Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Hidup akan terus berjalan, bukan?
1
Suka
3,384
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Surga, kutemukan, bukanlah bangunan megah bertabur cahaya atau taman abadi penuh nyanyian. Surga adalah dua kaki yang berdiri di tengah hujan deras, tanpa jas hujan, tanpa payung, hanya untuk menunggumu pulang. Di bawah langit yang menangis, ia tetap diam, sabar, dengan sepasang mata yang tidak meminta apapun hanya memastikan bahwa kau tidak sendirian ketika dunia mulai terasa asing.

Aku menyebut tempat itu rumah. Meski tak ada peta yang bisa menuntunmu ke sana selain napasnya. Rumah tak selalu berdiri dari dinding dan atap. Kadang ia bernafas, berbicara dengan lembut, dan menatapmu dengan tatapan yang tak bisa dipalsukan siapa pun.

Surga bukan istana. Ia adalah dua mata mengantuk yang menyembul dari balik selimut, menyambutmu dengan pelukan hangat setelah hari panjang yang melelahkan. Surga adalah tawa di tengah kecanggungan, saat dia salah sebut nama aktor favoritmu, atau gugup menyentuh pipimu. Tapi kau tak ingin membetulkan apa pun, hanya ingin mengingat bunyi tawanya karena di sana ada yang lebih murni dari doa.

Malam itu, langit tak menurunkan hujan. Tapi di dalam dadaku, badai tak kunjung reda. Aku duduk di tangga belakang rumah, menatap langit yang kosong. Hitam membentang tanpa bintang, seakan Tuhan lupa menyalakan langit malam. Di tanganku, secangkir teh yang sudah lama dingin. Asapnya sudah lama lenyap, seperti semangatku yang memudar hari demi hari.

Langkah kaki terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi aku tahu betul suara itu. Ringan, tapi pasti, Ibu. Ia datang dengan selimut di tangannya dan senyum kecil di bibirnya. Duduk di sampingku, tanpa berkata apa-apa. Hanya duduk, diam tapi diamnya Ibu selalu punya suara. Dalam diamnya, aku mendengar, Aku di sini. Kamu tak sendiri.

“Bu,” kataku pelan, hampir seperti bergumam, “hidup itu seperti bajingan, ya?”

Ibu menoleh, tidak kaget, tidak marah. “Kenapa?”

“Kadang kasar, kadang membuat kita ngerasa sendirian, kadang seperti landak yang tidak punya teman. Dekat dikit, luka. Jauh dikit, dingin.”

Ibu tidak tertawa seperti biasanya saat aku berbicara aneh. Kali ini ia hanya menatapku, dalam. Seperti sedang membaca buku yang ia tulis sendiri tapi ingin dibaca ulang karena takut melewatkan makna.

“Aku capek, Bu,” kataku.

Kalimat yang selama ini kutahan. Aku bahkan tak tahu sejak kapan aku bisa jujur seperti itu. Mungkin karena aku tahu, Ibu tak akan pernah pergi meski aku sudah tak tahu arah. Saat orang-orang bersorak karena seorang juara, hanya Ibu yang melihat aku terseok, jatuh, berdarah-darah dalam latihan.

Ibu menatapku lama, lalu berkata dengan suara pelan, "Kamu tahu kenapa aku selalu ada?"

Aku menggeleng. Dalam hatiku, aku tahu jawabannya, tapi ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri.

“Karena kamu adalah separuh dari detak jantungku,” katanya.

“Kita mungkin sama-sama keras kepala, sama-sama mudah marah, tapi juga sama-sama bertahan meski dunia runtuh.”

Aku terdiam. Kalimat itu tidak heroik, tidak dramatis, tapi ia menamparku dengan cara yang sangat halus. Ada bagian dalam diriku yang ingin runtuh, tapi kutahan. Karena aku tahu, Ibu telah lebih sering merasakan hancur daripada aku, dan ia masih ada di sini duduk di sebelahku, menghangatkan punggungku dengan selimut dan hatiku dengan kehadirannya.

“Bu,” kataku lagi, kali ini dengan suara gemetar, “aku takut. Takut tidak bisa membahangiakan Ibu.”

Ibu mengelus kepalaku. Tangannya kasar, penuh kerutan dan sedikit gemetar, tapi di situ ada kehangatan dalam mengelus kepalaku.

“Selama kamu masih berjuang, aku sudah bahagia,” katanya.

Aku menunduk, ingin menangis. Tapi entah mengapa, air mata tak mau jatuh. Mungkin karena aku tahu, Ibu telah lebih sering menahan air mata demi membuatku merasa aman. Ia membisikkan kata-kata paling sederhana namun paling menyelamatkan,

“Mari kita istirahat. Hari ini sudah cukup.” Dan aku merasa utuh kembali.

Pagi setelah malam panjang itu, aku bangun dengan kepala berat, tapi hati yang sedikit lebih ringan. Dapur sudah dipenuhi aroma tumisan dan kopi. Ibu sudah bangun lebih dulu, seperti biasa. Usianya sudah melewati enam puluh, tapi tubuhnya masih sibuk seperti perempuan muda. Padahal lututnya sudah sering nyeri, tangannya kadang gemetar saat memegang pisau.

Namun ia tetap di sana, dengan celemek bergambar bunga, memasak sarapan yang mungkin hanya akan aku makan setengah karena nafsu makan belum sepenuhnya kembali.

“Kamu tidur nyenyak?” tanya Ibu tanpa menoleh.

“Lumayan.” Sambil mengangukkan kepala

Ia hanya tersenyum dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja. Tidak ada percakapan, hanya kehadiran. Dan kehadiran Ibu selalu cukup.

Seiring waktu, aku mulai pelan-pelan menata ulang hidupku. Aku kembali menulis, kembali membuka laptop yang sempat kusimpan berdebu. Aku mulai membaca buku-buku lama, seolah ingin menemukan kembali diriku di antara halaman-halaman yang dulu menginspirasi.

Ibu tidak pernah bertanya soal kemajuan. Ia hanya ada, memberi teh hangat tiap sore, atau sekadar duduk di ruang tamu bersamaku sambil menonton sinetron kesukaannya. Kadang ia tertidur di kursi, dan aku yang menutupi tubuhnya dengan selimut, seperti dulu ia lakukan padaku.

Ada malam-malam ketika aku masih dilanda kecemasan. Saat semua pencapaian terasa tidak cukup. Saat semua usaha seakan sia-sia. Dan aku hanya bisa mengurung diri di kamar. Tapi selalu di luar pintu kamar itu, akan ada suara langkah pelan, ketukan lembut, dan secangkir teh hangat di depan pintu.

Suatu malam, saat listrik padam karena hujan besar, aku dan Ibu duduk di ruang tamu dengan lilin kecil di antara kami. Cahaya lembut membuat wajah Ibu tampak lebih tua dari biasanya. Tapi juga lebih damai.

“Apa kamu pernah takut, Bu?” tanyaku tiba-tiba.

“Sering,” katanya jujur. “Tapi aku lebih takut kalau kamu menyerah.”

Aku menarik napas panjang, kata-kata itu menancap seperti panah yang menembus jantungku. Di balik kesederhanaan hidupnya, Ibu menyimpan kekuatan yang tak pernah ia pamerkan. Kekuatan untuk tetap berdiri saat semua alasan untuk duduk sudah habis.

“Kalau suatu hari aku pergi duluan,” katanya pelan, “kamu harus tetap hidup, ya. Jangan cuma bertahan. Tapi benar-benar hidup. Tertawa, jatuh cinta, gagal, lalu bangkit lagi.”

Aku memalingkan wajah. Tak sanggup menatap mata Ibu yang mulai berkaca-kaca.

“Aku tidak akan ke mana-mana aku akan tetap ada dalam hatimu. Karena rumah sejati selalu tinggal di sana” katanya lagi.

Bertahun-tahun kemudian, aku berdiri di pemakaman dengan bunga putih di tangan. Langit sedang gerimis, tapi tak seorang pun beranjak. Di hadapanku, nisan dengan nama Ibu terukir rapi.

Aku berdiri lama, membiarkan air hujan dan air mata jatuh bersama. Tidak ada pelukan, tidak ada teh hangat, tidak ada senyum dengan selimut. Tapi dalam diriku, suaranya masih ada. Diamnya masih berbicara. Kehadirannya masih terasa. Rumah itu tak pernah benar-benar pergi. Bukan berarti aku menolak kenyataan, tetapi kau mengubahku menjadi orang gila.

Aku tahu, selama aku masih berjuang, Ibu sudah bahagia.

Dan aku akan terus berjuang.

Untukku.

Untuknya.

Untuk rumah yang telah memberiku makna hidup tanpa syarat, tanpa pamrih.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
ALDRICK.
N. Sabrina Putri
Skrip Film
Matahari Dan Rembulan
Rosidawati
Cerpen
Hidup akan terus berjalan, bukan?
Nadiyaaa
Novel
Bronze
Aegis of Us
Arslan Cealach
Novel
Bronze
HIDUP TAK SEBERCANDA ITU
Adji Sukman
Novel
Bronze
Unforgettable Story
Ayzahran
Novel
(Un)Privilege
Anindita Putri T
Novel
Miracle Spring
Pamella Paramitha
Komik
Bronze
One smash
ari saptori
Skrip Film
A Farewell to Blooms
Fajar Riyanto
Flash
Bronze
Sepadan
DMRamdhan
Flash
Bronze
ORANG DALAM
Hans Wysiwyg
Cerpen
Pesta Perak
Suryawan W.P
Novel
EVERY SECOND
Nisa Jihad
Novel
Bronze
No More Utopia
Vera Herawati
Rekomendasi
Cerpen
Hidup akan terus berjalan, bukan?
Nadiyaaa