Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu, hujan turun deras di kota kecil bernama Lembah Rindu. Jalan-jalan yang sepi kini basah oleh air, dan lampu-lampu jalan memantulkan kilauan cahaya yang temaram. Di sebuah rumah kecil di ujung kota, seorang wanita muda bernama Alina duduk di balik jendela. Matanya menatap ke luar, namun pikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Alina baru saja kembali ke kota kelahirannya setelah bertahun-tahun merantau. Di depan jendela itu, ia memeluk secangkir teh hangat yang uapnya menari pelan, menemani dingin yang merayap ke tubuhnya. Di sudut ruangan, sebuah koper besar masih tertutup rapat, seolah menjadi simbol perjalanan panjang yang belum sepenuhnya ia tinggalkan.
Rumah kecil ini adalah peninggalan ibunya. Dulu, di sini ia tumbuh besar, bermimpi, dan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Namun, ada satu kenangan yang selalu melekat di tempat ini kenangan tentang Raka.
Raka adalah teman masa kecil Alina, tetangga sebelah rumah yang selalu menemani hari-harinya. Mereka berbagi banyak hal: bermain di taman belakang, berlarian di tengah hujan, hingga berbagi mimpi di bawah pohon mangga tua yang kini tinggal batangnya.
Namun, semuanya berubah ketika mereka remaja. Alina harus pindah ke kota besar untuk melanjutkan pendidikan, sementara Raka tetap tinggal di kota kecil ini. Mereka berjanji untuk tetap saling berkirim kabar, tetapi seperti kebanyakan janji yang dibuat dalam kepolosan masa muda, janji itu akhirnya pudar seiring waktu.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Alina. Ia berdiri perlahan, sedikit enggan meninggalkan kehangatan secangkir tehnya. Ketika membuka pintu, ia mendapati seorang pria berdiri di sana, mengenakan jas hujan yang basah kuyup.
“Alina?” suara itu terdengar berat namun lembut, seolah menyimpan beban bertahun-tahun.
“Raka?” jawab Alina dengan nada terkejut.
Pria itu mengangguk sambil tersenyum tipis. Meski wajahnya terlihat lebih dewasa, mata itu masih sama mata yang penuh dengan kehangatan dan ketulusan yang ia kenal sejak dulu.
“Boleh aku masuk?” tanya Raka.
Alina segera mempersilakannya masuk, dan ia mengambilkan handuk untuk mengeringkan tubuh pria itu. Raka melepas jas hujannya dan duduk di ruang tamu yang sederhana. Mereka diam sejenak, hanya ditemani suara hujan yang masih deras di luar.
“Sudah lama sekali,” kata Raka akhirnya, memecah keheningan.
“Ya,” jawab Alina sambil menuangkan teh untuknya. “Aku tidak menyangka akan melihatmu lagi.”
“Aku mendengar dari Bu Rani kalau kau kembali ke sini. Aku pikir, aku harus datang.”
Alina tersenyum kecil. “Kau masih tinggal di kota ini?”
“Masih,” jawab Raka. “Aku mengambil alih bengkel ayahku. Hidupku sederhana, tapi aku menikmatinya.”
Percakapan itu perlahan mengalir, membawa mereka kembali ke masa lalu. Mereka tertawa mengenang kenakalan-kenakalan masa kecil, cerita-cerita tentang hujan, dan pohon mangga yang dulu menjadi tempat mereka bermain. Namun, ada sesuatu yang tidak diungkapkan—sesuatu yang tertinggal di antara mereka selama bertahun-tahun.
Saat malam semakin larut, Alina memberanikan diri bertanya, “Raka, kenapa kau tidak pernah menghubungiku setelah aku pindah?”
Raka terdiam. Matanya menatap cangkir teh di tangannya, seolah mencari jawaban di dalamnya.
“Aku ingin, Alina,” katanya akhirnya. “Tapi aku merasa... aku tidak punya apa-apa untuk ditawarkan. Kau pergi untuk mengejar mimpimu, sementara aku hanya orang desa yang tidak punya banyak pilihan.”
Alina tertegun. Ia tidak pernah membayangkan Raka merasa seperti itu. Baginya, Raka selalu menjadi tempatnya pulang, seseorang yang membuatnya merasa utuh.
“Aku tidak pernah peduli soal itu,” kata Alina pelan. “Aku hanya ingin tetap dekat denganmu.”
Hujan di luar semakin reda, meninggalkan gemericik halus di atas tanah basah. Raka menarik napas panjang. “Aku takut kau akan melupakanku, Alina. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku tidak bisa mengejarmu.”
Alina merasakan matanya mulai panas. “Aku tidak pernah melupakanmu, Raka. Tidak pernah.”
Keduanya terdiam lagi, tenggelam dalam keheningan yang penuh makna.
Beberapa hari berikutnya, Raka sering mengunjungi Alina di rumah kecil itu. Mereka menghabiskan waktu berbicara, berjalan-jalan di sekitar kota, dan bahkan mengunjungi pohon mangga tua yang kini hanya menjadi kenangan. Hubungan mereka perlahan kembali seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam.
Suatu sore, mereka duduk di tepian sungai kecil di pinggir desa. Matahari hampir tenggelam, memancarkan cahaya keemasan yang memantul di permukaan air.
“Alina,” kata Raka dengan nada serius.
“Ya?”
“Apa yang membuatmu kembali ke sini?”
Alina terdiam sejenak. “Aku lelah,” jawabnya akhirnya. “Kota besar memberiku banyak kesempatan, tapi aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku pikir, pulang ke sini akan membantuku menemukan apa yang benar-benar penting.”
Raka menatapnya. “Dan, apa yang kau temukan?”
Alina tersenyum kecil. “Aku menemukan bahwa rumah bukan hanya tempat, tapi juga orang-orang yang kita cintai.”
Raka terdiam, lalu meraih tangan Alina perlahan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal. Aku ingin ada di sisimu, Alina.”
Kata-kata itu sederhana, tetapi mengandung kejujuran yang dalam. Alina merasa hatinya hangat, seperti teh yang sering ia peluk di malam hujan.
“Aku juga ingin bersamamu, Raka,” jawabnya pelan.
Malam itu, mereka kembali ke rumah kecil Alina. Hujan mulai turun lagi, tetapi kali ini tidak terasa dingin. Mereka duduk di balik jendela, berbagi cerita tentang mimpi-mimpi yang akan mereka bangun bersama.
Hujan di balik jendela menjadi saksi kebersamaan mereka, membasuh luka lama dan memberi harapan baru. Bagi Alina dan Raka, ini bukan hanya tentang kembali ke masa lalu, tetapi juga tentang memulai perjalanan baru di kota kecil yang selalu mereka sebut rumah.
Beberapa bulan setelah malam itu, kehidupan Alina dan Raka mulai berubah. Alina memutuskan untuk membuka sebuah kedai kecil di samping rumahnya, tempat orang-orang bisa menikmati teh hangat sambil mendengar rintik hujan. Raka, dengan tangan terampilnya, membantu membangun dan merancang interior sederhana namun penuh kehangatan. Mereka menamai kedai itu Hujan di Balik Jendela, terinspirasi oleh kenangan malam pertama mereka bertemu kembali.
Kedai itu dengan cepat menjadi tempat favorit warga kota. Setiap sudutnya menceritakan kisah, dari foto pohon mangga tua hingga rak kecil berisi buku-buku yang disumbangkan oleh para pengunjung. Alina, yang dulu mencari arti kebahagiaan di kota besar, kini menemukannya dalam cangkir teh yang ia suguhkan dan senyuman yang ia bagikan.
Raka pun tak kalah sibuk. Selain mengurus bengkel, ia mulai membantu Alina di kedai, terutama di malam-malam hujan ketika kedai ramai. Ia selalu menyempatkan diri memainkan gitar tuanya, mengisi ruangan dengan melodi sederhana yang menghangatkan suasana.
Pada suatu malam hujan, kedai itu kembali menjadi saksi momen penting. Setelah pengunjung terakhir pulang, Raka berdiri di tengah ruangan, membawa secangkir teh yang ia buat sendiri.
“Alina,” katanya, suaranya tenang namun penuh keyakinan. “Aku tahu hidup kita sederhana, tapi aku ingin berjalan bersamamu, apa pun yang akan datang.”
Alina menatap Raka, matanya berkaca-kaca. “Hidup sederhana denganmu lebih dari cukup.”
Raka tersenyum, lalu perlahan berlutut. Dari saku jaketnya, ia mengeluarkan cincin kecil dengan desain sederhana.
“Alina, maukah kau menikah denganku?”
Tanpa ragu, Alina mengangguk. Hujan di balik jendela berderai lembut, seolah merayakan awal baru mereka.