Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Hujan Dan Rembulan
0
Suka
12
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan deras turun mengguyur kota malam itu, padahal langit terlihat cerah. Bulan menggantung, bersinar seolah tersenyum sambil menitikkan air mata.

Jiya termenung di balik jendela. Suara hujan yang mengetuk atap hanya menjadi latar samar bagi pikirannya yang kosong. Beberapa lembar naskah yang belum selesai berserakan di meja belajarnya.

“Lima… empat… tiga… dua… satu…”

Seperti biasanya, tepat di hitungan nol, seorang pria jangkung muncul. Dengan tatapan teduh, ia berdiri di tepi jalan, membawa payung hitam. Pria itu menunggu—entah siapa, entah untuk apa. Hampir seminggu semenjak Jiya pindah ke apartemen ini, sosok itu selalu hadir setiap malam.

Setiap kali hujan reda, pria itu akan pergi. Dan setiap kali pula, Jiya tetap menungguinya. Ia sendiri tak tahu mengapa ia begitu terpikat menonton lelaki asing itu dari jendela apartemennya.

“Apa dia tidak punya kesibukan lain? Atau sama sepertiku, kehilangan arah?” gumam Jiya.

Namun kali ini berbeda. Pria itu menurunkan payungnya, menjatuhkannya hingga terbawa angin. Ia membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Rambutnya basah, kulitnya pucat, dan di balik kelopak matanya, ada air yang bukan hanya berasal dari langit.

“Bodoh sekali. Apa dia pikir sedang bermain drama?” Jiya mendengus, sebelum akhirnya tak tahan lagi. Ia membuka jendela dan berteriak,

“Hei! Kenapa membuang payungmu?! Kamu bisa jatuh sakit!”

Pria itu tidak menoleh. Ia hanya berdiri, diam, menangis tanpa suara.

“Benar-benar bodoh atau tuli,” gerutu Jiya. Tanpa sadar, ia sudah beranjak keluar, membawa sebuah payung.

Langkahnya cepat. Ia memang tak mengenal pria itu, tapi setelah melihatnya berulang kali seminggu terakhir, rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk menolong.

“Kalau ingin mati kedinginan, kenapa tidak pergi ke laut ? Merepotkan orang lain saja,” kata Jiya ketus, tapi payungnya sudah ia ulurkan, melindungi mereka berdua.

Tatapan mereka bertemu. Sepasang mata asing itu menatapnya begitu dalam, seperti menyingkap kenangan lama.

“Aku berbicara padamu. Kenapa diam saja?” desak Jiya.

Pria itu tetap terdiam. Lalu, pelan namun pasti, ia berbisik, “Miya…”

Jiya terkejut. “Apa? Siapa—”

Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, pria itu tiba-tiba meraih dan memeluknya erat. Jiya terangkat, tubuhnya diputar cepat di bawah hujan. Payung terlepas, keduanya basah kuyup.

“Lepaskan! Aku Jiya, bukan Miya!”

Pelukan itu terhenti. Pria itu menunduk, lalu berucap lirih, “Maaf…”

Jiya terdiam. Meski kesal, ia bisa melihat kesedihan yang teramat dalam di balik tatapan itu.

Beberapa saat kemudian, mereka berteduh di halte. Hujan mulai reda. Jiya ingin mengajaknya masuk ke apartemennya, namun urung. Membawa lelaki asing ke dalam tempat tinggalnya terasa tidak pantas.

“Miya.. Dia meninggal satu bulan lalu, di sini.”

Kalimat itu membuat Jiya menoleh.

“Aku pikir aku bisa melindunginya. Ternyata aku salah. Jadi, setiap malam aku berdiri di sini hanya untuk mengenangnya.”

Dada Jiya seketika sesak. Rasa bersalah menghampiri karena sempat memaki pria itu.

“Maaf aku tidak tahu,” bisiknya.

Pria itu tersenyum samar. “Tidak perlu meminta maaf. Justru aku berterima kasih. Kamu mirip sekali dengan Miya.”

“Mirip?”

“Iya. Bahkan saat memelukmu tadi, rasanya seperti memeluk Miya sekali lagi meski hanya sebentar.”

Pipinya memanas. Ia tidak seharusnya merasa demikian, ia hanyalah orang asing bagi pria itu.

Namun tiba-tiba, pria itu menarik tangan Jiya, membawanya ke tengah jalan yang sepi.

“Hujannya akan turun lagi!” protes Jiya.

Pria itu hanya tertawa, tawa yang terdengar lepas seakan tak lagi terikat oleh luka. Dengan riang ia meraih tangan Jiya, menariknya ke tengah jalan. Hujan turun semakin deras, namun di antara tetes-tetes yang berjatuhan, ada cahaya rembulan yang menembus celah awan, menyinari keduanya.

Awalnya Jiya menolak, tubuhnya kaku, tak terbiasa dengan kegilaan semacam itu. Namun genggaman pria itu hangat, meski dingin hujan menelusup ke kulit. Dan ketika ia mendengar tawa itu, tawa jujur yang tulus dan hidup pertahanan dalam dirinya runtuh.

Jiya ikut larut. Ia tertawa, menari, berputar, melompat kecil di setiap genangan. Suara cipratan air berpadu dengan suara hujan menjadi irama, sementara sinar bulan menjelma cahaya panggung. Dunia seakan berhenti hanya untuk mereka berdua.

Beban di pundaknya, naskah yang tak kunjung selesai, sepi yang menemaninya tiap malam, rasa kehilangan arah, semua hilang seketika, digantikan oleh tawa yang jujur. Ia merasa hidup kembali, seolah hujan malam itu membersihkan luka yang tak terlihat.

Mereka menari tanpa koreografi, hanya mengikuti detak jantung masing-masing. Jiya merasa dadanya ringan, dan untuk sesaat, ia benar-benar lupa siapa dirinya, lupa apa yang ia kejar. Yang ada hanyalah dirinya dan pria asing itu, menari di bawah hujan dan rembulan.

Sampai akhirnya, mereka terhenti di depan gedung apartemen Jiya. Nafas terengah, basah kuyup, tapi hatinya hangat.

“Terima kasih, Jiya. Aku tidak ingin kamu sakit. Kembalilah ke dalam. Aku harus pergi.”

Jiya ingin menahannya. “Tapi aku masih ingin mengobrol”

“Tidak. Simpan energimu untuk menulis. Sampai jumpa, Jiya.”

Ia melangkah pergi, menyisakan tanda tanya: bagaimana ia tahu bahwa Jiya sedang menulis naskah?

“Tunggu! Namamu! aku bahkan belum tahu siapa namamu! ”

Jiya berlari, mencoba mengejarnya. Nafasnya terengah, langkahnya basah oleh genangan. Namun sesampainya di tikungan, sosok pria itu lenyap begitu saja, seakan ditelan oleh hujan malam.

Ia berdiri terpaku. Dadanya naik turun, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena sesuatu yang sulit ia jelaskan. Ada rasa kehilangan yang terlalu cepat datang, padahal baru saja ia merasa dekat dengan sosok asing itu.

“Kenapa aku seperti ini? Aku bahkan tidak tahu siapa namanya…” pikir Jiya, menatap kosong ke arah jalan yang sunyi.

Hujan masih menetes pelan, menimbulkan pantulan lampu jalan di aspal yang basah. Semuanya tampak asing, dingin, dan kosong. Seolah hujan membawa pergi sosok pria itu, meninggalkan dirinya sendirian.

Akhirnya Jiya berbalik. Dengan langkah berat ia kembali menuju apartemennya. Di setiap langkah, bayangan tentang pria itu terus membayangi pikirannya, tatapan matanya, senyumnya yang samar, bahkan tawa riangnya saat menari di bawah hujan.

Sesampainya di dalam kamar, Jiya berdiri lama di depan jendela. Ia menempelkan keningnya pada kaca yang dingin, memandang ke jalan yang tadi menjadi panggung pertemuannya dengan pria itu. Kosong. Tak ada siapa pun.

Helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Perlahan, Jiya beranjak, mengambil handuk kecil, lalu mengeringkan rambutnya yang masih basah kuyup. Hujan meninggalkan dingin yang menusuk tulang, membuatnya buru-buru mengenakan pakaian hangat.

Begitu tubuhnya terbungkus kain lembut, rasa aman sedikit kembali. Ia menatap meja belajarnya, naskah yang berserakan masih menantinya, seolah menagih janji.

Dengan langkah ragu tapi pasti, Jiya duduk di kursinya. Jemarinya mulai menari di atas kertas, menuliskan potongan-potongan ingatan semalam. Tatapan pria itu. Tawa yang riang. Rembulan yang temaram. Dan hujan yang terasa seperti musik pengiring.

Untuk pertama kalinya setelah lama terhenti, kata-kata mengalir begitu saja. Seakan hujan malam tadi bukan hanya membasahi tubuhnya, melainkan juga menyirami kembali jiwanya yang kering.

***

Keesokan paginya, naskah yang semalam terbengkalai akhirnya rampung. Tepat di hari tenggat, Jiya merapikannya dan bersiap pergi ke penerbit.

“Koran! Koran pagi!”

Seorang penjual berteriak riang di sudut jalan. Jiya menghentikan langkah, tersenyum kecil, lalu menyodorkan beberapa koin untuk sebuah lembaran koran.

Namun saat matanya jatuh pada halaman utama, senyumnya sirna. Koran itu terlepas dari tangannya, melayang jatuh ke tanah yang masih lembap oleh sisa hujan.

Berita utama menampilkan wajah seorang aktor terkenal. Pria yang semalam menari bersamanya.

Ia bunuh diri dua minggu lalu.

Dunia seakan berhenti berputar. Jiya berdiri kaku, hatinya dilanda badai yang tak kalah deras dari hujan semalam.

“Jiya? Kamu baik-baik saja?” suara Nala, temannya, menyadarkannya.

Dengan wajah pucat, Jiya hanya bisa mengangguk.

Nala ikut melirik koran di tangannya. “Ya, dia memang aktor terkenal. Seharusnya karirnya sedang bersinar. Tapi setelah kekasihnya meninggal dia memilih untuk mengakhiri hidupnya.”

Jiya terdiam. Ada getir yang sulit ia jelaskan.

Semalam, ia menari bersama arwah.

Jiya ingin bercerita, namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia tahu, jika ia mengatakan yang sebenarnya bahwa semalam ia menari dengan arwah pria itu, Nala pasti akan menganggapnya gila.

Nala menatapnya lekat-lekat, seakan membaca isi hatinya. “Ada sesuatu yang mengganggumu, ya?” tanyanya pelan.

Jiya hanya diam. Pandangannya kosong, tapi jemari tangannya menggenggam resah. Nala pun meraih tangan Jiya dengan lembut. “Tidak apa-apa. Ceritakan saja.”

Ada jeda panjang sebelum akhirnya Jiya bersuara, lirih dan ragu, “Apa kamu akan menganggapku gila jika aku bilang semalam aku bertemu hantu?”

“Hantu?” Nala terperanjat, namun suaranya tidak bernada mengejek.

Jiya menarik napas panjang. Lalu, dengan suara bergetar, ia mulai menceritakan semuanya: bagaimana ia melihat pria itu setiap malam berdiri di tepi jalan, bagaimana akhirnya mereka berbicara, lalu menari bersama di bawah hujan dan rembulan.

Ia menunggu tawa, atau mungkin cibiran. Tapi yang datang justru senyum lembut dari wajah Nala. Gadis berambut ikal sebahu itu menepuk bahu Jiya dengan tenang.

“Sudahlah,” kata Nala lembut. “Terkadang, hal mustahil bisa saja benar-benar terjadi.”

Usai itu dengan langkah tenang, Jiya berjalan bersama Nala menuju kantor penerbit. Naskah yang semalam terasa mustahil untuk diselesaikan, kini telah rampung di tangannya.

Sesampainya di depan gedung, Jiya berhenti sejenak. Ia menatap langit. Hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah dan langit malam yang kembali dihiasi bulan. Ada rasa perih, tapi juga hangat, mengalir di dadanya.

Dalam hati, Jiya berbisik, “Terima kasih…. Meski hanya sebentar, kamu telah memberiku sesuatu yang tidak ternilai. Semoga kamu bahagia di tempatmu saat ini”

Ia sadar, bukan hanya naskah itu yang lahir dari pertemuan semalam. Tetapi juga keberanian untuk kembali hidup, kembali menulis, dan kembali tersenyum.

Langit tetap sunyi, namun seolah menjawab, rembulan bersinar sedikit lebih terang. Dan di dalam cahaya itu, Jiya merasa pria itu masih ada, menemaninya dari jauh.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Komik
Harmony to Your Dream
Ivon Agustin / Vania Yolanda
Cerpen
Hujan Dan Rembulan
Dewyrum
Novel
Cinta Rindu
Septriani wulandari
Novel
The Beast & Four Knights
Nunahsana
Novel
LANGIT EMAS PRADIGARABU
M Yoga Pramudya
Flash
Pacar atau Lamar?
Rahmawati
Komik
Seperti Senja
Argan1209
Cerpen
Sepotong Kenangan di Bawah Hujan
shirley
Novel
Bronze
REHAT
Angela L Maharani
Novel
Tentang Aku Dan Kelana
Xie Nur
Skrip Film
STORIES NEVER TOLD
Reiga Sanskara
Cerpen
InsyaAllah Kita Bertemu Lagi Imamku
Gita
Novel
Bahkan Jika Aku Harus Patah Hati
Desi Puspitasari
Novel
Bronze
Rama's Story : Virgo Chapter 3 - Back In Time
Cancan Ramadhan
Novel
Gold
A Room with A View
Noura Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Hujan Dan Rembulan
Dewyrum
Cerpen
Melodi Bunga Malam
Dewyrum