 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nisa meletakkan tasnya di kursi. Hari ketiga mencari pekerjaan, dan kakinya sudah seperti ditimpa beton. Ia berjalan menuju dapur, tenggorokan kering meminta segelas air.
Saat melewati saklar lampu, cahaya berkedip sekali. Cepat, seperti mata yang berkedut. Bayangan ganda terpantul di dinding, menciptakan siluet yang tidak seharusnya ada. Dengungan rendah bergetar dari dalam lantai, seperti napas bumi yang tertahan lalu hilang.
Bel pintu berbunyi.
Nisa menoleh ke jendela depan. Siluet seorang pria. Kurir paketnya, mungkin?
Ia membatalkan niat ke dapur dan berjalan ke pintu. Ketika gagangnya berputar dan daun pintu terbuka, dunia Nisa berhenti berputar.
Ayahnya berdiri di sana. Senyuman yang sama. Yang ia kira sudah hilang selamanya.
"Nisa...."
Suara itu. Suara yang ia hafal di luar kepala, yang masih sering terdengar dalam mimpi.
Nisa membeku. Napasnya tersangkut di tenggorokan.
Ayahnya meninggal saat ia masih duduk di bangku SD. Bertahun-tahun sudah. Tapi ia masih ingat senyuman itu, suara itu, cara ia memanggil namanya.
"Ayah..."
Kata itu keluar seperti doa.
"Ayah kangen sama Nisa."
"Nisa juga... kangen sama ayah."
Nisa melangkah maju dan memeluknya. Raga itu terasa nyata. Hangat, padat, hidup. Ia tidak peduli lagi. Halusinasi, hipnotis, mimpi, apa pun itu tidak masalah. Yang penting ia bisa memeluk ayahnya lagi.
"Anak ayah sudah besar ya sekarang."
Pelukan itu semakin erat. Air mata Nisa menetes ke bahu ayahnya.
Mereka duduk di ruang tamu yang tidak pernah berubah. Bangunan yang sama, sudut yang sama, bahkan retakan kecil di langit-langit masih di tempat yang sama.
Nisa bercerita banyak. Tentang sekolah, tentang kuliah, tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan. Tentang malam-malam sendirian di rumah ini, menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.
Ayahnya mendengarkan. Kadang tatapannya kosong sesaat, seperti mencari sesuatu di kejauhan, tapi kemudian kembali hangat, fokus padanya.
Tanpa terasa, siang sudah menjadi malam. Dua gelas kopi sudah habis. Kue buatan Nisa tinggal remah-remah di piring.
"Dulu Nisa cuma bisa masak telur," kata ayahnya, suaranya lembut. "Sekarang sudah bisa bikin kue."
Nisa tersenyum lewat air matanya.
"Ayah, terima kasih sudah datang."
Ayahnya membelai rambutnya. Rambut yang dulu selalu pendek, sekarang panjangnya melewati bahu. "Terima kasih ya, Nisa. Nisa sudah bertahan sejauh ini. Ayah bangga sama Nisa."
Sentuhan itu mulai terasa ringan. Seperti angin.
Suhu ruangan anjlok. Napas Nisa mengembun di udara.
Ayahnya menatap langit-langit dengan panik. Matanya melebar, seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Suara tipis memecah keheningan, seperti kaca yang retak di dimensi lain. Tajam dan menusuk telinga.
"Ayah harus pergi, Nak." Suaranya terputus-putus, seperti radio yang kehilangan sinyal. Ia memeluk Nisa, sekuat yang ia bisa. "Kerinduan ini... terlalu kuat. Ayah tidak bisa di sini lebih lama lagi."
"Ayah! Jangan pergi!"
"Terima kasih, Nisa." Air matanya jatuh ke rambut Nisa, dingin seperti embun pagi. Wujudnya bergetar, semakin transparan.
"Ayah, Nisa sayang ayah."
Kilatan cahaya putih cepat, dingin, menyilaukan seperti flash kamera menelan sosok ayahnya.
Nisa berdiri sendirian di ruang tamu. Udara terasa berat dan dingin. Bau asing menguar, seperti ozon setelah hujan dan logam yang terbakar.
Singkat. Tapi cukup.
Ia tidak akan pernah bisa berharap lebih. Surga yang kacau telah memberikan hadiah terbesarnya.
***
Lia menatap foto pernikahan di tangannya. Dua minggu. Hanya dua minggu mereka bersama sebagai suami istri sebelum kecelakaan itu merenggut Reza.
Ia menarik napas panjang. Dadanya sesak.
Tiba-tiba, dingin menjalar dari lantai ke tulang punggungnya. Seperti ada sesuatu yang bergeser di udara, sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Pintu rumahnya diketuk.
Lia tidak bergerak. Ia tidak punya energi untuk apa pun lagi.
"Lia?"
Suara itu. Suara yang mustahil.
Lia melompat dari sofa dan berlari ke pintu. Tangannya gemetar saat membuka kunci.
Reza berdiri di depannya. Tidak ada luka. Tidak ada darah. Sempurna, seperti yang ia ingat. Tapi ada sesuatu di matanya. Kesadaran yang dingin, kesadaran bahwa ia tidak seharusnya berada di sana.
"Mas?"
"Sayang." Suaranya sarat kerinduan dan kepahitan. "Aku tahu ini konyol. Tapi aku tidak punya waktu. Aku sempat ke rumah Mama dulu. Aku membuang waktu. Aku hanya punya sedikit waktu."
Lia tidak bisa menahan tangisnya. Ia memeluk Reza, merasakan tubuhnya yang nyata tapi bergetar samar, seperti arus listrik yang lemah.
Reza membalas pelukan itu, sekuat yang ia bisa. "Aku tahu aku sudah tiada. Ada... ada masalah dengan Gerbang. Ini tidak akan lama. Aku kembali hanya untuk ini, untuk melihatmu, untuk memelukmu."
Mereka berpelukan di ambang pintu, menumpahkan semua yang terlewatkan. Semua yang tidak sempat diucapkan. Pelukan itu semakin erat, semakin putus asa.
Gemuruh dalam mengaum dari luar. Suhu di sekitar Reza turun drastis. Tubuhnya terasa kaku, seperti es yang mulai membeku.
Reza memejamkan mata, mencoba mempertahankan kesadarannya. Ia tahu waktunya habis.
"Lia, Sayang, dengarkan aku." Suaranya melirih, terdengar jauh. "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, dan kamu harus berjanji padaku."
"Aku janji apa, Mas? Aku janji apa?"
"Jangan berhenti hidup." Kata-kata itu diucapkan dengan susah payah, seperti mengeluarkan paku dari tenggorokan. "Jangan berhenti bahagia. Carilah kebahagiaanmu. Jangan pernah merasa bersalah, Sayang."
Reza mencium keningnya, lalu melepaskan pelukan itu sendiri. Wajahnya mulai memudar, bergetar cepat seperti gambar yang rusak.
Suara melengking memekakkan telinga, alarm dari dunia lain.
Lia mencoba meraihnya kembali, tapi tangannya hanya menyentuh udara dingin.
"Aku mencintaimu," bisik Lia, saat Reza menghilang dalam kilatan cahaya putih yang menyilaukan.
Lia ambruk ke lantai, memeluk dirinya sendiri. Gemuruh menghilang. Keheningan mengisi rumah. Ia menyentuh tempat yang tadinya ditempati Reza. Dingin menusuk dan bau ozon tajam masih tertinggal.
Ia tidak lagi berjuang dengan duka. Sekarang ia berjuang dengan janji. Janji untuk hidup. Janji untuk bahagia.
Tugas yang jauh lebih sulit. Hadiah dari suaminya, melalui kekacauan surga.
***
Aku, Tasya, sudah menahan diriku di Ruang Tunggu sejak tiga bulan lalu.
"Nomor 2134-140325."
Panggilanku. Tiga kali mereka memanggil. Tapi aku hanya diam di sudut, membiarkan wujud rohku tak terlihat. Aku tahu jika aku melangkah, aku akan masuk ke pusaran reinkarnasi berikutnya.
Aku belum siap.
Lalu aku merasakan retakan. Bukan retakan di dinding, tapi retakan di tatanan. Getaran cepat, dingin, asing. Gerbang Antar Dimensi yang bermasalah. Celah.
Sebuah celah untuk kerinduan yang paling kuat.
Aku tidak menyia-nyiakannya. Aku memfokuskan seluruh energi kerinduanku pada Nirmala, kakakku. Senyumnya. Suaranya. Aku harus menembus sebelum celah itu menutup.
Aku tiba di sana.
Udara bumi terasa berat, berminyak, dan hangat. Sangat berbeda dari keheningan steril Ruang Tunggu. Aku berdiri di seberang kafe, berusaha menstabilkan wujud fisikku. Mengambil wujud fisik sangat melelahkan, seperti memakai baju basah yang berat.
Aku melihat Nirmala tertawa bersama teman-temannya. Senyumnya tulus, tapi aku bisa merasakan lubang kosong di dalamnya. Lubang yang aku tinggalkan.
Kami tumbuh besar berdua. Tapi sebelum aku jatuh sakit, Kakak merantau untuk bekerja. Semenjak itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Bahkan ketika aku sakit. Hanya telepon. Hanya suara.
Itulah kerinduan yang memberiku kekuatan.
Akhirnya, Nirmala berdiri melambaikan tangan dan berjalan pulang. Aku mengikutinya dalam bayangan, menjaga wujud fisikku agar tetap stabil. Jalanan malam terasa dingin, tapi energi kerinduanku mendorongku.
Nirmala berjalan ke kosnya. Kos sempit yang penuh foto-foto kami di dinding.
Aku menunggu hingga pintu tertutup dan lampu menyala. Lalu aku muncul di belakangnya.
"Tasya?"
Nirmala menjerit, menjatuhkan tasnya. Wajahnya pucat, antara takut dan sangat rindu.
Aku melangkah maju dan memeluknya. Tidak ada waktu untuk basa-basi. "Aku harus melihatmu. Aku hanya punya sedikit waktu, Kak."
Nirmala menangis, membalas pelukanku. Kehangatan tubuhnya seperti arus listrik yang menguras energi dimensiku.
"Aku tahu aku sudah tiada. Ada masalah di atas. Aku berhasil menahan antrean. Aku berhasil menembus celah itu. Hanya untuk ini."
Kami duduk di lantai kayu dingin. Nirmala menceritakan promosi pekerjaannya, tentang bos barunya, tentang apartemen yang ingin ia beli. Aku mendengarkan, mencoba memasukkan setiap kata ke dalam memori rohku.
Tiba-tiba, seluruh lampu di kos berkedip cepat. Dengungan memekakkan telinga bergema keras di ruangan sempit. Wujudku mulai bergetar. Rasanya seperti ada magnet raksasa yang mencoba menarikku keluar melalui atap.
"Aku harus segera pergi, Kak." Aku memegang kepalaku yang terasa seperti dipenuhi pasir.
Nirmala memelukku lagi, kali ini dalam keputusasaan. "Jangan, Sya! Jangan tinggalkan Kakak lagi!"
Aku tahu aku harus segera kembali ke Ruang Tunggu agar dapat bereinkarnasi dengan baik. Aku harus memastikan janji itu tersampaikan.
Aku menarik diri. Suara Nirmala terasa jauh, seolah aku sudah setengah berada di dimensi lain.
"Kakak." Aku menatap matanya yang basah. Aku harus pergi dengan sengaja, sebelum mereka menarikku secara paksa. Aku ingat perkataan yang diucapkan Kakak ketika aku meninggal: "Di kehidupan selanjutnya, terlahirlah sebagai adikku kembali."
"Janji itu, Kak. Aku akan menepatinya. Aku harus pergi sekarang, untuk memastikan aku menemukan jalan kembali padamu."
Aku membiarkan energi dimensiku lepas, membiarkan wujud fisiku mulai goyah.
Teriakan melengking nyaring dari dimensi atas. Peringatan terakhir.
Aku menutup mata dan melepaskan peganganku pada realitas bumi. Kilatan cahaya dingin melahapku.
Ketika aku membuka mataku lagi, aku kembali di Ruang Tunggu. Selembar kertas putih muncul di hadapanku. "Nomor 2134-140325."
Aku tidak lagi takut pada nomor antrean itu. Aku rela menunggu seberapa lama pun. Aku telah mengamankan ikatan kami.
"Heaven is troubled," bisikku, sambil tersenyum ke arah celah dimensi yang kini tertutap rapat. "Tapi kerinduan kami lebih kuat dari tatanan semesta."