Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Anya merebahkan diri di kasur kesayangannya. Tangannya terulur mencari bantal, tapi yang diraihnya adalah kekosongan—seperti tiga bulan terakhir ini, seperti setiap malam sejak pemakaman.
Entah kenapa penyesalan begitu dalam menghujam. Seandainya ada yang memberitahunya bahwa ada momen yang tidak akan terulang kembali. Seandainya ada yang mengingatkan bahwa seseorang yang bersama kita suatu hari nanti akan pergi, dan kita tidak akan pernah melihatnya lagi.
Tiba-tiba telinganya berdenging. Disusul suara-suara lirih seperti lembaran kertas yang diacak di ruang hampa. Ingatan Anya terbang kembali ke masa lalu—ke saat ia belum pernah kehilangan apa pun. Ingatan-ingatan itu membuatnya jatuh dalam tidur. Tapi tidurnya kali ini berbeda. Mimpi ini terasa nyata.
Anya terbangun di rumah tua milik kakek-neneknya. Di depannya ada TV tabung tua yang menampilkan sinetron sore. Setting ini terasa nyata—bau tanah dan kayu bakar mengisi paru-parunya. Ia mendengar suara kakeknya yang baru pulang mencari pakan sapi.
Anya bangun, berjalan ke rumah bagian depan—ruangan yang dulu jarang dibuka. Di sebelah kanannya ada banyak gamelan tua, gamelan yang biasa digunakan oleh komunitas kakek-neneknya.
Anya mendekati gamelan-gamelan itu. Ia melihat gong besar di pojok. Bentuknya berbeda. Bukan gong yang ia ingat, melainkan cermin tua yang seharusnya ada di kamar ayahnya. Ia berkedip, dan cermin itu kembali menjadi gong—gong yang biasa dimainkan oleh kakaknya sewaktu kecil.
Anya membuka pintu depan. Halaman luas yang gersang membentang di hadapannya. Rumah ini berada di perbukitan yang sangat jarang hujan. Tanahnya sampai retak-retak. Ia melihat gabah terhampar luas di halaman.
Cuaca tiba-tiba mendung. Anehnya, langit berganti warna dari biru pucat ke abu-abu gelap hanya dalam satu tarikan napas.
Ia melihat neneknya mengumpulkan gabah. Neneknya membawa karung putih yang bisa memuat sampai 70 kilogram. Anya berlari mendekat, membantunya mengumpulkan gabah dan memasukkannya ke dalam karung. Begitu beratnya, neneknya hanya bisa menyeret karung itu.
"Jangan diseret, nanti bolong karungnya!"
Itu suara kakeknya. Banyak karung sudah bolong karena neneknya tidak sanggup mengangkat karung yang terisi setengah.
Tak lama kemudian hujan turun. Anya duduk di teras sambil mengamati air hujan membasahi pepohonan—mangga, pisang, kelapa, coklat, jeruk, jambu, dan masih banyak tanaman lainnya.
Di sebelahnya, kakeknya sedang membuat ketapel untuk mengusir burung ketika menunggu sawah. Tangannya yang tua bergerak lincah mengukir kayu berbentuk sempurna, karet pentil merah sudah siap di sampingnya.
Anya berjalan ke belakang rumah. Rumah ini terasa sangat besar untuk dihuni dua orang. Rumah ini adalah rumah lama—tempat kakek, nenek, ayah, keponakan, ipar, semua keluarga dulu berkumpul. Rumah yang dahulu tidak pernah sepi.
Anya menuju ruangan yang terpisah dari dapur belakang. Ruangan itu adalah ruangan khusus untuk tungku api. Ia melihat neneknya memasak air, masih menggunakan kayu. Api menjilat, asap naik mengotori atap yang sudah berwarna kehitaman.
"Dek, ayo buat mendoan."
Itu suara neneknya. Nenek Anya tidak bisa memasak. Ia bahkan tidak tahu cara membuat mendoan. Tapi entah kenapa, di sini, di momen ini, mereka berdua berdiri di depan tungku.
Anya segera mencampur tepung dan bumbu yang sudah dihaluskan. Tepung yang tidak tercampur sempurna itu membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang berlarian ke sana kemari ketika diaduk.
Neneknya bertugas memotong tempe dengan pisau tumpul. Gerakannya lambat tapi penuh kesabaran. Ini adalah momen pertama Anya dan neneknya memasak bersama. Tempe mendoan yang rasanya tidak sempurna, tapi menjadi momen yang sempurna di ingatan Anya.
Hasil karya mereka tidak hanya dinikmati orang rumah, tapi juga tetangganya. Anya dan neneknya mengunjungi tetangga bernama Mbak Is.
Ingatan Anya seperti tercampur. Ia teringat Mbak Is meninggal karena kanker otak. Tapi saat ini, Anya melihat Mbak Is di depan matanya. Anya meraba tangannya, dingin. Namun senyum Mbak Is nyata.
"Kamu sudah lama tidak berkunjung," kata Mbak Is. Suaranya sedikit bergema, seolah datang dari balik kaca.
Tiba-tiba Anya berpindah tempat. Ia berada di pintu belakang. Ia melihat kakek-neneknya kebingungan. Ini adalah momen ketika anak sapi mereka lepas karena pintu gerbang belakang tidak ditutup dengan benar.
Akhirnya mereka semua mengejar sapi yang lepas. Anya hanya bisa mengikuti neneknya dari belakang. Anak sapi itu terlihat mengerikan—sangat aktif seperti anak anjing, berlari ke sana kemari dengan energi yang tidak habis-habis.
Setelah mengejarnya, akhirnya anak sapi itu tertangkap. Anak sapi berwarna coklat dengan putih di wajahnya.
"Besok gerbang belakang ditutup dengan benar!" Suara kakeknya tegas tapi tidak marah.
Malam itu Anya memasak mie instan dalam rantang—aneh, kan? Inilah kreasi Anya kecil. Ia membawanya ke depan TV untuk dinikmati bersama kakaknya.
Ketika memakan mie itu, tiba-tiba Anya sakit perut. Ia merasa mules. Ini yang menyebalkan—kebelet buang air di malam hari.
Asal kalian tahu, kamar mandinya terletak di dekat kandang sapi, tepat di bawah pohon bambu yang lebat dengan lampu berwarna kuning. Lebih menyebalkan lagi, ia harus membawa air dari belakang rumah karena kamar mandi itu hanya berisi kloset dan bak mandi tanpa keran. Repot sekali.
Anya jongkok di kloset itu, mendengar angin berhembus dan pohon bambu yang bergesek. Menyeramkan. Kakaknya ada di luar, memegang senter sambil menunggu. Jaga-jaga saja, barangkali Anya akan tersedot hantu kloset.
"Cepetan!" teriak kakaknya dari luar.
"Iya, iya!" sahut Anya.
Malam itu, ketika Anya kembali tidur di kamar neneknya, ia tidak kembali ke masa kini. Ia masih berada di masa itu. Masa sebelum kehilangan.
Anya membuka mata. Setiap pagi kakeknya selalu memasak—nasi goreng, mie rebus, atau masakan sederhana lainnya. Kakek Anya bisa memasak, bahkan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Waktu kakak pertama Anya masih kecil, kakeknyalah yang sering memandikannya.
Anya memakan nasi goreng pedas itu di teras sambil mengamati hujan yang turun. Kakek dan neneknya memiliki kebiasaan makan di meja makan. Kebiasaan yang tidak ada di rumah Anya.
Siang itu Anya bersama kakak dan kakeknya berjalan-jalan menggunakan mobil, jauh ke sebuah tempat wisata. Tempat wisata berupa goa itu sangat penuh wisatawan. Mereka hanya lewat saja. Sebagai penduduk asli, mereka tidak tertarik dengan destinasi itu.
Anya membuka kaca mobil. Ia merasakan angin berhembus. Sentuhan angin itu terasa nyata.
Tapi angin yang dirasakan Anya tiba-tiba berubah dingin secara drastis, berbau aneh—seperti bau rumah sakit dan obat-obatan.
Ketika ia turun dari mobil dan kakinya menyentuh tanah yang retak-retak gersang, ia merasakan perubahan mendadak pada gravitasinya. Ia terhuyung. Pandangannya terpusat pada halaman luas di depannya.
Halaman itu, yang beberapa jam lalu ia lihat tertutup gabah dan pepohonan rimbun, kini mulai berkedip dan berganti. Dalam satu glitch cepat, ia melihat gabah itu menghilang, pohon-pohon mangga menjadi kering, dan rumah kakek-neneknya tampak sepi seperti rumah yang ditinggalkan.
Ia merasa kehilangan yang begitu berat. Terasa mendadak. Anya tahu ini bukan mimpi biasa.
"Nenek!" jeritnya tanpa sadar, dan ia berlari ke dalam rumah.
Lingkungannya memburuk dengan cepat. Suara langkahnya memantul lalu menghilang, seolah lantainya kini adalah hampa. Ketika ia melewati TV tabung, layar itu mengeluarkan static berwarna-warni yang memekakkan telinga. Aroma tanah perbukitan menghilang, digantikan bau ozon dan logam yang dingin.
Kakeknya, yang tadi sibuk mengisi TTS, kini hanya terdiam. Wajahnya buram seperti foto yang tidak fokus. Ia telah menjadi patung memori.
Anya menemukan neneknya di kamar sedang menyiapkan mahkota kecil. Neneknya tampak sedikit transparan seperti bayangan.
"Dek, kamu kenapa?" tanya neneknya. Suaranya terdengar seperti bisikan dari kejauhan, terpotong oleh dengungan keras yang kini memenuhi telinga Anya.
Neneknya mendekat, memberikan mahkota itu sambil mengatakan, "Nenek ingin kamu terlihat cantik."
Anya tidak punya waktu lagi untuk mencoba mengubah apa pun. Memori ini akan segera lenyap. Ia menerjang maju dan memeluk neneknya seerat mungkin. Kehangatan itu terasa nyata, namun ia bisa merasakan glitch dingin yang bergetar di baliknya.
"Anya mencintai kalian," katanya. Suaranya pecah oleh air mata dan dengungan. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Anya. Terima kasih, Nek, untuk mendoan yang tidak sempurna itu. Terima kasih untuk semuanya."
Neneknya membalas pelukan itu. Wajahnya bingung, namun matanya memancarkan kasih sayang yang murni. "Tentu saja, Dek. Kamu kan cucu Nenek."
Tiba-tiba dengungan di telinga Anya menjadi teriakan melengking. Tubuhnya terasa tersedot kuat ke atas. Ia melihat selembar cahaya putih tipis muncul di dinding kamar. Di atasnya terukir huruf yang membakar retina: "ARSIP TERSUSUN. KEMBALI KE LINTASAN PRIMER."
Pelukan itu terlepas. Rumah, nenek, tungku api—semuanya meledak dalam kilatan cahaya putih yang dingin. Anya tidak merasakan apa-apa lagi selain kejatuhan yang tak berujung.
Anya terengah, terbangun di kasur kesayangannya. Air matanya membasahi bantal. Aroma kamar mandi yang ia benci, bau obat-obatan, dan penyesalan yang ia bawa semalaman. Semuanya telah menghilang.
Kehilangan itu masih ada, itu fakta yang tak terhindarkan. Tapi kini ia membawa serta kehangatan dari pelukan terakhir yang sebenarnya tak pernah ada. Hadiah dari surga yang kacau.
Ia melihat ke luar jendela. Langit malam tampak tenang. Di suatu tempat nun jauh di atas sana, para Arsiparis Semesta mungkin sedang menghela napas lega setelah berhasil membereskan satu anomali kecil.
"Heaven is troubled," bisik Anya, tersenyum lirih. "Tapi terima kasih atas kekacauan yang indah ini."
Ia menutup mata. Kali ini tidurnya tenang.