Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Dokumen di Loteng Tua
Angin senja di bulan Juni terasa seperti bisikan kuno yang menyelinap masuk melalui celah jendela, membawa serta aroma lumut dan kayu lapuk. Di dalam, Raka berkutat dengan kotak-kotak berdebu di loteng rumah nenek buyutnya. Rumah itu, sebuah bangunan kolonial tua dengan atap limasan yang curam dan cat dinding yang mengelupas di sana-sini, telah kosong selama hampir dua dekade sejak kepergian nenek buyutnya. Kini, setelah sekian lama, giliran Raka yang mendapat tugas untuk membereskannya, menjualnya, dan mengakhiri warisan yang seolah membeku dalam waktu.
Raka, seorang desainer grafis lepas berusia dua puluh delapan tahun, merasa terjebak dalam rutinitas hidupnya sendiri. Proyek-proyek yang monoton, koneksi sosial yang dangkal, dan perasaan bahwa ia hanya berputar di tempat. Ada kerinduan yang samar dalam dirinya untuk sesuatu yang "lebih"—sebuah petualangan, sebuah makna, atau setidaknya, sebuah kejutan yang bisa mengguncang monotoninya. Ia tidak pernah menyangka bahwa kejutan itu akan datang dari tempat yang paling tak terduga: loteng yang gelap dan berhantu ini.
Keringat membasahi pelipis Raka saat ia menggeser sebuah lemari kayu jati yang berat. Di belakangnya, tersembunyi, ada sebuah peti kecil yang terbuat dari kayu ulin gelap, diikat dengan rantai besi berkarat dan gembok tua yang macet. “Astaga, nenek buyut menyimpan apa di sini?” gumamnya, rasa penasaran mulai mengikis rasa lelahnya. Ia menemukan sebuah kunci kecil di antara tumpukan perkakas, seolah takdir menuntunnya. Setelah beberapa kali mencoba, gembok itu berderit dan terbuka.
Di dalam peti, bukan perhiasan atau uang lama seperti yang ia bayangkan. Isinya hanya sebuah dokumen kuno yang tergulung rapi, terikat dengan pita beludru merah pudar. Kertasnya tebal, kekuningan, dan rapuh di beberapa bagian, dengan pinggiran yang hangus seolah pernah melewati api. Raka dengan hati-hati mengambilnya. Bau jamur dan sesuatu yang lebih aneh—seperti tanah basah bercampur logam tua—tercium dari kertas itu.
Ia membuka gulungan itu. Tulisan tangan yang rapi namun aneh memenuhi halaman pertama, menggunakan aksara yang tak ia kenali, diselingi simbol-simbol misterius yang tampak seperti kombinasi dari kaligrafi kuno dan gambar-gambar okultisme. Di bagian bawah, tertera tanggal: 12 Juni 1945. Perang Dunia II baru saja berakhir, dan Indonesia di ambang kemerdekaan. Apa hubungan dokumen ini dengan masa itu?
Raka mencoba membaca beberapa kalimat. Ada kata-kata dalam bahasa Sansekerta, Jawa kuno, dan beberapa bagian dalam bahasa Latin yang ia kenali samar-samar. Ia tidak mengerti isinya, tetapi ada satu kalimat yang terus menarik perhatiannya, terukir lebih tebal dari yang lain: "Quae legere, hic intrare. Quae intrare, aliquem dare." Ia mencoba mengingat pelajaran bahasa Latin SMA-nya. "...