Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
I'd Be a Fool Not to Love You
1
Suka
10
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Demi Nenek Moyang Cleopatra!

Vivien tidak akan pernah lagi berjalan sendiri tanpa diampingi Sattya penjaganya itu. Kini ia berusaha lari sekuat tenaga untuk menghindari kejaran para anak lelaki yang mencoba untuk menciumnya lantaran energi magisnya bocor.

Berkali-kali ia mengutuk nenek moyangnya yang menurunkan kemampuan ini kepadanya. Keluarganya bilang itu adalah sebuah anugerah yang diwariskan turun-temurun kepada keturunannya yang terpilih. Tapi bagi Vivien, kemampuan ini tidak lebih dari sebuah kutukan yang selalu menyiksa dirinya. Terlebih, Vivien belum bisa mengendalikan kemampuan ini sepenuhnya yang membuat ia terus bergantung kepada Sattya, makhluk penyerap energi yang ia temui di negeri seberang.

“SOPHIAA!!”

Gadis itu merengek, berseru memanggil Sattya-nya tanpa berhenti berlari di sepanjang koridor sekolah, berharap sang Sattya muncul di hadapannya dan membereskan kekacauan ini.

Namun tentu saja itu tidak akan berhasil. Sang Sattya sedang berada jauh di Kekaisaran Armaghan. Ia tidak akan muncul dalam waktu dekat. Vivien hendak menangis, merutuki dirinya sendiri yang bebal pada peringatan sang Sattya. Padahal ia sudah dilarang keluar dari kamar asramanya, akan tetapi ujian ramuan sihir sialan itu membuatnya nekat.

Ia masih berseteru dengan pikirannya hingga tidak menyadari seseorang yang baru saja keluar dari ruang kelas, berjalan berlawanan arah dengannya dan ….

Bruukk!

Perkamen-perkamen yang semula penuh di tangan siswa itu berhamburan seperti laron yang beterbangan. Mereka bertabrakan hingga tersungkur. Kini Vivien berada di atas siswa itu. Ia sudah misuh-misuh ketika berada di situasi yang tidak menguntungkan. Tapi yah, setidaknya ia tidak terluka cukup parah.

“Ma-maaf ….” cicitnya.

Ia hendak beranjak cepat-cepat dari atas siswa itu, tetapi hal yang tak disangka-sangkanya terjadi lagi. Siswa itu merangkulnya, menahan tubuhnya agar tak beranjak. Vivien sudah pasrah jika siswa itu mendadak gila karena aroma manis magis yang menguar dari tubuhnya tetapi … itu tidak terjadi!

Siswa itu malah menutupi tubuhnya dengan jubah seragam Asrama Aureum. Itu bukan jubah biasa, jubah asrama itu bisa menghalangi segala macam bentuk sihir dari dalam maupun luar. Bisa dibilang itu jubah pelindung.

“Bertahanlah sebentar,” katanya, yang membuat Vivien mendadak kaku.

Suara riuh yang memanggil nama Vivien tidak lagi terdengar, tempat mereka seketika sunyi, siswa-siswa yang semula mengejar Vivien dengan brutal mendadak kebingungan seolah hilang ingatan. Sepersekian detik selanjutnya mereka bubar, kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Suasana tenang kembali, menyisakan helaan napas lega dari siswa yang terlentang itu.

Selama masa yang singkat itu, Vivien hanya memandang sosok asing di bawahnya tanpa suara. Ia terang-terangan memperhatikan lehernya yang kokoh, dengan jakun yang menyembul bagaikan gunung kecil, rahangnya yang tegas, yang mengarahkannya kepada telinganya yang tidak seruncing telinga elf, akan tetapi lebih runcing dari telinga manusia biasa.

“Hmm … kau bisa berdiri sekarang. Tidak apa-apa, aku akan tetap melindungimu dengan jubahku.”

Suara bariton siswa itu terpatri di pikiran Vivien dalam waktu singkat. Pikirannya kini sibuk mengobservasi siswa di hadapannya. Sejak kapan Sekolah Sihir Abrihetlase memiliki siswa seorang PRIA? Ketika mereka berdiri, Vivien tahu tinggi dari siswa itu tidak lebih dari 6’5” yang berarti cukup untuk Vivien mendongakkan kepala ketika ingin menatap matanya.

“Hati-hati,” ujarnya dengan senyuman manis setelah ia memasangkan jubahnya pada Vivien dan beranjak pergi.

Satu kata itu menyadarkan Vivien dari lamunannya. Vivien sudah membuka mulutnya, tapi mendadak suaranya tak keluar. Apa yang harus ia katakan saat ini? Menanyakan namanya? Berterima kasih? Atau berjanji akan mengembalikan jubahnya? Semakin lama ia bimbang semakin jauh pula siswa itu dari pandangan Vivien. Pada akhirnya ia gagal berbicara apa pun pada siswa itu.

Vivien meremas jubah yang kini tengah dipakainya. Tercium aroma samar hutan basah dari jubah itu. Selama ia hidup, mungkin ini adalah pertama kalinya ia bersyukur karena memiliki kemampuan pemikat. Terima kasih kepada nenek moyangnya, Cleopatra. Berkat kemampuan itu, Vivien dapat merasakan perasaan baru yang membuat hari-harinya berbeda.

“Jadi … apa yang terjadi selama aku tidak ada?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Sophia ketika memperhatikan kamar Vivien yang kini berubah menjadi merah muda, dengan berbagai macam hiasan hati dan serbuk halus yang berkilauan, hampir membuat matanya buta. Ah, perlu diketahui jika dekorasi dari kamar Asrama Albus dapat berubah-ubah sesuai dengan suasana hati penghuninya.

“Sophia!”

Vivien langsung beranjak dari kasurnya dan memeluk pria berambut perak tersebut. Sophia langsung memberontak.

“Sudah kubilang berhenti memanggilku dengan nama itu! Dan lepaskan pelukanmu! Ini membuatku sesak.”

Sadar Vivien mengabaikannya, pria berambut perak itu mengubah tubuhnya menjadi seekor kuda putih bertanduk, dan terbang menjauhi gadis itu.

“Apa yang salah denganmu? Apa kau habis memakan buah dudaim?”

Vivien terkekeh. Ia tidak kesal dengan pernyataan sattyanya itu yang masih menganggap ia bodoh. Maksudnya, siapa pula orang bodoh yang berani memakan buah beracun itu?

Jika Vivien yang biasa, pasti sudah menimpuk Sophia dengan buku tebal. Tapi, hari ini suasana hatinya sedang baik, jadi ia tidak terlalu ingin menyambut kepulangan Sophia dengan kamus tebal itu.

“Aku bertemu seseorang yang menarik,” akunya.

“Dia–

“Tunggu!” Sophia menginterupsi Vivien yang ingin bercerita lebih lanjut.

“ Jangan bilang kau keluar dari asrama saat aku tidak ada.”

Kini tatapan Sophia berubah penuh kecurigaan.

Kesunyian yang janggal membuat Sophia naik pitam.

“SUDAH KUBILANG JANGAN–

“YA YA AKU TAHU! Hanya saja siapa yang rela jika usahaku belajar semalam suntuk untuk ujian ramuan sihir sia-sia hanya karena aku tidak bisa keluar asrama!”

“Oh! Jadi kau menyalahkanku? Apa kau lupa jika kau masih–

“Aku tidak menyalahkanmu! Aku tahu situasi di sana buruk dan kau tidak punya pilihan selain pergi. Ini murni kesalahanku. Maaf ….”

Hening sejenak, hingga pada akhirnya Sophia menghembuskan napas.

“Setidaknya kau mengakui kesalahanmu.”

Ia berubah kembali ke dalam wujud manusinya, duduk di kursi belajar Vivien.

Ruangan kamar mendadak berubah menjadi keunguan, dengan kabut gelap menyelimuti mereka berdua.

“Tak perlu cemas, itu urusanku. Lalu … apa yang terjadi?”

Senyum Vivien kembali merekah.

“Berjanjilah jika kau tidak akan marah atau menyela ceritaku.”

Meski keberatan, Sophia tetap mengangguk karena rasa penasarannya. Apa yang membuat gadis kutu buku ini mendadak berseri-seri?

“Namanya Arthur ….”

Jadi Vivien menceritakan semuanya tentang siswa itu. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan pria itu seminggu yang lalu, hingga fakta yang baru-baru ini Vivien ketahui.

“Sampai sekarang aku belum berhasil mengembalikan jubah itu, kau tahu, kan? Aku juga membutuhkannya selama kau tak ada.”

“Aneh … selama ini tidak ada manusia yang tidak terperangkap pada sihir pemikatmu.”

Sophia tidak yakin ada seorang manusia yang tahan dengan sihir pemikat Vivien. Sihir itu adalah sihir kuno dan kemampuan yang didapat dari leluhur, sehingga pencegahannya tidak bisa menggunakan alat sihir biasa, apalagi hanya sebatas jubah asrama. Kecuali orang itu dianugerahi kemampuan kuno lain yang dapat menangkal sihir Vivien. Jubah itu pasti bukan jubah biasa dan pria itu pastinya bukan manusia biasa.

“Nah, itu dia! Kenapa dia bisa tidak terpengaruh sama sekali? Kemungkinan karena ia memiliki energi sihir yang lebih tinggi daripadaku, atau karena kemampuan sihirnya setara dengan para guru Abrihetlase yang mana hal ini sangat mustahil. Satu-satunya yang memungkinkan adalah … ia dilindungi oleh kekuatan dari sihir kuno yang setara dengan milikku, tapi jika itu masalahnya … bagaimana cara aku bisa mendekatinya dan membuatnya memiliki perasaan yang sama denganku? Arrgghhh!”

Masalah ini membuat Vivien lebih frustrasi daripada merapal mantra teleportasi antarbenua. Sebentar lagi festival Yule Bale diadakan, dan ia ingin mengajak Arthur untuk menjadi pasangannya, tetapi tidak ada kepastian apakah Arthur akan menerima tawaran itu atau tidak. Siswa sepopuler Arthur pasti memiliki banyak pengagum, kan? Pasti bukan hanya dirinya yang ingin memikat Arthur untuk menjadi pasangan dansa.

“Aku pernah mendengar mite tentang daun semanggi berhelai empat. Daun itu tumbuh di sekitar air terjun hutan perbatasan saat bulan purnama penuh. Katanya jika harapan dibuat sebelum kau mencabut tangkainya, harapan itu akan terkabul. Tapi … itu hanya mite yang dipercaya para siswa dan jelas tidak terbukti, iya, kan?” Sophia terkekeh memikirkan mitos konyol itu.

Namun kekehan itu terhenti ketika Vivien hanya diam, pikirannya tengah memperhitungkan segala kemungkinan.

“Bulan purnama penuh ....” gumamnya. Itu berarti malam ini.

“Vien, kau tidak akan percaya pada mite itu, kan?” Kini tampang Sophia berubah cemas.

“Itu tidak sepenuhnya mustahil. Daun itu langka, bukan tidak ada,” ungkapnya.

“Demi Dewi Fortuna! Aku tidak akan mengizinkanmu pergi! Aku tidak bisa menemanimu pergi ke hutan saat malam, kau ingat?!” Sophia berseru. Ia yakin jika logika Vivien sudah digerogoti oleh perasaan itu.

“Siapa juga yang ingin pergi,” gerutu Vivien.

Ia merebahkan dirinya di ranjang, menyelimuti tubuhnya, menutup matanya bersiap untuk tidur.

Namun itu hanya kepura-puraan. Vivien hanya menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari kamarnya ketika sang Sattya tertidur lelap. Malam ini ia akan membuktikan kebenaran mite itu. Jadi ia mengendap-endap keluar dari kamar tidurnya hanya berbekal jubah milik Arthur yang belum sempat ia kembalikan dan sebuah tongkat sihir untuk menerangi langkahnya yang diliputi kegelapan.

Vivien berusaha untuk tidak menimbulkan suara langkah kaki seberisik mungkin agar berhasil lolos dari penjaga asrama. Ketika ia berhasil keluar dari asrama, ia menghembuskan napas lega.

"Sungguh tak dapat kupercaya aku melakukan semua kegilaan ini," ungkapnya kepada diri sendiri.

Sebuah rencana yang nekat hanya demi perasaan benar-benar tidak ada di kamus hidupnya selama ini.

Gadis keturunan Cleopatra itu berlari sekencang mungkin menuju hutan perbatasan yang ada di arah Barat asramanya. Sesekali ia mendongak, menatap bulan purnama di atas sana. Semoga ia tepat waktu. Ketika sudah benar-benar masuk ke dalam hutan, larinya memelan. Beberapa kali ia terjatuh, tersandung akar pohon, atau tak sengaja menginjak cangkang gnomes.

Ia berbisik meminta maaf kepada para gnomes yang terbangun dari tidurnya karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh Vivien. Harapannya makin tinggi. Jika sudah melewati kawasan tempat tinggal gnomes, itu artinya air terjun semakin dekat. Terdengar deru air yang sangat deras. Gadis itu mendongak menatap bulan purnama yang masih bertengger di langit. Vivien sumringah.

Rasa sakitnya terbayarkan ketika melihat hamparan daun semanggi yang tumbuh subur di samping air terjun. Ia berseru kecil sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tanpa membuang waktu Vivien segera merunduk, mencari daun semanggi berhelai empat itu. Namun itu tidak semudah ia menyelinap keluar dari asrama. Pencarian itu memakan waktu lebih lama. Rasanya seperti ia mencari jarum di tumpukan jemari.

"Haishh! Ayolah!"

Vivien mulai putus asa. Apa perjuangan ia sia-sia? Sebenarnya apa yang sudah membuatnya sebodoh ini? Bagaimana bisa ia percaya begitu saja pada mite yang belum terbukti kebenarannya? Seorang ia–yang selalu mempertahankan peringkat teratas ilmu sihir Sekolah Abrihetlase, tertipu pada mite murahan?

Ia menghembuskan napas. Matanya mulai terasa panas. Hawa dingin mulai membakar dirinya. Jubahnya setengah basah akibat percikan air terjun. Ia terisak perlahan. Dengan tangan bergetar dan pandangannya yang mengabur karena air mata, ia tetap melanjutkan pencarian yang seakan tiada akhir itu. Ia tidak bisa menyerah di sini. Ia terlanjur mempercayainya. Setidaknya ia akan berusaha mencari sampai bulan purnama tidak terlihat lagi.

"Kau sedang mencari ini?" Suara bariton yang sangat dikenal Vivien terdengar jelas di antara deru air terjun.

Gadis itu mendongak, menatap sosok tinggi tegap di hadapannya. Lewat cahaya bulan, Vivien yakin jika itu benar-benar pria yang selama ini memenuhi pikirannya. Seketika ia beranjak dari simpuhnya. Sibuk merapikan rambut yang sudah acak-acakan. Di tangan pria itu, ada daun yang dicari-cari Vivien. Daun semanggi berhelai empat. Bentuknya memang kecil daripada daun semanggi yang lain tetapi berkali-kali Vivien hitung jumlah helainya, itu tidak berubah. Benar-benar ada empat helai.

"Aku sudah membuat harapan agar apa pun harapanmu terkabul. Kau membutuhkannya, kan?"

Senyum simpul terulas di bibir pria itu.

"Kenapa? Bagaimana bisa? Tunggu!"

Pikiran Vivien penuh dengan berbagai macam pertanyaan. Kehadiran pria itu yang tiba-tiba terasa begitu janggal, tetapi Vivien tidak bisa berpaling pada senyum paling menawan miliknya.

"Vivien, kau tidak membutuhkan keajaiban apa pun agar harapanmu terwujud. Kau bisa langsung mengungkapkannya kepadaku. Akan kukabulkan semua keinginanmu meski sesulit apa pun itu."

Pria itu berjalan memotong jarak di antara mereka. Ia genggam tangan Vivien kemudian mengecupnya, meski tangan itu kotor oleh tanah.

"Kenapa kau melakukan semua ini untukku?"

Pria itu mendongak menatap Vivien. Ia terkekeh kecil.

"Bukankah itu sudah jelas? Aku sangat menyukaimu. Selama ini ... aku selalu memperhatikanmu bahkan sebelum kau tahu keberadaanku."

Vivien menggeleng. Apakah ini mimpi? Tak pernah terpikirkan sekalipun di benaknya jika Arthur menukainya. Apa jangan-jangan kemampuan magisnya bocor?

"Tidak tidak, bagaimana mungkin? Kau tidak terkena sihirku, kan?"

Vivien berseru panik. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Arthur, mendongak, berusaha melihat pupil mata pria itu di bawah temaram cahaya bulan. Jika seseorang terkena efek sihirnya, ada setitik cahaya ungu di mata mereka. Namun Vivien menghembuskan napas lega ketika ia tidak menemukan tanda-tanda itu.

Arthur tertawa lepas. Lututnya mendadak lemas. Dadanya bergemuruh ketika wajah Vivien begitu dekat dengan wajahnya. Ia genggam kedua tangan Vivien yang masih setia bertengger di pipinya.

"Mana mungkin ada yang tidak menyukaimu, Vien. Terlepas dari kemampuanmu itu, pesona aslimu sungguh luar biasa hingga membuatku kewalahan. Jika kecantikan orang-orang itu relatif, bagiku kecantikanmu adalah mutlak. Menyukaimu adalah hal paling logis yang bisa kulakukan. Katakan aku bodoh jika aku tidak mencintaimu. Bahkan sekarang aku bisa menjabarkan semua yang kusuka dari dirimu jika kau mau."

Wajah Vivien sudah sangat merah sedari Arthur membicarakan dirinya.

"Baiklah, baiklah. Aku mengerti." Vivien berusaha menutupi wajahnya yang memerah dengan tudung jubah.

"Kau tidak keberatan dengan perasaanku, kan?"

Vivien mengangguk. "A-aku juga menyukaimu," cicitnya.

Arthur menyeringai. "Apa? Aku tidak bisa mendengarmu."

"Aku menyukaimu, Arthur." Vivien mendongakkan kepalanya menatap Arthur.

Telinga Arthur mengerling seperti telinga kucing yang penasaran akan suatu hal.

"Aku masih tidak bisa mendengarnya. Coba lebih keras," godanya.

"Arthur, aku menyukaimu!" Vivien berseru sambil memukul dada Arthur. Ia sangat malu.

Arthur tergelak. "Coba sekali lagi."

"AKU ... SUKA ... PADAMU!!"

Kini Vivien berteriak sekencang-kencangnya, bersamaan dengan gelak tawa Arthur. Pria itu merasa tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari ini.

"Hey! Siapa di sana?!" Seruan dari petugas asrama menghentikan kesenangan mereka.

Sontak mereka berdua berlari sepanjang hutan menghindari kejaran sang petugas. Mereka berlari sambil saling menggenggam. Vivien dan Arthur bersitatap. Wajah mereka berseri-seri. Vivien membatin, mungkin kekuatannya dan perjuangannya malam ini tidak buruk juga. Ia bisa memiliki Arthur sepenuhnya, bukan hanya partner untuk dansa Yule Belle tetapi untuk seterusnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
I'd Be a Fool Not to Love You
Lail Arahma
Novel
Cotton candy
Dewi Latifah
Cerpen
Sayap di langit senja
Erlangga Putra
Novel
Bronze
Heart Blossom
Sy
Novel
Gold
Agnes Grey
Mizan Publishing
Novel
Pejabat Negeri Sonoharu
Tourtaleslights
Skrip Film
Script Film : Al Kahfi Land - Menyusuri Waktu
indra wibawa
Flash
POSESSIVE ARVIN
natasya03_
Flash
Bronze
RADYATAMA
essa amalia khairina
Novel
Bronze
Aksara dan Kacamata Ajaib
Rizasa Vitri
Novel
All About Him
Chika
Novel
Memories of Her Body
Gunawan Wicaksono
Novel
PIGEON
Kaviiaaa
Novel
Istri Yang Disia-siakan
SUWANDY
Novel
Gold
I AM IN DANGER
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
I'd Be a Fool Not to Love You
Lail Arahma
Cerpen
Armaghan Knight and The Fertility Goddess
Lail Arahma
Flash
Sebuah Bayangan Mengusikku (surat 1)
Lail Arahma
Flash
Dreamcore Room
Lail Arahma
Cerpen
Cara Teraman Mencintaimu
Lail Arahma
Flash
A Rose and A Bride
Lail Arahma
Cerpen
Oiran and The Summer Crow
Lail Arahma
Flash
Bahagia Bukan Hanya Soal Rasa (surat 2)
Lail Arahma
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Kisah Kancing Nenek
Lail Arahma
Flash
Karma Datang sebagai Sebuah Hukuman (surat 3)
Lail Arahma
Flash
Perspectives on Love
Lail Arahma
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma
Flash
In His Memories
Lail Arahma