Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kota Ricik adalah kota kecil di pinggir laut yang selalu berbau asin dan tanah basah. Hujan di sana turun hampir setiap hari, seolah langit tak pernah kehabisan alasan untuk menangis. Kecuali pada satu hari, Selasa.
Hari itu selalu cerah. Selalu kering.
Dan bagi Ardan, itu adalah hari yang paling ia benci.
Lima tahun lalu, pada hari Selasa yang bahkan mataharinya terasa terlalu terang, seseorang pergi dari hidupnya.
Namanya Ratna, gadis yang selalu tertawa setiap kali hujan turun.
Ironisnya, Ratna meninggal di hari ketika hujan menolak datang.
Langit terlalu biru, udara terlalu tenang, dan Ardan tahu, sejak saat itu, ia tak akan pernah memandang hari Selasa dengan cara yang sama lagi.
Sejak hari itu, Ardan tidak pernah lagi menatap ke arah langit setiap Selasa.
Ia tidak lagi menunggu hujan, tidak lagi menunggu siapa pun. Ia hanya menjalani hidupnya seperti kota itu, sunyi, tapi entah bagaimana, tetap berdetak.
Sore itu, Ardan duduk di taman kecil di dekat jembatan tua, tempat yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya.
Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan suara gesekan ranting basah. Dari kejauhan, terdengar tawa anak-anak yang bersepeda melewati jalan becek, roda mereka menimbulkan cipratan kecil di genangan air kemarin sore.
Bagi Ardan, tempat itu bukan sekadar taman. Ia menyebutnya “titik jeda,” ruang di antara dunia yang bergerak cepat dan hatinya yang enggan ikut berlari.
Di sanalah ia biasanya duduk diam, mendengarkan sungai yang mengalir di bawah jembatan, membiarkan pikirannya hanyut bersama arus yang tak pernah berhenti.
Hari itu seperti Selasa lainnya: langit cerah, terlalu cerah, dengan matahari yang menggantung seperti ejekan bagi hatinya yang tak pernah pulih.
Sampai seseorang datang.
Gadis itu muncul begitu saja dari ujung jalan setapak.
Ia mengenakan jas hujan berwarna kuning terang, meski langit bersih tanpa sehelai awan pun. Langkahnya ringan, tapi ada ketenangan aneh dalam caranya menatap sekitar, seolah setiap hal yang ia lihat sudah dikenalnya sejak lama.
Ia berhenti tepat di depan Ardan dan menatap langit sebentar sebelum berkata,
“Aneh ya… di kota ini, hujan nggak pernah turun di hari Selasa.”
Ardan menoleh sekilas.
“Kamu turis?” tanyanya datar.
Gadis itu menggeleng pelan. “Bukan. Aku Fiora.”
Ia mengulurkan tangan, tapi Ardan hanya menatapnya tanpa bergerak. Fiora tidak tersinggung. Ia hanya tertawa kecil, duduk di bangku kosong di sebelahnya.
“Aku bisa memanggil hujan, tahu?” katanya tiba-tiba, seolah berbicara pada langit.
Ardan mendengus pelan. “Dan aku bisa memanggil matahari kalau aku mau.”
“Tapi aku serius,” balas Fiora dengan nada yang entah kenapa tidak terdengar seperti bercanda.
“Hujan datang kalau seseorang menceritakan kenangan yang belum selesai.”
Lalu, matanya beralih menatap Ardan. “Jadi… siapa yang kamu rindukan?”
Pertanyaan itu jatuh begitu lembut, tapi menghantam dada Ardan seperti paku dingin yang menembus waktu. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, seseorang menanyakan hal itu padanya.
Ia menunduk, menggenggam tangannya erat.
Ada banyak hal yang ingin ia katakan. Tentang tawa Ratna saat hujan, tentang cara gadis itu memutar payung seperti menari di bawah langit abu-abu. Tapi kata-kata itu macet di tenggorokannya.
Ia memilih diam.
Fiora tidak menunggu jawaban. Ia hanya duduk tenang di sebelahnya, memandangi langit yang bersih tanpa satu pun tanda hujan.
Minggu berikutnya, sore di Kota Ricik kembali basah oleh aroma laut dan tanah lembap. Tapi kali ini, langit sedikit berbeda, agak muram, seolah menunggu sesuatu. Ardan sudah duduk di bangku lamanya, di bawah pohon mangga dekat jembatan tua. Di pangkuannya, secangkir kopi yang sudah kehilangan hangatnya. Ia tidak menunggu siapa pun. Tapi entah kenapa, setiap kali jarum jam mendekati pukul lima sore, matanya selalu mengarah ke jalan setapak tempat gadis berjas hujan kuning itu pertama kali muncul.
Dan benar saja, Fiora datang lagi.
Masih dengan jas hujan kuning yang sama, meski hari itu belum ada tanda bahwa hujan akan turun. Rambutnya agak berantakan tertiup angin, tapi senyumnya tetap cerah seperti langit yang belum tahu apa itu mendung.
“Kamu datang,” katanya dengan nada ceria, seperti menyapa teman lama.
Ardan tidak tahu apakah harus tersenyum atau heran. Tapi mulutnya justru menjawab pelan, “Kamu juga.”
Fiora duduk di sebelahnya tanpa basa-basi, membiarkan keheningan menempel di antara mereka. Lalu ia menatap sungai yang beriak tenang dan berkata,
“Ceritakan sesuatu.”
Ardan mengerutkan kening. “Tentang apa?”
“Tentang seseorang yang pernah bikin kamu tersenyum,” jawab Fiora, menoleh padanya dengan tatapan lembut. “Nggak harus yang bahagia kok. Kadang senyum paling indah juga datang dari kenangan yang paling sakit.”
Kalimat itu membuat dada Ardan menegang sesaat. Ia menatap air di bawah jembatan, pantulannya bergetar, seperti hatinya yang tiba-tiba tak stabil.
Setelah diam beberapa saat, ia akhirnya menarik napas panjang.
“Namanya Ratna,” kata Ardan perlahan. “Dia suka hujan. Katanya, hujan itu kayak lagu yang nggak pernah bosan dia dengar.”
Fiora menatapnya diam-diam, tidak memotong.
“Waktu kami kecil,” lanjut Ardan, “setiap kali hujan datang, dia selalu lari keluar rumah tanpa payung. Dia bakal berputar-putar di jalan, teriak sekeras-kerasnya: “Ardan! Ini lagu favoritku!”
Ardan terdiam sebentar. “Aku selalu bilang dia aneh. Tapi sebenarnya aku cuma takut kehujanan bareng dia.”
Udara di sekitar mereka berubah pelan.
Awan tipis mulai membentuk garis samar di langit barat.
“Tapi…” Ardan menelan ludah. “Hari itu Selasa. Dan hujan nggak datang.”
Ia menunduk, tangan mengepal di lutut. “Dia nunggu di luar sampai sore. Katanya, hujan pasti datang kalau kita benar-benar mau mendengarnya. Tapi hari itu, matahari terlalu keras kepala.”
Fiora menunduk. Tak ada kata yang keluar. Hanya suara napas mereka yang terdengar di antara hembusan angin.
“Sejak hari itu,” lanjut Ardan pelan, “aku nggak pernah nunggu hujan lagi.”
Hening.
Lalu, perlahan, Fiora mendongak ke langit. Tangannya terbuka, seolah menyapa udara. Kemudian udara mulai berubah. Angin berembus lebih berat. Suara ombak di kejauhan terdengar lebih dalam. Awan-awan yang tadi samar kini menggumpal, menutup langit biru perlahan.
Satu tetes jatuh di punggung tangan Ardan. Dingin.
Disusul tetes kedua, ketiga, keempat… sampai akhirnya butiran air mulai menari di atas tanah.
Ardan menatap langit. Untuk pertama kalinya setelah lima tahun, di hari Selasa, hujan benar-benar turun.
Tetes demi tetes jatuh di wajahnya, tapi kali ini ia tidak menunduk.
Di sebelahnya, Fiora tersenyum, wajahnya diterangi oleh cahaya sore yang mulai memudar.
“Nah,” katanya pelan. “Sepertinya lagu favorit Ratna akhirnya diputar lagi.”
Dan untuk pertama kalinya, Ardan menutup matanya. Bukan untuk menghindari hujan, tapi untuk mendengarkannya.
Sejak hari itu, Selasa tak lagi terasa sepi bagi Ardan.
Hari yang dulu ia benci kini menjadi hari yang paling ia tunggu.
Fiora selalu datang, duduk di bangku yang sama, di bawah pohon mangga yang daunnya kini mulai menguning. Jas hujan kuningnya selalu ia kenakan, bahkan saat langit biru tak punya tanda-tanda mendung. Kadang ia membawa termos kecil berisi cokelat hangat, kadang hanya duduk sambil memainkan jari di atas permukaan bangku, menulis sesuatu yang tak bisa dibaca siapa pun.
Dan ketika Ardan datang, Fiora akan menoleh dengan senyum khasnya.
Senyum yang membuat sore di Kota Ricik terasa tidak sekelam biasanya.
Setiap Selasa, mereka berbagi cerita, yaitu satu potongan masa lalu Ardan setiap kali mereka bertemu.
Cerita pertama sudah pernah membuat hujan turun.
Tapi cerita-cerita berikutnya… membuat hujan menjadi bagian dari mereka.
Cerita kedua: tentang surat yang tidak pernah ia kirim.
Surat yang Ardan tulis untuk Ratna pada malam sebelum ulang tahunnya, berisi hal-hal kecil yang tak pernah sempat ia katakan.
Bahwa ia menyukai cara Ratna tertawa di bawah hujan. Bahwa ia diam-diam iri pada keberanian gadis itu menghadapi dunia yang sering membuatnya takut.
Surat itu tidak pernah sampai. Ia menyimpannya di laci, dan pagi harinya Ratna sudah pergi, selamanya.
Cerita ketiga: tentang payung kecil warna biru.
Ratna membelinya di pasar malam, katanya untuk melindungi Ardan kalau hujan datang tiba-tiba. Tapi lucunya, payung itu selalu dibawa Ratna, bukan Ardan.
Ratna meninggalkan payung itu di taman, di bangku yang sama tempat mereka sering duduk bersama sehari sebelum kematiannya. Sampai sekarang Ardan tidak pernah mengambilnya. Ia biarkan di sana, hingga warnanya pudar dimakan waktu.
Cerita keempat: yang paling berat.
Tentang janji yang gagal ia tepati.
Hari ketika Ardan berjanji akan melindungi Ratna dari hujan, tapi justru hujanlah yang melindungi kenangannya dari lupa.
Suara Ardan bergetar waktu menceritakan itu. “Aku pikir aku kuat waktu itu. Tapi ternyata, aku cuma penakut yang bersembunyi di balik langit yang cerah.”
Fiora menatapnya lama, tanpa berkata apa pun.
Dan kali ini, hujan datang tanpa peringatan. Deras, deras sekali.
Namun sesuatu mulai berubah.
Setiap kali hujan turun, Fiora terlihat semakin pucat.
Pipinya kehilangan warna, kulitnya semakin tembus cahaya.
Kadang saat hujan mengguyur paling deras, Ardan melihat bayangannya sendiri menembus tubuh Fiora. Seperti ia sedang berbicara dengan seseorang yang perlahan menghilang.
Selasa keempat belas.
Langit Kota Ricik sudah kelam bahkan sebelum matahari sempat terbit.
Ardan berlari ke taman, panik karena Fiora tidak datang.
Ketika ia tiba, gadis itu sudah duduk di bawah pohon besar, tanpa jas hujan kuningnya.
Tubuhnya basah kuyup, tapi wajahnya tenang. Seolah hujan tidak pernah benar-benar menyentuhnya.
“Fiora!” Ardan berlari menghampiri, lututnya nyaris tergelincir di tanah licin. “Kamu kenapa?”
Fiora menatapnya dengan mata yang sendu. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
“Karena sudah saatnya,” katanya pelan.
“Setiap kali kamu bercerita, rasanya seperti aku sedang memudar.”
Ardan terdiam.
Tangannya terulur, menggenggam tangan Fiora yang dingin, terlalu dingin, seperti es yang hampir mencair.
“Kenapa kamu bilang begitu?”
Fiora memejamkan mata sejenak, lalu berkata dengan napas yang pelan.
“Karena setiap cerita tentang Ratna… membuatku semakin sulit untuk tetap di sini.”
Ardan menggeleng keras, matanya mulai basah. “Apa maksudmu?”
“Ardan…” Fiora menatap matanya dalam. “Aku bukan orang asing yang tiba-tiba datang dalam hidupmu. Aku… adalah hujan yang kamu tunggu. Aku adalah kenangan yang kamu kubur bersama Ratna. Aku ada karena kamu belum bisa melepaskannya. Belum bisa melepaskan dia.”
Hujan turun deras sekali, seakan langit pecah.
Ardan menggigit bibirnya. Matanya berair, entah karena hujan atau air mata.
“Jadi selama ini… kamu…”
“Ya,” Fiora tersenyum samar. “Aku adalah bagian dari Ratna yang kamu panggil lewat kerinduanmu.”
Fiora berdiri, menatap ke langit yang semakin berat.
Ardan berdiri beberapa langkah darinya, tak mampu berkata apa-apa.
Hujan mengguyur deras di sekeliling mereka, tapi anehnya, di tempat Fiora berdiri, air seakan enggan menyentuh tanah.
“Ardan, kamu tahu kenapa hujan nggak pernah turun di hari Selasa?” tanya Fiora.
“Karena di hari itu, langit ikut berduka. Tapi hari ini… langit sudah siap menangis bersamamu.”
Angin berembus kencang.
Daun-daun beterbangan, dan udara di sekeliling mereka mulai bergetar aneh, seperti ada sesuatu yang akan pecah. Tubuh Fiora berkilau lembut, kemudian perlahan memudar, berubah menjadi butiran air yang melayang ke udara.
“Terima kasih sudah mengingatku,” kata Fiora lirih. “Terima kasih sudah membuat hujan kembali punya arti. Sekarang, biarkan hujan turun lagi setiap Selasa.”
Dan sebelum Ardan sempat menjawab, tubuh Fiora pecah menjadi ribuan tetes air, menyatu dengan hujan yang kini jatuh deras, seolah seluruh langit akhirnya menyerah pada kesedihan yang lama ditahannya.
Yang tersisa hanyalah jas hujan kuning di bangku tua.
Basah, kusut, tapi tetap memantulkan warna hangat di bawah langit kelabu.
Ardan berdiri lama di sana, membiarkan hujan membasahi wajahnya sambil menangis dengan keras.
Beberapa bulan kemudian, Kota Ricik kembali normal.
Hujan turun seperti biasa, termasuk di hari Selasa.
Anak-anak kembali berlari di jalan sambil tertawa, dan aroma tanah basah memenuhi udara.
Orang-orang bilang, hujan di kota itu kini terasa berbeda, lebih hangat dan lebih hidup.
Dan di setiap hujan Selasa, di taman kecil dekat jembatan tua, selalu ada seseorang yang duduk sendirian sambil menatap langit. Ardan, dengan payung kecil warna biru peninggalan Ratna, tersenyum setiap kali hujan mulai turun.