duduk di tangga sama dengan Zelina.
“Aahh kamu ini. Ganggu konsentrasi aja,” sahut Zelina sedikit salah tingkah. “Kamu sama siapa? Ami mana?”
“Hmm…aku sendiri. Tadi sambil jalan ke rumah teman, eh mampir dulu. Katanya kamu abis sakit ya? Maaf ya aku belum sempat nengok kemarin. Sekarang udah sehat kan?”
“Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja….” Zelina menggunakan lagu Pingkan Mambo untuk menjawab pertanyaan Ravel.
“Syukur deh,” ucap Ravel lembut. Dia terhenyak memperhatikan wajah Zelina yang manis. Kalau saja Zelina tahu, dia memiliki mata yang sangat indah. Begitu hitam dan dalam. Membuat siapa pun yang menatapnya seakan bisa merasakan apa yang dia rasakan.
“Tadi itu lagu kamu buat sendiri ya. Bagus lho. Tuh kan udah aku bilang kamu tuh punya bakat nyanyi, Zel. Sekarang bisa bikin lagu sendiri. Mantap deh. Apa tadi judulnya?”
“Hmm...kasih tau nggak ya…” goda Zelina. “Judulnya Cerita Hati. Yaah kalo dibuatnya pakai perasaan memang bagus biasanya kan…”
“Cieee…kisah nyata nih jadi ceritanya. Tapi kok kayaknya agak sedih gitu ya. Memang kamu patah hati sama siapa sih?”
Zelina masih memetik senar gitar sambil berpikir apa dia harus menceritakan perasaannya pada Ravel. Tapi buat apa? Toh tidak akan merubah keadaaan, yang ada justru membuatnya malu. Tapi kalau disimpan terus pun, dia merasa tak enak. Serasa menanggung beban sendirian.
Beberapa saat kemudian, Zelina mengambil intro nada dan mulai menyanyikan lagunya dengan lengkap. Wajahnya sengaja ditegakkan menghadap Ravel dan berharap dia bisa mengerti arti dari lagu itu.
Ravel diam mendengarkan. Dia menatap lekat bola mata hitam itu. Dia bisa membacanya dengan jelas apa maksud dari lagu itu. Hingga Zelina selesai menyanyikan lagunya, diakhiri dengan jentringan gitarnya, Ravel baru mulai bicara.
“Zelina…maaf ya…”
“Nggak apa-apa kok, Vel. Harusnya aku yang tahu diri. Siapa aku, bisa suka sama orang kayak kamu. Aku memang gadis pemimpi…”
“Memangnya apa yang salah dari kamu sampai harus tahu diri. Jangan karena kamu nggak bisa lihat, kamu nggak berhak untuk ngerasain jatuh cinta…”
“Iya. Tapi aku jatuh cinta sekaligus patah hati…” lirihnya.
“Kamu tahu pasti aku bukan orang yang suka merhatiin fisik, Zel. Kalau kamu sekarang patah hati, itu bukan karena aku nggak suka sama kamu. Tapi memang waktunya nggak tepat. Walaupun aku ingin, aku tetap nggak bisa. Aku udah berhubungan dengan Indi sejak setahun lalu, dan nggak mungkin aku nyakitin dia. Kamu ngerti kan maksud aku?”
Zelina masih mencerna perkataan Ravel. Apa secara tak langsung Ravel mengakui kalau dia pun suka padanya. Ada perasaan lega di hatinya. Sudah cukup untuk mengakui perasaan ini. Setidaknya Zelina tidak patah hati sepenuhnya.
Zelina mengangguk dan tersenyum. Dia mengerti posisi Ravel. Dan tidak ingin pula merusak apa yang sedang dijalaninya. Kalau jodoh, dia pasti akan dipersiapkan untuknya suatu saat nanti. Dan kalau pun tidak, Zelina yakin kalau Tuhan sedang mempersiapkan yang terbaik untuknya.
Semua memang akan indah pada waktunya……
₯
3 tahun kemudian...
Tepuk tangan riuh mengiringi akhir penampilan apik dari Zelina. Sudah kurang lebih setahun ini dia menjadi penyanyi tetap di cafe Biru. Penampilannya yang menarik dan suaranya yang bagus, apalagi dia bisa memainkan alat musik gitar, menarik perhatian pemilik cafe saat mengadopsi salah seorang anak asuh di Panti Asuhan Kasih Bunda. Dia bersyukur karena bisa menyalurkan bakatnya sekaligus memperoleh penghasilan. Terkadang pula ada beberapa tawaran menyanyi di cafe lain yang dia terima di sela-sela waktunya. Sungguh sebuah pengalaman yang menakjubkan baginya.
“Pak, maaf Pak Timo udah datang belum ya?” tanya Zelina pada satpam cafe, menanyakan tukang ojek yang biasa menjemputnya.
“Oh, belum tuh, Mbak. Tapi tadi ada yang nyariin Mbak waktu Mbak lagi tampil. Cuma orangnya lagi kemana ya tadi,” jawab sang satpam menoleh ke kanan dan kiri, “Oh itu dia!”
Zelina menunggu siapa yang menghampirinya. Tidak biasanya ada orang yang mencarinya disini.
“Hai, Zelina...”
Zelina terperangah. Suara itu...suara itu...sangat dikenalnya.
“Ravel?” ucapnya kaget.
“Kamu masih ingat suaraku,” jawab Ravel dengan tersenyum.
Zelina tidak menyangka kedatangan Ravel yang tiba-tiba itu. Sudah beberapa tahun ini, mereka tidak pernah berkomunikasi karena Ravel melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri di Malang. Zelina pun sudah mulai terbiasa dengan ketidakhadiran lelaki itu selama ini walaupun dia tidak pernah bisa melupakannya. Dia selalu berharap suatu saat nanti akan dapat bertemu kembali dan ternyata...harapannya terwujud!
Perasaan Zelina semakin senang karena ternyata Ravel datang memang sengaja untuk menjemputnya. Dari Ibu Adam, Ravel mengetahui tentang kegiatan Zelina belakangan ini. Dan dia senang mendengarnya. Karena itulah dia berniat untuk menjemput Zelina dan mengajaknya makan di luar sambil mengobrol tentang kejadian-kejadian selama mereka tidak bertemu.
Dan tidak hanya sekali itu saja Ravel menjemput Zelina. Besok dan hari selanjutnya setiap Zelina akan tampil, Ravel yang setia menjemputnya. Dia tidak menyia-nyiakan liburan semesternya kali ini untuk menemani gadis itu. Tentu saja hal tersebut membuat Zelina kembali merasakan perasaannya yang dulu. Saat Ravel sering datang mengunjunginya beberapa tahun lalu. Sering pula Zelina bertanya dalam hati, apa kabar Indi? Sejak kedatangannya hingga hari ini, Ravel belum pernah menyinggung gadis itu lagi.
“Ohya, Vel. Kok kamu nggak pernah ajak Indi kesini lagi?” tanya Zelina setelah tak kuasa menahan rasa penasarannya lagi.
Ravel tidak langsung menjawab. Beberapa detik dia hanya diam. “Oh, itu... Hmm, aku sudah lama nggak berhubungan lagi dengan Indi. Dua tahun lalu kami putus. Sepertinya dia nggak bisa menjalani hubungan jarak jauh denganku. Terakhir kabar kudengar, dia akan menikah tahun depan...”
“Oh?” Zelina kembali kaget mendengar penjelasan dari Ravel. Dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih mendengar kabar itu. “Maaf ya, Vel, kalau pertanyaanku nyinggung kamu.”
“Nggak apa-apa kok. Itu udah lama berlalu. Indi sudah menjadi masa laluku sekarang,” jawab Ravel yakin.
₯
“Selamat ulang tahun, Kak Zelina...”
Anak-anak asuh di Panti Asuhan Kasih Bunda berebut memberi selamat ulang tahun pada Zelina. Hari itu dia merayakan ulang tahunnya yang ke-20 dengan makan-makan bersama di panti. Suasana gembira menyelimuti panti dan para penghuninya. Zelina mendapatkan banyak hadiah dari anak-anak panti, Bapak & Ibu Adam, dan Ravel, tentunya.
Zelina meraba liontin kalung pemberian Ravel. Liontinnya berbentuk hati. Tanpa sadar, dia tersenyum.
“Gimana kamu suka nggak dengan hadiahku?”
“Suka sekali,” jawab Zelina jujur.
“Kamu tambah cantik pakai kalung itu,” puji Ravel tulus yang membuat pipi gadis di sampingnya itu merona. “Ohya, besok kan aku pulang ke Malang. Kamu baik-baik ya disini.”
Senyum Zelina menyurut. Dia baru teringat akan hal itu. Entah kenapa perasaaan tidak ingin kehilangan menyelimuti hatinya.
“Kamu nggak usah sedih gitu. Aku bakal balik kok. Semester ini aku nyusun skripsi. Kalau nggak ada halangan, aku akan lulus tahun depan dan balik ke Jakarta. Kamu tunggu aku ya!” kata Ravel menenangkan.
“Hmm...kamu nggak nanya kenapa aku kasih kalung itu ke kamu?”
Zelina dari tadi hanya terdiam dan mencerna perkataan Ravel. Dia menggeleng karena memang tidak terpikir olehnya untuk menanyakan apa alasan Ravel memberikan hadiah itu untuknya.
“Liontinnya berbentuk hati. Itu tandanya aku sudah menitipkan hati aku ke kamu. Tolong dijaga baik-baik ya. Tunggu aku kembali.”
“Ehm...Vel…” Zelina tidak mampu berkata-kata. Sungguh apa yang didengarnya membuat perasaannya menjadi ringan dan terasa hangat. Tiga tahun lalu dia pernah terjatuh pada rasa sakit yang teramat sangat dan hari ini rasa sakit itu seakan terbayarkan.
“Iya. Aku pasti tunggu kamu,” jawab Zelina yakin.
Ternyata cinta pertamanya berpihak padanya. Dia memang baru pertama kali jatuh cinta dan hanya kepada Ravel. Sekarang dia benar-benar yakin kalau Ravel bukan hanya cinta pertamanya...namun juga cinta sejatinya.
Cinta memang indah...
Seindah terjadi pada waktunya...
₯ ₯ ₯