Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Hujan Rea
3
Suka
7,928
Dibaca

Hujan Rea

Cinta yang indah adalah alasan ibuku menjadi gila. Kehilangan dan kecintaan yang pergi mengikis akalnya, membunuhnya perlahan. Aku tidak akan jatuh cinta. Aku tidak akan rindu dan patah.

***

Kakakku, Raia, putus asa dengan kondisinya saat ini. Api, pohon yang ikut terbakar, sirene ambulans, seruan orang-orang, hujan. Semuanya terjadi begitu saja. Terlalu cepat bahkan untuk kuingat. Ia menjadi rapuh, tak ada lagi Raia dengan api yang membara di matanya. Melihatnya begitu, asaku mulai terkikis. Kita di rumah yang sama, dengan luka yang sama, tapi dengan sakit yang berbeda.

“Jangan menyerah,” ucapku pada kakakku itu.

“Kamu tidak tahu, Rea...” balas Kak Raia sambil memalingkan wajahnya dariku.

“Tidak tahu apa? Tidak tahu rasa sakitmu? Bukankah Kamu yang tidak tahu milikku?” kubuat ia menatapku. “Jangan menyerah seenaknya. Jangan bersikap rapuh sementara aku berusaha memperbaiki retakan itu”

“Keluar dari kamarku,” ucap kakakku dingin.

Pintu kamar Kak Raia ia banting kuat di depan wajahku.

***

Saat itu hujan. Aku menemukan diriku jatuh hati pada orang itu. Tidak, jangan sebutkan namanya. Sebut saja dia “orang itu”.

Ia menarik tanganku, membasuh luka pada jemariku. Dia menyembuhkanku. Untuk kali ini saja, hujanku memberikan kabar bahagia. Aku menemukan alasan kenapa aku menerima perasaan yang bernama cinta.

Orang itu sering datang padaku. Saat pemakaman ayah waktu itu pun, dia memberikan payungnya untukku. Berdiri di sisiku yang sampai akhir masih sanggup untuk menatap batu nisan itu, tapi dia hanya diam, entah karena dia memang peduli atau merasa kasihan padaku.

***

“Gadis cantik sepertimu tidak boleh terluka,” ucapnya sembari membalut plester luka di delapan jemariku setelah aku mengamuk dan memukuli pintu kamar Kak Raia. “Untuk sementara waktu pasti akan tidak nyaman saat menggunakan tanganmu...” gumamnya.

“Bagaimana Kau bisa masuk ke rumahku?” tanyaku tak menghiraukan ucapannya.

“Ah, itu... Aku berkata bahwa aku adalah anak dari teman lama ayahmu dan satpam di depan membiarkanku masuk, jika itu yang Kamu tanyakan.”

“Siapa Kau?”

Dia tersenyum. “Aku betul anak dari teman lama ayahmu, kok. Namaku...” aku memalingkan wajahku. Menghindari wajah asing itu. Aku tak pernah percaya bahwa dia adalah anak dari teman lama ayahku, tapi aku membiarkannya masuk lebih dalam ke hidupku.

“Mau kubelikan pasta?” dia tersenyum hangat. Menjadi satu-satunya yang hangat di rumahku yang dingin kala itu.

Sedangkan ingatan tentang namanya seolah menjadi kaset rusak.

***

“Kita bisa melukis bersama di taman jika Kau mau,” ujarnya lembut. Jemarinya menyentuh rambutku. Menyisirnya lembut seolah aku adalah tuan putri.

“Kau juga suka melukis?” mataku mengikuti gerakan tangannya.

“Aku seorang pelukis, Kau tahu? Ya, meskipun bukan pelukis yang terkenal, tapi aku percaya diri dengan kemampuanku.” Tanpa kusadari, dia membuat kepangan kecil dengan rambutku itu. Seolah mengikatku perlahan, satu persatu setiap jengkalku.

“Tidakkah melukis bisa mengobatimu? Setiap aliran kuas yang Kamu mainkan membawa perasaan-perasaanmu yang menyakitkan. Setiap jengkal goresan menjadi wadah setiap lukamu.” Tangannya yang besar merengkuh pergelangan tanganku, membawanya menari di atas kanvas.

Aku mengangguk. “Kau benar. Setiap goresan itu menjadi suara dari setiap lukaku. Sedangkan goresan yang lain seolah menjadi obat untuk luka-luka itu.” Dapat kurasakan dia tersenyum di belakangku. Tangannya terus membimbing milikku untuk mengobati setiap lukaku.

***

“Aku ingin melukismu,” ungkapku padanya. “Penglihatanku mulai kabur, aku takut aku terlambat untuk melukis wajah tampanmu itu”

“Oh? Kau pikir aku tampan?” ia mendekat padaku. Mengurungku dalam tatapannya.

Kumohon, jangan ambil yang ini. Setidaknya yang ini saja, Tuhan, jangan ambil ini dari sisiku.

Aku tersenyum dan mengangguk seadanya. Dia mengecup pipiku dengan lembut dan halus, hadiah untukku yang menyebutnya tampan.

“Anggap saja itu balasan karena Kau pernah mengatakan aku adalah gadis cantik.” Dia terkekeh.

Langit perlahan menjadi gelap kala itu, tapi kami memutuskan untuk melanjutkan lukisan kami. Dering telepon dari ponselnya menghentikan kegiatan kami. Dia berjalan menjauh sembari menyuruhku untuk melanjutkan.

Hatiku berkata untuk menguping pembicaraan telepon itu. Aku pun mengikuti kata hatiku. Di balik pohon besar itu aku mendengar dengan saksama semua alasanku membencinya.

“Jangan memintaku untuk membunuhnya! Apa? Ya! Ya, aku jatuh hati padanya karena itu berhentilah memintaku membunuhnya! Toh, kehadirannya tak akan mengganggumu, kan? Kau bilang ayahnya saja sudah cukup!” dia terdengar marah. Suara petir yang mulai hadir menambah suasana mencekam dan patah hati dari seorang Rea.

“Jangan hubungi aku lagi! Aku tidak peduli Kau memutus kontrak atau apapun. Aku tak akan menerima permintaanmu lagi” kudengar suaranya menggerutu dan mematikan daya ponselnya.

Dan lihatlah, betapa terkejutnya ia begitu melihatku di hadapannya. Ketakutan merambat di wajahnya, patah-patah ingin mengatakan sesuatu.

“Aku bertekad untuk menemukan orang yang membunuh ayahku, kini aku menemukannya. Apa yang harus kulakukan sekarang?” lirihku menatap tatapan takut darinya.

“Rea...”

“Apa yang harus kulakukan padamu? Aku sempat berkeinginan untuk membunuh orang yang membunuh ayahku, tapi ini Kamu.... Haruskah aku membunuhmu?”

“Rea, maafkan aku”

“Bahkan Kau ingin membunuhku juga?”

“Ya. Aku diminta untuk membunuh kalian oleh klienku-”

“Klien?”

Rintik hujan mulai turun dan tanpa persiapan menjadi deras begitu saja. Ah, lukisan kami...

“Maafkan aku, Rea, sungguh. Aku menyesal. Aku tidak akan membunuhmu, aku akan menjagamu, aku janji.”

“Enyahlah.” Telah kuhabiskan kesempatannya. Dirinya yang selalu berdiri tegap percaya diri, kini tertunduk bahkan hendak berlutut penuh dengan pilu di pundaknya. Sampai runtuhlah ia saat ucapanku lurus menikamnya.

“Aku membencimu.” Aku mengernyit nyeri setelah mengucapkannya.

Ia terkesiap. “Tidak, Kau tidak membenciku...” langkahnya patah-patah mendekat.

“Enyahlah.” Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Aku tak sanggup mengambil jantungnya, karena itu kupilih jalan yang ternyata lebih menyakitkan ini.

Begitu awan mendung menyingkir untuk mempersilakan mentari bersinar, ia melebur menjadi satu dengan bayangan dan terbawa angin begitu saja.

***

Aku pulang dengan keadaanku yang basah kuyup. Kubuang lukisan yang meleleh karena hujan itu.

“Rea,” panggil Kak Raia setelah menghangatkanku. “Aku akan bangkit, Rea. Ayo kita perbaiki retakan itu” Kak Raia memeluk hangat diriku. Kusadari pandanganku mulai gelap.

Sejak saat itu, aku tidak keluar rumah jika Kak Raia tidak membawaku. Aku hanya akan duduk di kamarku, melukis kegelapan yang kulihat. Dengan secangkir teh yang selalu tak bisa kuhabiskan, selalu mendingin di samping kanvasku. Kak Raia menjadi lebih banyak bicara dibanding sebelumnya, sedangkan aku lebih banyak mendengarkan daripada biasanya.

Aku tidak suka kegelapan ini, tidak pernah suka. Aku merasa sendirian, meskipun Kak Raia selalu bersamaku. Aku juga sering menghancurkan alat makanku sendiri karena tidak bisa melihatnya, dan tentunya itu melukaiku banyak sekali.

Namun, ada yang aneh akhir-akhir ini. Aku sering merasakan peluk dan elusan yang familier, yang aku yakini berasal darinya. Ia tidak berbicara, hanya memeluk dan mengelusku. Memberikan nyaman kala aku takut akan kesendirianku dalam buta ini. Aku memutuskan untuk diam. Bingung akan perasaan yang seperti berada di ambang jurang tapi aku masih menggenggamnya erat, bahkan meski aku pun mulai tak bisa mengingat wajahnya.

***

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Kisah Kecil Sebuah Peralihan
Indradi Octodhiyanto
Novel
Sekuntum Teratai Untuk Ibu
Dia Rahmawati
Skrip Film
Dapur, Sumur, Kasur
Lukyana Arsa
Skrip Film
Cincin Tunggal (Script Version)
Okia Prawasti
Flash
Badai Yang Terlewat
Anisah Ani06
Cerpen
Hujan Rea
Adinda Haifa Febru
Novel
I WANT TO DIE, BUT I HAVE TO PAY BILLS
Rizky Kurniawan
Novel
Layang-Layang Tak Kunjung Terbang
Hendra Wiguna
Skrip Film
Lamar Hati (Script)
Anisah Ani06
Skrip Film
Tell Me What Your Wish?
Humming-Moon
Cerpen
Bronze
Band Club and Bully
Perdians syah
Novel
Brother In Drizzle
V. Akhiriana Widi
Novel
Jejak Umbu di Tanah Bertuah
Sika Indry
Novel
Bronze
Retak Berhamburan
blank_paper
Novel
Hali
Tia Givanka
Rekomendasi
Cerpen
Hujan Rea
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Seperti Abu Tembakau
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Suara dari Salju Utara
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Penebusan Dosa Kucing
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Sorrow Lady
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Dua Kaki Anak Kelinci
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Effugium Cafe
Adinda Haifa Febru
Cerpen
Bisik-Bisik Kehancuran
Adinda Haifa Febru