Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
/1/
Ditidurkannya hati, menjerit-jerit. Karena terlalu percaya dicintai, bahkan rela menghidupkan api, merebut hak milik orang lain.
Usianya masih muda, barangkali sebab itu ia masih bermain-main. Atau terlalu bodoh, menyakini cintanya sepenuh hati?
Berbohong ia rela, apapun ia lakukan takut cintanya dirampas orang. Gila, siapa yang mau dengan ketiadaan yang tak bisa dibedakan jenis kelaminnya?
"Kami sudah mengikrar setia, di depan ibuku kekasihku telah memintaku dengan tulus." ucapnya sebagai pemberitahuan. "Kekasihku telah sematkan cincin, bersama keluarganya ia melintasi samudera untuk menemuiku, karena hanya aku yang ia cintai." kali ini ia berteriak.
Haduh, edan.
Ibunya bahkan dilibatkan untuk kehidupan yang maya.
Sialan, aku pun ikut gila. Mulai tertawa-tawa, menikmati sandiwara.
Diterbitkannya potret segede gaban, pada surat kabar yang memuat gosip murahan. Memberi tahu pada dunia, menghadirkan bukti untuk cintanya yang telah terikat.
Mataku nyaris keluar, sejak kapan kekasih masa laluku menjadi kekasihnya? Apakah ia istri kedua dari kesetiaan yang belasan tahun aku genggam sebagai tanda menyerah? Kenapa potretnya yang ada di sana? Sebentar, apa-apaan mereka. Aku mengenali siapa dalam potret itu. Sinting caranya.
"Semua orang tahu kekasihnya tak nyata, bualan mereka benar-benar diluar akal sehat." kata temanku suatu waktu sembari menyodorkan bukti yang memberatkan.
"Kenapa kau beri tahu aku? Kenapa tidak adukan melalui hukum?"
"Karena merusak mental saja tidak bisa dijadikan duduk perkara. Dan yang kekasihnya serang adalah jiwanya."
"Dengan cinta."
"Nah, kau tahu."
"Sebab aku pernah diserang. Kekasihnya kirim kalimat cinta, puisi-puisi yang memabukkan, deretan rindu yang membuat hawa mabuk kepayang."
"Jadi kau penyintas?"
"Tidak juga, aku sudah lama tidak mempercayai apa-apa."
"Maka kau korban yang gagal dijerat?"
"Tidak juga, kekasihnya berhasil membuat aku menulis ini."
"Lalu kau apa?"
"Yang pernah mencari jawaban."
"Dan jawabannya?"
"Aku tak ingin merusak lebih banyak jiwa, biar aku simpan saja, dalam sajakku yang hanya kekasihnya yang paham."
"Kekasihnya akan murka kau menceritakan hitamnya."
"Kekasihnya tak memiliki penglihatan. Hitam tak akan tampak hitam baginya."
"Aku penasaran,"
"Jangan."
"Kenapa?"
"Kau akan berakhir sepertiku jika bernasib baik, dan berakhir seperti wanita itu jika bernasib lain." aku menunjuk baliho yang dipenuhi wajahnya yang mabuk kepayang. Haduh, bahkan sekarang ia menyewa tempat mahal untuk menunjukkan eksistensi, menyedihkan.
"Ia juga penasaran?"
"Setidaknya itu yang kekasihnya katakan padaku."
"Beri aku jawabannya."
"Kau memiliki buktinya."
"Ini hanya untuk mengetahui kebohongan kekasihnya, kau tahu lebih dari itu bukan?"
"Kebohongan telah mewakili semua kejahatan, saat seorang pembohong mengatakan ia bukan pembunuh, artinya ia telah membunuh. Saat seorang pembohong mengatakan ia bukan penjahat maka ia telah jahat. Apapun yang dikatakan pembohong telah mewakili semua kejahatan."
"Masuk akal."
"Tapi biar aku beri tahu satu hal, tentang kekasihnya. Jawabannya bukanlah kejahatan."
"Maksudnya?"
"Sebab terlahir menjadi aku, menjadi kau, dan menjadi seseorang di baliho itu, tidak pernah menjadi kejahatan, bukan?"
/2/
Pagi ini aku buka surat kabar yang dilemparkan pengantar koran tepat di anak tangga ketiga teras rumah. Aku memungut dengan bersungut-sungut. Buru-buru aku buka halaman ke-tujuh, seorang sahabat sudah bercerita tentang puisi pengakuan yang katanya akan beredar di seluruh media hari ini. Ketika aku selesai membaca puisi tujuh belas baris itu, aku meletakkan surat kabar, kecewa karena isinya sesuatu yang sudah diketahui semua orang.
Bersamaan dengan itu sahabat menelpon, aku membiarkan lama sebelum mengangkat di panggilan ketiganya.
"Itu bukan pengakuan, seluruh dunia tahu ia berdelusi."
"Tapi itu layak disebut pengakuan, mengakui seberapa maya kekasihnya, pula itu cukup kontradiktif dengan baliho cincin yang pernah ia pamerkan di channel biru. Itu kejujurannya, ia kaki tangan dalam sandiwara."
"Kita mengetahui lebih dari itu, puisi yang kau beri tahu hanya berisi cinta, dan tak ada yang menarik tentang itu."
"Kalau kau juga tahu banyak kenapa tak memberitahunya kepada dunia?"
"Apa yang harus aku beritahu, semua orang sudah tahu. Kau saja tahu, kau bahkan menyumpahinya dan kekasihnya."
Kami berhenti berdebat, pesan sahabat lainnya masuk pemberitahuan. Aku menelponnya dan diangkat pada dering pertama.
"Kau tahu, kekasihnya membangun istana untuk mereka?"
Aku mendadak sakit kepala, apa yang aneh dengan itu? Hanya saja semuanya sampai di tenggorokan.
"Aku bahkan tahu mereka telah bercinta, aku bahkan bisa menebak kalimat pertama yang dikeluarkan kekasihnya," sarkasku. "Aku memimpikanmu tadi malam." Aku meniru intonasi suara dengan dibuat-buat. "Ah, apa aku juga harus katakan posisi apa yang sering mereka praktikkan?" Sialan, jengah juga menghadapi sesuatu yang sudah kau ketahui lama.
"Edan, kau terlalu menjustifikasi kau tahu?"
"Kau juga akan bicara setelah melalui banyak analisa, jika hanya menghubungiku untuk bicara ini, sudahi saja."
"Kau tak tertarik?"
Aku mematikan sambungan. Pesan ketiga masuk. Dari seseorang lainnya.
"Puisi-puisinya beredar di toko buku, kau akan suka membacanya."
"Aku tahu, kelak dia akan melakukan itu. Ia perempuan berbakat, lagi pula cintanya memiliki kualifikasi untuk dicatat sejarah."
"Maksudmu?"
"Ia adalah Laila, Juliet, atau segenap pencinta yang dituliskan sejarah. Aku hanya berduka karena orang yang ia cintai bukan Qais atau Romeo."
"Kau akan menolongnya bukan?"
"Ia tidak butuh pertolongan, ia hanya butuh dunianya. Lagipula, cinta itu lebih kuat daripada keyakinan, agama saja banyak ditinggalkan umat manusia demi cinta, kau pikir akan bisa apa aku jika Tuhan saja diabaikan?"
"Bagaimana soal keseimbangan alam yang kau sebut?"
"Aku mendengar ini dari seseorang, alam akan selalu punya cara menyembuhkan diri. Aku sudah tidak khawatir."
"Kau semakin rasional sekarang?"
Aku tertawa "karena aku bukan pecinta."
Sambungan itu berakhir, aku tersenyum kecil. Perlahan kutatap pantulanku di cermin, di sana berdiri seorang perempuan yang pernah mencari jawaban. Jawaban yang tak pernah memiliki nilai yang sama dengan pertanyaan. Dunia gelap yang selama ini hanya aku raba dari kata-kata.
"Apa kau membenci kekasihnya?"
Aku menatap pesan itu sesaat, detik keempat aku membalasnya dengan sederhana.
"Tidak, kau sudah pernah menanyakannya, jawabanku selalu sama."
"Kau tak ingin membunuh satu diantara mereka?"
"Aku pernah punya keinginan itu, tapi mereka sudah terbunuh bukan dari tempat ini? Mungkin sudah bereinkarnasi, aku yakin itu, tapi biarlah, nanti saja aku pikirkan setelah ia kembali merusak tatanan dunia. Barangkali aku bisa direkrut jadi salah satu pahlawan Marvel."
"Kau benci jadi pahlawan, kau bahkan tidak menonton satupun seri itu. Jika kau kembali bersandiwara, maka kau pasti melakukannya sebagai antagonis."
"Kau tahu kan aku selalu percaya, seseorang hanya bisa dihancurkan oleh orang yang dia cintai. Aku, kau dan siapapun tak punya kualifikasi menghancurkan satu diantara mereka. Menjadi antagonis itu sia-sia, aku cukup jadi penonton saja. Jika ada di antara mereka yang harus hancur, mereka yang akan melakukannya, sebab mereka saling cinta."
"Itu tak akan terjadi selama ia menghamba delusinya."
"Tak ada cinta yang tak membunuh, aku percaya itu cinta. Maka ia akan terbunuh dengan perasaan itu suatu hari, aku sudah melihat banyak korban terkapar karena cinta. Jika ia berhasil katakanlah sampai sebuah janji suci di altar saja, mungkin aku akan menginvestasikan harga diriku untuk mengucapkan selamat secara langsung. Meski itu memakan biaya mahal, sebab aku belum punya pasport untuk mengunjungi Jerman."
Aku mendengar suara tawa renyah di seberang, "aku yakin kau datang untuk menghancurkan pesta meriah mereka."
"Idemu cemerlang juga, tapi untuk apa? Kau yang akan diuntungkan."
Panggilan itu juga berakhir. Lama aku menatap ponsel, kali ini siapa lagi yang memiliki laporan. Lima menit setelah hening, aku mematikan ponsel itu, meletakkannya dalam keranjang kenangan.
Terima kasih untuk petualangan kata-katanya, semua.