Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Hujan di Bulan Agustus
0
Suka
13
Dibaca

Ditulis 26 Agustus - 30 September 2025

"Sampai kapan kita mau nyelesaiin skripsi kalau mata udah ijo lihat merah-merah kayak gini?" Tiwi, sahabat senasib seperjuangan. Dari prodi yang sama, satu kamar kos, serta bekerja di bidang yang sama. Bukan cuma itu, nasib kami dalam hal skripsi pun sama. Sama-sama tidak selesai-selesainya.

Beberapa teman yang sudah wisuda bilang kalau kami beruntung bisa bekerja serta cukup sejahtera dalam hal keuangan.

Sebenarnya, gaji kami terhitung standar karyawan kontrak. Hanya saja, kami di untungkan dengan lingkungan kerja yang tidak toxic. Mereka benar-benar baik, tidak ada praktik senioritas. Bahkah beberapa di antara mereka sering membawa puluhan roti, cake dari bakery ternama untuk diberikan kepada teman satu kantor. Aku dan Tiwi bahkah sepakat jika mereka adalah jenis orang kaya yang bekerja karena gabut. Selain karena lingkungan kerja yang sehat, kantor juga memberikan bonus jika pendapatan berlebih. Bonusnya bisa berupa uang atau jalan-jalan. Jika mengingat ini, kami betul-betul merasa beruntung terlebih setelah mendengar curhat-an dari beberapa teman yang mengaku sulit mencari kerja. Jika pun ada, bertolak jauh dari apa yang mereka pelajari. Selain itu, gajinya juga main-main. Sejujurnya pekerjaan yang aku dan Tiwi lakoni pun jauh dari program studi kami. Kami menimba ilmu di jurusan Tata Boga namun bekerja sebagai dubber serial kartun di yang ditayangkan di YouTube dan televisi daerah.

Ucapan teman-teman kami, serta lingkungan kerja yang benar-benar menyejahterakan karyawan membuat kami semakin merasa nyaman dengan pekerjaan hingga berleha-leha dalam menyelesaikan skripsi. Apalagi sore ini kami dapat bayaran.

"Asih! laper nih. Makan yuk!"

Aku menoleh. Menatap Tiwi yang mukanya sudah seperti kertas terlipat.

"Hah! Terus ngobrol skripsinya gimana?"

"Sekalian pas makan kan bisa, Neng! Pliss deh."

"Iya deh," ucapku setuju-setuju saja.

Kami jalan sebentar, menyeberang jalan lalu berhenti di warung nasi padang. Sebuah peraturan tak tertulis bahwa warung padang adalah tempat makan-makan setelah gajian.

"Gimana skripsimu, Wi?" Aku memulai usai dua porsi besar nasi padang lengkap dengan daging, sayur gulai, dan sambal khasnya disajikan pelayan di atas meja.

"Aduh, lagi mau makan juga, jangan bahas skripsi deh. Santai dikit napa, Sih!" celetuknya dengan nada malas.

"Gimana gak bahas? Kita udah masuk tahun ke 6 alias menuju semester ke dua belas. Temen-temen kita beberapa udah pada merit. Beberapa juga ngelanjutin S2," ucapku bersungut-sungut sembari menyendok satu sendok penuh nasi padang yang masih mengepul hangat.

Tiwi menghela napas. Dia meletakkan sendoknya, tak jadi mengambil nasi.

"Gimana ya, Sih! Kita tahu sendiri. Kita sama-sama punya dosen killer. Eh ..., maksudnya satu dosen killer yang sama yang sukanya ngasih waktu mendadak bin tiba-tiba ngilang tanpa kabar. Kita juga sering gak bisa karena terikat kontrak kerja.

"Menurutmu kita harus gimana? Aku khawatir kalau gak lulus-lulus. Tahu sendiri kan mamaku udah senewen, tiap malam telepon."

"Iya, Sih. Sampai hapal aku template nasehat mamamu." Tiwi cekikikan lalu melanjutkan, "kayaknya kita harus ngomong sama Kaprodi soal dosen kita yang ruwet. Selain itu, kita juga perlu ngomong sama Mas Gagah untuk melonggarkan jadwal kita."

Aku merenung. Sebenarnya, rencana itu sudah ingin kuutarakan sejak dulu. Sayangnya, karena terlena dengan kenyamanan di dunia kerja, ditambah dosen yang gak pasti jadwalnya. Ditambah lagi ..., entahlah aku bingung mendefinisikan sesungguhnya perasaan apa yang kurasakan sekarang terhadap Mas Gagah.

"Kamu yang bilang ke Mas Gagah?" Aku menggigit bibir lalu melanjutkan makan.

"Bukannya Mas Gagah dekat sama kamu ya, Sih? Masalahnya dia galak banget."

"Deket dari Hongkong," ceplosku, kaget bin tak percaya.

"Ya, maksudnya kayaknya Mas Gagah lebih bisa dengerin kamu dibanding aku."

Aku melihat gurat pesimis dari wajah Tiwi.

"Meskipun cengengesan tapi aku gak seberani itu sih. Secara dia yang pegang posisi kita." Tambahnya lagi. Gurat wajah Tiwi semakin ciut.

"Oke deh. Aku coba ngomong. Tapi kamu wajib bantuin ya kalau kenapa-napa."

Tiwi mengangguk, setuju.

Makan selesai. Kami berboncengan naik motor Tiwi menuju kos tanpa ngobrol sepatah kata pun. Ada dua sosok manusia yang mesti kami hadapi besok. Kepala Program Studi yang terkenal galak dan Mas Gagah yang terkenal keras dan berprinsip.

****

"Kalian telat 40 menit. Kok bisa?" Mas Gagah sedang bersama Mas Jaka dan Mbak Rina. Wajah Mas Gagah menunjukkan ekspresi kecewa, begitu pun Mbak Rina. Terkecuali adalah Mas Jaka, makhluk ter-santuy se Indonesia Raya Merdeka.

"Maaf Mas. Tadi kami ada jadwal bertemu dengan Kepala Prodi," jawabku terus terang, sekenanya karena grogi. Tiwi menunduk, mencengkramkan jari jemarinya.

"Jangan diulangi lagi. Saya tak perlu menjelaskan panjang lebar buntut keterlambatan kalian. Tolong bekerja secara profesional sesuai tanda tangan yang kalian tulis sendiri di kertas kontrak." Mas Gagah menatap Mas Jaka dan Mbak Rina. Dia tak menatap kami yang menunduk karena bersalah. Justru itu, kami sudah biasa dimarahi dengan ditatap dan ditunjuk-tunjuk oleh manajer sebelumnya sebelum Mas Gagah. Tapi Mas Gagah, dia berbeda. Yang ditatap adalah kru yang lain, seolah ingin mengatakan 'Keterlambatan kalian ini berbuntut molornya kepulangan Jaka dan Rina. Bayangkan saja jika mereka punya janji, agenda penting. Jangan egois.'

Suasana hening beberapa saat hingga Mas Jaka berdehem, terdengar agak lebai.

"Oke. Udah kalian pelajari skripnya?"  Mas Jaka mengambil alih. 

"Sudah Mas," jawab kami serempak. 

"Oke. Ambil tempat. Kita mulai." Mas Jaka memberi instruksi.

Aku menatap sekilas Mas Gagah yang kini menuju ruang editor. Disana ada Pak Eko, Mbak Iklimah dan Mas Aldy. Salah satu ruang inti dari pembuatan film kartun ini. Mas Gagah bertugas mengecek semua dari 0 sampai film kartun siap tayang. Dia juga yang bertanggungjawab agar tidak ada keterlambatan tayang. Kontrak dengan TV tidaklah main-main. Aku menggigit bibir, sekali lagi merasa bersalah. 

"Asih! Jangan ngelamun dulu ya, ditunda saat jam istirahat nanti, Oke!" Mas Jaka menasehati dengan gayanya yang santuy. Aku tergagap. Tiwi melirikku, alisnya terangkat.

"Maaf, Mas!" Segera kubuka skrip. Membaca sekilas lagi dan memastikan jika aku sudah hafal. 

"Sekarang kalian lihat video kartunnya sekali lagi. Tiga menit." Mas Jaka memencet tombol dan keluarlah video seekor kucing warna putih dan oranye. Di samping Mas Jaka sudah duduk sedari tadi Mbak Rina yang bertugas sebagai mengatur teknis suara sekalian editor musik pengiring.

"Oke, selesai. One two three, Action!"

Kety kenapa kamu gak sekolah pagi ini? Tiwi memerankan kucing warna putih bernama Michi yang bertanya pada temannya kucing oranye bernama Kety yang mana akulah sebagai pengisi suaranya.

Perutku sakit sekali, Michi! Jawabku sembari memegang perut. Meskipun yang diperlukan hanya suaranya, tapi agar suara itu bernyawa, menjiwai, maka berakting seolah sungguhan adalah kunci.

Sudah ke dokter? Michi bertanya, masih menggendong tas sekolahnya.

Belum. Kata ibu, aku sakit diare. Tadi ibu ngasih aku obat. Namanya tolalit. Jawab Kety sembari menunjukkan gelas yang sudah kosong.

Wahhh!. Keren sekali Mamamu. Tolalit itu kayak gimana? rasanya gimana? Michi penasaran, matanya berbinar-binar.

Bentar ya, aku tanyain Mama.

Kety berjingkrak jingkrak menuju Mamanya yang ada di dapur. 

Mama! tolong buatin tolalit buat temanku.

Mama Kety yang sedang berada di dapur kebingungan dengan maksud ucapan anaknya. 

Tolalit? Ulang Mama Katy dimana suaranya diisi oleh Tiwi.

Iya Mama. Temanku Michi pingin lihat sama nyoba tolalit.

Lihat dimana? Mama Kety masih tak mengerti.

Kan di gelas Ma. Tapi habis tolalitnya! Jawab Kety cemberut. 

Oh. Bukan tolalit, Sayang! Oralit. Itu campuran garam, air dan gula. Fungsinya sebagai obat diare. Jawab Mama Kety lugas diikuti oh panjang oleh Kety dan Michi.

Oh. Kalau aku diare, Mama biasanya ngasih daun jambu sama garam, Tante! Michi menyahut.

Iya. Itu juga bisa sebagai obat alami untuk diare, Michi. Mama Kety memberi acungan jempol pada Michi.

"Cut!" teriak Mas Jaka. 

Kami menarik napas, kembali ke posisi di awal. Mencermati skrip selajutnya. Hingga kembali ke mode action, cut, action, cut sampai jam istirahat pukul 12 siang.

"Ternyata capek juga ya, Sih! padahal cuma ngomong doang," Tiwi menghempaskan dirinya di sofa. Menarik dan menghembuskan napas panjang-panjang. 

"Kira-kira makannya nanti apa ya?" bisiknya kemudian setelah aku juga menghempaskan diri di sofa. 

"Moga aja nasi liwet, nasi uduk, nasi Padang mau banget," aku nyengir pada Tiwi, cekikikan.

Sambil bersandar di sofa, sekilas aku menatap Mas Gagah yang juga menatap ke arahku. Tidak! Tidak mungkin! Aku pasti sedang bermimpi. Aku menoleh ke samping, Tiwi sudah berada di pojok sofa, menatap layar gawainya. Apa benar tadi Mas Gagah menatapku?

"Yuk, Sih! Laper berat!" ajak Tiwi membuyarkan rasa shok yang rasanya teramat kuat. 

"Yuk." Saat berdiri dari sofa, nada dering gawaiku berbunyi. Telepon dari Mama. 

"Kamu duluan deh. Mama nelpon," ucapku pada Tiwi yang langsung dipahami olehnya. Tiwi mengangkat alis, tersenyum lalu pergi ke kantin. 

"Asih! lama banget ngangkat teleponnya." Sudahlah lapar malah dapat telepon dari Mama yang durasinya udah ngalahin durasi nelepon pasangan cinta monyet anak SMP.

"Lagian, Mama teleponnya pas Asih lagi istirahat. Kan lapar, pengen makan!"

"Masih kerja kamu di sana?"

Segera kusumpal mulut meski tak ada gunanya.

"Asih! jawab Mama!"

Aku terdiam. Tak menjawab.

"Sudah Mama bilang berulang kali. Keluar dari sana. Fokus skripsi. Sarjana. Pulang kampung. Bangun desa, bikin usaha, nyiptain lapangan kerja. Kan gitu, Asih?"

Suara Mama terdengar setengah marah setengah harap. Aku mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan agar tenang dalam menjawab. Bukan suara yang keluar malahan air mata meski sedikit.

"Asih! Kuota Mama gak habis kan? kok gak ada suara kamu? Asih? Halo!" Suara Mama dari seberang telepon terdengar panik.

"Gak segampang itu, Ma. Asih kan perlu modal. Perlu belajar banyak lagi," jawabku akhirnya setelah menguasai emosi.

"Belajar apalagi sih, Asih? hampir 6 tahun, Asih. Itu sudah lebih dari cukup. Sekarang tinggal kamu praktekkan dan belajar yang lain sambil jalan. Kalau modal gak usah khawatir. Pokoknya pulang dulu. Eh, maksud Mama lulus dulu. Eh benar juga. Kalau kamu pulang berarti sudah lulus kan ya."

Aku menghela napas panjang sembari menyeka sudut matanya yang basah.

"Asih gak mau kalau Mama ngutang. Lagian, Asih kerja di sini juga karena ngumpulin buat modal pas udah di kampung. Asih juga udah usaha biar cepat lulus. Ya, nasib aja apes dapat dosen killer." Belaku sebisanya.

"Loh. udah tahu punya dosen killer kenapa nyambi kerja, Asih?" Sambar Mama dengan nada kecewa.

Aku terdiam. Dari segi mana pun. Mama benar. Sebenarnya, mama tak memaksaku untuk kerja. Mama siap sedia membiayai dari awal hingga lulus. Hanya saja, aku merasa begitu bersalah saat tahun ke 4 skripsiku belum kunjung usai. Mentok bab 3. Jadi kuputuskan untuk bekerja supaya mengurangi beban Mama. Pada awalnya, Mama memperbolehkan asal tidak menggangu skripsi. Namun 6 bulan terakhir tak ada peningkatan membuat Mama memaksaku untuk tidak lagi bekerja. Namun, karena suatu hal. Aku tak bisa menjalankan perintah Mama alias aku berbohong. Itu disebabkan karena ada satu hal yang amat krusial bagiku.

"Asih! Kurang baik apa Mama sama kamu? Sudahlah, keluar kerja. Ini peringatan terakhir. Fokus skripsi, urusan modal biar Mama pikirin."

Aku terdiam. Tak bisa menjawab.

"Asih! Hallo! Kamu denger kan?"

"Denger kok, Ma. Nanti Asih kabarin lagi."

"Hallah Asih! Asih! Itu artinya kamu gak keluar kerja. Haduh Nak! Setan apa sih yang nemplok ke kamu. Apa jangan-jangan gara-gara teman sekamarmu itu? Siapa namanya? Wati?" oceh Mama panjang lebar sampai merembet ke teman baikku. Membuat suasana hatiku makin kacau.

"Tiwi, Mah!"

"Saran Mamah, ya. Jauhi si Wati itu, Asih. Sejak kamu sekamar sama dia. Hidupmu berantakan. Serba molor, lemot. Coba dulu saat kamu masih sekamar sama Irma!

"Rima Mah!"

"Rima. Iya. Nilaimu bagus. Kamu gak neko-neko. Fokus kuliah. Pulang kampung kamu ngasih tahu resep-resep yang kamu pelajari selama kuliah.

"Tiwi orangnya baik, Ma. Apesnya kami sama-sama dapat dosen killer. Eh maksudnya satu dosen yang sama. Lagian Asih sendiri yang mutusin buat kerja. Ya, pada awalnya kan karena Asih gak pengen ngerepotin Mama plus cari modal buat nanti kalau udah di kampung."

"Nah. Setelah 6 bulan kamu diberi kesempatan Mama bekerja hasilnya skripsimu gak ada progres. Mama minta kamu buat keluar malah bohong sama Mama. Lagian gak usah mikir modal. Harusnya kamu fokus lulus dulu. Gak usah mikir yang lain. Jalani satu-satu Asih!"

"Maaf, Ma!" Mau tak mau omelan Mama tadi membuat sudut mata yang kering menjadi basah kembali.

"Ya sudah, bulan ini juga bilang kamu mau keluar. Oke?"

Aku menggigit bibir. Tak berani bersuara. Tak punya jawaban untuk itu.

"Astaghfirullah. Sebenarnya ada apa sih, Nak? Kenapa kamu getol betul gak mau melepaskan pekerjaan ngisi suara marmut atau tupai atau ...,"

"Kucing Mama"

"Alah apa pun itu. Pokoknya kalau sebulan lagi skripsi gak selesai. Mama yang kesana minta kamu keluar dari kantor itu."

"Sebulan Ma?" pekikku serius.

"Iya sebulan. Mama sudah gak sabar nunggu terlalu lama.

"Asih kan baru mau nginjak bab 4. Satu bulan ya kecepetan, Ma."

"Hallah kamu ini banyak alasan." Terdengar Mama mendengus dari seberang telepon.

Jeda sebentar hingga akhirnya Mama bersuara.

"Dua bulan. Fix no debat," jawab Mama sudah seperti anak zaman sekarang.

"Baik, Ma." Aku mengiyakan meski hati dan pikiran tak sejalan.

"Ya sudah, makan yang banyak. Mama gak mau kamu kurus."

"Baik, Ma."

"Ya sudah. Assalamualaikum Asih anakku sayang."

"Waalaikumsalam Mama sayang."

Aku menutup telepon. Sungguh Mama yang manis, romantis, dan posesif.

"Nih, jangan lupa makan!"

Tiba-tiba Tiwi sudah berada di belakangku sembari membawa makanan dan air mineral. 

"Kenapa kusut kayak gitu, Sih?" 

"Gapapa. Biasalah Mama. Pingin aku cepat lulus."

"Semua Mama di dunia kan memang pingin anaknya cepet lulus, rerus kerja terus nikah sama pria mapan. Punya anak lucu. Aihhh,"

Tiwi menepuk jidatnya sendiri sembari senyum-senyum tak jelas.

"Mama pingin aku fokus menyelesaikan skripsi."

"Ya, bagus dong. Kang memang skripsi itu harus dikerjain dengan fokus." 

Aku mendengus kecewa. Sepertinya Tiwi sedang lapar, membuat jejaring berpikirnya jadi lemot.

Sedang asyik mencomot irisan buah melon, Mas Jaka datang dengan wajah khas semringahnya. 

"Hello Kety, Hello Michi. Sebelum pulang kerja kalian dipanggil ke Kantor Mas Gagah."

Aku dan Tiwi saling berpandangan sembari mengangkat alis. Mas Jaka yang menatap kami juga ikut-ikutan mengangkat alisnya.

"Baik Mas. Makasih infonya," jawab kami hampir serempak. 

"Oke, pesan selesai. Aku mau ngelanjutin tugas lagi," Mas Jaka membuat gerakan melambaikan tangan namun matanya jauh ke negeri seberang.

"Tugas apaan? lagian masih jam istirahat juga." 

"Kamu gak tahu, Sih? beneran kudet deh. Mas Jaka jadian sama Mbak Iklimah. Cinlok. Gitu deh."

"Eh, serius? Kok kayak terkesan tiba-tiba?Gak ada angin gak ada hujan." 

"Ih, Asih! Gak usah gumun. Banyak hal yang tak terduga di sekitar kita. Hal kayak gitu masih kecil dibanding perpolitikan di Indonesia yang menurutku main bowling banget."

"Apa? Main bowling?"

"Eh. Mind blowing. Hehe."

"Hahahaha." Kami tertawa bersamaan.

****

"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu ruangan Mas Gagah dengan hati-hati.

"Waalaikumsalam. Masuk!" Aku dan Tiwi berpandangan. Mengambil napas dalam-dalam lalu masuk ke ruangan. 

"Oh ya. Asih, Tiwi. Silahkan duduk." Mas Gagah melihat kami sekilas lalu menyuruh kami duduk di kursi depan mejanya.

"Oh ya. Seperti yang kita tahu, bulan ini adalah bulan terakhir kontrak kalian. Nah, setelah mengadakan rapat dengan HRD dan rekan-rekan lain. Melihat kinerja dan atitude kalian selama kontrak, kami sepakat untuk menarik kalian menjadi karyawan tetap. Bagaimana?" 

Aku terbelalak, mulutku setengah terbuka lalu menatap Tiwi yang juga melalukan hal sama. Tiwi mengedip-ngedipkan matanya. Aku paham, dia menyuruhku untuk berbicara soal rencana kita.

"Maaf, kenapa kalian malah kelihatan bingung?" Mas Gagah menatap kami dengan raut wajah yang masygul.

"Barangkali ada yang mau dibicarakan. Silahkan. Tentu saja, hal ini tidak bersifat memaksa. Silahkan dipertimbangkan."

"Anu, Mas Gagah. Itu ...," entah kenapa lidahku terasa tercekat. Segala kalimat yang sejak tadi kupersiapkan kini berubah menjadi onggokan CO2. Bagaimana ini?

"Anu, Mas. Sebenarnya kami ingin minta kelonggaran jadwal bekerja." Akhirnya Tiwi yang mengambil alih karena keparahanku dalam hal menghadapi Mas Gagah.

"Bisa dijelaskan lebih detail lagi?" Mas Gagah menatapku dengan dahi berkerut. Bukankah yang menjelaskan Tiwi, tapi kenapa malah Mas Gagah menatapku? Aku merasa bingung, aneh, sekaligus senang dalam satu waktu. Haduh. Perasaan macam apa ini?

"Barangkali waktu kerjanya bisa dirubah ke Sabtu dan Minggu Mas. Full day pun tak masalah. Begadang pun tak masalah. Supaya hari Senin sampai Jumat, kami bisa mengejar-ngejar dosen kami yang super sibuk, Mas."

Tiwi menjelaskan dengan apa adanya. Bisa terlihat dari wajahnya menyimpan grogi dan takut. Tapi itu lebih baik daripada diriku yang hanya berdiam diri, tercekat tak tahu harus bilang apa.

"Apa kalian tahu konsekuensi dari mengubah jadwal sesuai yang kalian inginkan?" Mas Gagah menatap kami bergantian.

"Iya, Mas. Mas Jaka dan Mbak Rina ...," ucapku kemudian setelah beberapa menit tak bisa bicara. 

"Ya. Pekerjaan kalian melibatkan orang lain. Tapi, saya paham alasannya. Begini saja. Pastikan saja jadwal dosenmu. Jadwal pastinya selama Senin sampai Jumat. Setelah itu berikan pada saya. Kami akan rapat untuk mencari solusi untuk kalian!"

"Tapi jadwal dosen kami benar-benar sering tidak terduga, Mas karena banyak acara dan tak mau diganggu," komentar Tiwi menggebu-gebu.

"Berapa kali sudah kau coba menemui dosenmu, Tiwi? Sudah kau coba mencari solusinya?"

Tiwi tergagap.

"Tadi pagi kami sudah menemui Kaprodi, Mas. Mencari solusi soal permasalahan kami." Jawab Tiwi segera usai menatap gelagat marah yang seolah akan meledak.

"Kalau kau benar-benar berusaha, Tiwi. Harusnya sudah dari dulu kamu melapor ke kepala dosen prodimu. Bukan cuma itu. Kamu mesti belajar untuk profesional. Lagipula inilah resiko atas apa yang kamu pilih. Tak usah menyalahkan orang lain. Salahkan dirimu sendiri."

"B ... baik. Maaf."

Tiwi terlihat menunduk. Dan aku bisa melihat kedua tangannya mencengkram erat celana bahan yang menempel di pahanya. 

"Baik. Silahkan pulang. Hati-hati di jalan." 

Ucap Mas Gagah setelah tak ada obrolan lagi di antara kami. Setelah mengucap salam aku dan Tiwi melangkah ke luar kantor.

"Maaf, Tiwi. Aku gak bisa diandalkan."

Sungguh, betapa bodoh diriku yang tak bisa membela sahabatku sendiri. Satu kata pun tak terucap.

"Ah, santai aja, Sih." Jawabnya dengan nada yang dinormal-normalkan. Aku mengerti, Tiwi sedang sedih.

Dan selama perjalanan pulang, tak ada pembicaraan apa pun di antara kami. Ingin kubilang padanya untuk sabar, tapi aku ingat. Aku paling benci saat orang sok menasehati sabar dikala aku sedang sedih dan kecewa.

Ingin juga kuberkata untuk gak usah dipikirkan perkatan Mas Gagah. Tapi jelas, itu tidak mungkin. Aku saja masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mas Gagah yang agak menohok itu. Dan karena bingung kuadrat, akhirnya kuputuskan merogoh celana. Mengambil uang beberapa perak untuk pengamen yang beberapa kali mangkal dekat parkiran.

Sebagai sahabat yang baik, tidak mungkin kupasrahkan dirinya untuk duduk di depan kemudi motor. Kuulurkan tangan, Tiwi merogoh celananya mengambil kunci motor matic dengan gantungan plat besi bekas operasi patah tulang. Segera saja dia membonceng dan motor Tiwi melaju pelan mencari jalan pulang minim polusi.

Di saat-saat seperti ini, barangkali Tiwi ingin menghirup udara lebih segar. Menatap pemandangan kota yang lebih asri dan indah. Meski faktanya, tempat dimana biasanya kami mencari udara sejuk kini juga sama gersangnya. Hei, ini Agustus Sister!

****

Singkat cerita, kami mendapat jadwal pasti dari dosen kami. Setelah dosen kami mendapat teguran dari Kepala Prodi, beliau lebih jadi memilah-milah undangan mana yang bisa dihadiri atau tidak. Kami juga beruntung karena ngobrol dengan adik tingkat yang juga sama menunggunya. Meskipun telinga kami agak capek mendengar curahan hatinya yang gak kelar-kelar, tapi bonusnya dia memberi jadwal lengkap dosen killer kami bahkan jadwal ke tempat pijat dan spanya dosen kami pun dia hapal.

Alhasil. Rangkuman jadwal selesai. Kami membaca dari atas ke bawah lalu kembali ke atas lagi dan ke bawah lagi.

"Semua jadwal dosen kita itu ...," Ucapku sembari membelalakkan mata menatap lagi atas bawah barangkali ada yang terlewat.

"Bentrok sama kerjaan," lanjut Tiwi mendesah. Dia manggut-manggut, tak mau membaca lagi. Sudah cukup. Intinya Mas Gagah harus segera rapat.

Paginya, kami bekerja seperti biasa dan sebelum kami pulang, kami berikan jadwal bu dosen kami pada Mas Gagah. Dahinya mengernyit, matanya menyapu atas ke bawah lalu kembali ke atas dan bawah lagi seolah jangan-jangan dia salah membaca. Alhasil, dia letakkan satu kertas berisi jadwal itu dengan mendesah kasar. Aku dan Tiwi saling menatap. 

"Akan kukabari lagi. Kami akan segera rapat."

Begitu ucapnya sembari mempersilahkan kami untuk keluar ruangan.

Tiwi keluar dengan langkah gontai. Sejak mendapat ucapan bernada galak dari Mas Gagah, Tiwi sering merenung. 

"Nanti mampir yuk ke kedai kopi deket kampus." Ajakku pada Tiwi.

"Eh, kenapa, Sih! Kamu lagi ada masalah?" Tanyanya dengan muka pilon.

"Bukan aku. Tapi kamu. Sejak diomelin Mas Gagah, kamu murung terus." Aku menatapnya dengan iba. Jika sahabatku sedih, aku juga merasa susah.

"Lebih tepatnya berefleksi sih, Sih! Ketidakprofesionalanku membuatku bingung menapaki masa depan. Membuatmu mengikuti jalanku yang berbuntut skripsimu gak selesai-selesai, padahal masa depan cerah menantimu segera. Dan aku ..., masih dalam masa mencari." Jawabnya beberapa saat setelah dia menatap pohon cemara depan kantor beberapa lama.

Aku terdiam. Tercekat. Aku kira, dia marah oleh kegalakan Mas Gagah. Aku kira, dia marah karena nada tinggi yang terlontar dari Mas Gagah. Aku kira, dia marah oleh kalimat menohok dari Mas Gagah. Ternyata ...

"Kita harus semangat, Sih. Semangat lulus." Teriaknya yang tiba-tiba membuatku spontan berteriak, tergagap lalu malu sendiri karena pastilah orang-orang akan menganggap kami aneh. 

"Jangan tiba-tiba teriak dong, Wi.'' Aku bersungut-sungut.

"Ya Maaf. Haha." Tiwi tertawa.

"Plong ya?" komentarku menatap gurat wajahnya yang bisa tersenyum lagi.

"Lumayan, Sih."

"Makanya apa-apa jangan dipendem."

"Serius nih apa-apa jangan dipendem?"

"Eh. maksudnya?" Aku tak paham dengan maksud ucapan Tiwi barusan.

"Kayaknya Mas Gagah suka sama kamu deh."

"Eh. Fitnah. Mana ada?"

"Iya, Sih. Dia suka lihat ke arah kamu. Kata orang-orang itu tanda-tanda ...,"

"Ada puluhan cewek yang dia tatap kali, Wi?" 

"Tapi berbeda. Percaya deh. Aku juga pernah pacaran dulu. Ya, gitu deh tanda-tanda orang naksir."

"Eh, kapan pacarannya?"

"Aduh. Zaman masih ingusan. Kalau diingat-ingat malu ih." Pipi Tiwi terlihat merona karena malu.

"Terus kenapa gak pacaran lagi? Anak-anak kuliah kan kece-kece."

"Gak deh. Belum nemu yang cocok."

"Kamu gimana?" Giliran Tiwi yang bertanya.

"Gak boleh."

"Sama mamamu?"

"Gitu deh."

"Kalau dibolehin, ada yang dipacarin?"

"Banyak."

"Aduh. Asih! Asih! udah bener deh gak dibolehin mamamu. Bisa jadi buaya cewek kamu!" 

"Kayaknya sih gitu."

Hahaha kami tertawa bersamaan. 

Apa aku pernah jatuh cinta?

Tentu saja. Normal bukan?

Sejak SMP aku mengenal yang namanya tertarik dengan lawan jenis. Alasannya macam-macam. Ada yang karena ganteng, karena dapat rangking pelajar, karena macho dan jago olahraga. Rata-rata tipe cowok yang digandrungi banyak cewek, aku pun ikut nimbrung suka. Dan ajaibnya, semua cowok yang kusukai itu juga merasakan hal yang sama denganku. Ketiga-tiganya pernah nembak ala-ala anak SMP dulu. Kalau diingat-ingat lucu juga sih. Karena pacaran itu BIG NO dari Mama. Terang aku menolak mereka, alhasil mereka malah tambah ngejar-ngejar. Jadilah aku ikut-ikutan tenar. Seluruh sekolah semua kenal. Hal itu pun terjadi saat aku naik ke SMA. SMA luar daerah supaya cari suasana baru. Saat SMA, tipe cowok yang kusukai berubah. Aku suka cowok agak nakal, usil, dan suka bolos.

Bagiku, cowok yang agak petakilan dan membangkang aturan punya daya tarik yang membuat relung hatiku meremang. Dan benar saja, cinta tak bertepuk sebelah tangan. Bahkan secara ugal-ugalan mereka menyatakan cinta. Jika diingat-ingat lucu juga. Seperti waktu di SMP, aku tolak juga mereka. Aku lebih takut omelan mamaku dibanding pacaran sama cowok-cowok itu. Dan selanjutnya. Aku kuliah. Saat kuliah banyak jenis cowok bertebaran. Banyak yang ganteng banget, yang pintar banget, yang soleh banget, segala yang banget-banget terkumpul saat di bangku kuliah.

Anehnya, aku tak lagi mudah jatuh cinta seperti waktu SMP dan SMA. Waktuku terkuras untuk mengerjakan tugas, proyek, praktek Tata Boga yang luar biasa sibuknya. Bersama Tiwi, kami menyetrika jalan saban hari. Mencari bahan untuk praktek dan mencari wifi untuk meng-upload video estetik. Segala tugas dari dosen wajib di-upload ke semua sosial media. Bagus kalau banyak like apalagi subscribe. Bisa jadi konten kreator jika sudah lulus nanti. Punyaku bisa dikatakan cukup parah. Like dan subscribe hanya dari teman dekat dan anak-anak kos. Punya Tiwi lebih parah lagi. Hanya ada 5 subscriber dan 5 like. Dan dari orang-orang yang sama. Aku, Ria (teman rombel), Pak Burhan (Satpam gerbang kampus) Bu Neneng (penjaga kantin kampus), Rais (penghuni masjid kampus). Anak-anak kos bilang kalau mau like dan subscribe banyak wajib nampilin wajah. Tapi kami, gak pede di depan kamera.

Kalau yang mendekat? cukup lumayan banyak. Dari teman serombel. Seangkatan beda prodi satu fakultas. Ada yang lain fakultas karena dipertemukan oleh organisasi. Dan pacaran bukan hal aneh lagi di kalangan kampus. Cukup banyak yang pacaran di rombel kami. Hanya beberapa yang menyisakan kaum jomlo karena beberapa faktor. Beberapa kali Tiwi membicarakan cowok yang sepertinya menarik di mata dia. Hanya saja, satu dua hari tak lagi terdengar lagi soal cowok itu. Tiap kali kubertanya selalu dijawab dengan canda. Okelah, ku tak mau terlalu ikut campur tanpa diminta. Eh, kok sampai mana-mana ya. Kembali ke waktu sekarang. Semoga ada hasil baik setelah Mas Gagah melakukan rapat. Bagaimana pun. Yang penting lulus dulu. Biar Mama gak senewen bin ngomel-ngomel.

****

Tiga hari yang lalu kami diberitahu Mas Gagah jika jadwal kami beralih ke Senin sampai Jumat malam hari. Full day. Sekonyong-konyong kami berterima kasih sembari menahan haru. Sebelum pulang tak lupa kami meminta maaf sebesar-besarnya pada Mas Jaka dan Mbak Rina yang otomatis kami repotkan dengan sangat di hari liburnya. 

"Aku sama Jaka dipindah di ruang editor." Jawab Mbak Rina membuat jantung kami mencelos. 

"Terus, siapa yang gantiin Mbak Rina dan Mas Jaka?"

Kedua makhluk itu mengangkat bahu. Membuat kami makin penasaran. Dan beberapa menit lagi rasa penasaran ini pasti akan sirna. Kami akan segera mengetahui siapa yang rela bekerja ekstra time. Atau jangan-jangan Mas Gagah mencari orang dari luar?

Dari depan sudah terlihat motor Mas Gagah di parkiran dan motor Pak Satpam yang sudah kuhapal. 

"Mas Gagah di kantor, Sih?" tanya Tiwi yang membuatku juga heran.

"Iya. Ngapain kira-kira?" 

"Gak tahu. Tapi motornya cuma ada ini." Tiwi menunjuk motor Mas Gagah, motor Satpam dan motor kami. Dia juga melirik Pak Satpam yang berjaga di posko seolah ingin berkata

Apa Pak Satpam yang akan jadi partner kerja kita?"

Aku mengangkat bahu. Sama bingungnya dengan dia.

Kami mendorong pintu kantor. Hanya ada kelengangan. Meja-meja tampak rapi dengan komputer yang tertutup oleh kain tenun lurik hitam.

"Asih, Tiwi. Ayo segera. Sudah kalian pelajari naskahnya?" 

Sekonyong-konyong aku terperanjat karena kehadiran Mas Gagah yang tiba-tiba. Dan yang paling membuatku tak kunjung kembali ke dunia nyata adalah tampilan Mas Gagah yang teramat berbeda. Memakai kaos biasa dan celana jins panjang. Membuatnya tampak lebih muda dan segar.

"Sudah Mas." Jawab Tiwi mantap kemudian menatapku dengan muka keheranan.

Segera saja kami masuk dapur rekaman. Mas Gagah dengan gesit memencet tombol menampakan video yang masih tak bersuara. Kami diberi waktu 3 menit untuk mempelajari. 

"Sudah selesai?" 

"Sudah Mas." Jawab kami serempak.

"Oke, satu ..., dua ..., tiga ..., action!

"Kity kamu lagi ngapain? Ayo kita nonton festival layang-layang!" teriak Michi dari luar rumah bersama dengan Rebby si kelinci dan Ducky si bebek.

"Iya... , iya ..., aku dari toilet nih. Jangan ditinggal loh!" Jawab Kity dari dari balik pintu rumah.

Semenit kemudian, Kity membuka pintu. Wajahnya bersungut-sungut dan bajunya sebagian basah.

"Kenapa bajumu basah?" tanya Rebby yang suaranya diisi oleh Tiwi.

"Aku tadi cepet-cepet minum. Akhirnya malah kesedak terus nyembur," jawab Kity cemberut.

"Ha ha ha ha." Michi, Rebby dan Ducky tertawa bersamaan dan tentu saja itu diperankan oleh aku dan Tiwi yang nanti akan diedit seolah suaranya berempat dan bebarengan.

"Lain kali hati-hati ya Kity," ucap Ducky menasehati yang mana suaranya diisi olehku.

"Aku pasti hati-hati kalau kalian gak bikin buru-buru." Kity bersungut-sungut. Bibirnya masih manyun.

"Maaf ya Kity. Yuk kita segera ke festival layang-layang," ajak Michi yang diikuti jawaban oke serentak.

Sesampainya di lapangan. Festival layang-layang sudah dimulai. Di langit yang cerah dan berangin. Ratusan layang-layang besar terlihat menari-nari.

"Halo ...! namaku Rhino. Aku layang-layang dari Negeri Barat. Senang sekali bertemu kalian!" seloroh layang-layang besar berbentuk belah ketupat dengan mata dan mulut menonjol. Warnanya hijau cemerlang dengan ekor keemasan.

"Halo Rinooo!" Teriak Kity, Michi, Rebby dan Ducky secara bersamaan.

"Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan namaku Owel. Aku si layang-layang bersayap. Sebenarnya aku ngantuk sekali. Tapi demi kalian aku akan membuang rasa kantukku!" Teriak layang-layang yang berwajah mirip dengan burung hantu. Suaranya menggelegar lalu meredup kembali. Menciptakan sensasi lucu hingga para penonton tertawa geli.

Banyak layang-layang berkenalan lalu terbang, meliuk, berakrobat membuat para penonton takjub.

"Cut! Bagus!" Mas Gagah menatap kami dengan senyum mengembang.

"Kalian benar-benar berbakat." Pujinya membuat hatiku meremang.

Tidak seperti Mas Jaka yang santuy dan diselingi ngobrol-ngobrol. Kami langsung fokus membaca skrip lagi. Menghapal dan mencoba. Aku melihat sekilas Mas Gagah yang senyum-senyum sendiri menatap layar gawainya. Apa sebenarnya yang sedang dia baca? Apa Mas Gagah sedang chatting-an dengan pacarnya? Pacar? oh tidak!

Dan untuk selanjutnya, scene Michi, Kety, Rebby dan Ducky membeli es krim dan martabak manis. Michi dan kawan-kawan juga membeli hasil panen untuk persiapan menghadapi musim dingin hingga berkenalan dengan layangan bernama Joren yang berasal dari negeri teramat jauh.

***

Kabar Mas Gagah yang rela lembur sampai malam demi kami santer terdengar sampai ke penjuru setiap insan yang dianugerahi telinga sehat. Bahkan Pak Satpam yang mohon maaf kurang begitu peka untuk menangkap suara ikut merespon. Dan di saat respon satu orang bertemu dengan respon yang lain, duarr !!! terjadilah sebuah fitnah yang membuatku melongo. 

Kalian cocok, kok. Gagah udah ketemu pawangnya.

Begitu vn dari Mas Jaka yang dikirim ke pesan pribadi. Mas Jaka lebih baik. Ada pun teman lain, memberondong ucapan selamat di grup wa. Ucapan selamat atas jadian? hah!

"Eh. Asih! Kalian jadian? serius? selamat ya!" Tiwi yang tadi kelihatan ayem-ayem aja kini berjingkat. Menjabat tanganku dan menghentakkannya berulang kali dengan muka girang. 

"Fitnah itu!" Teriakku segera supaya dia menghentikan seremonialnya.

"Fitnah yang akan jadi nyata dong. Selamat habis wisuda terus merit." Ucapnya dengan mengacungkan jempol 2.

"Eh. Ngawur itu. Ah!" Aku melepaskan tangan yang jadi korban kipasan Tiwi. Mulutku berbicara tak suka tapi kenapa hatiku berbeda.

Untungnya aku tak lagi bekerja di siang hari. Sehingga tak perlu menghadapi kehebohan bintut ramainya fitnah itu di grup WA.

Aku dan Mas Gagah sama-sama tak berkomentar di Grup yang mana malah membuat banyak anggota grup yang semakin menggoreng gosip hingga 3 hari ke depan. Tepat hari ke empat grup sudah agak mereda. Imbas dari gosip yang beredar adalah perasaan canggung tiap kali bertemu Mas Gagah. Apalagi Tiwi semakin terus terang menggodaku tiap kami bertemu.

Pagi ini, aku dan Tiwi sudah berada di depan kantor dosen kami. Menunggu bersama mahasiswa yang lain. Tiwi terlihat serius membolak-balik ketikan skripsi bab 4. Mengecek berulang kali mengingat dosen kami bukan hanya teliti secara konteks tapi juga teksnya. EYD harus sempurna. Aku memutuskan untuk membuka juga kertas ketikan bab 4 awal hingga suara getaran di saku membuatku penasaran. Kubuka gawai dan terbelalak karena suatu pesan dari seseorang yang baru. Aku, sudah lama menyimpan nomornya tanpa tahu kapan suatu saat waktu itu muncul. Dan sekarang adalah waktunya.

Maaf atas kebisingan grup itu. Bikin kamu gak nyaman. Sabtu atau Minggu, kamu free?

Dadaku mencelos. Tanpa sadar aku menepuk paha Tiwi hingga dia memekik keras.

"Apa sih, Sih!" keluh Tiwi sembari mengusap pahanya.

"Ma ...aff. Gak papa." Aku tergagap. Tiwi melirikku sekilas lalu segera menyambar gawaiku.

Dia segera menatap layar gawai yang masih berada di tampilan chat WA.

"Oh jadi ini?" Goda Tiwi dengan heboh. membuat beberapa mahasiswa menatap kami dengan tidak nyaman karena kegaduhan yang kami buat.

"Udah, ah. Sini!" Segera secepat kilat kujambret gawaiku yang berada di tangannya dan betapa kagetnya, Tiwi sudah menjawab pesan Mas Gagah.

Baik Mas. Hari Minggu ya. Diikuti emot smile.

Haduh, betapa malunya.

****

Hari Minggu, pukul 13.00 di Kedai Semesta.

Sebuah kedai kopi dan makanan ringan favoritku dan Tiwi jika kami sedang ingin melepas penat.

Jam 1 siang tepat, Mas Gagah sudah duduk di depanku. Dia memesan kopi susu gula aren setelah beberapa detik membaca menu.

"Sejujurnya..Aku tak terlalu paham kopi," kekehnya membuat lesung pipitnya terlihat begitu jelas.

"Sama, Mas. Aku dan Tiwi gak begitu paham kopi. Kami kesini lebih karena suasananya," jawabku sembari melirik sekilas Mas Gagah yang matanya masih menatap buku menu.

"Memang nyaman, sih." Mas Gagah menatap sekeliling, lalu mengangguk setuju.

"Eh, Gimana kabar skripsimu?"

"Alhamdulillah berprogres Mas. Semoga Desember bisa wisuda. Kalau gak Desember, Februari tahun depan pun gak masalah."

"Kamu jurusan apa? Tata boga kan?"

"Iya Mas." 

"Temanmu itu juga sama jurusannya?"

"Tiwi Mas?"

"Iya."

"Sama Mas."

"Habis wisuda ngapain?"

"Mama pingin aku usaha di desa Mas."

"Sudah ada rencana mau bisnis apa?

"Kalau di desaku ada potensi untuk buka katering Mas."

"Bagus, Asih. Niat yang mulia. Semoga bisa mengurangi angka pengangguran. Yah, minimal diri sendiri gak nganggur." kekehnya.

"Iya Mas. Malu jadi beban orang tua. Beban negara." Kekehku kemudian

Dari jauh, Mas Leo. Pemilik, barista, sekaligus pelayan Kedai Semesta datang ke meja kami.

"Ini pesanan kopi gula aren dan ini request loe, 70 persen arabica 30 persen robusta. 93 derajat Celcius." Mas Leo meletakkan satu nampan berisi satu cup es gula aren dan satu cangkir kopi yang mengepul hangat.

"Pacar loe?" tanya Mas Leo berbisik.

Segera kumenggeleng. Mas Gagah menatap kami dengan setengah bertanya.

"Selamat menikmati," pamit Mas Leo karena dua pengunjung baru datang. Untung saja!

"Kamu merendah soal kopi, ya?" ujar Mas Gagah diikuti meneguk es kopi gula arennya.

"Enggak banyak sih, Mas. Itu pun karena Mas Leo ngasih tahu beberapa ilmunya secara cuma-cuma."

Aku menatap Mas Gagah yang tersenyum simpul dan mengangguk pelan.

"Anu Mas. Ngomong-ngomong dalam rangka apa nih ngajak ketemuan?" tanyaku setelah jeda beberapa saat.

"Oh ya. Wah, langsung to the point nih?" ujarnya sembari terkekeh.

"Habis bingung mau bahas apa." 

Andaikan lelaki yang di depanku ini Mas Leo. Mungkin bisa beda cerita. Ngobrol ngalur ngidul ngalir saja. 

"Padahal, sedikit penasaran sama kopi," kekehnya.

"Penasaran kenapa Mas?"

"Kenapa 93 derajat?"

"Dulu Mas Leo dan aku sering uji coba, Mas. Mengesktraksi kopi arabica dan robusta di suhu 90 hingga 96 derajat celcius. Dan di suhu 93 derajatlah menurutku rasanya pas. Rasa manis, pahit dan asam dari kopi terasa begitu nikmat."

Mas Gagah mengangguk, ber-oh panjang.

"Kenapa gak 100 derajat Celcius?" tanyanya kemudian.

"Kalau 100 nanti hilang mas citra rasanya. Yang ada pahit banget dan hilang aromanya, Mas" kekehku.

Mas Gagah kembali ber-oh panjang.

"Eh, diminum kopinya, Asih! Mumpung masih panas!"

"Eh, iya Mas." Aku mengambil cangkir dan menyeruput kopi yang masih panas. Betapa nikmat paduan manis, pahit, asam khas arabica dan robusta. Mataku terpejam. Rasa kopi yang begitu kaya memanjakan lidah. Otakku serasa dibanjiri dopamin.

"Ngomong-ngomong, kamu terganggu gak dengan gosip di grup WA?" Mataku terbangun, lebih tepatnya kaget dengan pertanyaan Mas Gagah yang melenceng jauh dari dunia per kopi an.

"Eh. gak juga sih Mas. Lagian itu kan gosip. Fitnah. Dibuat cuek aja. Lagian, Mas Gagah kan di kantor. Pastinya sudah meluruskan soal gosip itu."

"Ya, terima kasih. Kamu bijak sekali. Memang sudah saya luruskan."

"Jadi, itu Mas. Tujuan utamanya?" Aku menatap Mas Gagah dengan penasaran. Rasanya, mana mungkin hanya soal itu Mas Gagah mengajakku bicara berdua.

"Eh. Salah satunya," ucapnya sedikit tergagap.

"Terus?" kejarku tak sabar.

"Aku kira, kamu orang yang tepat untuk menjembatani ini."

"Eh Apa Mas?"

Menjembatani? soal apa? apa kira-kira hal yang Mas Gagah perlukan hingga akulah yang mesti jadi jembatannya?

Hening beberapa saat. Aku bisa melihat gurat tegang pada wajah Mas Gagah. Pun, membuatku sedikit tegang juga pada akhirnya.

Dari luar. Angin-angin mendesau panjang. Menciptakan suasana sejuk yang langka. Aku melihat beberapa pengunjung juga sama berminatnya menatap ke arah luar sembari sesekali memejamkan mata menikmati embusan angin sejuk di bulan kemarau ini. Pun, tak terasa aku ikut memejamkan mata, menghirup dalam udara sejuk bak harta karun di cuaca yang panas. Kuhirup lagi dalam-dalam oksigen yang berharga ini hingga ...

"Aku menyukai Tiwi. Dan dia ...,"

Segera mataku terbangun. Apa tadi aku tidak salah dengar? di depanku sekarang. Mas Gagah yang biasanya cool, kalem, dan gagah seperti namanya menunjukkan sipu di pipi yang seumur-umur baru kulihat sekarang. Tiwi? Apa benar Tiwi?

"Aku kebingungan mengungkapkan perasaanku. Semua sikap dingin, cuek, dan marahku padanya semata-mata karena untuk menutupi perasaanku yang tak terbendung padanya. Mungkin agak berlebihan, tapi memang faktanya. Aku jadi salah tingkah tiap harus bicara dengannya. Aku kerap meliriknya lalu segera kubuang ke arah yang lain tatkala dia bergerak. Itu kenapa, kadang-kadang kita sering berpas-pasan saat menatap." Mas Gagah menutup kalimatnya dengan senyum dan perasaan canggung layaknya anak muda yang sedang berterus terang soal perasaanya.

Aku ..., sampai mana tadi pembahasannya? Jangan sampai kentara, Asih! Tolong bersikap sebiasa mungkin.

"Tapi. Mas Gagah kan bakal sering ketemu Tiwi. Saya malah gak enak kalau mau menjembatani." Jawabku pada akhirnya, meski sedikit bergetar.

"Saya mau dipindah tugaskan, Asih," ujar Mas Gagah.

"Besok saya sudah akan pamit. Besok malam, sudah ada kru yang siap menggantikan tugas saya," tambahnya kemudian.

"Tapi, kenapa Mas Gagah tidak menggunakan waktu ini untuk bertemu Tiwi?" tanyaku merasa masygul. Kenapa malah bertemu denganku? membuatku merasa menelan harapan yang ternyata hanya dalam angan.

" Tolong berikan surat ini padanya, hal yang kamu tanyakan barusan sudah saya jawab di surat itu." Mas Gagah memberikan amplop gemuk. Otakku langsung mengira-ngira, berapa ribu kalimat yang terwakilkan dari hatinya menjadi surat gemuk yang amat spesial ini?

"Baik, Mas." Aku menerimanya dengan khidmat. Membayangkan, andai saja. Surat itu ditujukan padaku.

Tak ada obrolan lagi setelah ini. Aku bisa melihat wajah semringah dan kepuasan sendiri pada gurat wajah Mas Gagah. Setelah itu, hanya ada obrolan kecil, basa-basi. Tak penting. Aku hanya merespon sebisa dan sesingkat mungkin hingga akhirnya Mas Gagah pamit dengan alasan ada kerjaan lain.

Aku menatap punggung Mas Gagah yang lambat laun tak nampak lalu berganti pada amplop besar yang isinya nampak tebal. Ada rasa iri menyusup begitu halus. Andai saja, surat ini ditujukan padaku. Andai saja, semua senyum itu, pipi merona itu, dan ekspresi canggung itu adalah untukku seorang. Andai saja.

Sejak SMP, cintaku tak pernah bertepuk sebelah tangan. Mereka selalu menyambut perasanku meski tak pernah kuungkapkan sebelumnya. Rasanya dunia begitu kecil, mudah untuk ditaklukkan. Kini aku mengerti. Seperti ini rasanya cinta tak berbalas.

Udara di luar semakin kencang. Aku menatap jalan di luar dari kursi yang kududuki. Menatap sekeliling hingga pandanganku bertemu dengan Mas Leo.

"Are you Okey?" Mas Leo bertanya tanpa suara. Hanya membuka mulut dengan jelas dan menggerakkan tangannya sebagai isyarat. Maklum, dia berada di tempat barista. Agak jauh dari tempatku duduk.

"I am Oke!" Jawabku dengan cara yang sama. Kami sama-sama tersenyum.

Udara di luar semakin dingin dan kini rintik-rintik hujan jatuh. Sebuah hujan yang teramat langka di bulan yang terkenal dengan cuaca panas dan menyengat.

Aku memutuskan keluar dari Kafe Semesta menuju perpustakaan outdor milik fakultas bahasa. Di sana beberapa orang terlihat bercengkrama sembari beberapa kali menengadahkan telapak tangan mereka ke atas. Hujan di bulan Agustus, begitu spesial. Dengan agak basah kuyup aku menuju ke bangku taman. Pura-pura mengambil buku dan duduk di bangku pojok, sendirian.

Tanganku membuka-buka buku, tapi hatiku begitu terpaku pada sosok Mas Gagah, Tiwi, dan sebuah surat yang sepertinya teramat spesial dan istimewa. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi berpose ria dengan background hujan, lalu membagikan momen mereka ke media sosial. Aku mendengar salah satu di antara mereka berceloteh, mengusulkan membuat hastag #hujandibulanagustus. Menarik, sepertinya memang menarik. Namun, kebahagiaan itu menguap tatkala jaringan sinyal meredup dan hilang. Suara dengusan dimana-mana. Dan pada akhirnya, mereka ngobrol sembari berkali-kali mengecek gawai mereka, barangkali sinyal internet sudah pulih kembali. Hujan! Bagaimana perasaanmu? kau layaknya wanita cantik yang hanya ingin dipamerkan di depan semua orang lalu dibuang tatkala hanya berdua. Aneh ya!

Tanganku menutup buku, mataku terpejam, menghirup dengan khusyuk bau-bau tanah yang bercampur dengan air hujan. Mendengar tetes demi tetes air hujan yang membasahi daun, ranting pohon, tanah, sepeda motor, genting perpustakaan, menciptakan alunan musik merdu nan harmoni. Desau anginnya membawa percikan lembut air hujan yang kini menerpa wajah dan mata yang masih terpejam.

Aku, mungkin sedikit iri dengan Tiwi. Mungkin, sedikit kecewa dengan keinginan gurat nasib yang jauh melenceng dari anganku.

Sungguh, sungguh, bersamaan dengan hujan di bulan Agustus. Bersamaan dengan rasa sejuk spesial setelah hampir berbulan-bulan ditusuk oleh hawa yang menyengat.

Sungguh, aku tak menyesal mencintai Mas Gagah. Rasa debar jantung karena bertemu dengannya, rasa kehilangan kendali, tergagap karena hendak bicara dengannya, rasa tak bisa tidur karena perasaan yang jauh lama telah dicuri olehnya. Sungguh, aku menikmati rasa cinta ini.

Hampir 2 jam, mata dan hatiku menggelayut dengan tetesan air hujan. Para mahasiswa dan mahasiswi yang sama-sama di ruangan ini berceletuk senang karena jaringan sudah normal. Tagar #hujandibulanagustus segera meluncur ke media sosial secara berbarengan. Dan entah berapa kali kalimat tagar itu sudah di-posting, rintik hujan Agustus agaknya ingin menyudahi.

Suara dengusan terdengar dimana-mana. Hujan yang teramat spesial namun tak begitu lama. Sinar mentari kembali datang. Mendung-mendung segera pelesiran ke negeri seberang. Sinarnya yang terik tanpa basa-basi. Tanah yang basah akan kembali kering. Udara yang tadi sedikit menghangat kembali menyengat. Begitulah faktanya, begitulah adanya. Aku tersenyum. Mari pulang!

****

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Alandra
Ainaya Lanahdiana
Cerpen
Hujan di Bulan Agustus
Naila Etrafa
Novel
Bronze
Kembara Halimun Timur
FatmaCahaya
Flash
My Special Aromatherapy
Ceena
Novel
Gold
Islah Cinta
Falcon Publishing
Novel
Mantra Pikat
Adine Indriani
Novel
Bronze
LABIRIN
Airi
Novel
Gold
Melted
Bentang Pustaka
Novel
Kali ini
Ibnu A Fatahilah
Cerpen
Bronze
Cinta Pertama dan Terakhir
Aneidda
Cerpen
Bronze
Memoar Sebuah Rasa
Indira Raina
Novel
Bronze
Falling In Love
Radzee
Novel
Bronze
My Elf Prince
Febby Adistya
Novel
Cek Ombak (Melulu)
Rina F Ryanie
Skrip Film
AFTER YOUR WEDDING DAY
Reiga Sanskara
Rekomendasi
Cerpen
Hujan di Bulan Agustus
Naila Etrafa
Novel
Aku Menyukai Senja di Matamu
Naila Etrafa
Cerpen
Sepasang Kekasih November
Naila Etrafa
Cerpen
Lelaki Misterius Yang Setiap Malam Datang Ke Gereja
Naila Etrafa
Novel
Yang Seharusnya Tak Pernah Singgah
Naila Etrafa