Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Apa kabarmu, hati?
Berulang-ulang, Hati mengeja nukilan bongkah kayu dalam genggamannya. Orang-orangan yang dipahat dengan apik dan rinci, menyerupai wujud seorang putri dari kayu asam. Bagaimana ia tahu namanya? Suci Hati Lawani. Tak ada huruf kapital di sana, apakah yang dimaksud olehnya, adalah hati yang ada di sini? batinnya sambil mengusap dada.
Tak ada yang mendorongnya untuk berjalan menapaki bebatuan, selain membiarkan telapak kakinya melangkah menyusuri perjalanan menembus silam. Bis malam sudah menurunkannya satu jam yang lalu, pergi lagi menuju kota lain. Berbekal boneka kayu di saku tasnya yang kusam, Hati berjalan membelah malam.
Masih dalam hening. Rerumputan terlerai setiap kali betisnya menapaki tanah, ada sensasi dingin menyentuh kulit, tidak ada waktu lagi untuk merasa takut. Tujuannya masih jauh dari pandangan. Menuju Ambu.
Sepuluh jam yang lalu.
“Ulah sok diabuskeun kana hate. Obong ngaran maneh Hati (Jangan suka dimasukin ke hati. Mentang-mentang nama kamu Hati),” tegur Ema Nini sambil menggosok gigi kusamnya dengan seupah[1].
“Kenapa Ambu meninggalkan saya di sini, Ni? ”
Ema Nini, seperti perempuan-perempuan lain di tanah Pasundan, menyembunyikan kisah satir dan tragis hidupnya dalam topeng canda. Namun, tak menular pada Hati yang begitu peka dan rentan menghadapi kenyataan. Perasaannya bagai dibuat dari pasir kuarsa, layaknya barang pecah belah yang mudah sekali patah, pecah dalam sekali sentuh.
Beliau masih belum menjawab, malah menggosok giginya lebih kencang, senyum terbit di giginya yang mulai jarang-jarang. Nini mengeluarkan sesuatu dari saku di kutangnya. Selembar kertas buram dari cangkang rokok Jisamsu.
“Yeuh! (Nih!)”
“Apa ini, Ni?”
“Indung maneh, (Ibu kamu)” ucapnya pendek. Ia mengepalkan tangannya, menggenggam lembar sirih dengan gelisah. Ema Nini menyimpan sesuatu di kepalanya, dan tak mau membaginya dengan siapapun, tetapi sanggup membuat ujung matanya lembab.
Jika memang ambuku tak mau ditemui, untuk apa Ema Nini punya alamatnya?
Cimerak, Pangandaran. 19:35.
Memasuki gapura desa yang lengang, jauh di pelosok Kabupaten Pangandaran, Hati menghentikan langkahnya. Alamat tak membawanya kemana-mana selain mendatangkan rasa lelah, kini tubuhnya berbalut peluh. Hawa malam menyentuh kulitnya yang lembut, memancing bulu kuduknya berdiri. Pepohonan besar membuat bayangan-bayangan seperti lelembut, menaungi gerak langkahnya menuju satu rumah. Kediaman Abah Warsad.
Jika memang harus meninggalkanku, kenapa dari tempat tinggalku yang terpencil harus menuju tempat yang lebih terasing?
“Meni wengi-wengi teuing dongkap teh, Neng? (Malam sekali baru datang, Neng?)” Ini adalah Nyai Idah.
“Sumuhun (Iya) dari Bandung kesorean,” ucap Hati sungkan. “Abah Warsa masih di surau, Nyai?”
Tak menjawab, ia hanya termenung, manik matanya mengelabu menembus tengkorak kepala Hati, memindai niatan perempuan muda itu yang tersembunyi.
“Nyai. Saya kemari mau mencari ambu saya,” ungkapnya seperti suara derit pintu. “Kata Nini saya, Ambu pergi ke sini.”
“Lilis? Hirup keneh? (masih hidup?)”
“Ema Nini?” Hati terkesiap, ia lalu mengangguk, tetapi dahinya mengerut. Sepertinya ada yang salah. “Nyai kenal sama Nini?”
Perempuan renta itu mengangguk pelan, ada sendu di binar matanya. “Lilis pernah dekat dengan kita semua di sini.”
“Kenapa Nini pergi? Ada hubungan apa Nini dengan kalian semua?”
“Lilis mawa incuna, Warsa mawa anakna. (Lilis membawa cucunya, Warsa membawa anaknya.)” Nyai Idah bergumam sambil menatap tembok kosong.
Cukup beberapa patah kata, membuat degup di jantung Hati mulai menyambung benang-benang merah. Dirinya, Ema Nini, Ambu, Abah Warsa, dan Nyai Idah. Tak sulit untuk meraba, siapa Abah Warsa sesungguhnya.
“Abah teh aki saya? (kakek)”
Angin malam yang berangsur sejuk, menghantar suara deras Curug Cigayor ke telinga keduanya. Mereka terpekur dalam sunyi, membelah isi kepala masing-masing. Nyai Idah belum menjawab.
“Lilis cageur? (Lilis sehat?)”
“Alhamdulillah. Tapi Nyai, saya nggak pernah tahu tentang keluarga di sini. Saya….”
Ia menghela napas panjang, menggeser punggung rentanya yang sudah membungkuk. “Sabaraha umur teh ayeuna? (Berapa umur sekarang?)”
“Saya?” Hati menangkupkan telapak tangan di dadanya. “Tiga puluh tahun (Tiga puluh tahun).”
Manik mata itu kembali mengerjap, irisnya yang sudah mengabu-abu bergerak menelusuri garis yang ia kenali di wajah Hati. “Kamu mirip Pitaloka, ambumu.”
Bagai dihunjam batuan kokoh menimpa dadanya, rasa sesak itu kembali hadir. Meski sangat subtil, kasih sayang pada ambunya merayap diam-diam, tumbuh liar mengokohkan kemauannya untuk melanjutkan hidup. Rasa rindu itu… sangat renik dan mematikan.
“Nyai kenal Ambu?”
Ia mengangguk. Menarik mundur cairan dari lubang hidungnya, nyaris terisak. Nyai Idah terlihat gamang dengan pikirannya. Ia lantas beranjak.
Hati tak tahu harus berbuat apa. Dalam batinnya, ia bisa kembali menyambung rindu dengan darah dagingnya sendiri, tetapi kenapa kini ia merasa ragu.
Nyai Idah kembali hadir dengan secangkir teh hangat dalam cangkir.
“Teu kedah repot-repot, Nyai. Hawatos atos wengi. (Jangan repot-repot, Nyai. Khawatir udah malam.)”
“Naha bade uih ayeuna kitu? Memangnya mau pulang sekarang?)”
Hati diam, ia mencoba merangkai kalimat yang tepat. “Saya ingin ketemu Ambu, Nyai. Tapi, kalau ambu saya nggak mau ketemu, nggak apa-apa. Biarkan saya bertemu Abah Warsa.”
Ia menggeser cangkir di meja ke arah Hati. “Ngaleueut heula, Neng. Atos wengi. (Minum dulu, Neng. Udah malam.)”
Hati menyeruput minuman dalam cangkir. Hangat air teh melewati tenggorokannya yang sejak sore sudah mengering. Ia tak tahu harus bertanya apa lagi, untuk mengorek informasi tentang Dyah Pitaloka, ambunya. Ema Nini sudah memperingatkan, berangkat kemari punya resikonya sendiri. Ia cuma belum tahu, sebesar apa resiko yang akan ditemuinya.
“Ngendong di dieu weh, di luar mah loba jelema jahat. Piraku wanoja geulis kieu masih ngumbara dinu poek. (Menginap di sini saja, di luar banyak orang jahat. Masa perempuan cantik begini masih kelayapan di tempat gelap.)”
“Teu sawios? (Nggak apa-apa?)” Ada letupan gembira dalam nada bicara Hati yang berlompatan. Lalu ia mengangguk.
Cimerak tak menyisakan ketakutan dalam dirinya, sama sekali tidak. Ia bahkan merasa dekat dengan hawa pesisir yang dibawa angin menuju indera penciumannya. Meski tahu, pantai masih sangat jauh dari sini. Debur ombak pantai di kejauhan, sampai ke dalam jiwanya, mengaduk-aduk batinnya yang didera kemarau panjang, menjerang rasa rindu yang tersimpan selama puluhan tahun hingga bergolak.
Langit-langit kamar yang rendah, kini tiba-tiba menghimpit. Ada khawatir yang sontak merasuk, membayangi keraguannya menunggu besok pagi. Bagaimana jika Ambu tak ada jejaknya lagi? Bagaimana jika keluarga mereka pun sama-sama telah kehilangan?
Hati memejamkan matanya, menelusuri kata-kata nininya yang sejak lama membunuh keinginannya untuk mencari. Namun rasa itu terus bertumbuh, hingga tak terbendung lagi, ia berontak dan pergi mencari ambunya.
Alamat dalam cangkang Jisamsu di tangannya mengusut, ada nama yang berkali-kali ia rapal hingga hapal di luar kepala. Galih Sutresna.
Jangan ke sana! Awas! Kamu cuma perlu tahu. Begitu pesan Nini. Yang kini mengular dari titik ke titik, mengurai setiap keraguan jadi petunjuk bermakna di dalam kepalanya. Hati menyusun pohon silsilah dalam batinnya, melukis cabang demi cabang hingga ia paham dari mana asal-usulnya.
Rasa lelah mendera, membebani kelopak matanya hingga ia terlelap. Memeluk cangkang Jisamsu dan boneka kayu itu di dadanya, erat sekali.
***
Dayeuhkolot, 36 jam kemudian.
“Naha Nini sanes ngadongeng ka Hati? (kenapa Nini nggak cerita sama Hati?)” Ia memekik, meremas bonekanya yang menyembul di antara jemari. Bahunya gemetar.
“Ngarah maneh nyaho sorangan. (Biar kamu tahu sendiri)” Pita suara kendur itu didera rasa duka.
“Nini moal apal, kumaha nyeri hatena. (Nini nggak akan tahu, gimana sakit hatinya). Saya kecewa, Ni.”
“Apal, Ti (Tahu, Ti),” bisiknya. “Nini juga kehilangan anak… dan suami.” Bola matanya yang sudah buram, dilapisi bening air mata. Ema Nini melungguh dengan tubuh ringkihnya di atas dipan, punggung bengkoknya gemetar.
Hati tahu, setiap kebenaran berhasil menyuruk konsekuensi dan amat memperdaya. Namun ia tak menyangka, kenyataannya runtuh dalam sekejap mata.
“Ti, Nini tahu kamu akan selalu mencari. Yang Nini lakukan hanya melindungimu, dari kenyataan.”
“Tapi menutupi bukan solusinya, Nini.” Hati tak kuasa lagi bicara, segala daya di tubuhnya telah habis dibunuh informasi semalam.
“Nggak ada anak yang bisa tumbuh cemerlang sepertimu, kalau dibebani cerita hidup seberat itu, Ti.”
“Tapi Nini membiarkan saya bertanya-tanya, dan mengiyakan prasangka saya selama ini. Harusnya Ambu punya ruang lebih besar di hati saya. Bukan kebencian.”
Ema Nini kembali terisak, bahu ringkihnya bergerak-gerak seiring tangisnya yang tak punya suara. Tangis yang ia simpan bertahun-tahun. Ema Nini menyimpan dukanya dalam balutan guyonan dan tawa.
***
Cimerak, Pangandaran. 04:30 (Sehari sebelumnya)
Azan Subuh adalah cara semesta menyeret lelah di tubuh Hati untuk berangsur pergi. Ia mendengar suara ember timba air berkelontang, menepuk dinding sumur yang mencipta gaung. Nyai Idah, sedang mengambil air wudu.
“Pami atos netepan, calik di payun nya, Neng. Nyai hoyong naros. (Kalau sudah salat, duduk di depan ya, Neng. Nyai mau nanya)”
“Mangga, Nyai. Abdi netepan heula. (Iya, Nyai. Saya salat dulu)
Singkong rebus, air teh hangat dan segumpal gula merah dalam piring kecil terhidang di meja kecil teras depan. Debur alir Curug Cigayor memecah hening pagi hari, bersanding dengan iringan kelontang ember bersahutan dari tiap rumah. Desa ini sedang memulai degup kehidupannya menyambut hari. Begitupun Hati, jantungnya sedang berdegup kencang, menanti kabar dari Nyai Idah.
“Sudah nikah?” Perempuan itu mencomot sebelah singkong dan mengambil sejumput gula merah, lalu memasukannya ke mulut bersamaan. “Sarapan dulu, neng. Bisi salatri. (Nanti kelaparan.)”
Hati melakukan ritual yang sama. Perutnya berbunyi. “Belum, Nyai. Saya belum menikah.”
“Naha? (Kenapa?)”
Hati tersenyum, menutupinya dengan secomot singkong kembali. “Teu acan aya jodona. (Belum ada jodohnya)”
“Ah, moal datang sorangan jodo mah! (Ah, nggak akan datang sendiri jodoh mah!) Ia mengibaskan tangan.
“Nyai….”
Bola matanya mengerjap. Ia tahu Hati tengah menunggu.
“Ambu dan Abah Warsa, mereka ke mana?”
Ia menyeruput teh dalam cangkir kaleng. Sambil memijat keningnya yang keriput, lantas membetulkan gelung rambutnya yang berantakan, Nyai Idah menghela napas. “Kenapa baru sekarang, Lilis mengirim kamu ke mari?”
Hati tidak paham maksud pertanyaan perempuan tua di hadapannya. Ia melempar kembali ingatannya. Tentang malam itu, saat Ema Nini harus dilarikan ke rumah sakit. Itulah pertama kalinya, Ema Nini membahas lagi tentang ambu, setelah bertahun-tahun membiarkan Hati bertanya-tanya tanpa jawaban.
“Ema Nini sakit, Nyai. Ia ingin saya tahu segalanya, sebelum Nini pergi,” ungkap Hati dalam bisikan sekali napas. “Nini yang kasih alamat ini.”
“Dia memberi tahu kamu, soal keberadaan Pitaloka?”
Hati menggeleng. “Nini cuma bilang, nggak usah dicari. Temukan saja jawabannya, mungkin itu yang akan membuat saya berani melangkah.”
Ia mengangguk perlahan. “Apa yang kamu pikirkan soal ambumu, Neng?”
Pohon kelapa di pinggir halaman berayun, tertiup angin pagi yang jarang-jarang menyapa. Sepoi, seperti angin senja. Hati melempar tatapannya ke langit, mencari jawaban.
“Kalau ambu pergi dan meninggalkan saya sama Nini, untuk mengejar mimpinya.”
“Itukah yang Lilis ceritakan?”
Hati menggeleng. “Nini nggak pernah cerita apa-apa. Dia cuma menyuruh saya berhenti mencari.”
Nyai Idah kemudian menangkupkan telapak tangannya di atas punggung tangan Hati. “Lilis dulu tinggal di sini.” Ia membuka kisahnya. “Menikah dengan Warsa dan hidup bahagia. Punya anak perempuan cantik dan sehat. Namanya, Dyah Pitaloka.”
Sebersit rindu yang subtil itu muncul kembali, merayapi relung batin Hati, setiap kali mendengar nama itu disebut.
“Pitaloka tumbuh jadi kembang desa Cimerak, sampai suatu saat ia sekolah ke kota. Belajar dan menjadi bidan di sana.”
Mata Hati terbelalak. “Bi-bidan?”
Perempuan itu mengangguk. “Neng bidan oge? (Neng bidan juga?)”
Hati mengangguk. Kobar rasa bangga membuntang dalam dadanya, ada irisan profesi yang tumbuh dalam diri mereka. Profesi mulia, beberapa orang bilang begitu.
“Lalu Pitaloka dilamar seseorang. Anu gaduh pabrik gula beureum paling ageung di Cimerak. (Yang punya pabrik gula merah terbesar di Cimerak)”
“Galih Sutresna,” bisik Hati.
Kini, Nyai Idah yang mengangkat alisnya, tampak terkejut dengan pengetahuan yang Hati miliki. “Neng apal? (Neng tahu?)”
Ia mengangguk. “Nini yang cerita. Siapa dia, Nyai?”
“Bapakmu Neng.” Senyum sendu terukir di bibirnya yang keriput. “Atos teu aya, ngantunkeun sasasih kamari. (Sudah nggak ada, meninggal sebulan lalu)”
Ada degup asing yang muncul dalam bilik di dada Hati. Rindu sekaligus pedih. “Teraskeun Nyai.”
“Galih sayang sekali sama Pitaloka. Sampai Pitaloka mengandung kamu, Neng.” Telapak tangan itu kembali meremas punggung tangan Hati. “Nasib harus memisahkan mereka. Galih berangkat ke Arab, bekerja jadi supir di sana, tapi nggak pernah kembali.”
“Bapak saya, nggak pernah tahu kalau saya ada, Nyai?”
Nyai Idah menggeleng. “Bapak kamu baru pulang ke desa ini setelah ia tua, sakit-sakitan dan pikun. Berpuluh tahun tinggal di Jeddah, ia berhasil melupakan belahan hatinya, ambumu.”
“Lalu, bagaimana dengan Ambu?”
“Setelah ditinggalkan bapakmu, Pitaloka hidup di desa ini. mengabdikan diri jadi bidan kampung dan membantu persalinan warga sini di klinik daerah.” Ia lalu terdiam. “Usia kehamilannya baru tujuh bulan waktu itu. Tapi banyak hambatan yang dia alami, Neng. Komplikasi saurna. Wor-woran getih. (Komplikasi katanya. Keluar banyak darah.)”
“A-ambu… Maternal Sepsis [2],” bisik Hati. Ia meremas jok kursi, hingga buku-buku tangannya memutih. “Ia harus memilih?”
Nyai Idah kembali mengangguk pelan.
“Siapa yang memilih saya? Siapa yang tanda tangan, Nyai?” Suara Hati berubah serak, matanya bergerak-gerak mencari jawaban di wajah Nyai Idah yang memerah.
“Pitaloka yang memilihmu, Neng. Ia tahu, kamu harus hidup. Tumbuh dan sehat. Ia tahu, kalau dirinya tidak mungkin tertolong.”
“Yang tanda tangan?”
“Abah Warsa,” bisiknya memelan. “Abah menandatangani vonis kematian putrinya sendiri.”
Hati tak mampu bergerak, seluruh sel di tubuhnya melemas. Duka tiba-tiba menghunjam kesadarannya. “Abah menanggung itu semua sepanjang hidupnya,” tebaknya dalam bisikan.
Nyai Idah mengangguk, ia melempar tatapannya ke arah langit yang membentang. “Sampai hari kematiannya, aki kamu nggak pernah bersuara, Neng. Ia kehilangan pelita di hidupnya. Abah Warsa tidak pernah bicara lagi sejak putrinya pergi.”
Kabar bertubi-tubi meremukkan pertahanan diri Hati. “La-lantas, Nini? Pergi?”
“Lilis tidak sanggup menanggung duka yang disematkan di bahunya. Ia membawamu pergi, meninggalkan kesunyian desa ini yang bisa menghancurkanmu, Neng. Ia menyelamatkanmu dari duka cita yang juga merenggut kewarasan suaminya.”
Duka dan kecewa Hati menyublim ke udara, membentuk rasa tak terpermanai. Kasihnya untuk Nini yang ia sayangi sepanjang hidupnya, membentuk sebuah ikatan kuat, sebuah bakti yang harus ia tebus dengan perjalanan membelah jarak. Semua orang punya peran menyelamatkannya. Batinnya menyungkum dalam pukau terhadap kehendak sang kuasa, takdirnya pun mengerucut. Hati tak berhak untuk merasa kecewa.
“Kalau Nyai Idah ini siapa?”
“Saya adik Abah Warsa, Neng. Adik perempuan satu-satunya.”
Tanpa menunggu, Hati memendekkan jarak yang memisahkan kursinya dan kursi Nyai Idah. Ia memeluk perempuan renta itu dengan penuh bakti, lantas berbisik. “Hatur nuhun, Nyai. Hatur nuhun parantos ngajagi Aki. (Terima kasih, Nyai. Terima kasih sudah menjaga Aki)”
Nyai Idah tersedu di bahu Hati, menyentuhkan telapak tangannya mengusap punggung perempuan muda itu. “Bagja Neng, Aki sareng Ambu parantos ngahiji di surga Nu Maha Suci. (Bahagia Neng, Aki sama Ambu sudah menyatu di surga Yang Maha Suci.)”
Hati terisak pilu mengingat kepergian sang ibu yang memilihkan napas dan hidup untuknya, mengembuskan napas terakhirnya dengan penuh keberanian dan kesahajaan. Rasanya ia tak pantas membunuh persona itu di kepalanya.
Dayeuhkolot, saat ini.
“Nini, atos tuang? (Nini sudah makan?)”
“Moal dahar, wareg! (Nggak akan makan, kenyang!)” Ia menggosok-gosokkan daun sirih ke giginya. “Cikopi weh, Ti. (Kopi aja, Ti)”
Hati tergelak. “Ni, sampeu sareng gula beureum raos geura. (Singkong dan gula merah, enak coba.)” Ia menyodorkan sepiring singkong rebus dan gula merah asli Ciamis, bekalnya dari Nyai Idah.
Tiba-tiba Ema Nini mengangkat alisnya. Namun ia memilih mengubur lukanya dengan seloroh canda. “Jiga aki maneh wae! (Kayak aki kamu aja!)”
Keduanya tergelak, sambil mencomot butir-demi butir singkong rebus di atas piring kaleng, sampai tandas. Gula merah membuat legitnya semakin terasa manis.
Seperti hidup, pahit, duka, dan bahagia selalu bertukaran. Datang dan pergi silih berganti.
“In all chaos there is a cosmos, in all disorder a secret order” - Carl Jung -
[1] mengunyah daun sirih yang biasanya di tambah kapur, biji pinang/jambe, gambir.
[2] respon mematikan dari sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi atau cedera. Sepsis dimulai ketika kuman penyebab infeksi telanjur masuk ke dalam aliran darah. Racun dari bakteri tersebut kemudian menyerang fungsi berbagai organ vital, seperti mengubah suhu tubuh, denyut jantung, serta tekanan darah.