Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
I Have Nothing
5
Suka
3,138
Dibaca

“Satu …!”

Wasit tinju menepuk-nepuk matras di depan wajahku, aku sudah tersungkur akibat pukulan telak di bagian wajahku.

Tidak kusangka di awal karirku, aku akan langsung bertanding dengan seorang petinju andalan yang terkenal sudah banyak membuat lawan KO. Tubuhku memang besar, otot menonjol di mana-mana, tapi pada saat wasit berteriak menghitung, napasku sudah di ujung.

“Dua …!”

Wasit terus menghitung, jujur saja aku sudah tidak kuat, penglihatanku sudah mulai kabur, sulit untuk melihat dengan jelas. Sorakan-sorakan semakin bergemuruh, lawan sudah merasa di atas angin, dan sudah berlari-lari mengelilingi ring tinju merayakan lebih awal kemenangannya, bersama pendukung-pendukungnya.

“Tiga …!”

“Bangun, Brent!” teriakan seseorang di luar arena.

Aku tidak bisa meresponsnya, jantungku berdebar, adrenalin terpacu dengan begitu ganas, menyebabkan napasku tersengal-sengal. Pertandingan ini berlangsung sangat panjang, aku juga tidak mengira akan bertahan hingga detik ini.

“Brent, nasib kami ada di tanganmu!” teriakan lainnya.

“Brent, kau bisa!” teriakan laki-laki yang amat kukenal terdengar, membuat aku sedikit termotivasi lagi untuk bangkit dan melanjutkan pertandingan.

“Brent, ingatlah negara ini membutuhkanmu!” teriakan lainnya terdengar, membuat aku teringat tentang tujuanku naik ke atas ring ini.

Negaraku di ambang kebangkrutan, katanya aku menjadi satu-satunya pilihan untuk menarik minat negara lain. Karena itu, aku langsung bertanding dengan lawan yang sulit ditumbangkan, mereka bilang aku si kuda hitam. Terdengar egois memang, tapi aku tidak bisa menolak, karena dengan kata lain, aku sejatinya memang asuhan negara, setelah orangtuaku dengan keji membuangku di tempat sampah.

“Empat …!”

Orang-orang semakin melompat-lompat, siap merayakan kemenangan dari lawanku, aku masih saja tertungkup di bawah. Dari awal pun, semua orang sudah banyak yang skeptis dengan pertandinganku, karena menurut mereka, aku sudah pasti bukan lawan yang seimbang, tapi aku berhasil membungkam mereka dengan memenangkan poin di awal pertandingan.

“Lima …!”

“Brent, ini kesempatan bagus! Kau harus bangun, kau berjanji padaku, kau berjanji untuk melawan semuanya! Ini kesempatan bagus! Ini jalanmu, Brent ayo bangun!” teriakannya lagi.

“Enam …!”

Baiklah, ini untuk negara dan masa depanku, aku mulai mencari sisa tenagaku, dengan susah payah aku mencoba bangkit. Perlahan-lahan aku berdiri, memukulkan tanganku yang berlapis sarung tinju berwarna hitam, kesukaanku.

“Bagus, Brent! Tumbangkan dia! Kau bisa!”

Aku kini bisa melihat semua orang, termasuk lawanku yang kembali berhadapan denganku. Wasit mendekatiku, bertanya, apa aku masih kuat untuk bertanding lagi atau tidak, aku menganggukkan kepala sebagai jawaban, aku tidak bisa menjawab secara langsung, mulutku terhalang dengan karet pelindung gigi.

Suasana semakin panas, keriuhan di dalam ruangan menggetarkan arena, bahkan juri yang duduk di bawah ring, berdiri melihat aku yang kembali berdiri. Aku siap, jika ini menjadi pertandingan terakhirku aku tidak akan menyesal, karena aku sudah berjuang mati-matian, meskipun, pastinya satu negara akan kecewa kepadaku.

“Hadirin sekalian, pertandingan akan dilanjutkan setelah bel dibunyikan!”

“Ayo, Brent! Lanjutkan, kau pasti menang! Abaikan semua kekhawatiranmu!”

Aku ingat semua teknik-teknik yang aku pelajari saat latihan yang hampir membunuhku. Lawanku memang kuat, tapi stamina yang ia miliki tampaknya sudah mulai menurun, ini jadi kesempatan bagus untukku yang mendapat tenaga baru, yang entah dari mana datangnya.

“Bagus, Brent! Pertahankan!”

Aku maju mengejar, pukulan-pukulan samping mengenai tubuhnya, juga wajahnya, lawanku terdorong mundur, aku berlari, ini kesempatan emas bagiku. Lawanku sudah terpojok, tinggal mencari celah, aku perhatikan baik-baik, hingga aku melihat satu celah yang janggal, kemudian…

Bugh!

Satu pukulan keras melayang padanya, lawanku tersungkur, dan berakhir terlentang, wajahnya babak belur sama sepertiku. Napasku tersengal-sengal, tapi aku senang melihat lawanku tak berdaya. Aku masih memburu tubuhnya, tapi wasit segera memisahkan kami.

Pendukungnya seketika diam, tak percaya melihat jagoannya terkapar seperti itu. Wasit memeriksanya, dapat kulihat dari sudut jika lawanku tidak bergerak, tapi masih bernapas.

Aku melirik pada laki-laki yang tadi berteriak, dia menunggu dengan cemas, jika aku menang dia orang pertama yang akan terselamatkan.

“Sembilan … sepuluh ….”

Wasit bangkit dan berlari ke arah juri, memberitahu sesuatu, entahlah aku tidak mendengarnya dengan baik. Aku masih terfokus pada lawanku yang dadanya terlihat kembang kempis, tapi tak juga berdiri.

Wasit kembali lagi dan memegang tanganku. “Hadirin sekalian.” Jantungku berdebar-debar, dan aku merasakan perasaan aneh.

“Setelah pertarungan yang sengit, pemenang dengan sistem KO dan keputusan bulat, dari sudut biru!” Hatiku membuncah. “Inilah dia juara dunia baru kita, Brent Cower.” Aku mematung, benarkah ini, benarkah yang akhirnya menang adalah aku. “Si kuda hitam yang telah memenangkan pertandingan dari juara bertahan! Sekali lagi, hadirin sekalian, terima juara baru kita, Brent Cower.” Wasit mengangkat tanganku tinggi-tinggi.

aku melihat seluruh penjuru arena, suka cita telah tercipta. Beberapa bahkan sampai meneteskan air mata, timku memasuki arena. Timku bersorak, memelukku dengan bangga. “Terima kasih, Brent,” bisik seseorang, kemudian tubuhku diangkat ramai-ramai.

“Hidup Brent!” teriaknya, dan diikuti oleh yang lainnya.

“Brent dari negara kita! Brent!”

“Brent!”

“Brent!”

Aku melepaskan pelindung karet di mulutku, dan mengangkat kedua tangan. “Argh …! Aku Brent, aku si kuda hitam!” teriakku, aku ikut eforia kemenangan, membaur dengan tim dan penggemar baruku. Aku memukul-mukul dadaku, hatiku bergemuruh riuh, akhirnya latihan yang berat itu membuahkan hasil, aku menang, aku menjatuhkan lawan hingga KO, aku menang!

***

“Brent, bisa meminta waktumu sebentar?” tanya seorang reporter wanita yang tiba-tiba menghadangku ketika akan pergi ke ruang latihan.

Sudah beberapa hari berlalu, tapi kemenanganku terus saja menjadi berita panas di mana-mana. Wajahku terpampang di spanduk para politisi yang wajahnya lebih besar dari wajahku, juga tayangan video detik-detik kemenanganku yang masih terus berputar di mana-mana, dan tak lupa karangan bunga berbagai bentuk melengkapi dengan tulisan selamat kepadaku.

“Tentu saja,” jawabku pada reporter wanita itu, mencoba tersenyum ramah, meskipun sebenarnya aku tidak terbiasa dan merasa canggung.

“Sekali lagi kami ucapkan selamat atas kemenanganmu, dan menjadi satu-satunya yang bisa mengalahkan juara bertahan. Kalo boleh tau, bagaimana perasaanmu setelah kemenangan fenomenal ini?” tanya reporter.

Aku menarik napas. “Perasaanku, tentu saja terkejut, aku tidak mengira bisa mengalahkan seniorku, aku senang tapi juga masih tidak percaya hingga detik ini,” jawabku, jujur.

“Kau digadang-gadang sebagai maskot baru untuk negaramu dan sekaligus menjadi pahlawan untuk rakyat banyak, bagaimana tanggapanmu? Apa itu membebanimu ataukah biasa saja?” tanya reporter itu, mencoba menjerumuskanku pada jurang kehancuran, jika saja aku salah menjawab.

“Ini berlebihan menurutku, aku sangat menerima dan sangat senang sekali atas apresiasi itu, tapi untuk menjadi pahlawan, itu kurang tepat, bagaimana pun orang-orang yang berada di belakangku yang paling banyak berpengaruh. Aku hanya membalas jasa baik dari negaraku, jadi aku melakukan ini memang khusus untuk berterima kasih karena negeraku yang sudah mengasuhku dan mengantarku hingga ke titik ini,” jawabku, sesuai dengan keinginan pemimpin. Reporter wanita itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya, entah ia mengerti atau tidak, aku tidak peduli.

“Bagaimana dengan tanggapan orangtuamu?” tanya reporter itu lagi.

Aku merenung sebentar. “Aku menerima banyak pesan dari semua Ibu Panti, kurasa mereka senang, aku bahagia mendengar mereka berteriak ketika aku terima panggilan telepon dari mereka,” jawabku, aku tidak punya orangtua, tapi setidaknya aku bisa hidup berkat pertolongan ibu panti.

Reporter tertegun mendengar jawabanku, dia sepertinya tidak pernah mengira dengan jawabanku. Aku menangkap perubahan ekspresi wajahnya, ia tergagap dan akhirnya menyunggingkan senyum canggung padaku.

“Mereka pasti sangat bangga padamu, Brent. Kau berhasil memenangkan pertandingan dunia, lalu apa hadiah dari pelatihmu?” tanya reporter.

“Tentu saja, hadiahnya sangat besar, dia dengan murah hati memberikan tambahan waktu latihan kepadaku, aku senang sekali mendengarnya,” jawabku, membuat semua orang tertawa.

“Pak pelatih, berikanlah Brent liburan sebentar,” ujar reporter.

“Terima kasih Brent, atas waktunya, dan terakhir, suara baritonmu sangat seksi,” pungkasnya, kedua pipi reporter wanita itu merona, malu.

***

“Dari mana saja kau?!” seru Ryan, begitu aku membuka pintu.

Ryan pelatih tinju, sekaligus sahabatku, dia yang melihat potensiku dalam dunia tinju. Ryan mengenalkanku pada seorang promotor, kemudian kami berlatih dengan keras. Mereka tercengang dengan perkembanganku, tanpa pikir panjang mereka mendaftarkanku pada kejuaraan dunia. Mereka bilang aku tidak akan dikenalkan terlebih dahulu, mereka meminta pihak penyelenggara untuk merahasiakan keberadaanku.

“Kau tidak melihatku di TV, aku diwawancara tadi,” ucapku, percaya diri.

“Tidak ada alasan, Brent! Jangan bodoh, jangan jadikan kemenanganmu alasan untuk bermalas-malasan,” katanya, tegas.

“Aku tidak berbohong, aku juga tidak bisa menolak,” ujarku, membela diri.

Push up seratus kali! Sekarang! Satu!” teriak Ryan.

Setelah diperintah aku langsung ambil posisi untuk push up. Aku melakukan hukumanku, sedangkan Ryan sibuk melihat televisi, wawancaraku menjadi buah bibir lagi, tapi kali ini karena ucapan reporter tadi yang mengomentari suaraku.

“Hey, apa yang sudah kau lakukan? Kenapa namamu masih betah berada di daftar pencarian teratas?” tanya Ryan.

“Aku … tidak … tau …,” jawabku terbata-bata, aku masih push up, ingat.

“Si bariton seksi, si kuda hitam seksi, si kuda hitam bersuara seksi. Apa-apaan ini? Semua orang membicarakanmu, sungguh menggelikan, apa yang seksi dari suaramu itu,” protes Ryan, sepertinya ia sedang membaca beberapa judul artikel di ponselnya.

“98 … 99 … 100 …. Argh, lelah sekali.” Aku menyelesaikan hukumanku, aku langsung menyambar ponsel Ryan, aku jadi penasaran tentang pemberitaanku di internet sana.

“Hey, lihat komentar-komentar ini, aku tidak mengira para gadis jaman sekarang bisa mengetikkan kata-kata frontal seperti ini,” ucapku, terkejut membaca komentar.

“Itu karena mereka bersembunyi di balik avatar mereka, semua orang tentu akan berani mengatakan apa pun selama mereka tidak menjadi diri mereka sendiri,” jawab Ryan.

“Masuk akal,” sahutku.

Aku kembali lagi membaca komentar-komentar itu, semakin bawah semakin menarik untuk dibaca. “Wah, gadis-gadis ini fantasinya liar. Hey, mereka bahkan meninggalkan nomor ponsel mereka, haruskah aku menghubunginya?” Aku menyenggol lengan Ryan, menggodanya.

“Jangan melakukan hal yang tidak berguna, Brent,” jawab Ryan, tegas.

“Kau tidak asyik,” jawabku, memberengut.

“Kau! Kembalikan ponselku, mulai latihan!” teriak Ryan mencoba merebut ponselnya, tapi aku mengelak dan menjauh dari jangkauan Ryan.

Aku mematung begitu mendapati sebuah komentar yang teramat berani, aku menghela napas dan menyerahkan ponsel kepada Ryan. “Mereka terlalu berterus terang, aku merasa rendah. Ryan, aku kecewa, aku tau aku tampan dan juga seksi, tapi itu berlebihan,” ujarku.

“Berisik, Brent! Lebih baik kau mulai latihan, banyak pertandingan yang menunggumu, Brent!” teriak Ryan.

“Hey, kalian!” seseorang masuk dan berteriak.

“Claire …!” Aku dan Ryan berteriak bersamaan.

“Bagaimana? Semuanya berjalan lancar?” tanya Ryan pada Claire, antusias.

“Claire, kau harusnya melihatku menumbangkan dia, aku kecewa padamu,” ucapku, pura-pura sedih.

“Kau tidak perlu seperti itu untuk mendapat perhatianku! Kau pasti lebih membutuhkan ini dibandingkan kehadiranku,” ucapnya, memamerkan dua koper besar berwarna hitam legam.

Claire adalah teman kami, dia yang mengurus semua keperluan kami dan mengajukannya pada promotor. Singkatnya, Claire adalah managerku yang mengatur jadwal, tempat latihan dan mengatur keuangan, nanti Claire akan sering disibukkan dengan panggilan iklan, aku yakin itu.

Popularitasku sangat melejit, pasti banyak yang ingin memakaiku untuk bintang iklan produk mereka, aku sedikitnya tau dinamika di dunia ini. Siapa yang sedang berada di atas, mereka pasti akan memburunya, dan berbondong-bondong untuk lebih memperkaya sumber keuangannya.

“Hey, apa itu? Apa sesuatu yang akan membuatku membuka mata dan pikiranku?” tanyaku, dengan tawa konyol.

“Kuharap juga begitu, aku sudah muak dengan semua tingkahmu itu,” jawab Claire.

“Kau baru hari ini melihatnya, Claire, bayangkan aku yang setiap hari berurusan dengannya, apalagi setiap hari nama dia selalu muncul di daftar pencarian teratas,” jawab Ryan, dramatis.

“Biarkan saja begitu, dari pada namanya muncul di DPO, itu akan membuatmu lebih gila lagi, bukan? Ah, itu juga lebih baik untukmu, Ryan, setidaknya hidupmu tidak terlalu datar-datar saja,” jawab Claire, membuatku tertawa keras, dan Ryan yang merajuk.

“Kau tidak mengerti, Claire, cobalah sehari saja jadi aku,” rajuk Ryan.

“Ya! Nikmati saja, Ryan, setidaknya dia tidak tidur berjalan lagi,” ujar Claire.

“Hey, omong-omong apa yang kau bawa dengan koper besar itu?” tanyaku, karena sedari tadi Claire tidak juga membukanya, aku penasaran.

Claire tersenyum, terlihat menyebalkan bagiku. “Ah, sesuatu yang berada di dalam sini, akan membuat Ryan berterima kasih padamu,” katanya, semakin membuatku penasaran saja.

“Untuk apa aku berterima kasih padanya,” cibir Ryan padaku dengan tatapan malas, aku benci sekali dengan sikapnya, tapi aku akan biarkan dulu, aku tidak ingin dihukum dua kali.

“Percaya padaku, kau akan bersujud menyembahnya setelah ini,” ujar Claire.

“Baiklah, baiklah, kau perlihatkanlah saja dulu, baru aku pertimbangkan,” ucap Ryan.

Claire meletakkan kedua kopernya di lantai, dan mulai membukanya perlahan-lahan, aku dan Ryan melihatnya lebih dekat. Aku belum tau isinya apa, Claire masih berusaha membukanya, karena selain di luarnya dikunci menggunakan kode, di dalamnya juga dilapisi berbagai macam benda.

“Wow …!” Ryan berteriak melihat isi dari koper itu, aku menutup mulut tak percaya.

“Kau boleh merasa senang, tapi jangan berteriak di telingaku juga, Ryan!” sentak Claire.

“Claire apa semua ini?” tanyaku, dapat dipastikan mataku terbuka lebar dan berbinar.

“Seperti yang kalian lihat,” jawab Claire.

“Ya! Kita kaya ….” Ryan melompat-lompat dan merangkulku. “Kau hebat, kau panutanku mulai sekarang,” ujar Ryan, mengusap kepalaku keras.

“Kita kaya …!” Aku ikut terhanyut, melompat-lompat bersama mereka, dan berputar, mengitari dua koper yang berisi tumpukan dollar di dalamnya.

“Kau menangis?” tanya Claire padaku.

“Ini semua milik kita? Ini semua untuk kita, Claire cepat katakan padaku,” kataku, terharu.

Claire tersenyum melihatku. “Ini milikmu, dan masih banyak lagi,” jawab Claire.

Aku tak bisa menahan kesenangan, aku langsung memeluk mereka berdua, menangis bersama-sama, belum pernah aku melihat uang sebanyak itu. Aku kalut, tanganku berkeringat dingin, aku merasa berada di tempat paling tinggi di dunia ini, hatiku membuncah.

“Akhirnya, akhirnya hari ini jadi milik kita, kita bisa taklukkan dunia!” aku berteriak histeris, tangisanku tak bisa berhenti.

“Sudah, sudah, kau harus latihan, jangan menguras staminamu,” ucap Ryan, membuatku terdiam seketika.

“Kau! Bisakah sesuaikan kondisinya! Aku ingin menikmati ini semua, biarkan aku memeluk mereka. Oh lihatlah, cantik sekali, c’mon baby, come to Papa,” ucapku dramatis, membuat teman-temanku mengernyitkan dahi.

“Kau harus latihan, Brent!” tegas Ryan. “Masih ada pertandingan yang menantimu, jangan biarkan kau terlena hanya karena melihat setumpuk dollar,” hardik Ryan.

“Padahal, kau juga menikmatinya tadi, kau menyebalkan, brengsek!” berangku. “Aku tidak perlu latihan, aku sudah mengalahkan orang nomor satu dunia, hari ini biarkan aku bersenang-senang,” ucapku, pongah.

Bugh!

Tiba-tiba saja, Ryan meninju wajahku keras, aku yang tidak siap terdorong ke belakang, dapat aku rasakan bau darah segar dari sudut bibirku. Aku menatap Ryan, dia terlihat tegas, mode pelatihnya sudah aktif, aku mengusap sudut bibirku, dan benar saja, ada darah di sana.

“Persiapkan dirimu, Brent,” ucap Claire, aku mengerti.

Ryan sudah lengkap dengan sarung tinju di tangannya, waktunya tiba. Aku pun langsung berlari ke atas ring, setelah memakai perlengkapan.

“Maju,” ucap Ryan, aku pun maju.

Ryan melancarkan tinjunya, karena aku tidak siap, tentu saja tinjunya mengenaiku.

“Apa yang kau lakukan?!” teriak Ryan, aku tidak bisa menjawab.

“Maju, lakukan seperti biasanya!” seru Ryan.

Aku maju dan mulai menyerang Ryan, sudah cukup untuk pemanasannya, saatnya aku menyerang balik. Aku melayangkan tinjuan ke sudut kiri wajahnya, aku melihat ada celah di sana, tapi aku salah, seranganku bisa ditepis dengan mudah.

“Kau tidak bisa melakukan ini dengan sembarangan, kau harus lebih fokus! Lebih konsentrasi!” teriak Ryan. “Jangan merasa puas dengan hasil yang kau dapatkan, kerjakan lebih keras!” serunya.

Aku fokus kembali, mencoba membayangkan jika aku tengah di arena pertarungan yang sesungguhnya. Claire melihatku dari depan, ia tersenyum kepada Ryan, aku paham maksud senyuman itu, aku juga paham kenapa Ryan melatihku lebih keras dari biasanya.

Aku tergeletak di ring tinju, latihan hari ini benar-benar menguras tenaga, itu semua karena Ryan terbawa emosi ketika melatihku. Kami menyelesaikan dengan jantan, ini bukan masalah harga diri, ini karena diriku sendiri.

Latihan sudah selesai, aku termenung dan menyandarkan tubuhku di tali penahan ring tinju. Ketika aku membuka sarung tinju dan hand wrap, Ryan menghampiriku membawakan minuman dingin untukku.

Ryan duduk di sampingku. “Kau tau maksudku, bukan? Aku tidak main-main dengan dunia ini, Brent, kau sudah jauh, dan akan lebih jauh lagi nantinya. Dunia sedang menantikanmu, kau tidak boleh lengah,” kata Ryan.

Aku tersenyum. “Aku paham maksudmu, aku terlalu berlebihan,” kataku.

“Brent, jika kau tidak fokus dan terlalu banyak berpikir seperti yang tadi kau lakukan, itu akan membuat lawan kegirangan. Kau harus kesampingkan emosimu, kau boleh bersuka cita, tapi tetap fokuskan dirimu pada tujuan awal. Jangan biarkan dollar-dollar cantikmu itu merebutmu dari gelar yang sudah susah payah kau raih. Kau mengerti, Brent?”

“Aku mengerti, kau benar, aku terlalu menggampangkan,” ucapku, menyadari kesalahanku.

“Sudahlah, jangan kau ulangi lagi. Pulanglah istirahatkan tubuhmu, hari ini sudah cukup,” ucap Ryan.

“Ya! Aku sudah babak belur, kau brengsek jika melanjutkan ini,” ucapku keras.

“Bawa bagianmu, jangan lupa besok persiapkan dirimu, jangan telat! Ingat itu!” tegas Ryan, ia bangkit dan meninggalkanku sendirian.

“Itu tergantung, aku tidak bisa janji!” teriakku, tersenyum.

***

Aku berjalan keluar, membawa dollar tercintaku menggunakan tas yang aku bawa tadi, aku tidak mungkin membawa koper, itu berat dan terlalu mencolok. Aku melenggang dengan angkuh, untunglah saat itu jalanan sepi, jadi aku bisa berlagak seperti bos-bos mafia kejam.

“Lihat aku, ucapkan namaku, Brent! Brent! Brent!” gumamku, sembari merentangkan tangan, lalu tertawa.

“Kalian harus lihat betapa hebatnya aku, mengalahkan seorang pecundang. Ups, kubilang dia pecundang? Ah, itu memang sudah seharusnya,” ucapku, aku tertawa kembali, aku sudah berada di ketinggian, tidak akan mungkin terjatuh, aku pasti akan melesat lebih jauh.

Tak terasa, aku sudah berada di depan pintu. “Kita sudah sampai, Nak,” ucapku kepada dollar-dollar yang ada di dalam tasku itu.

Aku masuk, tujuanku satu, kamar mandi, aku ingin bersenang-senang dengan kertas-kertas berharga itu. Sebelum aku masuk ke dalam kamar mandi, aku sengaja membuka lemari pendingin, dan membawa sebotol minuman berwarna merah cantik pemberian dari salah satu pimpinan promotor.

Aku berjalan ke kamar mandi, membawa tas, aku membukanya dan tertawa melihat isi tasku yang padat dengan kesayanganku itu. Kamar mandi dalam keadaan kering, aku taburkan dollar-dollar itu, dan tidak lupa mengisi penuh bathtub yang biasa aku gunakan untuk berendam.

Botol minuman sudah dibuka. “Mari kita bersenang-senang, Manis,” ucapku pada dollar itu. Aku menuangkan minuman yang kubawa pada gelas tinggi yang selalu aku gunakan ketika minum-minum, aku meneguknya sedikit, dan meletakkannya di pinggiran bathtub.

"Ah, nyaman sekali,” ujarku.

Aku menikmatinya, aku bersenandung dengan keras, tidak peduli dengan orang lain yang mungkin ada di pinggir rumahku. “Aku si kuda hitam, aku si hebat, dan gadis-gadis, come to daddy, Sweetie,” ucapku sembari melihat diri di cermin.

***

Keesokan harinya aku pergi ke ruang latihan, hari-hariku sangat monoton, dari bangun tidur, pergi ke ruang latihan, pulang, tidur lagi, terus saja seperti itu, sangat membosankan. Tapi hari ini, ada yang berbeda, kali ini tidak hanya latihan, tapi juga ada kegiatan yang menyenangkan.

Semalam Claire menghubungiku, jika salah satu brand minuman berenergi ingin bekerja sama denganku, mereka memintaku untuk menjadi brand ambasador untuk produk mereka. Aku senang sekali, setidaknya ada kegiatan lain selain latihan. Tapi aku meminta mereka untuk mengerjakan semua proyeknya di tempat latihanku, aku tidak mau di tempat lain.

“Selamat datang! Wah, kekar sekali, aku baru pertama kali melihat otot sebesar ini,” ujar salah satu staff perempuan, menyambutku.

“Apa kabar? Kalian datang pagi sekali, rajin sekali. Ah, otot-ototku akan malu jika kau bilang seperti itu,” kataku, basa-basi, padahal aku sudah dapat mengiranya jika otot-ototku akan menggoda mereka.

“Ah, kau terlalu merendah. Oh, kami harus menyiapkan peralatan dulu, maafkan kami, kau harus menunggu lebih lama lagi,” ujarnya.

“Jangan khawatir, aku mengerti, silakan lanjutkan saja, aku akan sabar menunggu,” jawabku, padahal dalam hati aku menggerutu. Aku meminta mereka mengerjakan di ruang latihan, agar aku tidak menunggu, jika seperti ini, sama saja bohong.

Aku menghampiri Ryan yang sedang berbincang, entahlah dengan siapa aku tidak peduli, suasana hatiku jadi buruk karena harus menunggu lagi. “Ryan, kau memanggilku? Aku sudah datang, ada apa?” tanyaku pada Ryan, dia pasti bingung, aku hanya meminta waktunya, aku tidak enak hati jika langsung menyeretnya.

Ryan menoleh padaku, dan mengernyitkan dahinya dalam, Ryan bertanya dengan matanya, aku memberi isyarat dengan wajahku, agar dia datang menemuiku. “Ah, kau sudah datang, baiklah tunggu aku di kamar ganti, aku akan segera ke sana,” jawab Ryan, tersenyum canggung.

Aku langsung ke ruang ganti, mengganti bajuku dengan pakaian yang dibawa oleh tim produksi. Bajunya terbilang bagus dan terbuka, memperlihatkan otot-ototku, aku terlihat seksi di cermin. Tiba-tiba suasana hatiku membaik, bagus juga pilihan pakaian mereka, aku terlihat sangat tampan.

Ryan masuk, aku menoleh padanya, aku langsung menaikkan tanganku, memamerkan otot lenganku padanya. “Ryan, lihatlah temanmu ini terlihat sangat seksi, lihatlah otot-otot yang menggoda ini, akan banyak wanita yang rela mengantri untuk ototku ini,” kataku dengan senyuman tengil.

“Ya! Kau memanggilku ke sini hanya untuk ini? Kau sudah gila? Dia client kita, semua hal tentang kau ada di tangan dia, kau benar-benar,” omelnya.

“Sstt … jangan berisik nanti otot-ototku takut, diamlah,” jawabku, menggodanya. “Akan kupastikan kau dapat persenan dari otot-ototku ini,” tambahku.

“Kau! Berani kau kepadaku, sini kau!” Aku berlari, menghindari tangan kejamnya. “Berhenti! Dan push up sekarang juga!” bentak Ryan.

“Kau menyebalkan,” gerutuku, dan langsung mengambil posisi untuk push up.

Tubuhku mulai turun, tapi baru saja hitungan ketiga, tim produksi sudah memanggilku, aku tersenyum pada Ryan dengan wajah tak berdosa, Ryan tak bisa berbuat banyak.

“Terima kasih pelatihku, kau memang yang terbaik,” jawabku, menepuk wajahnya dengan kedua tanganku, membuat Ryan menendang bokongku, aku tertawa saja, seru juga menggoda Ryan.

Aku keluar, ternyata aku tidak bekerja seorang diri, ada seorang bintang wanita yang menemaniku. Jujur saja aku baru tahu, tapi tidak mengapa, dia cukup menarik, cocok, jika disandingkan denganku.

“Astaga, aku penggemar beratmu, aku sangat senang bisa bekerja sama denganmu,” seru bintang wanita itu.

Aku tersenyum. “Terima kasih, perkenalkan, aku Brent,” sapaku, mengulurkan tangan.

Bintang wanita itu teriak histeris, kegirangan, apakah gadis-gadis yang ada di kolom komentar tempo hari, seheboh ini? Baguslah jika begitu, memang itulah yang aku inginkan, memangnya siapa yang akan menolakku? Semua orang pasti tergila-gila padaku.

“Aaa … oh, maafkan aku, aku terlalu senang, namaku … eh … maaf, namaku Angel,” jawabnya, tersipu malu.

Itu terlalu berlebihan, tapi aku suka, dia menyambut tanganku, kami bersalaman, tangannya sangat lembut, itu sudah seharusnya. “Namamu cantik, seperti dirimu,” kataku, memujinya. kedua pipinya semakin memerah, aku tertawa dalam hati, padahal aku tidak serius dengan itu, tapi tak masalah, menyenangkan orang lain itu kegiatan bagus, bukan?

Kami langsung bekerja, dengan arahan dari tim produksi, semua berjalan lancar. Mereka mengambil gambarku dengan produk mereka, menyenangkan, apalagi ketika Angel dengan sengaja mendekatkan diri padaku.

***

“Aku ingin mengadakan pesta malam ini, Ryan,” ucapku.

Kami baru saja menghadiri acara peresmian patungku, iya benar, kalian tidak salah baca, aku dibuatkan patung, setinggi diriku. Mereka benar-benar tergila-gila padaku, bahkan mereka menjadikanku maskot negara, aku tidak keberatan, selama itu tidak merugikan diriku. Sudah kubilang, semuanya akan berubah, jika kau berada di puncak kejayaan.

Patung itu, katanya untuk menarik turis asing agar datang ke negaraku. Sebenarnya setelah kemenanganku, negaraku sudah baik-baik saja, tapi demi kelancaran hidup masyarakat yang lebih luas, mereka meminta ijin padaku untuk membuat patung, dan hari ini baru saja selesai dibuat dan langsung disimpan di balai kota.

Benar saja, semua orang datang melihat patung diriku itu, tidak tanggung-tanggung, dari berbagai negara dan berbagai media asing meliput peresmian itu. Aku bangga pada diriku sendiri, aku seperti pemilik negara ini saja, dan aku yakin, aku akan sangat terkenal setelah ini, dan aku bisa melakukan apa saja setelahnya.

“Apa maksudmu?” tanya Ryan.

“Kau pernah berjanji padaku, kau akan memberiku hadiah, aku menagih itu sekarang, aku tidak meminta yang mewah, tapi ijinkan aku untuk mengadakan pesta,” jelasku, Ryan terlihat berpikir

“Benar juga, aku belum memberikan itu, aku tadinya ingin memberimu hari libur, tapi jika kau meminta pesta akan kubuatkan, sekali saja, tidak ada di hari lainnya,” ujar Ryan, membuatku kegirangan.

“Kenapa kau tidak satukan saja, pesta dan hari libur, itu terdengar menarik, lagi pula satu minggu ini tidak ada pertandingan, tidak akan mengganggu,” kataku, meminta lebih.

“Kau memang tidak tau diri, tapi aku juga tidak bisa menolak. Sebutkan mau di mana kau mengadakan pesta?”

“Tidak perlu jauh-jauh, kau sulap ruang latihan jadi tempat pesta, itu tidak akan memakan biaya banyak, dan lagi, ruang latihan lebih aman,” kataku, memang benar aku ini sudah populer, dan akan sangat mudah jika ingin menyewa sebuah club atau apa pun itu, tapi aku ingin menikmati waktuku sendiri, jadi aku meminta di ruang pribadi saja.

“Tidak biasanya kau seperti ini, apa ada sesuatu terjadi? Ah, kau jangan menjawab lagi, aku tidak akan menuruti yang lainnya. Jika kau ingin berpesta di tempat latihan, aku akan siapkan semuanya, tapi tidak menggunakan ruang utama, kita buka ruangan yang jarang dipakai. Atau kita sekalian saja buat club pribadi,” saran Ryan.

“Ah, kenapa aku tidak terpikir sampai ke sana?” kataku, yang membuat Ryan memutar bola matanya, malas mendengar ocehanku, aku hanya tersenyum saja. “Hey, akui saja, kau lebih antusias dariku, bukan? Kau atur saja, di mana pun itu, yang pasti aku ingin kenyamanan, dan satu hal lagi,” kataku, menatap Ryan dengan mengangkat sebelah alisku.

“Jangan macam-macam, Brent,” katanya, mengingatkan.

“Aku tidak meminta yang aneh-aneh, tapi tolong undang Angel datang ke pestaku, aku sudah berjanji padanya,” kataku, membuat dia tersentak.

“Kau hanya bergurau, bukan?” tanya Ryan.

“Tidak,” jawabku, menggelengkan kepala.

“Bagaimana caranya, Brent? Aku mau gila saja rasanya,” gerutu Ryan.

“Jangan gila dulu, undang dia dan kau bebas mau melakukan apa saja,” kataku.

“Ah, sudahlah, kau memang tidak akan berhenti berulah, akan kuusahakan, tapi jika dia menolak, kau harus diam,” pungkas Ryan.

Aku tersenyum sumringah. “Dia tidak akan menolak, percaya padaku,” kataku, percaya diri.

“Terserahlah,” ketus Ryan. Aku tertawa mendengar Ryan yang pasrah dengan tingkahku.

***

Malam yang dinanti-nantikan pun tiba, aku sangat antusias sekali, ini pesta pertama seumur hidupku, aku tidak akan melupakan pengalaman ini. Aku tidak perlu mendekap lututku lagi, aku sudah bisa berfoya-foya, aku tidak akan meninggalkan kesempatan, jika perlu, aku akan melakukan apa saja, demi mengamankan posisiku.

Aku akhirnya masuk, dan seketika mataku terpesona, ruangan yang biasanya terlihat kumuh, malam ini sangat berbeda, Ryan benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Lampu disco menggantung, dan berputar menerangi ruangan yang temaram, aku suka, hatiku berdebar. Suara bising musik tidak menggangguku sama sekali, itu hanya membuatku menggerakkan tubuhku mengikuti irama musik.

“Hey, sang juara sudah tiba! Sambut dia dengan meriah! Brent! Brent! Brent!” teriakan dari teman-temanku, memuja dan mengelu-elukanku.

“Claire, kau datang?” tanyaku, sembari beradu bahu.

“Tentu saja, kau pikir aku akan menyia-nyiakan ini? Tentu saja tidak, Kawan,” serunya.

“Baiklah, baiklah, kau memang suka berpesta, dan meninggalkan aku dengan penyiksaan itu,” gerutuku, mengingat masa-masa kelam itu.

“Hey, kau tidak perlu seperti itu, sekarang kau sudah bebas mau melakukan apa saja. Ah, di atas meja sana ada tas, dan itu semua milikmu, ambillah!” serunya, mengalahkan suara bising ruangan itu.

“Apa itu?” tanyaku, penasaran.

“Ambil saja,” katanya.

Aku melangkah, dan sesekali menyapa teman-temanku yang sudah larut dengan kesenangan malam ini. Botol-botol minuman sudah tersedia di meja mereka, dan dengan bebasnya mereka membawa teman perempuan bersamanya.

“Brent!” panggil seseorang.

“Ada apa? Aku tau ini berisik, tapi bisakah kau tidak berteriak di telingaku, Ryan,” hardikku, Ryan baru saja datang.

“Berisik, ini semua demi kau, dan asal kau tau aku hampir dibunuh gara-gara keinginanmu ini!” sentak Ryan, marah.

“Hey, apa maksudmu? Kau sudah menyepakati tentang pesta ini, kenapa masih marah padaku?” tanyaku, tak terima.

“Bukan tentang itu, bodoh! Ini tentang yang lain, kau lupa dengan permintaan muluk-mulukmu itu?” tanya Ryan, jengkel.

“Apa? Club? Aku hanya meminta ini, dan kau sudah melakukannya, terima kasih, jika itu yang kau harapkan,” kataku.

“Astaga, ternyata kau masih bodoh, Angel! Kau ingat?!” bentak Ryan.

Astaga, aku benar-benar lupa dengan yang satu itu, begitu masuk ke dalam club private ini, aku melupakan dia begitu saja. “Oh, memangnya ada apa dengan dia?” tanyaku, pura-pura tidak peduli.

“Kau memang tidak tau diri, aku hampir dibunuh oleh managernya, dia dilarang datang ke sini, tapi Angel memaksakan diri, dan terus mendesak pihaknya, dan berakhir adu mulut denganku, aku tidak tau kenapa aku yang menjadi sasaran mereka,” jelasnya, terlihat marah.

Aku tertawa, tak tau diri memang. “Lalu, bagaimana? Dia berhasil keluar dari sana?” tanyaku.

“Aku marah padamu,” katanya, lalu meninggalkanku begitu saja.

“Apa-apaan ini? Kau tidak berhasil membawanya? Sia-sia saja mulut besarmu itu!” aku berteriak, bingung dengan semua perkataannya.

“Brent?”

Begitu Ryan pergi, suara perempuan terdengar memanggil namaku, aku tidak langsung menoleh.

“Brent, di sini,” katanya.

“Angel?”

“Kau tidak suka aku datang?” tanya Angel begitu aku melihatnya dengan heran.

“Maksudmu?” tanyaku, heran.

“Kau tidak terlihat antusias melihatku di sini, padahal aku susah payah agar bisa datang ke pestamu,” jelasnya, terdengar sedih.

“Bukan seperti itu, aku hanya terkejut, kukira kau tidak jadi datang,” jawabku, mencoba fokus pada wajahnya.

“Kupikir kau tidak suka,” katanya tersenyum.

“Tidak mungkin, ya sudah, mari kita berpesta,” ajakku, aku tidak mau kehilangan kendali, lebih baik lanjutkan bersenang-senang.

Aku mengajaknya ke kerumunan teman-temanku yang sudah larut dengan kegembiraan, gelas-gelas minuman berdenting, dan semakin malam, musik semakin riuh, lantai dansa penuh dengan mereka yang sedang bersenang-senang. Aku tidak menyangka tempat ini bisa jadi keren seperti ini, mulai sekarang tempat private ini akan menjadi tempat favoritku.

“Hey, Kawan! Kau hebat, sering-seringlah mengadakan pesta!” teriak temanku.

“Pasti, kau tinggal bujuk Ryan saja,” kataku.

“Hey, siapa yang bersamamu itu?” tanyanya lagi.

Angel sangat mempesona malam ini, tidak mungkin laki-laki lain bisa melepaskan pandangan darinya. Aku dengan berani merangkul pinggangnya. “Kalian pasti tau dia, bukan? Dia sangat terkenal,” kataku.

“Wah, Angel! Wow, Angel ada di sini! Astaga, suatu kehormatan bisa berpesta denganmu, Nona Angel, maafkan aku yang terlalu berlebihan,” kata temanku, menyesal rupanya.

“Tidak, tidak apa-apa, lanjutkan saja,” kata Angel.

“Ya sudah, bersenang-senanglah, jika kekurangan sesuatu langsung hubungi resepsionis, mereka yang akan memesankan untuk kalian malam ini,” kataku.

“Kau hebat, Brent, jangan menyia-nyiakan kesempatan,” ujarnya, mengedipkan sebelah matanya.

Aku paham maksudnya, karena dia melirik sedikit pada Angel, aku sangat paham itu. aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan, tapi masalahnya dia mau atau tidak, aku tidak mungkin memaksa, meskipun aku yakin tidak akan ada yang menolakku, tapi aku harus dapat ijin dia terlebih dahulu.

“Aku bisa melakukan apa pun yang kau inginkan,” ujar Angel.

“Maksudmu?” tanyaku, pura-pura tidak tau.

“Brent! Ayo bergabung!” Tanganku tiba-tiba ditarik oleh Claire, mau tidak mau aku mengikutinya saja, dan melambai pada Angel, untuk ikut bersamaku.

“Brent! Lihatlah mereka, semua orang sudah gila,” ucap Claire.

“Brent, kapan kau mengajak dia?” tanya Claire merujuk pada Angel.

“Setelah pemotretan iklan waktu itu, dia menawarkan diri, jadi aku minta Ryan untuk menghubunginya,” jawabku.

“Dan dia langsung menyetujuinya?” Claire memukul perutku, aku diam tak bereaksi, hanya tersenyum.

“Kau hebat, Kawan. Ah, sudahlah, kita harus bergabung!” teriak Claire, berjalan ke arah teman-temanku yang sedang berpesta.

Lampu disco berkelap-kelip, diiringi musik yang semakin memicuku untuk bergerak, tak tinggal diam, aku pun ikut memeriahkan acara pestaku. Aku membuka satu botol minuman berwarna kuning keemasan itu, dan langsung aku teguk dari botolnya.

“Brent! Brent! C’mon Brent!

“Aku akan berdansa denganmu,” katanya.

***

“Astaga, bisa-bisanya terlambat, sial!” gerutuku.

Hari sudah sangat siang, tapi aku masih berada di kamarku, ini pasti tidak benar, bisa-bisanya aku melewatkan latihan, Ryan pasti akan sangat marah padaku. Aku membuka selimutku, bermaksud untuk bangun dan berlari ke tempat latihan.

“Ada apa?” suara serak perempuan membuatku semakin terkejut.

Aku menoleh. “Angel?” Aku tersentak, apa yang terjadi, aku mengusap wajahku.

“Kenapa kau terkejut? Kau melupakan kegiatan kita malam tadi?” tanya Angel, bangun dan melihatku dengan matanya yang masih sayu, sisa mabuk semalam.

Aku buru-buru mengingat apa yang terjadi semalam dengannya di kediamanku, aku melirik seluruh ruangan. Pakaian kami berantakan di sembarang tempat, bekas minuman kaleng berserakan, dan ada satu benda yang menjadi perhatianku.

Aku melirik Angel, aku harus memastikan satu hal. “Kau tidak menyesal? Aku sudah merusakmu?” tanyaku, berusaha terdengar menyesal.

Angel menggeleng.

“Kenapa kau tadi terdengar khawatir? Ada yang salah?” tanyanya.

“Ah, aku melewatkan latihanku,” jawabku.

“Apa itu penting bagimu?” tanya Angel.

Aku meliriknya. “Sangat penting, Ryan pasti akan marah padaku,” jawabku.

“Tapi, kau sudah hebat, kau juara dunia baru, ingat? Kau mengalahkan si juara dunia bertahan itu, kau keren, hanya satu hari kau tertinggal jadwal latihan, itu tidak akan membuatmu hancur begitu saja, bukan?” katanya.

“Benar, aku masih bisa berlatih di hari lainnya,” kataku, merasa mendapat dorongan lain.

***

Setelah sepeninggal Angel, aku buru-buru mandi dan pergi ke ruang latihan, meskipun sudah telat, setidaknya aku harus pergi ke sana, meminimalisir kemarahan Ryan, meskipun aku tidak bisa jamin.

“Kau berani datang?!” hardik Ryan, begitu aku masuk ke ruang latihan.

Aku tidak menjawab, langsung saja menyimpan tasku yang kupakai di tempat biasa. Ryan melihat aku yang sudah mengabaikannya, dia berdiri, mendekat padaku. Aku bisa merasakan kedatangannya yang menggebu-gebu itu, dia sangat marah, sudah pasti, aku tidak menoleh, aku memilih masih asyik dengan duniaku sendiri.

“Aku—“

Bugh!

Ryan meninjuku dengan keras dengan tangan kosongnya, aku mencium bau darah di sudut bibirku.

“Kau merasa dirimu sudah hebat, huh?!” bentaknya. “Kau pikir kau sudah memenangkan semua petinju?!” katanya lagi, dengan mata yang membola, ganas.

“Aku tidak sengaja,” jawabku, tak memberi penjelasan.

“Jawaban apa itu? Aku memintamu berlatih untuk masa depanmu, bukan untukku. Kau sudah berjanji untuk profesional, kenapa jadi seperti ini?” tanya Ryan.

“Aku tidak sengaja, sungguh, aku bangun terlambat, aku tidak akan mengulanginya lagi, aku berjanji padamu,” kataku.

“Apa kali ini bisa kupegang janjimu itu?” tanya Ryan.

“Kau jangan meremehkan aku, kau bisa memegang semua janjiku, aku tidak akan mengulanginya lagi,” tegasku.

Bugh!

Dia meninju wajahku lagi. “Hey, apa-apaan kau ini? Kau ingin bermain kotor denganku karena kesalahan yang tidak seberapa itu?” Aku jengkel juga.

“Kau berani berkata seperti itu, di sini kau yang salah, jika kau bilang bermain kotor, lawan aku! Sekalian saja kuhabisi kau!” teriak Ryan.

“Baiklah, kau pikir aku takut?” hardikku.

Aku melawan Ryan tanpa ampun, tapi Ryan begitu hebat dalam melayaniku. Kami saling tinju dengan tangan kosong, di lantai marmer yang keras, sebagai petinju juara dunia, aku tidak akan berhenti sebelum dia yang mengakhiri.

Wajah Ryan benar-benar marah, dia memukuliku dengan brutal, bukan lagi teknik tinju yang ia berikan, dia benar-benar menghajarku. “Kau akan seperti … ini … padaku?” tanyaku terengah-engah.

“Kenapa?” tanya Ryan, masih memukuli wajahku, kali ini kami sudah bertarung di lantai yang dingin. Ryan menyasarku lebih dulu, aku tidak bisa berkutik jika pergerakkanku sudah dikunci.

Wajah kami babak belur, memar dan juga berarah-darah, Ryan menggulingkan tubuhnya. Terlentang di lantai, dan menatap langit-langit, aku pun melakukan hal yang sama, dan mengatur napas.

“Kenapa kau berhenti?” tanyaku, menantangnya.

“Berisik!” bentaknya, dia bangun dan berdiri, merentangkan tangannya untuk membantuku bangun.

“Kau tidak tega padaku, bukan?” kataku, menggodanya.

“Apa?!”

Atas pertanyaanku yang terdengar menggelikan itu, aku dihadiahi tamparan yang cukup keras dari Ryan. Dia berlalu, mendekati kotak P3K, dan membawanya. Tak berapa lama, dia datang lagi padaku.

“Obati lukamu,” katanya, melemparkan kotak P3K padaku.

“Kau yang melakukan ini padaku, kau yang harus obati,” kataku, terdengar menyebalkan.

Ryan menatapku tajam. “Kau tidak pantas berperilaku seperti itu, menjijikkan,” kata Ryan, kejam. Aku terpaksa mengobati diriku sendiri.

“Apa yang membuatmu melewatkan latihan hari ini?” tanya Ryan.

“Aku terlalu bersenang-senang, hingga aku malas untuk keluar kamar,” kataku, jujur.

“Maksudmu? Tidak mungkin, kau tidak tidur dengan dia, bukan?” tanya Ryan, terkejut.

Aku melirik Ryan, tersenyum dan menganggukkan kepalaku, Ryan terlihat semakin berang, aku tidak peduli.

“Brent, apa kau sudah gila? Dia bintang terkenal, jika ada isu tentang kalian, bisa tamat karirmu,” kata Ryan.

Aku yang sedang mengobati lukaku, seketika berhenti dan menatap Ryan. “Aku tidak mengajaknya, wanita itu yang menawarkan diri. Aku laki-laki normal, tidak mungkin aku menolak, lagi pula aku mabuk semalam, tidak bisa mengendalikan diri,” kataku, mencoba menjelaskan.

“Kau baru saja dilirik dunia, dan seluruh dunia menyorotmu, ada celah sedikit saja, kau bisa hancur, kau harus berhati-hati,” geram Ryan.

“Sudah kubilang bukan aku yang mau, dia yang lebih dulu menggodaku. Marahi saja dia, jangan aku! Dia ingin bersenang-senang denganku, aku hanya memenuhi keinginannya,” protesku.

“Aku sudah tidak sanggup lagi padamu, terserah kau saja. Kau urus saja jika sesuatu terjadi padamu, aku tidak akan membantu,” semburnya.

“Aku berani menjamin, tidak akan ada masalah dengan itu, dia tidak akan menuntutku, kau tidak perlu khawatir. Kau berlebihan padaku, masalahnya itu ada padamu, kau harus bersenang-senang. Keluarlah sesekali, jangan terus berada di zona nyamanmu, otot-ototmu itu perlu dilemaskan, dan seorang gadis mampu melakukan itu,” godaku.

“Apa kau bilang? Aku seperti ini untukmu juga!” teriak Ryan.

Sejak pertama kali aku mengenal dunia malam dan pesta, aku menjadi kecanduan, hampir setiap akhir pekan aku mengunjungi club langgananku. Aku menjadi terbiasa bersenang-senang dengan banyak wanita, dan menenggak banyak minuman beralkohol. Aku semakin gembira, karena mereka mengenalku sebagai petinju paling hebat di dunia, aku tidak akan tertandingi.

***

“Kau tidak dengar?!” teriaknya lagi. “Hentikan, kau brengsek!”

Dia menarik tubuhku agar menjauh dari wanita yang sedang bersamaku. “Kenapa kau menggangguku?” tanyaku menatap matanya

Bugh!

Pria itu memukul wajahku keras sekali, ah sial, wajah tampanku. “Dasar pengacau!” teriakku.

“Kau yang pengacau, dasar brengsek! Akan kuhabisi kau!” geramnya.

“Apa?” Aku tertawa terbahak-bahak mendengar penuturannya. “Apa, kau ingin menghabisiku, katamu? Kau tidak kenal siapa aku? Aku petinju terkenal, juara dunia, sudah memenangkan pertandingan lebih dari sepuluh kali, membintangi banyak iklan. Kau yakin ingin menghabisiku dengan tubuh lemahmu itu? Ayolah, jangan bergurau denganku,” kataku, merendahkannya, itu suatu kewajiban.

“Aku tidak peduli siapa dirimu, jauhi kekasihku, kau brengsek!” teriaknya.

Dia mencengkeram kerah bajuku, dan memukul wajahku dua kali berturut-turut. Aku tidak terima, aku melawannya, memukul dan menendang tubuh bagian sampingnya, dia seketika terjatuh. Riuh musik terhenti, akibat perkelahian kami, sehingga kami menjadi pusat di tengah-tengah kerumunan.

“Brent!” teriak wanita yang ada di belakangku.

“Aku tidak apa-apa, Manis,” jawabku, mengerlingkan mata, aku tidak sengaja lengah, sehingga membuatnya memburuku dengan mudah, dan membuat tubuhku terbanting di lantai.

Cukup sudah, aku tidak boleh direndahkan seperti ini, aku berlari dan memburunya, memukulnya dengan membabi buta. Dia sudah tak berdaya, aku tidak peduli, dia harus rasakan kerasnya tinjuanku ini. “Brengsek, kau berani macam-macam denganku, asal kau tau saja, aku tidak sudi dengan kekasihmu itu, dia murahan, dia tidak pantas bersanding denganku, aku hanya menuruti keinginannya saja,” kataku, sembari memukuli wajahnya di lantai.

***

“Sialan! Brent, apa-apaan ini?!” teriak Ryan, kami sedang berada di ruang latihan, besok ada pertandingan, dan aku pasti menjadi yang terbaik lagi.

“Ada apa, kenapa kau berteriak Ryan?” tanyaku, menghentikan perkelahianku dengan samsak, dan segera datang menemui Ryan yang terkejut melihat ponselnya. “Apa kau ditinggalkan kekasihmu? Jangan risau, wanita masih banyak, Ryan, setelah pertandinganku, datanglah ke pesta kemenanganku,” kataku, mencoba menghiburnya, meskipun aku tidak tau apa yang sedang terjadi.

“Sialan kau, Brent!” teriaknya, dia menamparku keras sekali, hey, kenapa aku selalu ditampar, orang-orang ini tidak bisa santai sekali hidupnya.

“Ada apa lagi kali ini?” tanyaku, tidak melawan kali ini.

“Lihat ini!” Ryan menunjukkan sebuah video dari ponselnya. “Apa ini kau? Kau berani melakukan ini di ranah publik?!” Ryan berteriak lagi.

“Oh, itu, anggap saja aku sedang latihan,” jawabku, sekenanya.

“Kau—“

“Brent! Jangan bilang, kau yang ada dalam video itu?” tanya Claire, tiba-tiba saja, entah datangnya dari mana.

“Sudah menyebar?” tanya Ryan, panik, tiba-tiba ruang latihan penuh ketegangan.

“Aku tidak tau, aku baru mendapatkannya tadi,” jawab Claire.

“Pastikan video itu tidak menyebar, jika itu terjadi semua karir dia akan terancam,” kata Ryan, sembari menunjuk padaku.

“Hey, calm down, Brother, kalian jangan khawatir, video itu tidak akan menyebar, bayar saja semua orang yang ada di sana, semua akan beres. Apa pun dengan uang akan lenyap seketika, yang salah akan dibenarkan, dan video ini pasti akan terkubur, santai saja,” kataku, menepuk bahu Ryan dan Claire, agar mereka tidak terlalu tegang.

“Astaga, ini berbahaya, tidak akan cukup dengan semua uangmu itu, sekali saja ada yang melihat, karirmu hancur. Kau bukan hanya berkelahi, kau bertinju di luar ring, kau bahkan merendahkan wanita. Jika video itu tersebar, sekejap saja kau yang akan lenyap,” terang Claire.

“Aku sudah tak sanggup, kau saja tangani dia Claire, dia benar-benar susah diatur,” ketus Ryan.

“Tapi bukan aku yang memulai, pria pecundang itu yang mulai, kita bisa memutarbalikkan fakta dengan memenjarakan dia,” kataku, membela diri.

“Bukan itu poinnya, kau mengumbar jika dirimu petinju hebat dan lainnya dengan pongahnya, apa pun alibimu, kau pasti akan hancur,” tekan Claire.

“Aku memang petinju hebat, bukan? Aku juara dunia, aku sudah banyak memenangkan pertandingan, apa yang salah dengan itu, tidak ada! Aku benar, bukan?” kataku.

“Kau keras kepala sekali!” teriak Claire.

“Apa kataku, dia memang susah diajak bicara, biarkan saja, nanti juga dia akan menelan akibatnya,” kata Ryan, meninggalkanku.

“Apa maksudmu? Kau mendoakan aku hancur? Benarkah begitu? Wah, aku tidak menyangka, setelah apa yang aku lakukan untuk kalian, ini yang aku dapatkan? Sudahlah, aku pulang saja, kita langsung bertemu di arena saja,” kataku, kecewa.

Aku buru-buru pergi dari ruang latihan, aku tidak peduli dengan omongan mereka. Aku sudah melakukan yang terbaik, aku akan tunjukkan besok di pertandingan. Aku pasti akan menang, karena aku memang petinju hebat. Aku si kuda hitam, ingat itu!

***

Waktu sudah berjalan tiga puluh menit, aku masih berdiri kokoh di atas ring tinju, kali ini lawanku sangat lemah, maklumlah dia langsung melawanku yang sudah juara dunia ini. Aku sempat merasa kasihan, itu mengingatkanku pada saat pertama kali diperkenalkan. Sama seperti lawanku yang langsung melawan juara dunia, tapi bedanya, kali ini aku yakin akan memenangkan pertandingan.

Lawanku akhirnya bangun, dan berhadapan lagi denganku, aku menatapnya beringas, ini saatnya aku tunjukkan jika aku memanglah yang terbaik.

“Setelah bel dibunyikan, pertandingan akan segera dimulai,” kata wasit itu memberi instruksi.

Tak menunggu lama, bel akhirnya dibunyikan dan wasit mengangkat tangannya, tanda pertandingan resmi kembali dimulai.

Aku langsung maju, memburu lagi lawanku yang tampak sudah lemah sekali. Aku incar wajahnya, aku tinju keras tulang rahangnya, dia mundur, lebam sudah semuanya, wajahnya tidak terlihat enak dipandang.

“Habisi dia, Brent! Habisi! Kau hebat! Kau pemenangnya!” teriak penonton di arena, membuat suasana semakin meriah.

Aku semakin semangat untuk menghancurkan lawanku, aku kembali lagi adu tinju dengannya. Dia sekarang berhasil melawanku, aku tidak akan kalah, aku tinju bagian samping tubuhnya dengan keras. Dia terjatuh, aku tidak tinggal diam, aku menindih tubuhnya, meninjunya dari atas, adrenalinku terpacu, aku seperti kesetanan, aku terus meninjunya.

“Ayo, Brent!” sorakan keras aku dapatkan lagi, hari ini sangat panas dan membuatku semakin membara.

Lawanku tidak berdaya, tinjuanku sangat keras, bagi sebagian lawan yang pernah bertanding denganku, mereka setuju jika tinjuanku sangat mematikan, dan mereka selalu bilang harus menghindari tinjuanku dari bagian itu. Lihat, aku sudah diakui, keahlianku tidak kaleng-kaleng, mereka patut takut dengan kehadiranku.

Wasit langsung melihat keadaan lawanku, yang sudah pasti kalah, tidak perlu ditanyakan lagi, dia pasti menyerah, tidak kuat melawanku lagi.

Suara bel berbunyi, menandakan pertandingan telah selesai. Wasit mendekatiku, dan memegang tanganku. “Sambutlah dia, juara bertahan kita, Brent Cower!” Wasit mengangkat tanganku, seperti yang sudah kukatakan, aku ini hebat.

“Brent! Kau pantas mendapatkan itu! Kau tidak ada tandingannya!” teriak penggemarku, yang mereka teriakan itu sudah jelas, mereka tidak perlu ragu lagi.

Tiba-tiba wasit dipanggil oleh juri, apa aku harus khawatir dengan itu? Ah, siapa yang peduli, penonton sudah senang dengan kemenanganku. Tapi, aku penasaran, aku mengintip ke bawah, wasit dan juri terlihat serius, raut wajahnya berubah, mereka menunjukkan wajah yang sangat marah, apalagi ketika seseorang menunjukkan ponsel pada mereka.

Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan, aku mengalihkan pandangan, daripada memusingkan mereka yang dibawah, aku lebih baik melihat wanita-wanita di depanku yang kebetulan memakai pakaian seksi yang lebih sedap untuk dipandang.

Aku terlalu fokus dengan para wanita di depanku, hingga aku tidak mengetahui orang-orang sudah mengalihkan perhatiannya. Aku tersadar, kemudian aku mengikuti arah pandangan mereka, yang terlihat serius dan tatapan matanya sangat tajam.

Begitu aku melihat ke atas layar besar yang memang selalu ada untuk memfasilitasi mereka yang menonton pertandingan, aku tersentak, sebuah video terlarang sedang tayang di layar sana, aku mundur.

“Sialan,” gumamku.

Suasana yang tadi penuh dengan kegembiraan, berganti menjadi kekacauan dan kekecewaan. Video yang sedang berlangsung menampilkan aku yang tengah adu tinju dengan pria asing di club tempo hari, dan video lainnya yang memperlihatkan aku merendahkan para wanita, serta video-video aksi tak senonohku.

“Apa yang kau lakukan, Brent? Dasar pecundang!” teriak orang-orang.

“Turun dari sana! Kau tak pantas jadi petinju!” teriak yang lain.

“Kau pikir kau siapa? Bisa main hajar seenaknya?”

“Turun!”

“Brent, si pengecut!”

“Brent! Turun! Pergi kau ke neraka!”

“Kau pikir hebat berlaku seperti itu! Aku kecewa padamu Brent! Jauhi wanita selamanya! Jauhi kami! Kau tak pantas untuk kami!” serang mereka, aku seakan lupa, jika sebagian besar penggemarku adalah wanita.

Aku bingung dengan reaksi ini, aku tanpa sadar berputar di tempat, melihat penggemarku dengan wajah yang penuh kemarahan, dan menunjuk diriku dengan sangat kasar. Umpatan-umpatan lolos dari mulut-mulut mereka, aku merasa dikhianati, kesalahanku tidak seberapa, kenapa semua orang seperti ini padaku, aku kecewa pada mereka.

Lagipula, semua yang kulakukan terbilang wajar, untuk masalah wanita, aku tidak merasa melakukan kesalahan, mereka memang seperti itu adanya. Mereka merendahkan diri mereka sendiri padaku, bukan aku yang salah, bukan?

Wasit masuk lagi ke ring. “Hadirin sekalian, mohon tenang, kami akan segera mengatasi ini, mohon tenang!” kata wasit.

“Jangan menutup-nutupi! Pecat saja dia! Jangan biarkan dia lolos! Penjarakan dia!” Peringatan dari wasit dibalas dengan teriakan yang semakin gemuruh, hingga tiba-tiba seseorang melempar sesuatu ke ring tinju, dan langsung diikuti oleh yang lainnya.

“Turun!”

Aku melihat ke bawah, Claire dan Ryan, mengusap wajahnya gusar, setelah melihatku di atas ring, mereka memutar tubuh, lalu pergi meninggalkanku begitu saja. Ini tidak benar, mereka tidak mungkin melakukan ini padaku, mereka harusnya setia padaku.

“Turunkan gelarnya! Dia tak pantas untuk itu!” teriak seseorang.

Aku membuka sarung tinjuku, dan melemparnya ke sembarang arah, aku marah, aku kecewa, aku kesal. “Argh … kalian semua pengkhianat!” teriakku, kesal dan marah menjadi satu.

“Tenang, Brent, mari kita turun terlebih dahulu,” ajak wasit.

“Ingat ini, aku tidak butuh kalian semua! Aku bisa juara tanpa kalian! Dasar pengkhianat!” teriakku lagi, penonton bertambah ganas, mereka melempari sesuatu tepat ke tubuhku. Aku berbalik melihat siapa yang melempar, keadaan sangat kacau sekali, mereka benar-benar tidak tau diri. Wasit memegang tanganku, aku menepisnya dengan keras, aku bisa sendiri, aku turun dari ring tinju, aku turun bukan berarti aku lemah, aku akan melakukan sesuatu pada mereka.

“Kalian pengkhianat!” Aku berteriak dan menyerang mereka, mengamuk pada penggemarku, tapi tidak tuntas, karena semua pengawas dan penjaga keamanan langsung mengerubungi dan menahan pergerakanku. Aku tidak terima, aku merangsek maju, tapi tak bisa menembus mereka. “Argh …! Awas! Akan kuberi pelajaran mereka! Awas! Jangan halangi aku!” seberapa besar pun tenagaku, jika mereka serempak menjadi benteng pertahanan, aku pun tidak mampu menembus mereka. Akhirnya aku ditarik paksa oleh semua orang, yang berusaha menahanku.

Aku dibawa keluar. “Lepaskan!” Aku menepis tangan-tangan yang memegangiku.

***

“Ini kacau, video langsung tersebar dengan pesat, ditambah Brent mengamuk di arena tadi, ini akan sulit,” ucap pihak promotor yang kebetulan ada di ruangan itu.

“Semua orang membahas perangai liar Brent di jejaring sosial, dan reaksinya sangat besar, Brent benar-benar diamuk masa,” kata Ryan, yang sedari tadi melihat berita di televisi dan ponselnya.

“Ini tidak mudah ditangani, apalagi, Brent merendahkan wanita, dan semua wanita di seluruh dunia, menolak Brent muncul ke permukaan,” jelasnya. “Dengan kejadian seperti ini, akan sulit karirmu berlanjut, Brent, aku sangat menyesal menyampaikan ini, tapi pihak pimpinan kami, ingin membatalkan semua kontrak eksklusif denganmu. Kau tidak perlu membayar denda, tapi kerjasama kita sampai di sini saja, maafkan aku Brent,” tambah pihak promotor itu, membuatku mengangkat kepala.

Suasana di ruang rapat yang ada di tempat latihanku, seketika hening, Ryan memijit kepalanya, dan Claire menatapku. Sepertinya dia meminta pendapatku, oke baiklah aku akan bertanggung jawab. “Baiklah, aku menerima itu, selama ini menjadi topik panas, aku akan meminta bantuan pada beberapa pihak, dan jika beritanya mereda, aku akan menemui kalian lagi,” kataku, menanggapi.

“Itu lebih baik, pastikan semuanya beres, kami selalu membuka pintu untukmu, Brent, hanya saja saat ini waktunya tidak memihakmu, aku sangat menyesal, tapi aku juga tidak bisa membantah pimpinanku, maafkan aku,” katanya menyesal.

“Tidak masalah, kau hanya menjalankan tugasmu, aku mengerti,” jawabku.

“Baiklah, Brent, aku pamit. Ryan, Claire, maafkan aku,” katanya.

“Ah, maafkan kami karena membuat masalah sebesar ini, aku akan pastikan Brent mendapat hukuman,” jawab Ryan, lalu dia menatapku dengan sinis.

Pihak promotor pun meninggalkan ruangan. “Ini yang kutakutkan, Brent, sekarang kau mengerti, bukan? Aku tidak perlu memarahimu, kau rasakan saja akibatnya,” ucap Ryan.

Aku hanya bisa diam, semalam aku sudah mengamuk di ruang latihan, semua benda aku jadikan pelampiasan kemarahanku, sampai aku tertidur di ring tinju yang biasanya aku pakai untuk latihan. Ryan dan Claire tidak menahanku, sepertinya mereka juga paham, aku butuh sesuatu untuk pelampiasan.

“Ryan, ini kacau, pihak iklan membatalkan kerjasamanya dengan kita. Wah, ini lebih buruk dari yang kukira,” kata Claire, ribut.

“Semua orang sudah menyebarkan video dan beritanya sudah di mana-mana, apa yang kau harapkan dari mereka? Sudahlah, diamkan saja dulu, kita perbaiki sedikit-sedikit,” kata Ryan, pasrah.

Ponsel kami berbunyi dalam waktu yang nyaris bersamaan. “Jangan diterima!” teriak Claire. “Jangan diterima, biarkan saja, itu jebakan dari reporter,” tambah Claire lagi.

Aku menurut, dan mematikan saja ponselku, karena itu sangat mengganggu. Aku kembali termenung, sekeras itukah tanggapan semua pihak, aku tidak menyangka akan kacau seperti ini. Itu semua salah pria asing itu, aku harus cari dia sampai dapat, aku menyesal tidak menghabisi dia waktu itu.

“Gawat, Brent! Ada banyak wanita yang mulai angkat bicara, mereka mengaku sebagai korban dari kekasaranmu. Brent ini sudah tidak aman lagi, kau harus bersembunyi,” ribut Claire, menambah kepanikan.

Ryan langsung melihat ponselnya. “Angel juga sama, astaga! Brent, kau merusak dia?” tanya Ryan, membuatku sontak terkejut.

“Apa?! Aku tidak, dia mengaku bukan yang pertama kalinya. Argh … kurang ajar! Brengsek! Sialan!” Aku mengacak rambutku, frustrasi, bisa-bisanya mereka menuduhku. “Brengsek!” teriakku.

***

“Hey, kudengar kau bekerja di media, bisa tolong aku?” Aku menelpon seorang kenalan.

“Brent, tentu saja bisa, apa yang kau inginkan?”

“Ah, tentang pemberitaanku, bisakah kah menghapus semua videoku?” pintaku.

“Maafkan aku, untuk yang itu, tidak mungkin, semuanya sudah menyebar, kami tidak bisa melakukannya, sungguh maafkan aku.”

“Ah, begitu? Baiklah, tidak masalah, aku mengerti,” jawabku.

Aku mengakhiri panggilan teleponku, aku menutup mataku sejenak, aku bingung, harus seperti apa lagi agar namaku kembali bersih. Aku teringat seseorang, harusnya bisa, karena aku yang membuat negaraku kembali maju, jadi aku langsung mencari nomornya dan langsung melakukan panggilan.

“Apa kabar? Iya, ini aku, bisakah aku meminta bantuan?” tanyaku, begitu mereka menerima teleponku.

“Apa kabar, Brent? Katakan saja, aku sedang mengisi rapat.”

“Anda sudah melihat berita tentang aku, bukan? Aku ingin meminta bantuan, bisakah pihak Anda menurunkan berita itu, aku yakin kalian bisa melakukan itu, bukan?” tanyaku.

“Tidak mungkin, Brent, semuanya kacau, kami pun diserang, dan mereka memintaku menghancurkan patungmu, dan itu sudah berjalan, kami tidak bisa membantumu lagi,” jawabnya, membuatku tersentak.

“Bagaimana bisa? Tapi, aku maskot negara ini, bukan?” tanyaku, masih tak percaya.

“Maafkan aku, Brent, sepertinya hubungan kita sudah cukup sampai di sini, aku tidak bisa menanggung kesalahanmu,” jawabnya.

“Baiklah.” Aku langsung menutup panggilanku, tanpa mendengar jawaban pihak pemerintahan.

“Bajingan! Dasar semua tidak berguna!” Aku melempar ponselku, dan seketika hancur berkeping-keping, sudah gila dunia ini. “Aku benci manusia! Aku benci kalian semua!”

Semuanya jadi kacau, dan tambah parah, tempat tinggalku diserang, dan tempat latihanku pun tak luput dari amuk masa. Aku sekarang diungsikan ke tempat yang aman, setidaknya sampai sekarang, masih aman. Ryan dan Claire, coba mencari titik terang untuk kasusku ini, aku sudah pasti tidak bisa lagi bertanding tinju, aku juga sudah tidak bisa sebebas dulu.

Aku benci sekali keadaan tidak menentu seperti ini, aku ambil jaket dan topi hitamku. Aku harus bergerak sendiri, aku tidak bisa tinggal diam, aku harus membungkam mulut-mulut wanita-wanita tidak tau diri itu, karena mereka aku dijatuhkan sedemikian rupa.

Aku melangkah keluar, aku benci harus pergi diam-diam seperti ini, penampilanku sudah seperti seorang tunawisma yang tidak tau langkah. Aku benci harus bersembunyi dari jangkauan manusia-manusia tidak tanggung jawab seperti ini.

“Oh, rumah ini ternyata ada penghuninya?” seorang tetangga terkejut melihatku keluar dari rumah yang memang terlihat kosong dari luar.

Aku menganggukkan kepala. “Aku baru datang,” jawabku singkat, dan langsung keluar.

Aku lanjutkan, menelusuri jalanan, melihat ke kiri dan kanan, penuh dengan pemandangan romantis. Aku iri sekali, harusnya aku melakukan itu sekarang, tapi gara-gara video itu semuanya hancur. Semua rencanaku terkubur, untung saja aku tidak menghabiskan semua uangku, aku masih mempunyai tabungan yang cukup untuk satu minggu ke depan. Aku yakin mereka akan menerimaku lagi dalam waktu dekat ini.

Orang-orang melihatku dengan tatapan heran, cuaca sedang panas-panasnya, tapi aku memakai pakaian tebal dan tertutup, bahkan wajahku nyaris tak terlihat, karena aku memakai penutup kepala yang sangat besar.

Aku tidak pedulikan mereka, aku terus berjalan, hingga tak terasa aku sudah masuk ke kerumunan. Mereka sedang menunggu di pinggir jalan untuk menyeberang. Orang-orang di sebelah kiri dan kananku, melirikku dengan tatapan penuh tanya. Aku tidak punya pilihan selain bersikap normal, aku memasukkan tanganku ke saku jaket, menghindari tatapan mereka.

Tiba-tiba saja, sebuah video yang menampilkan klarifikasi dari Angel tayang di sebuah videotron di bahu jalan. Sontak mengundang orang-orang untuk melihat video itu dan menghujatku, aku mendengar itu secara langsung. Awalnya aku biasa saja mendengar semua orang menghujatku seperti itu, tapi kemudian, setelah mendengar secara langsung, rasanya ternyata menyakitkan.

Aku tidak sengaja membuka penutup kepalaku, seseorang kemudian menoleh padaku, ia menutup mulutnya, menyadari sesuatu.

“Brent? Kau, Brent! Brengsek! Dia Brent!” teriaknya histeris, membuat semua orang melihat kepadaku dan aku menjadi pusat perhatian mereka.

“Kau berani berkeliaran! Brengsek! Kemari kau!”

Berbahaya, aku lari dari sana, menghindari semua orang yang akan menyerangku, bahkan aku tidak memperdulikan kendaraan yang berlalu lalang, menyebabkan mereka berhenti mendadak. Seakan menjadi kesempatan, mereka mengejarku, aku terus berlari menghindari mereka.

“Mau ke mana kau? Tangkap dia! Jangan biarkan penjahat berkeliaran! Tangkap! Tangkap!”

Teriakan-teriakan itu mengundang semua orang berpaling dari kegiatan mereka, dan ikut berlarian bersama orang-orang yang mengejarku.

“Sialan!” Aku berteriak kesal, aku marah.

Aku masih berlari, menghindari orang-orang, aku terus melihat ke belakang, tanpa kusadari, seseorang telah menungguku di depan.

“Kau tidak bisa lari lagi, Bung, kau harus menanggung semua ini, jadi rasakan ini.”

Bugh!

Perutku mendapat tendangan yang sangat keras. “Argh ….”

“Rasakan ini!”

“Buat dia mati!”

Orang-orang datang menyerangku, aku diserang di segala sisi, suasana di jalan ini sekarang seperti kerumunan zombie yang menyerangku bersamaan. Aku ditendang, ditinju dan ditampar, aku mengaduh tapi tak mereka pedulikan. Aku kesakitan, tapi mereka tidak terlihat akan segera berhenti. Aku bahkan sudah merasakan darahku bercucuran, dadaku sakit dan sesak, teriakan-teriakan masih aku dengar sangat jelas, aku tidak bisa melawan, aku benci terlihat lemah seperti ini.

Tak berapa lama kemudian, ada suara sirine polisi meraung, membubarkan kerumunan masa yang sudah menghajarku. Aku ditinggalkan dengan keadaan yang paling kacau, tergeletak di jalanan, aku tak berdaya, melihat dengan nanar kepergian mereka.

Dunia ini kejam, aku memenangkan pertandingan untuk mengangkat harkat dan martabat negaraku, tapi aku ditinggalkan begitu saja hanya karena sebuah rumor dan video yang aku pikir tidak seberapa itu. Orang-orang begitu mudah digiring opini, mereka bahkan tidak mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu, tapi dengan mudahnya mereka menjatuhkan penghakiman begitu saja.

Aku kecewa, apakah ini karma bagiku? Kenapa datang secepat ini? Apakah kesalahanku sungguh fatal, sehingga semesta mendatangkan karma begitu saja padaku? Aku termenung, sendirian, di jalanan, aku tidak pedulikan polisi yang datang, aku tidak butuh mereka, aku terus berdiam diri, hingga aku terhanyut dalam lamunan.

“Brent!”

“Astaga, kau masih di kantor?”

Aku tersentak, aku seakan tersedot kembali ke duniaku, aku langsung tersadar, melihat kedua temanku di depan pintu, yang tadi itu, sungguh sangat mendebarkan. Ryan dan Claire ada di sana tersenyum padaku, menambah keyakinanku, jika aku benar-benar sudah kembali dari perjalanan lamunanku itu. Dadaku memang terasa sesak, mungkin sisa dari adrenalin yang tadi, tapi aku sungguh lega.

“Kau tidak pulang? Istri dan anak-anakmu pasti sudah menunggumu, pulanglah, tinggalkan pekerjaanmu itu, kau butuh istirahat,” kata Ryan.

“Hey, apa yang sedang kau lihat itu? Aku perhatikan dari tadi, kau hanya fokus pada satu hal, apa itu?” tanya Claire, dia mendatangi mejaku dan melihat sesuatu yang sedang kutonton.

“Hey, kau masih bermimpi ingin menjadi seorang petinju, jauhkan pikiran itu, kau sudah menjadi direktur, perusahaan ini sebentar lagi menjadi milikmu, kau jangan serakah,” kata Ryan, mengejekku.

“Ah, tidak, bukan seperti itu,” jawabku, kikuk.

“Kita pulang saja, Brent, biarkan anak buahmu yang mengerjakan itu,” ajak Claire.

“Baiklah.” Aku segera membereskan laptop dan berkas-berkas yang ada di mejaku, memasukkannya ke dalam tas yang selalu kubawa.

Aku keluar dari kantorku, mengikuti teman-temanku yang sudah lebih dulu keluar. Aku sepertinya terlalu menghayati pikiranku itu, hingga membuatku menjelajah awang-awang terlalu jauh, aku tidak menyangka akan berpikir sedalam itu.

Aku memang mempunyai keinginan untuk menjadi seorang petinju, tapi itu dulu, orangtuaku menentang keinginan itu, dan aku dikirimkan ke sini, perusahaan yang sukses aku garap dengan kerja keras dan ketekunanku dengan bantuan teman-temanku. Aku sepertinya patut bersyukur dengan pilihan orangtuaku ini, karena jika tidak, bukan tidak mungkin aku akan mengalami hal yang menyakitkan.

Aku merangkul teman-temanku. “Hey, jika aku sudah terlalu jauh dari dunia, tolong ingatkan aku,” ujarku.

“Hey, apa yang terjadi? Ada masalah dengan perusahaan? Kau tidak mengalami kebangkrutan, bukan?” tanya Ryan, heran.

“Tidak,” jawabku, lalu aku berpaling pada Claire. “Claire, jika aku sudah tidak mempunyai apa-apa, kau akan terus bersamaku, bukan?” tanyaku padanya.

“Kau aneh, ada apa ini? Kau sakit? Ryan, ada apa dengan temanmu ini?” tanya Claire.

“Biarkan saja, mungkin tadi dia bermimpi buruk,” jawab Ryan, kami pun tertawa bersama-sama.

Memang benar, aku sudah mengalami mimpi buruk, baru kusadari, ternyata, aku bukanlah apa-apa jika tidak ada mereka. Aku ternyata tidak mempunyai apa-apa selain ragaku sendiri, aku tidak boleh melupakan itu, aku harus tetap berada di bumi.

Pikiran yang membawaku terhanyut dalam itu, seketika menyadarkanku, jika aku tidak akan selamanya berada di puncak. Aku tidak mengerti kenapa semua bayangan itu begitu tepat datang padaku, mungkin karena aku terlalu menginginkan hal itu. Tapi, aku bersyukur, setidaknya itu hanya terjadi di dalam bayangan semu, aku mungkin tidak akan hidup lagi jika itu terjadi di kenyataan. Sekali lagi aku bersyukur, dan aku tidak akan menyia-nyiakan kebaikan manusia mulai sekarang.

Because in the end of the day, I Have Nothing.

END

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
I Have Nothing
Yutanis
Flash
War Kingdoms
Rexa Strudel
Cerpen
Bronze
EVENT SCATTER MAHJONG WAYS
senju33 slot deposit dana & pulsa online
Novel
BUKAN CERITA CINDERELLA
memia
Skrip Film
CHERISH & RUELLE
Reiga Sanskara
Novel
BACK TO 18 AGAIN
Safinatun naja
Flash
Kutuk Marani Sunduk
Rainzanov
Flash
Story of my life
Mesir Kuno
Novel
Gold
The Young Elites
Mizan Publishing
Novel
Bronze
100 Laskar Katak
JWT Kingdom
Flash
KUMPULAN TATIKA
Citra Rahayu Bening
Novel
Gold
The Lost Hero
Noura Publishing
Novel
Gold
Dari Gestapu ke Reformasi
Mizan Publishing
Novel
THE YOUTH CRIME
Dwi Budiase
Flash
Pendingin ruangan
roma dhon
Rekomendasi
Cerpen
I Have Nothing
Yutanis
Flash
Kejar Woi, Kejar!
Yutanis
Flash
KECEWA
Yutanis
Flash
Hukuman Paling Berat
Yutanis
Cerpen
Belenggu yang Memudar Dimakan Zaman
Yutanis
Flash
Tolong Lihat Aku
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Cerpen
Tidak Ada Doa Panjang Umur
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Novel
Bronze
EGOIS
Yutanis
Flash
TERDAKWA
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Flash
Laras Hebat!
Yutanis
Cerpen
REKAM
Yutanis
Novel
ZAGADKA: Di Ujung Pintu Rimba Gunung Marapi 2.891 mdpl
Yutanis