Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Hello How?
0
Suka
932
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sore ini Jakarta rasanya panas sekali, setengah dari es kopi Americanoku sudah habis untuk mengisi tenggorakan ku yang kering kerontang. Aku duduk kursi sebuah restoran menunggu kedatangan laki-laki yang sudah lama tidak ku jumpai. Sadewa namanya. Dia adalah pria yang mengisi hatiku dua tahun terakhir ini. Waktu terus berlalu namun aku masih belum menemukan kehadiran Sadewa. Bahkan Americano yang sisa setengah itu kini sudah masuk kelambungku. Dari luar jendela aku hanya melihat abang-abang PKL sedang berjualan. Salah satu pedagang cilok yang menggunakan kaos partai tengah berbicang dengan pedagang batagor. Sepertinya mereka berbicara serius, karna aku bisa melihat separuh raut wajah salah satunya, mungkin mereka sedang membicaarakan mengenai politik atau pemerintahan, apalagi pemilu akan segera diadakan.

Aku beralih lagi ke atas mejaku, gelas berisi es batu yang mulai mencair, selaras dengan suasanaku kini, dingin dan kosong. Beberapa detik kemudian, suara lonceng bergeser terdengar. Aku melihat ke arah pintu, dia juga melihat ke arahku, langkahnya semakin mendekatiku. Dia berdiri di depanku kini sambil tersenyum manis memperlihatkan jajaran gigi rata yang sedikit menguning. Lalu dia duduk di hapanku masih dengan senyuman manisnya itu.

“Kamu udah lama nunggu aku disini? Aku bawain batagor buat kamu, masih suka batagor kan?” katanya sambil sibuk mengobrak abrik tas rangselnya.

“Kamu beli didepan?” tanyaku.

Lalu dia menghentikan aktivitas mencarinya “Iya kok kamu tau? Kamu liat aku ngantri tadi ya?.”

“Engak aku gak liat kamu.”

Sadewa masih sama seperti dulu, sikapnya sedikit lugu dan pendiam.

“Udah mau pesen? Aku pesenin Avocado Chocolate ya?.”

“Boleh.”

Aku memanggil salah satu pelayan dan memesan pesanan lagi. Aku juga memesan satu gelas es Americano, lagi.

“Kamu pesen kopi lagi? Inget Ra minum kopi banyak-banyak itu gak baik buat perempuan” katanya mengomeliku setelah pelayan pergi.

“Aku udah lama gak minum kopi. Bulan lalu aku libur minum kopi karna maag aku kambuh.”

“Ya terus kenapa sekarang minum kopi lagi?.”

“Ya karna aku pengen.”

“Ya gak dua gelas juga Ra. Pokoknya aku gak mau tau kopi yang nanti dateng jangan kamu minum.”

“Terus mau siapa yang minum? Kamu kan gak bisa minum kopi.”

“Iya udah iya aku salah, aku minta maaf, kamu mau marah ke aku silahkan.”

“Kenapa kamu minta maaf ? Kan aku cuma tanya soal kopi.”

“Yakan kamu selalu gak suka aku larang-larang. Kamu mau jadi wanita yang bebas kan?.”

“Iya kamu bener. Kalo gitu kita putus aja gimana? Kamu bukanya gak suka wanita bebas kayak aku?.”

“Asmara. Tolong deh jangan mulai. Aku cuma mau sama kamu.”

Beginilah kami 6 bulan terakhir, bertengakar tanpa alasan, mempertahankan hubungan yang sudah tidak sejalur lagi. Selama dua tahun kami menjalin hubungan, saat 6 bulan terakhir ini aku menyadari perbedaan jalur yang kita ambil, aku sadar setelah Sadewa membawaku ke rumah orangtuanya di Malang. Usiaku kini sudah 28 tahun, dan dia sudah 30 tahun, wajar jika orangtuanya meminta kami untuk segera menikah. Tapi aku masih berpegang pada perinsip diriku 2 tahun lalu.

Masih banyak cita-cita yang belum aku kejar, masih banyak destinasi wisata yang belum aku kunjungi. Apalagi sifat Sadewa yang mirip dengan Ayah. Kata orang cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Menurutku itu ada benarnya juga, tapi dalam kita mencintai pasti ada kalanya kita tersakiti bukan? dan ayah memberikan itu juga padaku. Ibuku, Ratna Wijaya meninggal saat aku kelas 2 SMP, beliau meninggal karna kanker. Saat aku kecil, mereka saling memberikan kasih sayangnya padaku. Ibu dan Ayahku menikah beda agama, namun aku tahu jika Ayah sangat menayangi ibu, sampai bertahun-tahun berlalu saat aku kelas 3 SMA ayah menikah lagi dengan wanita pilihan Nenek. Dua tahun kemudian aku mendapatkan adik dari tante Rani, istri baru ayah, seorang adik perempuan yang lucu. Aku tidak terlalu membencinya namun aku juga tidak terlalu sayang padanya.

Semenjak aku masuk kuliah aku sudah tidak lagi berada dirumah Ayah. Aku merasa kecewa karna setelah sekian lama Ayah justru memilih menikah lagi. Suara lonceng kembali terdengar, aku melirik lagi kearah pintu, seorang gadis perempuan dengan rok jeans mini yang berpadu dengan kaos polos pink masuk menarik perhatian semua pengunjung. Beberapa pengunjung di dekat mejaku mereka mulai berbisik. Ah, iya dia seorang influenser rupaya, aku pernah melihatnya sliweran disosial mediaku.

“Kenapa kamu mau putus?” tanyanya lagi.

“Aku pengen sendiri dulu, ngabisin waktu sama diri sendiri. Pergi ke tempat yang aku pengen, ngelakuin hal yang aku pengen.”

“Selama ini apa pernah aku ngelarang kamu pergi ke tempat yang kamu suka?.”

“Tapi kamu selalu curiga sama apa yang aku lakuin disana kan?.”

“Oke aku minta maaf tapi tolong kita jangan putus ya.”

“Aku gak bisa selalu bikin kamu overthingking terus.”

*****

Sadewa mengatur napasnya, seorang pelayan datang membawakan minuman kami. Aku suka berpetualang, setidaknya setahun sekali aku akan pergi ke tempat destinasi yang ada dalam listku. Bisanya aku memfoto beberapa moment dan aku tuangkan diakun sosial mediaku. Aku membiarkan Sadewa mendiamkan ku seperti ini. Tapi sejujurnya aku tidak suka sikap pendiamnya jika marah seperti ini, dan aku memutuskan untuk menyibukan diri melihat akun sosial mediaku. Saat membukanya aku melihat sebuah foto yang kuambil saat aku berada di Kalimantan bersama Bagaskara, saat itu temanku yang asil daerah sana mengajak kami berburu babi hutan di Kalimantan. Bagaskara yang mengetahui aku akan pergi kesana menginkan dia ingin ikut denganku.

Tiga hari kami dihutan makan seadanya, terus berjalan menyusuri sungai tanpa signal. Sesampainya kami di desa dan mendapatkan signal aku melihat ponsel yang ternyata sudah ada ratusan panggilan tak terjawab dari Sadewa, saat itu kami baru menjalin hubungan 4 bulan.

“Kamu kemana aja? Kenapa tiga hari ini kamu gak bisa dihubungi?” katanya di sambungan telpon.

“Aku pergi ke hutan berburu babi sama temen aku asli sini” jawabku jujur.

“Kamu cewek sendiri dirombongan itu?” tanyanya sedikit khawatir.

“Ya gitu, tapikan disini juga ada Bagas kok.”

“Bagas? Kamu milih ngajak Bagas ke Kalimantan daripada aku?.”

“Ya engak gitu, kan aku sama Bagas emang suka naik gunung, pergi ke hutan bareng jadi aku merasa lebih aman kalo sama dia.”

“Pacar kamu siapa sih? Aku atau Bagas?.”

“Ya ngak begitu maksudku Wa.”

“Oke sekarang kita videocall, aku mau tahu ada siapa aja disana” aku mematikan sambungan telpon dan kembali ke dalam rumah. Kesal, itu yang aku rasakan saat itu.

*****

Aku meneguk lagi minumanku. Dan menatap Sadewa tajam.

“Kamu pasti lagi mikir kalo aku lagi cheeting ya sama orang lain?.”

“Iya, abisnya kamu berubah semenjak kenal sama Bagas.”

“Wa. Aku kenal sama Bagas jauh lebih lama daripada aku kenal sama kamu.”

“Iya, bener dan kamu suka kan sama dia? Semua hal yang kamu lakuin itu selalu sama dia. Kamu kerja ditempat yang sama, kamu ngelakuin hobby kamu bareng dia. Semua yang ada dihidup kamu itu dia Ra.”

“Aku sama Bagas itu kenal dari kecil, wajar kalo kita punya kesamaan.”

Aku menghembuskan napas pelan menatap lembut ke arah Sadewa.

“Sadewa, aku gak ada perasaan apapun sama Bagas.”

Sadewa menatap kearahku dengan wajah sedihnya.

“Mata kamu gak bicara begitu Ra, mata kamu mencerminkan hal kebalikanya” kata-katanya membuatku terkejut. Aku tidak tahu pasti kebenaran yang mana, aku dan Bagaskara memang dekat dari kecil. Entah hanya aku atau Bagas juga mengalamai hal yang sama. Dari dulu Bagas adalah tempat ku berkeluh kesah sampai 2 tahun lalu dia berubah. Saat dia menemukan tambatan hatinya, dia akhirnya berpacaran dengan Salsa. Wanita yang dia kenal saat dapat tugas di Surabaya. Aku tidak terlalu mengenal baik Salsa, tapi Bagas selalu menceritakan semua hal tentang Salsa, semua artis K-Pop sampai film yang perempuan itu sukai. Dan ajabinya mereka memutuskan untuk berhubungan tepat satu bulan semenjak mereka berkenalan.

Saat aku mengetahui fakta jika Bagas dan Salsa menjalin hubungan aku merasa biasa saja, tidak senang tidak juga sedih. Sampai sepulang aku dari Jogja, Bagas mulai menjauhiku, saat itu hatiku baru merasa sakit. Aku pikir ini adalah perasaan wajar seorang teman yang ditinggalkan temanya. Sampai sebulan sebelum keberangkatan kami ke Kalimantan, Bagas mengajak ku untuk bertemu, dia meminta maaf akan perlakuanya beberapa bulan lalu. Salsa meminta Bagas menjauhiku karna dia takut jika Bagas berpaling kepadaku. Jujur saat Bagas mengatakan itu hatiku merasakan sakit sekali. Mataku sampai berkaca-kaca, dan aku masih belum tahu apa penyebabnya. Kalau karna permintaan Salsa tidak seharusnya aku merasakan sesakit ini, aku bisa saja mengabaikan Salsa dan tetap berteman dengan Bagas.

Aku juga terkejut ketika Bagas merengek minta ikut dengan ku ke Kalimantan. Katanya saat itu dia sedang bertengkar hebat dengan Salsa, dia tahu jika Bagas sempat menemuiku sebelumnya.

*****

Handphoneku kembali berdering menampilkan notifikasi pesan dari group sekolah, aku membuka pesan Bagaskara mengirimkan sebuah pesan berupa undangan online pernikahan dirinya dan Salsa. Bahkan aku tidak tahu jika mereka sedang memepersiapkan pernikahan. Aku bergumam sendiri dengan berita itu.

“EmmBagas udah mau nikah”.

“Terus bagaimana perasaan kamu sekarang?”.

“Aku? Ya aku gak sedih aku juga gak seneng. Cuman kaget aja mereka tiba-tiba nikah.”

“Asmara, tolong jangan bohongi perasaan kamu lagi. Aku tahu cinta kamu untuk Bagas, aku sebagi laki-laki bisa liat itu dari mata kamu.”

“Kamu yakin banget itu yang aku rasain? Aku aja gak tahu perasaan aku ke Bagas sama engak dengan omongan kamu. Aku aja gak tahu perasaan sayang sama orang lain tuh gimana? Kamu kenapa bisa-bisanya ngejugde aku?.”

“Jadi selama ini kamu gak pernah sayang sama aku? Setelah apa yang udah kita lakuin selama ini?.”

Aku kembali terpukul dengan perkataan Sadewa, dia berbicara seolah dia adalah satu-satunya korban dalam hubungan ini. Dua puluh delapan tahun aku hidup belum pernah sekalipun aku merasakan bagaimana itu cinta, menyayangi orang lain, saat SMA aku juga membaca novel-novel percintaan remaja aku tahu bagaimana si karakter digambarkan jatuh cinta dengan karakter lainya. Tapi dalam kehidupan nyata aku tidak bisa merasakan itu, yang aku tahu dalam sebuah hubungan hanya ada kata komitmen, dan ketika aku sudah engan untuk berkomitmen lalu apa? Cinta? Tapi bagaimana?.

“Aku gak tahu Wa. Aku jalanin hubungan kita karna komitmen bukan karna cinta dan sebagainya. Kamu inget gak waktu awal-awal kita pacaran, dulu kamu pernah tanya apa aku udah cinta sama kamu dan saat itu dengan entengnya aku jawab belum. Ya karna itu yang aku rasain Sadewa, aku gak pernah merasakan jatuh cinta sama kamu.”

“Terus 2 tahun ini apa Ra?”tanya kesalnya.

“Aku mencoba untuk komit Wa, sampai 6 bulan terakhir ini aku ngerasa kalo aku udah gak bisa komit sama hubungan kita.”

Tatapan Sadewa berubah, air matanya menggenang, dia menarik napas panjang sebelum menanyakan kembali apa ke inginanku.

“Kita putus? Kamu mau kita putus?” pertanyaan Sadewa hanya aku jawab dengan anggukan pelan. Sadewa mengalihkan pandanganya keluar jendela lagi, aku melihat air matanya menetes. Aku tidak bisa melihatnya menangis lama, jadi aku menundukan kepala.

“Kalau itu yang kamu mau. Aku akan ngikutin kamu, aku mau kamu gak tertekan dalam berhubungan dengan ku” Sadewa menyeruput Avocado Chocolate sedikit lalu berpamitan pergi dari hadapanku.

Kami bersepakat atas perpisahaan ini, aku masih memperhatikan kepergian Sadewa dari balik jendela. Tak lama seorang pelayan menghampiri mejaku. Dia memberiku sebuah kotak berudu berwarna merah menyala, dia bilang ini titipan dari pria yang tadi bersamaku. Aku membukanya, ada sebuah cincin dengan berlian kecil berwarna merah muda di tengahnya. Aku mematung beberapa detik melihat cincin itu.

Aku membawa pulang kotak cincin berudu itu pulang, kali ini aku memutuskan untuk pulang ke rumah Ayah.

Ibu tiriku sepertinya kaget melihat aku pulang ke rumah, kami belum pernah berbicara panjang sebelumnya, kecanggungan itu sangat terasa diantara kami. Suasana rumah masih sama, peletakan prabotan rumah juga masih sama. Aku melihat foto Ibu masih terpajang rapih, bahkan bingkainya juga diganti.

“Ayah kamu biasanya pulang jam 7 malem, masih ada proyek yang harus digarap. Kamu suka ayam goreng saus padang gak?.”

“Suka kok. Tan-te?.”

“Rani. Kamu duduk aja saya siapin makanan sebentar.”

“Gak usah tante aku buru-buru ko. Cuma mau ambil barang aja.”

“Ya udah kalo gitu ayamnya dibungkus aja ya buat makan kamu di kosan.”

“Gak usah repot-repot tante.”

“Engak kok gak repot.”

Tante Rani masuk ke dapur, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, melihat kamar masa kecil sampai remajaku, poster Linkin Park dan Vivaldi yang memegang biola masih menempel dengan tembok kamarku. Aku menuju lemari kecil yang ada disebelah meja rias, ada album foto berisi kenangan masa kecilku yang masih tersimpan disana.

Sebuah ketukan pintu mengagetkan ku, aku melihat pria dewasa yang sudah beruban dan banyak kerutan di dahinya, ayah pulang dan berdiri dihadapanku. Perlahan aku mendekat, aku mengambil tanganya untuk mencium punggung tanganya, setelahnya kami hanya saling menatap dengan air mata yang menggenang, kemudian ayah memeluku, menumpahkan segara rindu yang terpendam, aku menangis dipelukan Ayah.

*****

DUA TAHUN LALU

Perjalan panjang Jakarta-Jogja dengan kereta sedikit membosankan, namun pemandangan yang disajikan alam bisa menjadi sedikit obat dari rasa bosan. Sampai di stasiun Purwokweto tempat duduk disebelahku yang sebelumnya kosong kini terisi. Awalnya kami tidak saling berbincang, rasa bosan kembali menghampiriku aku mengambil buku dari tas ranselku, buku dari Robert Kiyosaki “Rich Dad Poor Dad”. Lama aku membaca tiba-tiba orang yang ada di sampingku mengajak bicara.

“Suk abaca buku Robert Kiyosaki juga?”.

“Iya” jawab singkat ku.

“Manu jadi pengusaha?”.

“Oh belum tahu juga sih, gue beli buku ini karna banyak temen gue yang beli” bohongku.

“Hemm.. gue sih udah baca, ya baru separuh doang sih. Dibuku itu kita diajarin pola pikir seorang pengusaha, cara mereka atur uang, sama soal kesederhanaan”.

“Oh lue gitu”.m

“Sadewa” tanya menjulurkan tangan.

“Asmara”

“Kuliah kerja?”

“Gue ke Jogja mau liburan aja sih. Lue sendiri?”.

“Oh. Gue mau kondangan adek sepepupu gue nikah sama orang Jogja”.

Berawal dari buku itu obrolan kami berlanjut sampai akhirnya kami tiba di stasiun Jogaj. Dia pria yang menyenangkan, aku bahkan tidak ragu bergandengan tangan saat menyeberangi kereta KRL Jogja untuk menuju pintu keluar. Sebelum berpisah kami saling bertukar nomer, aku pergi menuju hotel dengan taksi online sedangkan pria bernama Sadewa itu sudah di jemput saudaranya. Aku masuk ke mobil taksi online pesananku dan Sadewa masih disana belum pergi dari tempatnya, mobilku melaju menjauh dari posisi Sadewa.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Hello How?
Tiwul
Novel
KURANJI LANTANG
Airin Ahmad
Novel
Bronze
Ruang Bersamamu
F. Chava
Novel
Bronze
Sepotong Kisah tanpa Akhir
Ansar Siri
Novel
Gold
Anne of Green Gables
Mizan Publishing
Novel
Senja di Langit Ancala
Andita Rizkyna N
Novel
PENJARA DALAM RUMAH (Diarry anak broken home)
Rahmayanti
Novel
Bronze
Fabricated Love
Liz Lavender
Novel
Bagas Ayu... Puisi Jiwa untuk Cinta
Gie_aja
Novel
Bronze
Terima Kasih Sudah Menjadi Adik Perempuanku
Mario Matutu
Novel
Bronze
Tuhan Yesus Menyembuhkan Luka Batinku
Asti Pravitasari
Novel
I'm not an ordinary Oiran
mikaji Al daufan
Novel
Bronze
Kang Azzam: Sang Kiai dan Metamorfosa
Khairul Azzam El Maliky
Novel
Bronze
Beautiful Wounds in 1998
nilnaulia
Novel
Selalu Ada Cinta dalam Cerita
Barkah Azhari
Rekomendasi
Cerpen
Hello How?
Tiwul
Novel
XOXO (Conspiracy & Song)
Tiwul
Novel
Bronze
Kembali 98
Tiwul
Novel
/po·li·tik/
Tiwul
Skrip Film
xoxo mystery
Tiwul