Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Hujan di Bulan Juni"
Tak ada yang lebih sunyi dari hujan yang jatuh di bulan Juni.
Bulan yang seharusnya kering, angit yang seharusnya biru tanpa cela, dan udara yang seharusnya membawa wangi bungay ang mekar sepenuh hati, Namun hari itu, semuanya berkhianat. Langit murung, awan kelabu,dan rintik air jatuh perlahan, seolah-olah semesta ikut merasakan luka yang tak terucapkan.
Ayu berdiri di tepi jendela yang sudah mulai keropos oleh waktu.
Di tangannya tergenggam sebuah kertas tua, tipis dan usang, di mana bait-bait puisi yang ia tulis bertahun-tahun silam nyaris terhapus oleh air mata yang tak terhitung jumlahnya, Setiap lekuk huruf di sana, seolah berbisik lirih, membangunkan ingatan yang selama ini ia kubur dalam -dalam.
Hujan menari di luar sana, mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti seorang kekasih yang datang di tengah malam, membawa kabar yang tak diundang.
Dalam diam, Ayu menatap langit yang basah, bibirnya bergerak pelan, hampir tak bersuara:
"Tak seharusnya hujan turun di bulan Juni... tapi ternyata langit pun bisa ingkar janji."
Namanya—Rama—kembali menyeruak dari sela-sela benaknya, seperti kabut tipis yangm erambat pelan, menyelimuti hatinya yang sepi.
Rama, laki-laki yang datang dalam hidupnya dengan tawa yang ringan, mata yang teduh, dan janji-janji yang dulu begitu manis hingga dunia terasa berhenti berputar.
Mereka berdua pernah mempercayai hal-hal sederhana.
Bahwa hujan di bulan Juni adalah anomali.
Bahwa cinta mereka tak akan luntur.
Bahwa perpisahan hanyalah kisah milik orang lain.
Namun nyatanya, waktu membuktikan bahwa segalanya bisa berubah.
Bahwa cinta bisa pudar tanpa alasan.
Bahwa pelukan bisa melepaskan, genggaman bisa terlepas, dan kenangan bisa menjadi bara yang menyakitkan,Ayu menghela napas panjang.
Di sela desau angin dan denting rintik hujan, ia bisa mendengarb ayang-bayang masa lalu memanggil pelan.
Ia melangkah keluar, membiarkan tubuhnya tersentuh hujan tanpa perlindungan, membiarkan dingin menelusup ke sela pori-porinya, seakan ingin memeluk sisa-sisa kenangan yang dulu begitu hangat.
Setiap langkah kakinya adalah perjalanan menuju dirinya sendiri.
Menuju taman kecil di ujung jalan—taman yang dulu menjadi saksi bisu tawa mereka, obrolan ringan, dan pelukan yang diam-diam disimpan dalam hati.
Taman itu tak berubah. Masih ada bangku kayu tua yang rapuh, masih ada pohon flamboyan yang berdiri megah, meski daunnya kini berguguran perlahan. Ayu duduk di bangku itu.
Di bawah rintik hujan yang pelan, iamemejamkan mata.
Wajah Rama kembali hadir di pelupuk matanya—jelas, utuh, dan menyakitkan.
Tawa mereka. Tatapan matanya. Genggaman tangannya. Semuanya masih ada. Di sini, didalam dada yang remuk tapi tetap berdetak.Rama… aku masih di sini," bisiknya pelan, nyaris lebih pelan dari desir angin.
Ia ingat saat Rama berjanji. Bahwa apapun yang terjadi, mereka tak akan membiarkan jarakm emisahkan. Tapi kenyataan tak semudah kata-kata. Kadang, cinta tidak kalah oleh perpisahan,tapi oleh diam. Oleh kelelahan. Oleh luka-luka kecil yang dibiarkan tumbuh hingga menjadi jurang.
Ayu menengadah ke langit. Hujan jatuh di wajahnya, menyatu dengan air mata yang taks anggup ia tahan. Tapi kali ini, ia tidak melawan. Ia membiarkan semuanya mengalir. Karena iatahu: ada luka yang tak akan pernah sembuh. Ada kisah yang memang ditakdirkan tanpa akhir yang bahagia. Dan itu tak apa.
Hujan terus turun, seperti melodi pilu yang tak lelah bergema. Setiap tetesnya adalah puisi yang tak terucap. Setiap basahnya adalah kisah yang tak sempat selesai.
Ayu berbicara dalam hati:
"Aku mencintaimu, Rama, bahkan ketika aku harus melepaskanmu. Aku mencintaimu, bahkan ketika aku harus melanjutkan hidup tanpamu.
Aku mencintaimu, seperti hujan yang jatuh di bulan yang salah—tak seharusnya ada, tapi tetap indah, tetap nyata."
Langit tetap kelabu. Udara tetap dingin. Tapi di sudut hati Ayu, perlahan sesuatu mulai Menghangat.
Bukan karena cinta itu kembali, tapi karena luka itu tak lagi dipendam. Karena iatahu, perpisahan bukan akhir dari segalanya.
Ayu bangkit perlahan. Ia melangkah kembali ke rumah, melewati jalan yang basah, di bawah Langit yang masih menangis pelan.
Namun kali ini langkahnya lebih ringan. Lebih tenang.Ia telah menerima: bahwa tak semua yang indah harus abadi.Bahwa tak semua kisah harus sempurna.
Dan bahwa tak apa jika hujan benar-benar jatuh di bulan Juni.
Karena di dalam hati yang pernah patah, akan selalu ada ruang bagi kenangan untuk hidup,tanpa harus melukai.
Ketika ia menutup pintu dan meninggalkan gerimis di luar, Ayu tersenyum.
Sebuah senyum kecil yang menandai sebuah akhir.
Bukan akhir bagi cinta—tapi akhir bagi penyesalan.