Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
The Second Roof
Di bawah selimut yang terasa dingin, Basheera tenggelam dalam lautan air mata. Lima hari sudah, berturut-turut semalam suntuk, tangis dan doa mengalir tanpa jeda. Dalam genggaman tangan yang bergetar, ia selalu memeluk cincin pernikahan sepuluh tahun dari Arsalan. Dan yang paling pedih, juga warisan kasih sayang yang tak bersyarat dari Afifah, mertuanya.
"Cincin ini aslinya milik Ibu. Dia bilang 'khusus untuk menantu kesayangan.' Jadi, jangan heran sepertinya posisiku sebagai anak tunggal sudah tergeser sejak kamu datang," celetuk Arsa pura-pura ngambek di malam pertama mereka.
Hatinya mekar, seindah bunga di pagi hari. Sejak awal Arsalan membawanya ke rumah, Afifah memang telah menjadikannya pusat perhatian. Memanjakan dengan cinta yang tak pernah ia sangka.
Kini, cincin itu terasa seperti jangkar yang menahannya pada kenangan indah, sementara badai menerjang hatinya.
"Sheeraku, aku tahu ini mungkin terdengar tak biasa, tapi ada satu hal yang ingin ku tanyakan.” Dua hari setelah pulang dari Mesir, setelah menghadiri wisuda putri semata wayang mereka, Arsa mendadak berbicara serius di meja makan.
“Jika garis takdir menuntunku … untuk mengikat janji suci yang kedua. Maukah kau dengan segala kekuatan cintamu membentangkan tangan dan mengizinkan aku berbagi janji itu … tanpa kehilanganmu?”
Setiap kali berduaan, Arsa memang sering sekali mengeluarkan pesona sastranya. Menjadikan percakapan sederhana terasa hangat dan bermakna. Dari sanalah Basheera jatuh cinta, sejak bangku kuliah hingga bermuara pada pernikahan. Dengan kesadaran yang matang, ia memilih peran sunyi mendukung Arsa dari balik layar tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Namun, pesona sastra yang didengar kali ini, menarik rekasi dan denyut berbeda. Setelah mencari-cari tanda humor dan jahil di mata Arsa, meluruhlah bahu Basheera.
Suaminya sungguh ingin memberikan atap ke dua untuk wanita lain.
…
“Mas,” panggil Basheera di hari ke enam mereka tidak saling berbicara.
Arsa baru saja selesai mandi sore. Ia makan sendiri di depan televisi, menyantap hidangan yang masih setia disiapkan Basheera. Ketika menoleh, ia menemukan istri yang sangat dicintainya itu tengah berdiri lusuh di depan pintu kamar tamu. Hatinya meringis sakit telah membawa jalinan bahtera mereka jatuh dalam sekejap.
Belum sempat menjawab, kembali terdengar sesuatu yang malah mempertajam sesal.
“Kenalkan aku pada wanita itu. Aku perlu tahu dia pantas atau tidak berbagi hati dan cinta yang selama ini kujaga,” tegas Basheera berucap, lalu kembali menutup pintu.
Arsa sungguh tidak menyangka efek dari keinginannya akan melanda keruh.
Sebelumnya, di malam ia bertanya, mereka sempat bersitegang membahas dampak yang kelak harus dihadapi. Basheera pun memaksa tidur di kamar tamu, ingin menenangkan hati dan pikiran. Arsa yang tak pernah membayangkan sedetik pun akan terpisah dari kekasihnya itu, mengetuk pintu kamar tamu, berkali-kali meminta maaf. Menarik keinginannya, membatalkan apa pun yang telah terucap.
Setelah itu, hilang sudah tegas dan manja Basheera yang selama ini mewarnai suasana rumah dan hatinya. Pudarlah sudah semua menyisakan sunyi serta isak lirih.
…
Oleh lirih hati yang muncul lagi digedor rasa sesal, Arsa berdiri memohon-mohon kembali di depan pintu kamar tamu. “Sayang, aku tidak akan melakukannya. Anggap saja itu ucapan kosong. Aku sangat mencintaimu, Sheeraku. Tolong kembali, sayang. Aku menyesal pernah berpikir seperti itu,” ucapnya hampir kehabisan daya. Sebab, sudah berhari-hari rasanya seperti sedang menjalani hukuman.
Suara kunci pintu diputar terdengar. Ia refleks menjauh dari pintu.
“Pertemukan kami, mas. Setelah itu mari kita bahas lagi,” ucap Basheera begitu pintu terbuka.
Arsa menggeleng keras.
“Kamu adalah pemimpin yang ku pilih untuk seumur hidupku, mas,” nada suara Basheera terdengar serius. “Aku memilihmu dengan kesadaran penuh. Ucapanmu adalah salah satu bagian penting untuk arah hidupku ke depannya. Aku mempertimbangkannya karena kamu sudah mau jujur dan bertanya terlebih dahulu. Pertemukan kami. Itu saja permintaanku.” Ia hendak menutup pintu, namun tangan Arsa menahan dan menyelipkan tubuhnya sebagai ganjalan.
“Sheera, abaikan saja,” bujuk Arsa kemudian tepat dihadapan kekasihnya. “Kamu adalah teman diskusi terhebat yang pernah mas temukan. Menjadi suamimu adalah hal yang paling kusyukuri pada Allah setiap hari. Mas kira kita akan membahasnya dulu baik-baik, lalu mengambil kesimpulan bersama. Aku sungguh tidak menyangka malah akan melukaimu begini.”
“Tidak mungkin bisa diabaikan begitu saja, mas. Aku tidak bisa tenang melihatmu pergi berangkat kerja dengan pertanyaan itu.”
“Kami belum pernah berinteraksi langsung, kalau itu yang membuatmu begini. Aku tidak selingkuh. Kami bahkan belum pernah berbicara langsung. Kamu bisa pegang kata-kataku. Sekarang, abaikan saja semua itu dan tolong kembali jadi Basheeraku yang sebelumnya, ok?”
“Siapa namanya?”
“Namanya … Amara Elisheba.”
“Tuh, kamu sampai hapal nama lengkapnya,” Basheera protes kesal.
“Sheera ….”
“Mahasiswi di kampusmu?”
Sempat ragu, Arsa pun mengangguk pelan.
“Mas!!!”
Segera dipeluknya Basheera erat, mengelus rambutnya dengan lembut. “Sayang, mas memang bukan suami yang pandai tentang agama. Tapi, satu hal yang mas tahu pasti, tidak akan ada apa pun yang terjadi tanpa persetujuanmu,” ucapnya lagi.
“Mas, istrimu ini pencemburu berat,” balas Basheera. “Mungkin mas tidak pernah lihat, tapi setiap kali mendengar cerita mahasiswimu yang begini-begitu, aku cemburu. Yang tetap membuat tenang, ya, karena aku percaya kamu dan percaya Allah akan menjagamu di luar sana. Makanya aku langsung panik mendengar keinginanmu itu.”
“Ngomong dong, dari kemarin. Bukan malah sembunyi begini,” bisik Arsa sambil menjawil hidungnya.
“Trus, kalau kalian belum pernah berinteraksi, kenapa mas terpikir mau poligami?”
“Panjang ceritanya.”
“Mas …” Basheera merengek manja.
“Mas cerita di kamar kita aja, ya.”
Walau meronta-ronta, Arsa memaksa menggendong cradle carry tubuh wanita pujaannya itu sampai ke kamar atas, kamar utama mereka.
…
‘I Accepted, I Took Part’
Bagi sebagian mahasiswa pascasarjana Universitas Buana Marga, Mindful Peer Counselor menjadi salah satu kegiatan di luar kampus yang rutin diikuti. Sharing circle ini telah berlangsung hampir sepuluh tahun. Pertemuan diadakan sebulan sekali untuk membahas beragam persoalan perkuliahan, lalu ditutup dengan topik-topik kasual. Terkadang, juga ada aktivitas interaktif, berupa role play atau diskusi kelompok.
Setiap pertemuan dipandu oleh satu koordinator dan satu pembicara. Ada total lima mahasiswa yang menjadi koordinator dan tiga dosen sebagai pembicara. Arsalan, adalah salah satu pembicara tetap.
“Terus terang, saya tidak setuju dengan poligami apabila suara perempuan diabaikan, baik dari istri maupun perempuan yang akan menjadi madu. Karena itu, sangat disayangkan jika keputusan sebesar itu diambil secara sepihak tanpa mempertimbangkan usia madunya,” ujar seorang mahasiswi yang biasa dipanggil Sheba.
Saat itu mereka tengah membahas topik kasual poligami seorang tokoh agama dengan anak perempuan di bawah umur. Arsalan memaparkan tinjauan hukum berdasarkan mata kuliah di jurusan yang ia ajar, lalu membuka ruang bagi para anggota untuk menyampaikan pandangan mereka.
“Ok. Pendapat yang bagus,” jawab Arsa. “Teman-teman, kita di sini tidak harus membahas dari segi agama, karena mau tidak mau harus mengundang ahlinya telebih dahulu. Pembahasan kita murni hanya pendapat pribadi terhadap isu sosial yang sedang berkembang saat ini. Jadi, bebas berpendapat asalkan tidak merugikan orang lain. Silahkan, ada pendapat lain?”
“Could you elaborate on your answer, Sheba? I’m interested. Terutama di bagian ‘suara perempuan’.” Krisna Sanjaya yang sedari tadi tidak tertarik, akhirnya membuka suara. “Karena dari film-film poligami yang selama ini ditampilkan, menurut saya, para wanitanya justru seperti diadu lewat berbagai konflik. Saya ingin tahu, sebenarnya, sebagai seorang wanita apa pendapatmu tentang poligami?” tambahnya lagi.
Dengan wajah berseri, Sheba pun menjawab, “Thank you so much for asking such a meaningful question, Krisna. Apa yang saya yakini ini mungkin tidak semua orang akan setuju, apalagi jika dikaitkan dengan agama. Saya tidak menentang poligami, tapi sebagai wanita yang sangat dihargai marwahnya, saya juga ingin pendapat saya dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi ini menyangkut bahtera seumur hidup. Artinya, harus ada persetujuan dulu. Saling jujur dari awal, dan tidak ada hubungan terjadi di belakang sebelumnya. Berdiskusi baik-baik. Saling menghargai keputusan masing-masing sekali pun jawabannya ‘tidak’.”
“Kamu bilang tidak menentang, tapi kenapa ada jawaban ‘tidak’? Itu artinya sama saja dengan menolak, dong?” Lauren Christi ikut bertanya.
“Menolak, kalau tujuannya berpoligami dan wanita tersebut tidak cukup meyakinkan.”
“Tapi … pria adalah Qawwam atas perempuan. Poligami juga tidak harus dengan persetujuan istri. Kenapa harus meyakinkanmu?” Krisna bertanya lagi.
“Dengan menerima konsep poligami saja, saya sudah membuang ego sebagai manusia dan wanita. Jika harus menerima wanita yang tidak meyakinkan, saya tidak siap dengan keributan apa yang akan terjadi nantinya. Saya tidak siap jika ibadah saya jadi berantakan. Saya tidak siap jika pemimpin yang saya pilih itu, akan jadi terlihat tidak baik karena perselisihan istri-istrinya. Saya lebih baik menolak dan menerima konsekuensi apa pun yang akan diberikan oleh suami saya.”
“Termasuk bercerai?” tanya Arsa.
Sheba mengangguk.
“Apakah tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa poligami tanpa persetujuan akan berakhir tidak baik? Bisa saja karena proses adaptasi banyak konflik muncul di awal. Selanjutnya, tidak ada yang tahu, kan?” Giliran Khalil bertanya.
“Di keluarga besar saya ada beberapa yang melakukan poligami. Saya sudah menyaksikan sendiri, tidak semudah itu menjalankannya. Walau pun belum pernah menikah, tapi menurut saya prinsipnya mirip seperti memilih calon suami/istri. Saya tidak mau mempertaruhkan seumur hidup untuk alasan atau seseorang yang tidak meyakinkan sedari awal. Bahkan ketika sudah menikah pun, jika ada masalah yang sudah sampai di tahap yang tidak tertahankan lagi, bisa berakhir dengan perpisahan, kan? So, whether I agree or not, I must ensure that this is truly my decision, one I am making with full awareness and careful reflection.”
“Intinya … kamu tidak menentang poligami, dengan catatan, pendapatmu sebagai istri ikut andil dalam keputusan, begitu, kan?” Lauren menekankan kembali ucapan Sheba.
“Betul sekali. Bagi saya, poligami bukan hanya tentang hubungan pernikahan saja, tapi juga sentimental wanita. Jika saya dan wanita itu bisa saling menghargai walau harus berbagi, maka tidak ada alasan untuk menolak. Kerja sama saling menghargai itu yang ingin saya tekankan. Tidak hanya antara istri dan suami, tapi juga antara kami sebagai sesama wanita.”
Anggota yang lain pun menampakkan reaksi yang berbeda-beda. Dengan langkah berani, Sheba telah membuka pintu diskusi, hingga berlanjut dengan suasana lebih cair dan bebas. Perlahan, pria dan wanita dalam kelompok itu mengeluarkan pendapat yang sudah lama terpendam, yang selalu muncul di benak mereka setiap kali topik poligami hadir melalui film, berita, atau media sosial.
Sementara, Arsa memandangnya penuh pikir. Jauh di dalam hati muncul riak-riak yang sulit dijelaskan. Ia belum pernah membahas tentang poligami pada siapa pun, termasuk Basheera. Pembahasan itu seperti memanggil naluri untuk mencerna baik-baik ucapan Sheba.
Setelah kehadiran Sheba di pertemuan berikutnya, ia merasa riak-riak perasaan akan bertambah sulit dibendung jika dibiarkan saja. Takut, walau secara tidak langsung, tindakannya bisa mengkhianati istri dan pernikahan mereka.
…
“Mas menunggu setelah Nafisa wisuda dulu baru jujur malam itu. Mas merasa bersalah dan tidak ingin menyakiti kamu, juga keluarga kita. Hanya saja, caraku bertanya memang kurang tepat.” Dengan lega, akhirnya Arsa mengungkapkan setiap detil hingga larut malam.
“Mas, sejujurnya, selama lima hari ini aku tidak putus mendoakan kita,” balas Basheera. “Sebelum dan sesudah menikah denganmu pun aku sudah mengantisipasi. Di agama kita kan, poligami bukan topik tabu. Cemburuku yang selama ini menghalangi untuk mendiskusikannya. Tapi, aku tahu harus siap jika topik ini muncul. Yang aku tidak menyangka sekaligus mensyukuri di setiap doaku, mas tidak mengambil keputusan sendiri.”
Arsa berhenti sejenak sebelum menjawab pertanyaan istrinya, memandangi betapa cantik ia. Bukan karena topik poligami, tapi karena selalu menawan dengan pemikiran yang luas. Kata-kata yang lugas selalu membuat jantung Arsa berdetak kencang, sama persis seperti dulu.
“Kata Krisna, poligami tidak harus persetujuan istri. Kata Khalil, poligami baiknya dilakukan dengan pengetahuan agama yang kuat supaya mampu berlaku adil. Tapi, aku tetap lebih setuju dengan ucapan Sheba. Persetujuan istri dan calon madu adalah garis startnya.”
“Subhanallah. Alhamdulillah, prinsipmu membuatku merasa sangat dihargai dan dicintai, mas.” Basheera tersenyum bahagia memeluk suaminya. Seluruh kejujuran itu menentramkan jiwa cemburu yang selama ini tertahan.
“Aku jadi penasaran sama Sheba.” ucapnya lagi sambil melepas pelukan. “Bisa segitunya membolak-balikkan pemikiranmu. Berarti mas ada hati dong sama dia, iya, kan?”
“Hanya sebatas kagum dengan pendapatnya.”
“Yakin, nih? Bukan karena dia lebih muda? Lebih pintar?”
“Bukan, sayang. Kamu lebih dari sempurna untuk mas.”
“Ish, gombal. Ada satu lagi pertanyaanku, tapi mungkin ini hanya Sheba yang bisa menjawab.”
“Sayang, itu bukan jebakan, kan? Kami belum pernah berbicara atau berinteraksi langsung. Apa dia tidak akan kaget kalau tiba-tiba ditodong jadi istri kedua?”
“Ih, siapa yang bilang mau menodong jadi istri kedua? GR.”
“Sheera ….” Arsa seketika malu, menggosok-gosokkan wajah ke pipi istrinya yang asyik tertawa.
Malam itu, mereka larut dalam percakapan panjang. Saling menggenggam tangan sambil membicarakan lagi segala hal yang mungkin terjadi jika poligami menjadi bagian mahligai rumah tangga mereka. Dari harapan hingga hambatan, kemungkinan indah maupun konflik yang mungkin muncul. Termasuk, membayangkan bagaimana reaksi orang tua dan anak mereka di Mesir nanti.
…
The Moment Has Come
“Ini tentang pemikiran antar sesama wanita, mas. Penjelasan Sheba kan, baru dari sudut pandang istri. Yang saling menghargai meski harus berbagi, bukan bersaing, nafsu, atau maksud tersembunyi. Nah, kalau dari pandangan calon madu gimana?”
Pagi harinya di perjalanan ke kampus, masih terngiang di benak Arsa pertanyaan yang sangat ingin Basheera sampaikan pada Sheba.
“Melihatmu berbicara seperti ini, aku jadi sadar satu hal. Sheba juga sama lugasnya sepertimu saat mengutarakan hasil analisis dan pendiriannya. Mungkin, itu juga yang membuatku berani bertanya padamu, Sheeraku.”
“Hmm … terdengar agak memaksakan, sih, dan … agak berbahaya juga kalau Sheba dengar. Itu tandanya mas tidak adil karena membandingkan kami.”
“Loh, kan, belum jadi istri kedua. Berarti tandanya setelah kalian bertemu mas akan punya istri lagi, amin.” Arsa mengusap wajah seperti orang selesai berdoa.
“Mas!” Basheera menimpuknya dengan bantal. Wajahnya cemberut sekaligus memerah malu.
Arsa begitu bahagia sebab istrinya kembali ceria. Pagi hari juga kembali cerah dengan berbagai ejekan dan godaan yang mereka saling lontarkan.
Tak pelak keceriaan itu juga menimbulkan dua pertanyaan besar yang lama kelamaan membentuk gunung gelisah. Apakah ia bisa mempertahankan keceriaan Basheera itu jika nanti dimadu, meski sudah atas persetujuannya sendiri sebagai istri?
Terlebih, ia mengoreksi diri juga. Apakah benar sudah pantas dan sanggup, tidak hanya menjalankan tapi juga memimpin mahligai dengan dua penerang utama hidup di dalamnya?
Hingga memasuki parkiran kampus pun, dua pertanyaan itu masih jelas menggumpal tebal.
…
Dua bulan berlalu, pertemuan pun tiba.
Sheeraku
Nanti sore ada team penelitian mahasiswa ingin bertemu
Mau minta surat rekomendasi beasiswa penelitian
Sheba salah satu teamnya
Masih tertarik dan penasarankah bertemu dia?
Read
Basheera yang baru saja memasukkan adonan Almond Basbousa ke dalam oven, tersenyum setelah membaca pesan Arsa.
Selama hampir dua bulan rasa penasaran masih mengudara. Bulan lalu niat ingin bertemu batal sebab Sheba tidak datang ke sharing circle. Bulan ini ia dan Arsa tidak lagi banyak membahas sampai pesan itu pun muncul.
Masih, Arsaku
Send
Setelah mengirim balasan, Basheera pun mempersiapkan diri. Ia ke kamar memilih-milih pakaian sambil berlagak di depan cermin. Melatih perkenalan yang pantas, jangan sampai terlalu mencolok. Sebab, dari semua jejak internet dan media sosial Sheba, ia yakin betul wanita yang akan jadi lawan bicaranya itu beradab dan mandiri pemikirannya.
Sungguhlah niat hanya ingin tahu lebih jauh tentang ucapan ‘menghargai wanita lain’. Apa pun yang terjadi setelah pertemuan itu, sudah lebih dari dua bulan lalu ia pasrahkan pada Allah.
…
Namun, inilah yang terjadi pada Basheera.
Di belakang setir ia canggung, gugup, kelu, rikuh, sungkan, dan kaku. Sedangkan Sheba di sampingnya juga kehabisan topik basa-basi. Sementara, macet masih mengular di depan sana.
Mereka sedang di perjalanan kembali ke kampus, setelah mengambil makanan yang sudah di pesan kelompok penelitian dari restaurant timur tengah.
Sebelumnya, 45 menit lalu, Basheera sampai ke ruangan Arsa. Ia sendirian sibuk di depan komputer. Tak lama setelahnya, saat mereka sedang berbincang, dua mahasiswa datang.
Mereka meminta maaf karena anggota lain masih ada perkuliahan dan akan terlambat hadir. Sementara, Sheba sedang di restaurant dekat rumahnya untuk mengambil pesanan konsumsi.
Mengetahui ia hanya sendirian, Basheera segera menawarkan diri untuk menjemput. Hatinya yakin jalan telah terbentang untuk mereka berbincang langsung.
“Sheba, “ panggil Basheera setelah beberapa menit mereka diam.
“Ya, Bu?” jawab Sheba antusias.
“Menurutmu … pak Arsa itu dosen yang seperti apa?”
“Menurut saya … menurut saya beliau … dosen yang baik.”
Pertanyaan yang sederhana, namun ada detak jantung tak karuan di baliknya. Basheera sungguh tak menduga, jelas sekali menangkap wajah kaget Sheba sebelum menjawab, dan beralih tertunduk sambil menggosok jari jemari. Menambah rasa penasaran untuk melanjutkan pencarian jawaban.
“Baguslah kalau dia memang baik. Takutnya suami saya dosen yang galak, yang suka mempersulit mahasiswa.”
“Oh, nggak, Bu.” Sheba menggeleng, meyakinkan lewat mata. “Sebenarnya … saya belum pernah mengambil mata kuliah yang beliau ajar. Tapi dari Mindful Peer Circle, walau saya baru dua kali bergabung, menurut saya beliau dosen yang humble sekali untuk diajak berdiskusi. Dari beberapa kali beliau menjawab pertanyaan kami, saya cukup yakin menyimpulkan beliau juga dosen yang tepat untuk diajak kerjasama mencari solusi masalah akademik.”
“Alhamdullilah kalau begitu. Kamu anggota baru ya di Mindful PC?”
“Betul. Baru ikut dua kali.”
“Sebelumnya ikut komunitas apa aja?”
“Saya mahasiswa baru, belum banyak ikut kegiatan lain.”
“Oh begitu. Berarti usia kamu … sekitar … 23 tahun?”
“Saya sudah kepala tiga, Bu”
“Serius?! Nggak kelihatan, loh. Saya kira masih 20-an awal,” pujinya tulus.
“Makasih, Bu,” jawab Sheba malu-malu sambil menggaruk rambut. “Umur saya 31 tahun. Sebenarnya, lulus SMA saya tidak langsung kuliah. Saya bekerja jadi admin finance di perusahaan start up kakak saya selama enam tahun, baru lanjut S1. Trus, fokus bekerja lagi di sana tiga tahun, lalu lanjut S2.”
“Waah, bagus itu. Semangat kamu patut diacungi jempol.”
“Itu juga awalnya bekerja karena terpaksa, sih, Bu.”
“Loh, terpaksa kenapa?”
Sheba terdiam sejenak, menyesal telah terjebak ucapan sendiri. “Masalah keluarga, Bu,” ucapnya kemudian.
“Oh, ok,” jawab Basheera singkat, memahami situasi dan tak bertanya lagi.
Mereka pun kembali diam. Setelah melewati dua kemacetan yang tak biasa, perjalanan akhirnya mulai lancar.
…
“Impian kamu apa, sih, Sheba?” tanya Basheera kembali membuka percakapan. Tinggal melewati satu jalan raya mereka akan sampai ke kampus. Ia ingin segera tahu apakah hatinya akan menetapkan pilihan.
“Impian saya jadi dosen ekonomi. Saya memilih resign supaya bisa fokus lanjut kuliah,” jawab Sheba ceria. Pertanyaan itu menarik perhatiannya. Tak sadar, malah mengundang cemburu teman bicaranya.
“Kenapa memilih bekerja? Kenapa tidak langsung kuliah saja?” Basheera mencoba tetap bertanya dengan tenang.
“Rencana awal begitu, Bu. Orang tua juga mendukung. Tapi … berantakan karena saya gagal nikah.”
“Gagal nikah? Kamu pernah mau nikah sebelumnya?”
“Iya, Bu, sama teman kakak saya. Tadinya dia kliennya. Semenjak mereka berteman, kakak saya jadi lebih religius. Ibadahnya juga rajin. Beberapa kali kami sholat berjamaah di rumah. Saya jadi kagum sama beliau. Tau-tau pas sudah tamat SMA, beliau meminang saya. Sekeluarga kaget karena kami tahunya beliau sudah menikah tiga kali.”
“What?! Tiga? Kamu calon yang ke empat, dong?”
Sheba mengangguk dan lanjut bercerita, “Semuanya masih muda-muda lagi, Bu. Beliau juga termasuk masih muda, sih. Satu tahun lebih tua dari kakak saya.”
Basheera menyadari mungkin inilah jalan untuk mereka saling mengenal. Kesempatan menjemputnya terbentang, kemacetan muncul tak disangka, hingga kisah yang mengalir begitu saja membuka sudut baru. Semua terasa saling mendukung.
Ia pun lalu memelankan laju mobil dan menepi.
“Sheba,” panggilnya tenang. “How about we grab a coffee and chat a little? Honestly, I’m curious to hear more of your story. Let’s hang out at a café for that, then you can go ahead with your presentation, and I’ll explain to Arsa why we were late. Maybe … we could end up being good friends to talk to, if you don’t mind.”
Kebingungan yang sempat melanda saat mobil berhenti mendadak, kini berganti dengan senyum bingung di wajah Sheba. “Sure, Bu. I’d love to,” jawabnya sedikit ragu, seolah ia sendiri tak yakin dengan reaksinya.
Melajulah mobil itu kembali, memutar balik menuju kafe terdekat dari sana.
…
Answers Without Questions
Semua berawal dari saat menghadiri Mindfull PC yang ke dua kalinya. Sheba tak menyangka akan mendengar penutup yang exceptional dari pembicara grup, Arsa, dalam menanggapi poligami.
“Ilmu agama saya belum cukup mapan untuk mengomentari pendapat dan kisah romansa teman-teman tadi. Yang saya tangkap adalah, semua ucapan itu berasal dari orang-orang yang berpikiran matang. Jujur, saya dan istri belum pernah membahas tentang poligami. Karena, dengan kehadirannya saja sudah lebih dari cukup bagi saya. Bukan hanya fisik dan pendidikannya yang membuat jatuh cinta, tapi juga cara dia menanggapi sesuatu. Begitu luas memahami saya sebagai kepala keluarga yang telah dia pilih sendiri untuk hidupnya.
“Saya tahu betul betapa mandiri dia dalam berucap, berpikir, dan mengambil keputusan. Dan, menjadi bagian kemandiriannya itu adalah suatu kebanggaan bagi saya. Jadi, apa pun itu tentang poligami garis startnya tetap dari istri. Karena ini bukan hanya tentang saya sebagai suami dan kepala keluarga, tapi juga tentang hidup dan pilihannya sebagai istri dan wanita. Persetujuan istri adalah hal mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Apa pun itu yang jadi keputusan akhir, tinggal menyesuaikan dengan wawasan agama atau kerjasama saling mendukung untuk pulih lagi. Itulah pendapat saya, dan tidak lupa saya juga berterima kasih karena diskusi kali ini telah membuka pikiran saya tentang poligami.”
Uraian pendapat yang begitu mendalam berhasil menyentuh hati Sheba. Bukan karena kagum pada lelaki yang sudah beristri itu. Bukan juga iri atau cemburu pada istrinya. Tapi, ada penyembuhan luar biasa di dalam batin yang dulu pernah terluka.
Di sepanjang perjalanan pulang, ia menangis di kursi boncengan ojek online. Sebab, betapa masih ada pria yang sungguh-sungguh mau memahami poligami dari sudut pandang wanita.
Satu bulan lebih berlalu. Sheba ingat sekali, ia dan team penelitian sedang bersorak gembira di parkiran. Mereka berhasil mendapatkan jadwal presentasi proposal dari dua dosen pendamping. Dari kejauhan, di antara kerumunan, matanya tertumbuk pada Arsa. Mengusik hati seperti angin tak diundang.
Sepanjang hari ia menepis dan menyadarkan diri bahwa fokus aneh yang tiba-tiba itu akan jadi bibit dosa jika tidak disingkirkan.
Bukannya membaik, bukannya mereda, entah bagaimana caranya ia malah jadi sering menangkap sosok pria itu. Seperti leher sengaja berputar jika Arsa berada dekat atau pun jauh.
Namun ia tegar, ia kuat. Sekuat tenaga menepis segala sangka batin, mengandalkan logika, berkali-kali merutuki kalbu. Sampai lelah sendiri, frustasi tatkala harus melangkahkan kaki berangkat ke kampus.
Tak terhitung berapa kali meyakinkan diri, bahwa itu adalah ujian untuk menilai seberapa teguh ia menjaga harkat dan martabatnya sebagai wanita.
Bulan lalu, setelah membaca grup WA bahwa Basheera akan ikut berpartisipasi, Sheba bertambah kalut. Beralasan ada urusan mendadak, ia izin tidak hadir.
Dalam sholat Sheba berdoa meminta ketenangan, sebab menghindar adalah bukti ia mengakui bisikan lubuk hati. Menangis dalam gelut gelisah dan rasa bersalah. Memohon ampun atas percikan rasa yang tidak sepatutnya ada. Memohon petunjuk untuk membebaskan sanubari, sampai tertidur letih di atas sajadah.
Namun, begitu Basheera muncul di depan restoran, tak ada jalan untuk menghindar lagi.
…
Selama lima menit di dalam toilet café, Sheba menenangkan diri di depan cermin besar. Lalu lalang orang di belakang tidak terasa. Gelisah memuncak tak terelakkan.
Sedari tadi tidak ada waktu untuk berpikir tenang. Semua terjadi beruntun. Mulai dari Basheera keluar dari mobil, menyapa, lalu menjelaskan mengapa bukan Gina yang menjemput, sampai ajakan ke café yang tak kuasa ia tolak.
Padahal, sudah berusaha menghindari mereka berdua. Entah hilang kemana semua kendali. Sepanjang perjalanan di dalam mobil sampai sebelum masuk toilet, sungguh tak ada jalan lain lagi selain memasrahkan diri pada Allah. Menghadapi perasaan itu, mencari tahu kemana arah gelisah akan bermuara.
Sama seperti dulu, saat harus merelakan Harits terlepas dari rencana ibadah impiannya.
Sungguh ia telah terlatih menumpukan segala nafas, pikiran dan batin hanya kepada Allah dalam segala situasi. Termasuk di situasi yang paling membingungkan sekali pun.
Sheba pernah terluka oleh pria yang sempat ia kagumi.
Begitu teduh tingkah laku dan ucapan pria bernama Harits, teman kakaknya itu. Kehadirannya membuka mata tentang pria seperti apa yang ingin ia jadikan pasangan seumur hidup.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak disangka, sebulan setelah lulus SMA, Harits datang di suatu malam meminang Sheba di depan orang tuanya.
Ia membayangkan ibadah yang khidmat di setiap sujud, bersama pemimpin yang mapan agama. Segala amalan yang telah dipelajari dari para guru dan orang tua seolah menemukan kesempurnaannya dalam ikatan dengan kekasih seumur hidup.
“Tapi, dua hari setelah pinangan itu, Firda, istri ke tiga beliau datang marah-marah ke rumah. Berteriak-teriak menuduh saya pelakor. Menuduh main dukun. Bahkan menuduh saya hamil. Waktu itu saya sedang sendirian di rumah, dan dia menendang perut saya berkali-kali sampai saya pingsan,” Sheba menceritakan kisah traumatis yang pernah ia alami setelah kembali duduk bersama Basheera.
“Ya, Tuhan. Sudah lapor polisi? Itu bisa kena pasal penganiayaan.”
“Sudah, Bu. Sudah dipenjara juga. Seminggu berikutnya, saat saya dan keluarga masih memproses laporan ke polisi, istri ke dua beliau menghubungi lewat DM Instagram. Ternyata mbak Saffiyah tidak mengetahui tentang poligami itu. Dia hanya tahu Harits sudah bercerai dari istri pertama. Untungnya komunikasi kami lancar. Beberapa bulan setelah menolak pinangan Harits, mbak Saffiyah meminta saya jadi saksi sidang perceraian mereka.”
“I’m really sorry you had to go through something like that, Sheba. You didn’t deserve any of that,” ucap Basheera mengalirkan dukungan.
“Thank you, Bu. It’s been a while, but hearing that still means a lot. I’m in a better place now.”
“Glad to hear that.”
Mereka pun saling tersenyum tulus.
“Oh iya, panggil mbak aja, Sheba.” Basheera mengalihkan suasana kelabu. “Biar akrab. Kita cuma beda sepuluh tahun ini.”
“Wah, siap, mbak. Kakak saya lebih tua lima belas tahun malah.”
“Tuh, apalagi.”
Dering handphone Basheera mendadak berbunyi menjeda obrolan mereka. Ia segera mengangkat begitu nama Arsa tertera di layar. Konsumsi yang dikirimkan lewat ojek online 20 menit lalu ternyata sudah sampai. Saat pembahasan di telepon masih berlanjut, Basheera pun terpaksa harus menjauh.
Sheba menunggu sembari menenangkan nafas berkali-kali. Batin kembali bergumul. Bertanya pada Sang Ilahi, akan bertaut kemanakah nanti semua serat-serat gelisah?
Telah teguh mengikuti nurani untuk tidak menyakiti wanita lain meski hanya lewat tatap, mengapa ia malah duduk di sana? Seolah ia telah mengkhianati dirinya sendiri.
Lagi-lagi jawaban buntu. Tidak ada jalan keluar selain mencari tahu apa arti gelisah lewat tuntunan gelisah itu sendiri.
…
Sepuluh menit berlalu Basheera akhirnya muncul kembali terlihat lebih ceria. Mereka menikmati makanan yang sedari tadi belum tersentuh sambil berbincang ringan. Memesan beberapa menu lagi sebab Arsa sudah mengijinkan Sheba mempresentasikan perannya besok sore.
“Arsa pernah bercerita tentang pembahasan poligami di Mindful PC.” Basheera membuka lagi topik yang sempat terjeda. “Termasuk pendapatmu. Sekarang saya mengerti kenapa kamu begitu ketat dengan poligami. Salut, karena kamu tetap berpikir postitif setelah melewati semua. Prinsipmu untuk tetap menghargai sesama wanita walau harus berbagi, menurut saya itu sangat bijaksana. Apalagi, setelah tahu cerita di baliknya.”
“Saya sebenarnya sempat berpikir begini, mbak. Mungkin itu balasan karena lancang atas milik orang lain. Saya merasa telah menyakiti wanita lain karena sempat menyetujui pinangan seorang pria yang ingin berpoligami. Tapi, saya pun berkesimpulan bahwa pengetahuan dan keikhlasan poligami akan jadi anugerah jika di tempat yang tepat. Sebaliknya, akan berakhir buruk juga traumatis kalau bersama orang yang tidak menghargai dan bahkan menyalahgunakan.”
“Sangat setuju.”
“Tujuan saya waktu itu murni ibadah kepada Allah. Tapi, bagaimana caranya khusyuk beribadah jika banyak konflik di dalam bahtera itu? Kalau tidak tenang menjalani kehidupan yang dipimpin nahkoda yang saya pilih sendiri, bagaimana caranya bisa menikmati ibadah dengan baik? Itulah alasan saya menolak Harits walau sudah berulang kali datang meminta maaf. Sampai membawa pemuka agama yang dulu dia kagumi dan selalu ceritakan pada kami. Saya mengikuti pengajian beliau beberapa kali lalu mulai tertular kagum. Tetapi saya tahu betul harus memilih apa agar melindungi ajaran yang selama ini sudah saya dapat dan lakukan.”
“Tapi pernah terpikir nggak, siapa tahu dengan kehadiranmu keadaan bisa berubah jadi lebih baik? Apalagi kamu berasal dari keluarga yang agamanya kuat.”
“Beberapa saudara pernah bilang seperti itu, mbak. Istilahnya, ujian sebelum menikah. Tapi kata kakak dan orang tua saya, sangat tidak adil kalau harus mengorbankan usia muda untuk mengubah seseorang. Apalagi merubah satu bahtera. Pasti ada harga yang harus dibayar. Ajaran dan amalan agama yang sudah saya jalani selama ini. Mau tidak mau, saya harus membawa semuanya ke dalam bahtera yang sejak awal sudah bermasalah.”
“Yes, setuju. Satu lagi, mungkin memang belum jodoh.”
“Nah, itu mbak yang akhirnya membuat saya bulat berubah pikiran. Saya percaya, semua ditunjukkan sekaligus di awal untuk melindungi saya dan keluarga. Bukan sebagai ujian sebelum menikah. Memang berat melepaskan beliau yang tadinya begitu sempurna di mata saya. Harus bisa menerima kenyataan kalau kami tidak berjodoh. Tapi, akan lebih berat lagi kalau saya bertahan di hubungan yang dari awal sudah menyakiti, tidak hanya fisik tapi juga mental. Dari rasa berat untuk move on itu juga saya belajar, bahwa ternyata kewajiban merubah diri ada di tangan sendiri, bukan orang lain.”
“Itu yang mau saya tegaskan tadi. Terkadang, saking sayangnya kita dengan orang lain, timbul keyakinan bahwa kita bisa mengubah dia dan apa yang ada di sekitarnya jadi lebih baik. Padahal bukan begitu konsepnya. Yang bisa mengubah keadaan bahtera mereka, ya mereka sendiri masing-masing. Berlaku juga denganmu, Sheba. Sebelum bertemu Harits, ibadahmu sudah bagus, kuat, apalagi ada dukungan keluarga. Jadi, ada Harits atau tidak, kamu sudah dan pasti bisa mengamalkan dengan baik.”
Meluruhlah bahu Sheba. Padahal, itu bukan pertama kali ia mendengarnya. Dalam hati bertanya, mengapa Basheera dan Arsa sanggup menyentuh dan mengobati sisa-sisa luka lewat tutur kata? “Thanks a lot, Mbak. Your words really touch me,” ucapnya lirih menahan tangis.
“Sama-sama. Kamu hebat bisa membawa pengalaman itu ke arah yang positif. Apalagi, kamu masih sangat muda waktu itu,” balas Basheera tulus sambil mengulurkan tisu kala melihat air matanya berlinang.
Tak lama, waiter pun datang dengan nampan berisi berbagai makanan minuman menjeda pembicaraan mereka. Suasana sendu teralihkan demi melihat makanan yang masih berasap. Selera makan mereka bangkit lagi untuk segera menikmati.
…
Connected
Selagi menikmati makanan, mereka membicarakan berbagai hal termasuk hobi yang ternyata sama-sama suka memasak. Satu prinsip lain juga telah tersambung bahwa urusan dapur adalah basic life skill yang kebetulan sekaligus jadi hobi.
“Kalau mbak suka masak apa?” tanya Sheba sambil menikmati cheesecake mini.
“Jadi, saya tuh awalnya suka masak karena ingin full mengabdi sama suami. Sebelum menikah, memasak ya untuk diri sendiri aja. Seadanya aja. Waktu tahu Arsa suka Almond Basbousa, saya belajar habis-habisan sampai akhirnya mahir. Sampai sekarang, dua atau tiga kali sebulan saya suka masak itu. Untungnya dia selalu mendukung apa pun yang saya lakukan. Jadi, mau berhasil atau tidak, saya tidak pernah takut mencoba mempelajari banyak skill baru.”
“Yes, having that kind of support really makes everything easier. Such an awesome team.”
“He’s always been really supportive. It’s teamwork for sure. Makanya, waktu dia cerita ingin berpoligami, walau sempat kaget akhirnya saya membuka hati. Setelah sholat dan berdoa beberapa hari, ada muncul keinginan kuat dalam hati saya untuk tahu siapa wanita itu.”
Sheba terhenyak, tak menduga akan mendengar cerita itu. “Oh, now I see why you wanted to talk to me, mbak,” ucapnya kemudian, menutupi reaksi. “Well … I hope … this doesn’t sound like I’m telling you what to do, mbak, but if you really feel sure and have opened your heart to her, that’s fine. Especially since he supports you and loves you. I think it depends on how things go after you meet her. Maybe it’s good to get to know her first, and then talk about how you can support each other. Well … that’s just my opinion. I’m not an expert, of course. I’m only saying this from … what I’ve been through myself,” tambahnya lagi berusaha tenang.
Dengan senyum penuh makna, Basheera pun membalas, “Sudah. Kami sudah bertemu dan berbincang banyak.”
“Oh, did it go … well, mbak?” Tanya Sheba lagi sedikit ragu.
“Banget. Saya sih belum tahu tanggapan dia terhadap saya seperti apa. Tapi, saya cukup bisa memahami pola pikir dan cara dia menganalisis sesuatu. Agama dan pendiriannya kuat. Usia cukup matang, prinsip dan tingkat toleransi kami pun kurang lebih cocoklah. Sejauh ini, banyak hal yang membuat saya yakin kami akan jadi team hebat. Bisa saling mendukung satu sama lain ….”
Selagi Basheera masih menjelaskan, Sheba meresapi dan merenung. Jelas tahu bahwa hati tidak bisa dibohongi lagi. Ia cemburu. Benar ada rasa untuk Arsa. Benar betapa ia ingin memiliki bahtera yang damai seperti bahtera mereka. Apalagi, mereka memiliki prinsip yang sama tentang poligami.
Namun, segera dihapusnya cemburu itu. Sebab apa yang sudah ia alami dulu, sudah cukup menggambarkan bahwa dalam keadaan apa pun tumpuan hanyalah kepada Allah.
Maka segera setelah Basheera berhenti bicara, dengan tulus ia menjawab, “Saya sangat bahagia mendengar mbak dan beliau saling menemukan satu sama lain dengan cara yang baik. Saya rasa, peran saya tidak lebih dari mendengar dan memberikan pendapat saja. Selebihnya, semoga harapan mbak dan keluarga akan terwujud dengan baik juga.”
“Sheba, sedari tadi tidak habis saya mengagumi sifatmu yang optimis,” Basheera kembali berbicara serius. “Juga, betapa kamu peduli dengan pendapatmu dan pendapat orang lain. Sebenarnya, namamulah yang Arsa sebutkan dengan gamblang waktu itu. Dan sekarang saya semakin mengerti, kenapa Allah membuka hati saya untuk lebih mengenalmu dulu sebelum mengambil keputusan.”
Mendadak waktu seakan berhenti berputar. Dengan cepat Sheba mengerti arti ucapan itu. Degup jantung pun seakan ikut berhenti memompa. Titik demi titik perlahan terkait, dan akhirnya ia mampu memahami kemana semua akan berlabuh.
“Sheba … “ panggil Basheera setelah melihatnya tak mampu berkata-kata. Dia mengambil ke dua tangannya, berucap dengan nada meyakinkan, “Saya yakin dan percaya padamu untuk berbagi bahtera tempat kami bernaung. Kamu tetap bisa jadi diri sendiri dengan pendapat, pendirian dan impianmu. Sekiranya kamu setuju, saya ingin datang terlebih dahulu ke rumah orang tuamu untuk menjelaskan semua. Kalau semuanya sudah setuju, Arsa, saya dan keluarga kami akan datang ke sana untuk meminangmu dengan resmi. Kalau pun kamu menolak, kami akan menerima dengan ikhlas. Saya bisa menjamin kami tidak akan mengganggumu lagi seperti ini, baik di dalam mau pun di luar kampus.”
Seketika meluruhlah tangis Sheba. Ia menutup wajah menahan suara dan air mata. Basheera segera memeluk sembari meminta maaf atas ucapan tiba-tiba.
Sementara, Sheba menangis bukan hanya karena lega, juga kagum dengan cara Allah memberi tuntunan. Menangis dihadapan wanita yang sempat ia kira telah ia sakiti karena perasaan yang tumbuh tiba-tiba pada Arsa.
Sebab telah jelas bahwa percikan rasa berbalas, terutama atas restu Basheera, ia pun menguatkan hati mengungkap kejujuran tentang apa yang terjadi sebelum mereka bertemu. Karena, begitulah ia ingin memulai. Dengan kejujuran, meski apa pun nanti hasilnya.
“Mbak … “ ucapnya lembut setelah melepas pelukan. “Sebelum menjawab, izinkan saya menceritakan dengan sejujur-jujurnya apa yang saya rasakan sebelum bertemu mbak hari ini.”
“Silahkan, Sheba. Saya tidak akan intervensi cerita dan jawabanmu. Kamu bebas memilih.”
Setelah menyeka sisa air mata, ia mulai mengurai benang kusut yang memantik kemelut di kepala. Berawal dari ucapan penutup Arsa di Mindfull PC, sampai saat bertukar kata dengan Basheera di cafe itu.
…
Fierce Grace
“Mbak, saya menceritakan semua ini bukan untuk mencari simpati atau dukungan. Hanya ingin jujur diawal dan berharap mbak tidak salah paham. Saya tidak pernah berkomunikasi dengan beliau lebih dari apa yang saya ceritakan. Pak Arsa jadi bagian beasiswa penelitian kami, sama sekali tidak ada dalam sangka saya,” kata Sheba lega setelah menceritakan semua.
“Iya, saya paham,” kata Basheera. “Arsa dan teman-temanmu yang lain sudah cerita tadi. Pak Rendra tidak jadi merekomendasikan karena tidak sepaham dengan tujuan penelitian kalian, iya, kan?”
“Iya, mbak. Waktu itu, kami masing-masing menghubungi dosen yang bisa menggantikan. Hanya dosen yang dihubungi Gina, pak Arsa, yang bisa meluangkan waktu lebih cepat. Sementara yang lain harus menunggu lebih lama. Dan … saya tidak punya pilihan lain ….”
“Saya paham, Sheba.” Basheera memotong. “Kata Gina, artikel hasil penelitian kalian ini akan diajukan ke jurnal SINTA. Setelah tadi mendengar impianmu jadi dosen, sedikit banyaknya saya memahami walau pun kamu tidak menjelaskan. Bahkan kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Saya yakin dan percaya padamu. Saya yakin dan percaya pertemuan kita telah diatur sebaik-baiknya oleh Allah, termasuk perasaanmu pada Arsa, dan perasaanku padamu. Itu makanya kita ada di sini sekarang, kan?”
“Mbak …” ucap Sheba menghambur memeluk Basheera. Begitu tulus wanita di hadapannya itu, juga begitu dalam pikirannya. Betapa ia juga merasakan cinta Allah lagi dan lagi tanpa henti, sebab mereka akan jadi satu keluarga.
“So, I’ll take that as a yes, right?”
Dalam pelukan hangat itu, Sheba mengangguk dan menjawab tegas, “Iya, mbak.”
“Alhamdulillah,” ucap Basheera senang.
Setelah itu, masih larut mereka dalam bincang saling mengenal kisah hidup. Supaya saat pulang ke rumah masing-masing, kabar bahagia tersampaikan dengan kokoh dan lengkap.
Betapa mereka adalah wanita bahagia, juga manusia biasa yang ingin saling memahami. Bukan untuk menunjukkan siapa diri, tapi untuk memasrahkan diri apa adanya. Dalam kemandirian mereka, lemah lembut adalah lugas dengan cara masing-masing, berangkat juga dari pemikiran masing-masing.
Tali terjalin oleh ikhlas berbalut dukungan sesama wanita. Merangkai kepedulian menjadi simpul kehangatan dan kekuatan yang bisa menahan badai hidup.
Memohon petunjuk dari-Nya, memilih dengan bijaksana, bertindak tegas, lalu pasrah sembari percaya kepada-Nya. Maka kemelut pun akan bermuara, hingga tak perlu susah payah membuang tenaga untuk mereka yang tidak menghargai apa yang telah dipersatukan dan ditetapkan oleh Allah.
***