Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
KENALKAN teman baruku. Namanya, sebut saja Hero. Aku yang memberinya nama, karena dia tidak tahu namanya sendiri ketika kutemukan beberapa menit lalu di halaman depan rumah. Tadinya aku mau memberinya nama Heri atau Heru. Tapi kedua nama itu sudah dipakai temanku untuk anjing kembarnya di rumah.
Hero adalah seekor kelinci. Dia kupergoki menerobos pagar dan masuk ke halaman depan. Lalu berhenti di samping pot. Seperti kebingungan di sana, celingak celinguk dengan pucuk hidungnya berdenyut. Lucu sekali. Aku tangkap saja dia setelah lebih dulu mengendap-endap di belakang tubuhnya. Dia kaget, tapi hidungnya tetap berdenyut. Meski sudah tidak bisa lagi celingak-celinguk, karena aku mengangkat dia dengan memegang kedua telinganya. (Aku baru tahu kemudian kalau cara ini salah. Membuat kelinci kesakitan, katanya. Tapi aku lihat Hero diam saja. Pucuk hidungnya masih berdenyut senang.)
Hero punya dua telinga panjang, beberapa helai kumis, dan bulunya putih, seperti kelinci pada umumnya. Tentu ada kelinci lainnya yang memilih bulu selain putih. Dan aku lebih sering melihat kelinci berbulu putih ketimbang warna lain. Nah, yang belum bisa tertebak adalah apakah dia jantan atau betina, karena aku tidak paham bagaimana membedakannya. Dan lucunya, Hero juga tidak tahu. “Apa itu jenis kelamin?” tanya dia. Aku bingung bagaimana mau menjawabnya.
Mungkin kalau bau tubuhnya wangi aku langsung menebak: betina. Itu yang aku lakukan dulu ketika orang tuaku mempertemukanku dengan calon istri (sekarang jadi mantan setelah perkawinan kami hanya bertahan satu tahun). Wajahnya ditutup cadar sehingga aku harus menebak jenis kelaminnya dari wangi parfum yang dia tebar. Pakaiannya sih perempuan, tapi aku tidak berani bertaruh ketika menyadari aku hidup di zaman seperti ini, bukan?
Ah, sudahlah. Apa artinya jenis kelamin bagi dua makhluk yang berbeda spesies. Yang penting aku dan Hero cepat akrab. Ternyata kelinci itu makhluk yang ramah, tidak penakut, dan tidak galak. (Tadinya, aku pikir kelinci itu galak seperti macan. Kan sama-sama punya kumis. Entahlah, mungkin karena aku terlalu sering nonton film India yang polisinya selalu berkumis dan galak.)
Kami seperti sepasang sahabat, setidaknya dalam bermain. Kejar-kejaran mengelilingi halaman, lalu masuk rumah, lalu keluar lagi, berkejar-kejaran lagi, mengelilingi halaman lagi tapi dengan arah sebaliknya, lalu berhenti karena kelelahan. Aku, maksudnya. Dia sih biasa saja. Terbukti pucuk hidungnya tetap berdenyut konstan.
Aku biarkan Hero berkeliaran di halaman. Rupanya dia masih ingin bermain. “Tetap di dalam halaman saja, Her. Di luar banyak orang,” pesanku. Aku bergidik membayangkan orang-orang yang dengan lahapnya makan sate kelinci. Kok bisa setega itu. Untunglah Hero menurut. Dia hanya melompat-lompat di atas rerumputan atau bersembunyi di balik pohon atau pot. Kadang dia mendekati pintu pagar, melongok ke jalan, lalu begitu ada orang lewat, dia berlari masuk ke halaman.
Aku tertawa melihat polahnya. Kubiarkan saja sampai dia lelah. Sudah kusiapkan minuman air mineral untuknya. (Aku tidak punya susu. Kalaupun punya, aku juga ragu apakah kelinci sudi minum susu sapi.) Aku tuang ke dalam sebuah mangkuk plastik. Dan setelah beberapa menit bermain sendiri, akhirnya dia kelelahan juga. Ternyata dia begitu lahap minum air mineral. Dan ternyata dia juga tidak minta susu, baik susu kelinci atau susu sapi. Aku pun lega.
Lalu, momen itu pun datang. Kami ngobrol ngalor ngidul. Ini adalah obrolan pertama (dan terakhir) kami sebagai sahabat setelah hampir satu jam bermain-main. Agak aneh memang. Kalau dengan sesama manusia, biasanya perkenalan dimulai dengan obrolan, baru kemudian bermain. (Bisa bermain di mana saja, di rumah, hotel, atau di mana pun, sesuai kesepakatan bersama. Yang penting sama-sama mau.) Tapi ini sebaliknya. Mungkin karena dia hewan. Aku ikuti saja budayanya.
Aku juga baru tahu kalau ternyata kelinci itu bisa ngomong. Agak samar sih sebetulnya bagiku: apakah kelinci yang bisa ngomong atau aku yang tahu bahasa kelinci. Aku belum mau mencari jawabannya sekarang, karena masih fokus pada perasaan senang punya sahabat seekor kelinci lucu.
“Cerita, dong, bagaimana kamu bisa menemukan rumahku,” kataku membuka percakapan sambil menatap cuping hidungnya yang terus berdenyut menggelitik urat tawaku.
“Menemukan? Tidak, aku tersesat,” dia menjawab.
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Aku mencari teman-temanku.”
“Memangnya ke mana mereka?”
“Mana aku tahu? Makanya aku mencari.”
“Temanmu kelinci juga? Atau ada manusia juga seperti aku? Atau, aku adalah teman manusia pertamamu?”
“Duh, manusia itu memang selalu ingin tahu, ya?”
“Ya begitulah. Itulah sebabnya manusia pintar. Dianugerahi otak, untuk mencari tahu, biar jadi tahu.”
“Kalau sudah tahu semuanya, memangnya mau apa?”
“Untuk membuat hidup kami lebih baik, tentunya.”
Hero tertawa, mungkin maunya terbahak-bahak, tapi yang keluar justru terkekeh-kekeh. Soalnya, mulutnya tidak bisa membuka lebar. Jadi, bunyinya bukan “ha ha ha” tapi “ke ke ke” (seperti bunyi ‘e’ dalam kata ‘bebek’).
“Lebih baik? Kamu tidak sadar kalau setiap kali manusia menciptakan sesuatu yang menurutmu membuat hidup lebih baik itu, yang terjadi justru kalian dibodohi dan diperbudak oleh ciptaan kalian sendiri. Uang, kendaraan bermotor, ponsel, internet, bahkan aturan hukum. Itu kamu sebut pintar?”
Aku mulai sebal dengan Hero. Kok dia begitu meremehkan manusia. Harga diriku tercubit. Berkali-kali aku mempertahankan diri, berkali-kali pula dia berhasil mengurai kelemahanku.
“Jadi kelinci lebih pintar dari manusia?” aku mencoba menantang.
“Aku tidak pernah bilang itu. Pertanyaanmu itu hanya makin mengonfirmasi bahwa manusia itu antikritik.”
“Eh, aku juga tidak pernah bilang begitu. Beraninya kamu mengarang. Kamu kelinci tahu apa tentang manusia! Boleh kritik, tapi yang membangun, dong. Ada aturannya. Jangan merendahkan, jangan mencibir, jangan mencaci, jangan….”
“Nah, ini bukti manusia lebih mementingkan egonya. Tidak mau disalahkan. Baru dikritik sedikit langsung menyerang habis-habisan,” tukas Hero sambil meludah. (Baru kali ini aku melihat kelinci bisa meludah.)
Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Ternyata kelinci—setidaknya Hero—bukan makhluk yang tepat untuk dijadikan sahabat. Rasanya kami tidak sejalan. Barangkali kalau yang mengkritik sesama manusia okelah, tapi ini seekor kelinci! Cukup sudah persahabatan yang hanya berlangsung satu jam saja di teras rumah.
Lalu, tiba-tiba saja aku ingin makan sate kelinci.
“Maaf, Hero. Aku harus menyelesaikan sesuatu di dalam. Kamu aku tinggal di sini. Atau kalau mau pergi, silakan saja. Nggak usah kembali juga aku lebih suka,” kataku ketus. Hero mengangguk santai seperti tidak ada apa-apa. Kelinci mana peka dengan apa yang disebut sebagai tata krama persahabatan.
Tak sudi lagi aku sekejap pun melirik cuping hidungnya yang terus berdenyut. Sudah tidak lucu lagi. Sungguh rugi tadi aku susah-susah berkreasi memberi nama Hero. Kalau tahu akhirnya begini, aku beri nama Heri atau Heru saja. Biar saja dibilang menjiplak, banyak kok yang melakukan itu di luar sana. Dan dibiarkan pula.
Aku masuk ke dalam rumah setelah membanting pintu depan. Lalu mengintip Hero dari balik jendela. Dia masih berdiri di tempatnya. Kupingnya bergerak memutar ke samping dan ke depan, seperti sedang mencoba menangkap gelombang suara. Tiba-tiba ujung hidungnya berdenyut lebih cepat. Dia berlari ke ambang pintu pagar, melihat kanan-kiri, dan kembali lagi ke halaman. Dua detik kemudian seekor anjing beagle berlari masuk halaman sambil menggonggong dan mendekati Hero. Aku sudah takut kalau mereka bertarung. Jelas Hero akan kalah. Kasihan. (Tuh, manusia masih punya perasaan. Kelinci punya apa?)
Tapi aku keliru. Si beagle disambut baik oleh Hero. Mereka saling menyentuhkan hidung, lantas terlihat seperti saling berbicara. Cukup lama, lalu keduanya pergi keluar pagar begitu saja tanpa pamit dengan yang punya halaman. Uh, kok aku jadi baper? Satu hal yang tidak pernah aku alami selama aku tidak punya teman. Hmm, aku jadi menyimpulkan sendiri, buat apa punya teman kalau malah berpotensi merusak suasana hati.
Aku penasaran dengan kedua hewan itu. Kelinci bersahabat dengan anjing? Kuikuti mereka diam-diam. Mereka berjalan melalui jalanan kampung yang sepi, seolah menghindari bertemu dengan orang-orang. Rasa penasaranku bertambah tebal begitu melihat seekor anjing beagle lain bergabung dengan mereka, lalu dua ekor angsa, seekor ayam jantan, dan seekor kucing kampung. Setiap bertemu mereka saling menyentuhkan cuping hidungnya, kecuali ayam dan angsa tentu saja. Mereka hanya punya lubang hidung. Tidak cuping.
Tiba di ujung jalan, mereka berbelok masuk ke dalam hutan. Lebih mudah bagiku untuk membuntuti mereka. Berpindah-pindah dari pohon satu ke pohon lain, berlindung di balik batangnya. Sekitar 500 meter ke dalam hutan, sampailah gerombolan aneh itu di sebuah tanah lapang. Keenam hewan tersebut berkumpul melingkar di pinggir lapangan. Sepertinya mereka sedang melakukan briefing, atau meeting, atau apalah. Ada persekongkolan apakah gerangan?
Dengan mengendap-endap aku mendekati mereka dan berhenti di balik sebuah pohon besar. Itu pohon terdekat dengan mereka. Aku bisa mendengarkan obrolan mereka dari situ.
“Sudah ya, kita putuskan sekarang,” kata Hero. Tampaknya dia ini sang ketua gerombolan.
“Ya, sebaiknya begitu,” timpal ayam. Entah siapa namanya. Aku juga tidak yakin dia tahu namanya, seperti Hero. Oh, dan ternyata aku juga mengerti bahasa ayam. Ataukah ayam yang bisa ngomong dengan bahasa manusia? Aku sih sudah tidak terlalu heran. Banyak manusia yang bisa bicara dengan jin yang gaib, apalagi cuma dengan hewan yang berwujud.
Ayam melanjutkan pendapatnya. “Aku juga telah menemukan banyak ketidakpedulian manusia. Tidak peduli dengan sesamanya, dengan lingkungan alamnya, dan dengan makhluk lain. Padahal semua itu akan selalu bersama mereka selama menghuni dunia ini.”
“Setuju. Mereka terlalu sombong. Akan susah hidup bersama mereka. Mereka lebih hewani dari yang aku kira.” Ini kata beagle pertama.
“Oke, kita sepakat,” tegas Hero.
Baiklah. Kalau begitu apa yang mau mereka perbuat? Menyerang manusia? Sudah keterlaluan kalau memang begitu.
Hero mengeluarkan sebuah benda logam sebesar korek api dari balik bulunya. Aku tahu benda itu terbuat dari logam karena mataku terkena pantulan sinar matahari dari salah satu sisinya. Hero menekan sebuah tombol di ujung benda tersebut. Tiba-tiba udara (ya, benar, udara) di tengah tanah lapang itu terbelah pelan-pelan dan kemudian menampakkan sebuah wahana berbentuk telur dalam posisi berdiri, berkaki empat. Ukurannya sebesar mobil MVP. Rupanya benda yang dipegang Hero itu berfungsi untuk membuka selubung tidak kasat mata yang menyembunyikan wahana tersebut.
Lalu, sebuah pintu di tengah telur membuka. Dari dalamnya terjulur tangga turun ke tanah. Hero menekan tombol lain di gawainya. Tiba-tiba kulit tubuh para hewan itu mengelupas perlahan dan memunculkan tubuh asli mereka—sosok makhluk yang menjijikkan. (Maaf, ini opiniku sebagai manusia. Mungkin bagi mereka, kitalah yang menjijikkan.) Kepalanya serupa telur dengan ukuran dua kali lebih besar dari kepala manusia. Tubuhnya juga serupa kepalanya tapi ukurannya tiga kali lebih besar dari kepalanya sendiri (berarti enam kali lebih besar dari kepala manusia). Tangannya dua, kakinya empat, semuanya ramping seperti tidak mengandung daging. Deskripsinya lebih gampang dengan membayangkan semut dalam posisi berdiri tegak. Sayangnya aku tidak melihat mukanya. Kalaupun melihat aku berharap mukanya tidak mirip dengan wajah manusia. Bisa muntah aku.
“Ayo kita cari planet lain yang bisa kita huni!” seru makhluk yang tadinya Hero lalu menginstruksikan mereka masuk satu per satu ke dalam telur. Berjalan paling belakang, makhluk yang tadinya Hero menoleh ke arahku. Aku cepat-cepat merapatkan tubuh ke batang pohon, agar tidak terlihat olehnya. Sampai akhirnya wahana yang ternyata pesawat ruang angkasa itu meluncur begitu cepatnya ke langit tanpa bersuara. Dan tanpa meninggalkan jejak di tanah.
Fiuh. Hampir saja aku melihat mukanya. Kalau tidak, bisa muntah aku.
***