Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Heart And Soul
2
Suka
1,300
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku menatap tajam mata mama yang menatap tajam ke arahku. Bola matanya menelusuri tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku tahu apa yang ada dalam benaknya. Aku berani bertaruh berapapun tentang kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya sebentar lagi. Dan meskipun aku sudah mulai muak mendengarnya, tidak mungkin aku langsung menyangkal dan mendebatnya ketika kalimat itu bahkan belum terucap kan? Bisa-bisa mama akan bersabda panjang lebar dulu soal adab berbicara pada orang tua, sebelum dia benar-benar masuk ke menu utama ceramahnya pagi ini. Aku tidak ada waktu untuk itu. Maka aku tunggu saja dia berbicara, sementara aku siap dengan amunisi senjata penyangkalanku.

"Cosplay lagi?" tanya mama akhirnya. 'Heuhh!' dengusku dalam hati. Ya iya lah. Masa pakaian kayak gini mau pergi bimbingan ke rumah dosen sih. Sambil memutar mata aku mengembalikan pandanganku kearah cermin, melanjutkan aktivitasku memasang wig pirang ala Nana Mobile Legend. Setelah kupikir-pikir, aku lebih baik batal memborbardir mama dengan peluru yang sudah kusiapkan. Percuma. Tak kan ada yang sampai tepat sasaran.

"Mia? Kamu mau cosplay lagi?!" ulang mama dengan nada yang mulai meninggi. Mengabaikan fakta bahwa tujuan utamanya masuk ke kamarku tadi adalah untuk menanyakan menu makan siang yang aku inginkan. Melihat kostumku mama pasti langsung menyadari bahwa dia akan makan siang sendiri hari ini.

"Iya mama ... aku mau ikut acara cosplay di Mall. Mama masak yang mama suka aja ya, aku nanti makan disana," jawabku setelah menghela nafas panjang. Mempersiapkan diri atas perdebatan yang semakin nyata di depan mata.

"Ckk, cosplay lagi copsplay lagi. Mau ngapain sih Mi ikut-ikut begitu terus? Apa pentingnya coba?" Nada kesal mulai menjebol pertahanan mama untuk tidak terlalu keras padaku. Aku menghargai itu, tapi tetap saja nada kesal pun mulai mengalir dari bibirku demi mendengar kalimat terakhir mama. Kalimat yang haram ditanyakan pada seseorang yang sedang melakukan hobinya.

"Iiihh, mama nih nanyanya begituu terus, mama kan tau ini hobi aku. Hobi ma hobi. Mama mungkin nggak punya hobi jadi nggak tau kalau hobi itu penting. Bikin kita senang, happy, hormon endorfin naik, aura jadi positif. Nggak kayak mama yang pikirannya negatif terus kalau udah lihat aku pakai kostum kayak gini. Bosen tau nggak sih ma, ngejelasin terus ke mama setiap aku ada kegiatan cosplay," cerocosku tak terbendung. Dan aku memang bosan karena mama nggak ngerti-ngerti bahwa kegiatan ini adalah salah satu Happy Place-ku setelah lelah dengan segala kegiatan kampus.

"Iya tapi kan nggak harus sering-sering juga Mia!"

"Sering-sering gimana? Terakhir aku cosplay kan sebulan yang lalu ma."

"Ya itu kan sering, tiap bulan cosplay!"

"Nggak tiap bulan juga ma, ini kan kebetulan event-nya berdekatan aja. Lagian kalau tiap bulan juga emang kenapa ma, namanya hobi kan wajar tiap bulan dilakuin. Orang-orang yang hobi nonton tiap minggu ke bioskop juga santai aja."

"Masalahnya ini tuh ... sebenarnya apa sih Mi? Mama tuh masih nggak ngerti kalian dandan gini tuh buat apa? Cuma buat foto-foto terus apa? Ngapain? Belum lagi pakaiannya kadang mini-mini gitu, mama risih lihatnya," keluh mama mulai pasrah melihat anak semata wayangnya yang tak sedikit pun berniat membatalkan rencananya. Aku kembali menghela nafas panjang. Bukan kali ini saja aku mendengar lontaran kalimat itu. Dan mama pun harus ikhlas menerima jawaban yg sama yang sudah pernah aku lontarkan juga.

"Ma, gini ya, aku cuma mau have fun sama teman-temanku. Nggak aneh-aneh koq. Kami hanya menyalurkan hobi. Ketemu sama orang-orang dengan hobi yang sama. Ngobrol, berbagi informasi, nonton live musik, dan menambah jaringan pertemanan. Udah itu aja," jawabku dengan nada pelan demi mendinginkan kepala mama. Walau bagaimana pun aku tidak akan berangkat jika mama tidak mengijinkan. "Dan mama jangan khawatir, aku nggak akan pakai kostum yang rok-nya terlalu pendek koq. Beneran. Oke ma?" bujukku menggenggam kedua tangannya. Giliran mama sekarang yang menghela nafas panjang, sadar sepenuhnya bahwa ia tak kan menang. Aku tentu saja sangat mengenal karakter mama. Se-tidak setuju apapun ia pada hobiku ini, atau pada cara berpakaianku yang kerap dianggapnya aneh, pada akhirnya ia tak kan tega. Ia tetap mengijinkanku berangkat. Seperti saat ini, mama hanya bisa mengangguk pelan sementara aku seketika tersenyum lebar.

"Oke deh, aku berangkat dulu ya. Daah mama ...." Aku mulai melangkah meninggalkan kamar ketika mataku menangkap lirikan mata mama kearah poster besar yang baru saja kutempel di dinding kamar kemaren. Sekarang dinding ku berhias 2 poster besar Boyband kesayanganku. Dan aku tahu mama tak kan suka dengan pemandangan itu. Dengan sigap aku mempercepat langkah meninggalkan kamar. Aku tak ingin terlambat. Ceramah tentang poster harus menunggu sampai malam nanti.

***

"Yaahh ... kita nggak jadi nonton bareng donk Mi. Gak seru niih!"

"Lohh Mi, kenapa nggak jadi? Kan lu nge-fans banget sama mereka."

"Waduuh, sayang banget Mi. Nggak jadi ketemu Sungjae and the hyungs donk ..."

Kalimat-kalimat penuh keheranan mulai membanjiri kolom komentar Instagram-ku. Merespon curhatanku yang baru saja kusiarkan ke seluruh dunia melalui feed Instagramku. Aku tidak peduli jika semua tahu. Rasa kesal dan sakit hati yang sudah aku pendam dari semalam ini terasa membuncah menyesakkan dadaku. Perdebatan tak berujung antara aku dan mama tadi malam masih terngiang-ngiang dibenakku.

"Nggak Mi, nggak bisa. Untuk yang satu ini mama nggak ngijinin!" tegas mama tadi malam saat aku meminta ijin, dan dana tentu saja, untuk menonton konser Boyband idolaku yang akan digelar beberapa bulan lagi. Aku sadar mama tidak akan semudah itu mengijinkan. Aku pun sudah siap mendengar petuah-petuah bahkan sindiran-sindiran skeptis khas mama yang sudah bukan barang baru lagi di telingaku. Namun mendengar mama langsung melarang dengan tegas, membuat hatiku terlompat tak percaya.

"Loh, kenapa mah? Aku kan belum pernah nonton konser, baru kali ini koq. Dan aku juga nggak minta tiket yang mahalnya, tiket festival juga oke."

"Bukan masalah harganya Mi, tapi ... konser-konser seperti itu pasti ramai banget kan. Apalagi kelas festival, berdesak-desakan Mi, kamu pasti nggak akan nyaman!"

"Ya ampun ma, se-nggak nyaman apa sih, namanya juga konser ya emang begitu. Kalau mau nyaman ya pilih VIP yang duduk, tapi harganya kan mahal banget ma."

"Kalau mama punya duit lebih, mungkin bakal mama beliin 2 tiket VIP biar kamu bisa duduk nyaman dan mama bisa nemenin kamu. Tapi berhubung tiket VIP mahal, ya sudah tidak usah nonton saja ya."

"Loh, aku juga nggak minta VIP ma, festival juga nggak apa-apa. Lagian aku sama temen-temen koq, nanti nontonnya bareng dekat-dekatan."

"Tetap saja Mia, itu ramai banget. Mama nggak bisa ngebayangin kalau kamu jadi lemas kekurangan oksigen terus gimana?!"

"Lah ma, ya nggak bakal ...."

"Udah Mia, cukup! Mama bilang mama nggak setuju kamu nonton konser. Cosplay atau apapun itu masih nggak apa-apa. Tapi kalau konser, enggak!"

Ugh! Aku melemparkan kotak teh kemasan kosong ke dalam tong sampah dengan kasar. Entah kenapa kali ini mama begitu keukeuh melarang. Bahkan sampai tadi pagi ketika aku keluar kamar dan sarapan dengan wajah manyun, mama tetap tidak luluh. Ijin itu tetap tidak aku dapatkan. Pupus sudah harapanku melihat langsung 6 orang oppa jago bernyanyi yang setiap malam kupandangi posternya itu. Suasana redup semakin menggayuti hatiku. Membuatku kehilangan semangat untuk melanjutkan kuliah hari ini.

"Hei Mi, itu beneran nyokap nggak ngijinin lu nonton konser? Emang kenapa sih? Lu minta VIP ya?" cerocos Elma yang tiba-tiba datang dan duduk disebelahku.

"Hah, boro-boro. Gue baru ngomong konser aja mama udah langsung bilang enggak. Apalagi pas gue bilang Festival, tambah nggak dibolehin gue. Terlalu ramai katanya," jawabku memanfaatkan atensi Elma untuk mencairkan gondok dihatiku.

"Ya namanya juga nonton konser Mi, kalau sepi ya nonton catur kali," cetus Elma konyol.

"Tau ah. Mama gue terlalu parno. Kesel gue!" jawabku sembari mengangkat bahu. Bibir manyun masih menghiasi wajahku. "Lu sendiri gimana?" tanyaku balik pada Elma.

"Ya gue juga hampir nggak dibolehin mama. Tapi untung papa ngasih ijin, dan gue langsung dibeliin tiket semalam," jawab Elma dengan kegembiraan yang tertahan mengingat kondisi sahabatnya.

"Syukurlah El. Kalau bokap gue masih ada, dia pasti bakal ngijinin gue juga, atau mungkin malah beliin gue tiket VIP ...." Ucapan lirih dan sorot mataku yang menerawang membuat Elma tersenyum penuh simpati.

"Ya pasti. Kalau papa lu masih ada, dia nggak akan membiarkan anaknya sesedih ini. Tapi gue yakin mama lu juga pasti punya pertimbangan sendiri. Kalau bisa lu ngomong lagi ya sama dia, ngomong baik-baik, siapa tau dia akhirnya luluh," saran Elma sambil merangkulkan tangannya ke pundakku.

Meskipun tidak yakin, tapi aku mengangguk juga.

***

Saran Elma ternyata mental juga. Sampai beberapa hari sejak perdebatan kami malam itu, aku sudah membujuk mama berkali-kali namun masih membentur tembok. Mama bahkan tampak sering melamun dan tidak fokus belakangan ini. Sepertinya pekerjaannya sedang banyak. Dan mama tampak intens berkoordinasi dengan temannya lewat ponselnya. Dan, yah ... pengalaman pertamaku menonton konser, tak kunjung terlihat hilalnya. Yang ada mama malah mengajukan penawaran padaku.

"Gini aja deh Mi, gimana kalau mama beliin kamu CD atau poster atau marchandise Boyband favoritmu itu saja. Yang jelas jangan nonton konser ya. Mama nggak setuju," jawab mama saat aku memberanikan diri lagi tadi malam. Dan bagaimana aku bisa memaksakan diri ketika wajah mama tampak tegang dan letih imbas dari beban kerjanya? Aku memilih diam. Dengan berat menerima kenyataan bahwa mama tak kan menyetujui keinginanku yang satu itu.

"Mia! Tunggu!" seruan Elma terdengar saat aku berjalan menuju parkiran motor kampus. Sahabatku itu tidak sendiri. Seorang pria yang sepertinya seumuran mama tampak mengikuti beberapa langkah dibelakangnya.

"Iyes El, kenapa?"

"Ini, om ini tadi nyariin elo ke kelas. Om, ini dia Amelia," jawab Elma yang langsung memperkenalkanku pada pria berpakaian necis tersebut. Pria itu sendiri tampak sumringah begitu melihatku. Dan meski masih bingung, aku tetap mengulurkan tangan kearahnya.

"Oh iya, saya Amelia, panggil saja Mia."

"Halo Mia, kenalkan saya Reza, teman lama mama kamu," jawab pria itu sambil menggenggam tanganku lembut. Aku tersenyum, ternyata dia memang teman mama.

"Oh ya? om kenal mama dimana?" tanyaku tertarik. Tidak pernah tahu bahwa mama punya teman ber-aura sultan seperti ini.

"Teman waktu kuliah dulu. Tapi sudah lama sekali nggak pernah kontak-kontakan lagi. Padahal dulu kami cukup dekat," jawab om Reza setengah malu-malu. Aku bertukar pandang dengan Elma. Cukup dekat gimana nih? Mantan maksudnya?

"Oo ... teman kuliah mama," aku mengangguk paham. Teman kuliah yang tampak jelas berbeda nasib. Mama tidak menyelesaikan kuliahnya dan kini hanya bekerja sebagai ASN biasa di kantor kelurahan. Sementara om Reza ini, pasti sudah menjadi kepala atau direktur dalam apapun pekerjaannya.

"Jadi om Reza ada keperluan apa ke kampus kami, anak om kuliah disini ya?" tanyaku lagi.

"Ah enggak. Om cuma sedang mengunjungi teman om, dia salah satu dosen disini. Dan waktu om nggak sengaja lihat kamu tadi, om yakin kamu adalah anaknya Virna, karena sangat mirip. Dan waktu om tanya ke teman om, rupanya benar ibumu bernama Virna. Makanya selesai urusan sama teman om, om langsung ke kelas kamu," jelas om Reza panjang lebar. "Tapi sepertinya kamu sudah mau pulang ya?" tanyanya melihat kearah motor dibelakangku.

"Oh iya om. Kuliah saya sudah selesai," jawabku masih tersenyum mendengar kalimat yang mengatakan aku sangat mirip mama. Kalimat yang sudah sering aku dengar.

"Oh baik lah kalau begitu. Titip salam untuk mama kamu ya. Semoga kalian sehat-sehat selalu. Sampai jumpa lagi Mia." Om Reza lalu mengulurkan tangannya yang segera kujabat erat. Senyum lebar menghiasi wajahnya sebelum berbalik badan dan berlalu dari hadapanku dan Elma.

"Woaah, nyokap lu mantannya boleh juga," komen Elma takjub memandang om Reza yang berjalan menjauh.

"Huss, jangan asbun lu! Dia cuma bilang teman bukan mantan."

"Halaaahh ...." sangkal Elma keukeuh, diiringi dengan tawa cekikikannya yang langsung menular padaku.

Malam harinya di meja makan, aku segera menyampaikan salam dari om Reza tadi pada mama. Dan diluar dugaanku, wajah mama seketika menegang bak film horor.

"Mia, mama bilang apa, jangan pernah ngomong sama orang asing!" jawab mama memancarkan kepanikan. Aku yang tadinya mencoba mencairkan suasana dengan menceritakan soal mantan mama yang mungkin bisa membuat suasana rumah menjadi ceria kembali, mendadak ikut merasa tegang. Mama benar. Aku tak boleh bicara dengan orang asing.

"Iya ma, maaf. Tapi tadi kampus masih ramai dan aku ditemani Elma. Aku tetap berhati-hati koq. Dan om Reza tampaknya bukan orang jahat," jawabku pelan.

"Kamu nggak boleh terlalu naif Mia, jangan langsung percaya begitu saja pada orang yang baru dikenal. Jangan! Dia belum tentu sebaik yang kamu kira!"

"Tapi dia benar teman lama mama kan?"

Mama terdiam. Tangannya menggenggam sendok dengan kuat hingga kepalannya memerah. Semerah wajah tegangnya yang tampak jelas memancarkan pergulatan dibenaknya. Tentang jawaban apa yang harus diberikannya padaku. Kebenarankah? Atau kebohongan?

"Nggak. Mama nggak pernah punya teman dengan nama itu," jawab mama akhirnya setelah menghela nafasnya menenangkan diri. "Pokoknya kamu harus janji untuk nggak pernah mau ketemu sama orang itu lagi. Kita nggak tahu niatnya apa. Lebih baik berjaga-jaga dan tidak memberi kesempatan orang asing untuk berbuat jahat!" tutup mama tak memberi ruang untuk diskusi. Aku mengangguk. Meski dalam hati aku tak yakin bahwa mama menjawab pertanyaan terakhirku dengan kebenaran.

***

Aku berputar-putar didepan cermin mengagumi baju baruku. Lebih tepatnya bukan baju melainkan korset hitam dengan rok ala Gothic Style Burlesque Victorian Corset. Kostum itu terasa pas memeluk pinggangku. Roknya yang hanya ada dibagian belakang menjuntai sampai ke pangkal paha, membuatku merasa anggun dan elegan. Dengan paduan baju dalam yang pas dan skinny jeans atau legging kulit warna gelap, pakaian ini akan tampak stunning saat aku pakai ke acara ulang tahun temanku minggu depan. Dan yang pasti cocok juga sebagai kostum cosplay, entah untuk karakter apa.

"Mi ... ada paket nih!" seru mama dari ruang tamu. Aku seketika tersenyum. Itu pasti baju dalaman putih yang akan jadi paduan cantik korset ini. Dengan bersemangat aku keluar kamar menghampiri mama.

"Emang kamu beli apa la ...." pertanyaan mama terhenti demi melihat penampilanku yang aku yakin bukan seleranya. Langkahku pun terhenti. Menyusun kata-kata dibenakku untuk membela diri dan membela korsetku. "Itu ... korset?" tanya mama akhirnya.

"Iya ma, korset rok ala victorian gitu. Lagi nge-trend ma," jawabku mulai membujuk. Dan tentu saja mama tidak peduli dengan trend gen z yang hampir selalu membuat keningnya berkerut.

"Mi ... emangnya itu mau dipakai kemana?"

"Ya, bisa kemana aja ma. Ke pesta ultah temen aku minggu depan bisa, cosplay bisa, ke kampus juga bisa. Yang penting paduan bajunya pas."

"Apa itu nggak berlebihan? Apalagi ke kampus, apa nggak dilihatin orang-orang ntar Mi?"

"Nggak lah ma, ini kan masih biasa-biasa aja, nggak terlalu berlebihan. Aku juga lihat-lihat tempat lah. Kalau dipadukan dengan baju kasual dia bakal jadi kasual. Kalau mau untuk pesta juga bisa," jawabku, berusaha menahan ketidak-sabaran yang mulai merangsek kepermukaan. Dan seakan tidak peduli dengan usahaku, mama masih terus mengajakku berdebat.

"Iya sih, cuma mama rasa ...."

Aku tidak membiarkan mama menyelesaikan kalimatnya. Segera aku ambil paketku dari tangan mama dan berbalik badan kembali ke kamar.

"Mama memang nggak pernah mau ngerti sama apa yang aku suka!" ketusku sebelum menutup pintu kamar dengan sedikit kasar. Aku benar-benar kesal. Mama terlalu hobi menghakimi dan menilai negatif cara berpakaianku. Selalu saja ada yang salah di mata mama. Seolah-olah aku nggak ngerti fashion dan harus selalu dibenahi setiap kali aku akan keluar rumah. Kapan mama mengerti bahwa zaman sekarang sudah berbeda dengan zamannya dulu? Bahwa aku juga punya selera sendiri atas apapun dalam hidupku?

Dengan hati panas kuhempaskan badan ke kasur. Kusembunyikan kepala dibalik bantal. Mencoba menutup telinga agar suara ketukan pintu dan panggilan mama dari luar kamar tak terdengar olehku.

***

Tak terasa aku tertidur selama ber-jam-jam setelah berseteru dengan mama. Azan Ashar membangunkanku dan rasa lapar seketika menyergap perutku. Dengan perasaan tak menentu, antara masih kesal dan mulai tak enak hati, aku melangkah keluar kamar untuk makan. Tapi ternyata aku tak menemukan mama dimanapun. Dan sampai aku selesai makan mama belum muncul juga. Mulai khawatir, aku segera mengambil ponsel-ku untuk menghubungi mama. Dan ternyata benar saja, banyak pesan dari mama yang aku abaikan.

"Mi, mau ngobrol sm mama?"

"Msh marah ya?"

"Mia tidur?"

"Sayang, maaf ya klo mama bkin kesal kamu. Mama cuma msh butuh waktu utk mengerti dunia kamu skrg. Mama mohon kamu jg bisa mengerti sudut pandang mama ya. Kdg ada hal-hal yg krn perbedaan zaman, membuat cara mama memandang sesuatu pun jd berbeda. Contohnya spt korset tadi yg di mata mama adl pakaian dlm. Sehingga wkt kamu pakai diluar mama merasa aneh. Tapi mama sadar kalo mama hrs mngerti bhwa jaman sdh brubah dan fashion pun berubah. Jadi tlong terus bantu mama utk mngerti dunia kamu ya. Dan mama jg akan bantu kmu mngerti keberatan2 mama. Krn pd dasarnya, mama cuma ingin kamu pnya kegiatan yg bermanfaat, dan berpakaian yg pantas, sopan dan sesuai pd tempatnya :) "

"Mi, kamu msh tidur? Mama pergi dl ya. Ada urusan sbntar."

Tanpa terasa air mataku mengambang membaca chat mama yg sempat kuabaikan. Mama dengan semua pergulatan batinnya. Dilemanya. Terus mencoba memahami duniaku yang begitu berbeda dengan dunia yang ia tahu. Mencoba menahan lajuku agar tidak keluar jalur tanpa harus mengambil kemudi sepenuhnya. Lalu bagaimana denganku sendiri? Apa aku sudah cukup mencoba untuk mengerti dunia dari perspektif mama? Air mataku menderas kala menyadari bahwa aku tidak cukup berusaha untuk itu. Selalu merasa aneh dengan keengganan mama memahami dunia yang sudah berubah, tanpa menyadari bahwa aku bahkan tak mencoba mengenal dunia yang pernah disinggahi mama.

Aku melirik jam dinding di sela-sela genangan air mataku. Kemana mama? Ini sudah hampir magrib dan mesin mobilnya belum terdengar mendekat. Padahal hatiku yang sesak sudah tak sabar untuk menghambur ke pelukan mama dan memohon maaf sejadi-jadinya. Pesan-pesan WA dan panggilan telponku tak kunjung terjawab. Nomornya tak aktif. Dan aku hanya bisa menunggu di teras dengan perasaan tak menentu. Hingga akhirnya menjelang Isya mama pun pulang dan langsung melantunkan kata-kata penyesalan.

"Waduuh maaf Mi, mama kejebak macet tadi. Kamu sudah makan belum? Nih mama bawain martabak ...."

Aku tak membiarkan mama menyelesaikan kalimatnya. Aku tak peduli pada martabak itu. Aku hanya ingin memeluk mama dan membisikkan permohonan maafku langsung ke telinganya.

"Maafin Mia ma ...." Isak tangis yang tak terbendung semakin menggetarkan suaraku. Mama yang awalnya kaget segera memahami maksudku dan balas memelukku lebih erat. Tanpa gengsi mama kembali mengucapkan kata maafnya, kali ini secara langsung dipelukanku. Sesaat kemudian kami pun masuk kedalam rumah sambil masih berangkulan.

"Jadi tadi mama dari mana?" tanyaku setelah kami duduk di sofa. Dan entah kenapa muka mama mendadak berubah tegang. Ia tampak berhati-hati sebelum akhirnya menjawabku pelan.

"Mia, sebenarnya ada yang ingin mama sampaikan ke kamu. Permohonan maaf mama tadi, bukan hanya untuk masalah tadi siang, tapi juga untuk masalah lain yang lebih besar. Yang sudah mama simpan lama, dan tidak bisa mama sembunyikan lagi."

Aku mendengar kata-kata mama dengan jantung yang berdetak semakin kencang dan kencang. Ada apa ini?

"Mi, tadi mama habis ketemu sama ... bapak kamu."

Jika ada istilah petir di siang bolong, rasanya itulah yang terjadi di rongga dadaku saat ini. Bapak? Bapakku? Apa maksud mama?! Lelucon apa ini?! Keterkejutanku yang pasti terlihat jelas membuat mama menyesal dan segera mengambil tanganku.

"Mia, maafkan mama nak. Mama bohong selama ini mengatakan bahwa bapak kamu sudah tiada. Padahal sesungguhnya dia masih hidup dan tinggal di kota ini juga. Mama ingin kamu tahu bahwa mama terpaksa merahasiakan semuanya dari kamu. Karena ...." tangis mama pecah sebelum menyelesaikan kalimatnya. Aku yang bahkan belum berbicara pun sudah langsung melepaskan tangis berderai-derai.

"Kenapa ma, apa ... apa maksud mama?" tanyaku akhirnya.

"Mama janji Mi, mama janji akan ceritakan semuanya. Mama nggak mau merahasiakannya lagi." Mama menghela nafasnya sejenak, sebelum melanjutkan pengakuannya. "Kamu ingat orang yang menemuimu di kampus? Om Reza. Dia adalah bapakmu nak."

'Nguiiiiiiiiiiing ...!!" telingaku berdenging memekakkan.

***

September 2003

"Vir, jangan pakai baju kayak gitu ah! Ganti aja. Itu nggak bagus!" suara keberatan ibunya menghentikan tangan Virna yang tengah melepas rol-rol rambutnya.

"Nggak bagus gimana buk, ini lagi ngetrend lho, Harajuku Style," jawab Virna sambil memutar badan dihadapan sang ibu.

"Harajuku ... apa lah itu. Ibuk cuma nggak suka lihat kamu pakai rok terlalu pendek. Udah ah ganti ya. Pakai celana panjang aja!" putus ibunya tidak ingin bernegosiasi. Virna memandang kesal kearah ibunya yang berjalan meninggalkan kamarnya. Dengan muka manyun digantinya baju harajuku lucu yang sesungguhnya sudah tak sabar ingin dipakainya nonton konser F4 malam ini. Virna lalu berganti baju dengan blus dan jeans biru tua yang menurutnya membosankan, namun harus dipakainya demi mendapatkan ijin dari ibunya itu.

"Aku siap. Yuk Ly kita kemon! Buk kami berangkat dulu ya," pamit Virna pada ibunya begitu ia keluar dari kamar. Sang ibu yang tengah berbincang dengan Lily, tersenyum melihat anak bontotnya itu kini mengenakan baju yang lebih pantas.

"Yang lain gimana, nggak barengan dari sini?"

"Enggak buk, nanti kita ketemuan sama teman-teman di cafe depan venue."

"Oke, have fun ya kalian berdua. Selesai konser langsung pulang biar nggak kemalaman."

"Siap Bos!" jawab Virna dan Lily kompak.

Di taxi yang membawa mereka ke venue konser, Virna mamperlihatkan isi tasnya pada Lily. Dan temannya itu sontak kaget sebelum tertawa dan menoyor kepala Virna.

"Gila lu ya. Segitunya pengen pakai harajuku sampai bela-belain bawa baju ganti begitu." Lily berkomentar takjub di sela-sela tawanya.

"Iya donk. Gue udah beli mahal-mahal masa nggak jadi dipakai. Nanti gue numpang ganti baju di toilet cafe dulu ya. Baru kita lanjut ke venue."

"Haha ... seterah elu lah."

Sesampainya di cafe depan venue, Virna dan Lily bergabung dengan Neni dan sepupunya yang bernama Reza. Disitu pertama kalinya Virna mengenal Reza. Cowok keren yang kini sedang berkuliah di luar negri itu, tampak ramah dan mudah akrab meskipun mereka baru mengenal. Dan dari gelagatnya Virna merasa Reza cukup menyukainya. Entah karena suka sebagai teman, atau suka sebagai ... suka. Entahlah. Yang jelas Virna cukup menikmati interaksinya dengan Reza. Bahkan selama mereka mengikuti konser yang megah itu, Reza selalu berada tepat disampingnya. Kelas festival yang mereka pilih membuat mereka harus berdesak-desakkan dengan penonton lainnya. Dan Reza selalu sigap menghalau jika ada orang yang mulai terlalu mendesak ke tubuh Virna. Cowok itu tampak lebih sibuk menjaga dirinya ketimbang ikut bernyanyi bersama F4. Karena memang ia tak terlalu mengikuti F4. Ia ada disana hanya karena orang tua Neni memintanya menjaga anak mereka.

Namun suasana seru dan menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Menjelang pertengahan konser Virna mulai merasa lelah dan lemas. Suasana ramai dan berdesak-desakkan membuatnya sesak dan merasa sulit bernafas. Tubuhnya terhuyung dalam kerumunan, dan Reza dengan sigap menangkapnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Reza khawatir. Mia menggeleng. Namun terlihat jelas bahwa dia tidak baik-baik saja. "Kamu lemas Vir. Kita keluar saja ya. Aku takut kamu pingsan," seru Reza diantara kerasnya musik konser. Dengan lemah Virna mengangguk. Dan setelah memberitahu Neni dan Lily, Reza segera membopong Virna menerobos kerumunan penonton meninggalkan venue. Dengan sempoyongan Virna menurut saja saat Reza membawanya pergi dengan taxi menuju sebuah hotel terdekat. Dan masih ditengah kesulitannya berpikir jernih dan rasa percayanya pada Reza, Virna juga menurut saja saat laki-laki itu membawanya minum-minum di bar hotel.

Kesalahan yang sangat besar. Virna yang tak pernah minum minuman keras, tak sanggup melawan efek memabukkan yang langsung dirasakannya di gelas kedua. Kondisi otaknya yang semakin tak berfungsi membuatnya pasrah dibopong Reza ke sebuah kamar di hotel tersebut. Lalu yang ia tahu, semuanya terjadi seperti montase tak beraturan. Potongan-potongan gambar yang tak tercerna. Alam bawah sadar yang tak bisa dikuasainya. Hingga pagi harinya, ketika akhirnya Virna mampu menjangkau akal sehatnya lagi, Reza sudah tak ada disana. Meninggalkannya dikamar hotel itu dengan luka yang tak kan pernah sembuh.

***

Pertahananku jebol sepenuhnya. Air mata mengalir tak terbendung. Namun aku tak kuasa memotong cerita mama. Tak mampu merangkai kata untuk membebaskan semua yang membuncah didadaku. Bisa aku bayangkan betapa hancurnya mama pagi itu. Hati dan harga diri yang pecah berkeping-keping. Kehormatan yang direnggut paksa. Dan rasa bersalah pada kedua orang tuanya. Sungguh perasaan yang luar biasa menyiksa.

"Laki-laki itu menghilang membawa semua kejahatannya. Tak ada penyesalan dan permohonan maaf. Neni bilang dia langsung kembali ke Amerika keesokan harinya. Mungkin lebih baik begitu. Karena jika ia minta maaf pun mama tidak yakin akan memaafkannya. Mama nggak peduli. Mama sama sekali nggak mau ketemu dengan orang itu lagi!" Mama terdiam sejenak, mengatur sesak nafasnya.

"Bahkan ketika sebulan kemudian mama sadar kalau mama hamil, mama nggak ingin minta pertanggung jawaban padanya. Apalagi menikah. Mama lebih baik putus kuliah agar bisa merawat kamu dan bekerja untuk kehidupan kita berdua. Mama nggak sudi melibatkan orang itu. Kamu adalah milik mama dan dia nggak berhak memilikimu juga!" Mama mengambil kepalaku dan membenamkannya ke lehernya. Tangis kami pecah lagi. Dan kini aku tak ingin terus terdiam.

"Maafin Mia ma ... Mia nggak pernah membayangkan beratnya hidup mama. Kehadiran Mia membuat mama ...." Kalimatku terhenti karena mama segera melepaskan pelukan kami dan memandangku tajam.

"Sayang, dengar mama. Kejadian malam itu adalah hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidup mama. Tapi kamu, Amelia, adalah hadiah terbaik yang pernah mama dapatkan dari Tuhan. Dan mama nggak mau menukar kamu dengan apapun didunia ini. Kamu adalah segalanya bagi mama Mia. Segalanya!" tegas mama sembari membelai pipiku. Berbagai kenakalan dan ke-egois-an yang kini terasa memalukan, melayang dari segala arah di ruang benakku. Membuatku kembali membenamkan tubuh ke pelukan mama. Mencoba menghaturkan permohonan maaf yang tak mampu aku getarkan melalui bibirku.

Dan aku yakin mama mengerti. Untuk beberapa saat kami hanya saling terisak dalam pelukan masing-masing dan tak berbicara. Dan memang tak perlu bicara untuk saling mendengarkan untaian rasa sesal yang ingin kami sampaikan pada satu sama lain.

"Lalu, kenapa hari ini mama mau ketemu sama orang itu?" tanyaku setelah kami berdua mulai tenang. Kami butuh menata hati dan energi, namun kami juga harus menuntaskan semuanya. Dan aku yakin tak kan ada yang ingin disembunyikan mama lagi dariku.

"Sebelum itu, mama akan ceritakan dulu ke kamu bagaimana hubungan mama dengan laki-laki itu selama ini. Oke?" tanya mama yang kujawab cepat dengan anggukan.

"Setelah mama merasa tenang selama bertahun-tahun tanpa gangguannya, tiba-tiba saat kamu berumur 5 tahun, dia mendatangi mama. Dia yang baru pindah kembali ke Indonesia, datang ke rumah mama dan meminta maaf untuk semuanya. Berharap mama mengizinkannya menemuimu. Dan berharap mama mau memulai dari awal dengannya. Hah! Dasar bejat tak tahu diri! Tentu saja mama menolak mentah-mentah. Mama tidak mau berurusan dengannya!" Wajah mama memerah membayangkan kembali kejadian 16 tahun yang lalu itu. Dan aku yakin wajahku pun memerah menahan marah. Laki-laki itu mungkin memang ayahku. Namun perbuatan jahatnya pada mama membuatnya kehilangan hak itu dimataku.

"Dan sekarang tiba-tiba dia datang lagi. Namun sepertinya waktu sudah semakin mendewasakannya. Ia datang bukan untuk merebutmu atau mengusik hidup kita. Tapi untuk memberikan ini padamu," sambung mama hati-hati. Ia lalu mengeluarkan 2 lembar kertas yang begitu aku melihatnya aku langsung tersentak. Aku tahu kertas apa itu. Aku mengenal logo yang ada diatasnya.

"Dia bilang ini bukan hadiah. Ini adalah bentuk tanggung jawabnya yang mungkin sekali dalam hidup ingin ia tunjukkan padamu. Penebusan dosa yang mungkin terlalu sederhana tapi dia tahu ini lah paling kamu inginkan sekarang." Mama lalu menyodorkan 2 tiket VIP itu ke arahku. Ya, aku memang sangat menginginkannya. Namun perasaan marah pada sang pemberi membuatku enggan untuk menerimanya.

"Mama nggak akan memaksa kamu untuk menerima tiket ini. Semua terserah padamu. Apa ingin memberi kesempatan pada ayahmu, atau menutupnya sama sekali. Tapi yang jelas, bahkan kalau kamu menerima tiket ini pun, orang itu tetap menyadari betapa kecilnya hadiah ini dibanding kesengsaraan yang di akibatkannya dulu."

Aku mengangguk mengerti. Kugenggam kedua kertas itu sembari memantapkan hati. Jika aku bisa punya kesempatan menonton konser impian, bahkan berdua dengan mama, ya tidak ada salahnya. Ambil saja, iya kan. Soal bagaimana aku harus bersikap atas ayahku asing yang menyebalkan, kita lihat saja nanti.

***

3 Bulan Kemudian

Suasana riuh dan koor pangjang mengiringi lagu demi lagu yang dilantunkan Boyband favoritku. Boyband yang kini bisa aku lihat dengan jelas dari tempat VIP-ku. Penampilan mereka sungguh menakjubkan dengan permainan lampu yang mencengangkan. Penonton seolah tak ingin membiarkan mereka bernyanyi sendiri dan selalu ikut bernyayi bersama mereka. Semua pengalaman itu membuat ku merinding tanpa henti. Rasanya tak ingin berakhir.

Kulirik mama yang duduk disebelahku. Bulir air mata tiba-tiba merangsek keluar dari kelopak mataku. Mama yang tidak mengikuti KPop. Mama yang tidak suka keramaian. Mama yang trauma akan suasana seperti ini. Mama yang menelan semuanya demi mewujudkan keinginanku. Tidak mudah bagi mama memasuki venue ini. Namun aku meyakini, jika mama pernah salah membentuk pengalamannya dulu, kenapa tidak kali ini kita memperbaikinya dan menciptakan pengalaman terbaik untuk kita berdua?

Lantunan lagu syahdu yang menjadi salah satu favoritku menggema saat kupeluk mama erat-erat. Mama mungkin tidak mengerti bahasa Korea, namun tetap ingin kunyanyikan lagu ini ke telinganya dengan sedikit improvisasiku.

Mommy, I promise, let's start our story

Now we'll walk together holding each other's hands

A love that won't change, that's us

We'll bloom again eventually

Even if the path ahead is a bit long

Even if we're shaken by the strong wind

Be together, be together, don't leave me alone

We'll be together, be together, forever.

*** Tamat ***

End Tag - Restaurant Meeting Part.

"Kamu! Apa mau kamu hah! Berani-beraninya kamu nemuin Mia di kampusnya!"

"Tenang Vir, aku pesanin minuman dulu ya."

"Nggak usah, aku kesini bukan mau minum. Aku mau kamu jauhi Mia, jangan dekat-dekat dia lagi!"

"Aku mengerti. Aku terpaksa menemuinya di kampus karena kamu nggak mau merespon DM instagramku."

"Buat apa? Kamu mau apa? Kami sudah tenang selama ini, buat apa kamu mengusik kami lagi?!"

"Aku tidak ingin mengusik Vir. Terus terang selama ini meski aku setuju untuk tidak mengganggu kalian lagi, tapi keinginanku untuk terus mengetahui kabar Mia tidak pernah hilang. Aku mengikuti media sosialnya. Bukan untuk stalking, hanya ingin tahu perkembangannya. Aku tahu aku tak berhak, tapi rasa sayangku yang semakin lama semakin nyata padanya juga tidak bisa aku abaikan."

"Kau ...!"

"Seperti yang aku katakan, aku tahu aku tak berhak. Maka aku harus puas dengan memantaunya dari jauh. Tapi saat ia curhat di statusnya bahwa ia sangat sedih karena tak diizinkan menonton konser yang sudah lama ditunggu-tunggunya itu, aku segera tahu alasannya Vir."

"Konser bukan tempat yang menyenangkan. Kau pasti tahu itu!"

"Ya aku mengerti. Tapi tak bisa kah kau memberinya kesempatan merasakan pengalaman itu dulu dan membiarkan ia memutuskannya? Apa yang pernah terjadi pada kita, tidak harus terjadi padanya."

"Aku tidak mau ambil resiko. Semuanya juga terlihat baik-baik saja saat konser F4 dimulai dulu!"

"Ya. Ending konser yang akan selalu aku sesali seumur hidupku. Dan aku juga tak ingin Mia mengalami hal yang tidak menyenangkan apapun bentuknya. Aku ingin dia tetap mendapatkan pengalaman itu dengan suasana yang lebih nyaman dan aman."

"Maksud kamu?"

"Tiket VIP untuk kalian berdua."

"Tidak usah!"

"Aku mohon Vir, ambillah. Serahkan pada Mia. Biar dia memutuskan apa dia sudi menerima tanggung jawabku ini atau tidak. Perbuatan jahatku padamu tak kan pernah terhapus Vir, tapi setidaknya, untuk kali ini ijinkan aku memberikan apa yang jadi keinginan Mia. Aku tak berharap lebih. Apapun yang akan diputuskan Mia atas keberadaanku, bahkan jika ia tetap tidak mau mengakuiku, aku ikhlas menerimanya."

" ..... "

" ..... "

"Oke. Akan aku sampaikan. Dan seperti katamu, biar Mia yang putuskan perasaan seperti apa yang akan ia tunjukan padamu."

*****

a/n Referensi lagu : Be Together by BTOB

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
The Gravity of Us
Maria Evelina
Cerpen
Bronze
Jiwa Sahili
Heri Heryana
Cerpen
Heart And Soul
Reni Refita
Novel
Bronze
STILL YOU
Siti nurhasanah
Novel
Aku, Kamu, Dia, dan Mereka Adalah Kita
Neo Kaspara Widiastuti
Skrip Film
K: Kisah, Cinta & Kita
Vivin Aprilia
Flash
Bronze
Kumohon Kembalikan
Nabil Bakri
Cerpen
Doa Diujung Waktu
W.Setyowati
Skrip Film
AKSATRIYA (Script)
Desi Restiana A
Flash
Balon
Nunu Azizah
Cerpen
Bronze
Toilet Kemanasaja: Dua Teman Lama
Ega Pratama
Novel
Aku sepi setelahmu
Lisnawati
Flash
Asa dalam Suara
Rumpang Tanya
Cerpen
Bronze
Istri Untuk Kakakku
Rimkuynn
Skrip Film
LIOM
Kazuno Feira Azrina
Rekomendasi
Cerpen
Heart And Soul
Reni Refita
Cerpen
Bronze
Mori Dan Tetangga Depan
Reni Refita
Flash
Tawa Yang Terlepas
Reni Refita
Cerpen
Bronze
AKU dan EMYU yang LESU
Reni Refita
Cerpen
Tragically Yours
Reni Refita
Cerpen
Bronze
Secarik Kertas Dalam Tas
Reni Refita