Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Leoni. Selama dua tahun terakhir aku dan tiga adikku menjalani hidup sebagai yatim piatu. Sedih tentunya, tapi semua pasti telah diatur sesuai kapasitas kita. Aku kehilangan kedua orang tua ku tepat setelah dua bulan aku meraih gelar sarjana. Mereka mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Seharusnya mereka sedang menikmati hidup mereka dengan kebanggaan, karena mereka akhirnya melihat buah kerja keras mereka dengan kelulusanku sebagai salah satu mahasiswa terbaik. Tepat sebulan kemudian setelah orang tua ku meninggal aku memulai pekerjaanku sebagai staff administrasi di sebuah perusahaan swasta. Bukan pekerjaan yang kudambakan tapi harus dijalani. Entah kenapa aku merasa ada dorongan untuk segera menghasilkan uang.
Tapi benar saja, aku dan adik-adikku sekarang harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan kami bersama. Awalnya aku masih dipenuhi dengan harapan. Berpikir bahwa kami pasti bisa melewati semua ini bersama. Dengan optimisme ini, aku menunjukkan performa terbaik di tempat kerja, aku tau perusahaan tidak peduli sekeras apa usahaku, mereka hanya akan membayar sesuai kebijakan mereka. Tapi setidaknya aku merasa puas kalau sudah bekerja keras. Aku begini bukan sekedar untuk dilihat atasan atau rekan kerja ku. Tapi untuk merayu Tuhan dan alam semesta ini, agar tidak terlalu keras dan memberi kemudahan dalam hidupku terutama untuk adik-adikku. Aku tahu dengan pasti pergumulan mereka juga tidak kalah berat, bahkan mungkin jauh lebih berat.
Rini, adik bungsuku masih remaja dan mulai masuk SMA. Aku sangat mengkhawatirkannya, takut kasih sayang dan perhatian untuknya tidak dapat kami penuhi. Peran orang tua sangat penting untuk menuntun remaja labil ini. Aku dalam masa remaja yang damai saja terus memberontak. Lantas bagaimana dengannya, apakah kami mampu merawatnya?
Lucunya kedua orang tua kami seolah tau kalau waktu mereka di dunia ini akan singkat. Dalam setahun terakhir sebelum kepergian mereka, mereka sibuk membelikan barang-barang yang menurutku tidak cocok dengan kepribadian kami. Membeli mesin jahit saat tidak satupun dari kami yang mengerti menjahit, melengkapi dapur dengan set lengkap peralatan baking, membeli becak motor, saat dua motor dirumah tidak pernah kami gunakan.
Ayah dan ibu terus mendumel agar kami segera mempelajari ini dan itu. Sedangkan anaknya terus berpikir cara menghabiskan hari dengan nyaman dan menyenangkan. Anak-anak yang masih naif dipaksa belajar ini dan itu tanpa tau sebabnya, kalian pasti tau hasilnya bagaimana.
Tapi ayah tidak sepenuhnya salah, mungkin dia hanya tidak sanggup menunjukkan rasa takutnya. Katanya orang yang mau meninggal bisa merasakan waktunya telah dekat. Mungkin itu yang ayah dan ibu rasakan, mereka seperti takut ketika mereka sudah tidak ada, siapa yang akan menjaga anak-anak tersayang mereka. Setiap kali mengingatnya hatiku akan berubah panas, dan menangis tersedu-sedu. Setiap hari ku kuatkan diri ku, memantapkan diri untuk melanjutkan hidup bersama adik-adikku. Masih ada asa yang harus dijaga.
“kaa, nanti setelah Lina tamat, aku ikut pelatihan ke Jepang bagus kali ya. Penghasilannya kan lumayan, ada tuh teman SMA ku, jadi perawat jompo setahun udah bisa bangun rumah, keren ya”
“Emang kamu bisa gitu di tempat dingin, disini baru masuk musim hujan aja udah kambuh kan itu alergi dingin”
“Benar, tuh bang. Bukannya nyari duit malah nyari penyakit” timpal si bungsu sambil tertawa usil.
“Apa sih kalian, bukannya support juga”
Begitulah gambaran kebersamaan kami ketika berkumpul, momen-momen seperti ini membawa harapan baru dalam hidupku.
Meski telah bekerja sebagai karyawan swasta dibidang administrasi. Terkadang aku masih ikut event atau ambil job freelance di hari weekend. Lina dan Ardi kadang berjualan di kampus, iya benar sekali set alat baking yang tidak pernah kami sentuh akhirnya dapat bermanfaat sekarang. Biasanya setelah jam makan malam kami berempat berkumpul menyiapkan kue untuk mereka jual di kampus dan sekitarnya. Terkadang kami juga membuat tas dan dompet dengan desain simpel untuk dijual sebagai paket kado atau parcel di acara-acara tertentu seperti wisuda. Selain itu becak juga kami sewakan, sementara dua motor di rumah kami pakai bergantian. Saat senggang Ardi ikut narik ojol.
Namun, seiring waktu, segalanya menjadi lebih rumit. Beban yang kupikul semakin berat, dan optimisme yang dulu menjadi bahan bakar kini perlahan terkikis. Aku tak pernah memikirkan diriku sendiri – kesehatan, mimpi, bahkan kebahagiaan – semuanya kutaruh di belakang, demi mereka.
Sudah begitu besar usaha kami, tapi tetap tidak cukup. Gumamku dalam hati.
Uang yang kami kumpulkan tidak pernah cukup, semuanya berlalu hanya sekadar untuk membiaya hidup dan biaya pendidikan.
“Leoni, beli kopi yuk, ada promo nih” ajak Ratna rekan kerja ku.
Ratna juga jadi satu-satunya teman sekarang. Kita sering dijuluki nani-nani di kantor hehe. Ratna itu humoris, lucu parah, dia kayak tipe orang yang nyebarin energi positif gitu, dan aku merasa bisa menyerap energi positif darinya.
“Boleh deh Na, kamu yang pesanin ya?”
“Oke, wait yaa, btw weekend ini anak-anak kantor ada rencana retreat kamu ikut kan?”
“Ih, bukan ngga mau Na, tapi aku lagi menghemat nih. Aneh bangat tau, kita kerja ngumpulin duitkan, tapi duitnya ngga pernah keliatan, mau nangiiiss”
“Eh,eh, iya sih Ni, dulu Ayahku juga pernah bilang biayain sekolah anak itu bukan main biayanya, apalagi biaya kuliah. Tetap semangat deh Ni, kayak biasa yang penting sama-sama pasti bisa”
“haha, apaan sih”
Mungkin kedengaran biasa aja, tapi sebenarnya kalimat itu quote favoritku. Yang penting sama-sama. Asaku ada ketika bersama saudara-saudara ku. Meski kadang kami bertengkar tapi kami tetap bersama. Tanpa kusadari, ketika aku sibuk dengan pekerjaan dan pikiranku, aku jadi makin jarang berbicara dengan mereka, semakin hari aku semakin gemar berbicara dalam benak saja. Entah karena diamku, atau mereka yang semakin jenuh dengan keadaan ini, belakangan hubungan kami tidak terlalu akur.
Beberapa hari yang lalu. Lina, yang selama ini kukira paling dewasa di antara kami, memutuskan untuk kawin lari dengan pacarnya Radit. Aku merasa dikhianati. Aku bahkan memilih untuk meninggalkan laki-laki yang pernah ku cintai, sayangnya komitmennya hanya berlaku untukku. Dia tidak setuju kalau ketika bersamanya nanti aku akan tetap memprioritaskan adik-adikku. Sementara Lina, dia dengan mudahnya pergi. Apa bersama pria itu hidupnya akan lebih mudah? Apa dia mencari kenyamanan sendiri tanpa kami? Aku begitu marah, hatiku terasa panas, aku kecewa dan merasa gagal. Air mataku terus berlinang dan berjatuhan membasahi pipi, tapi tak ada yang bisa kulakukan saat ini.
Di saat yang sama, Ardi mulai membutuhkan biaya kuliah yang lebih besar. Beasiswa yang diterimanya tidak sepenuhnya menutupi semua biaya kuliahnya. Pendapatan saat ini cukup untuk kebutuhan dasar, lalu sisanya, kami masih perlu lebih banyak uang. Saat-saat seperti ini tubuhku mulai menunjukkan tanda-tanda lelah yang tak bisa lagi diabaikan. Kepala pusing, dada sesak, tapi aku terus memaksakan diri.
Dan Rini… Anak bungsu yang kupikir masih polos dan penurut ternyata mulai memberontak. Masa remajanya penuh gejolak. Dia sering pulang larut malam, bergaul dengan teman-teman yang tidak kukenal, dan mulai sulit diajak bicara. Aku mencoba mendekatinya, tapi setiap usaha selalu diakhiri dengan pertengkaran. Aku merasa seperti kehilangan kendali atasnya.
Hari itu, semuanya memuncak. Aku pulang kerja dengan tubuh yang nyaris roboh, hanya untuk mendapati rumah berantakan. Lina tidak ada kabar, Ardi menungguku di meja makan dengan tumpukan tagihan kampus yang belum terbayar, dan Rini mengunci diri di kamar setelah bertengkar denganku pagi tadi. Aku duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah dinding. Rasanya, seluruh dunia menekan dadaku tanpa ampun.
“Aku capek,” bisikku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga.
Malam itu, aku sadar bahwa aku telah bekerja tanpa henti tanpa memikirkan diriku sendiri. Aku kehilangan arah, kehilangan Leoni yang dulu. Hidupku hanya tentang bertahan, tanpa pernah benar-benar hidup. Aku merasa hancur, tapi aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini.
Pada akhirnya aku terkena gejala tifus dan harus dirawat. Aku juga mendapat sesi konseling dengan psikolog. Hampir satu bulan, tanpa beban aku hanya pasrah. Aku pasrahkan semua ke tangan Yang Maha Kuasa. Sekarang aku sadar betapa tidak berdayanya aku, tapi juga merasa lega. Seolah sadar bahwa kekacauan ini bukan tanggung jawabku sendiri. Sudah begini, apa yang harus disesali.
Sepertinya pasrah ini juga membawa berkah. Ardi akhirnya cuti, bukan keputusan yang kuharapkan. Tapi aku aku sangat menghargainya karena dia lebih memilih mengalah dengan keadaan saat ini.
“Kaa aku pasti lanjut, tapi pelan-pelan aja kaa. Kita ngga lagi ikut lomba kan. Aku ngga apapa kok ambil cuti. Keadaan sekarang juga kan lagi rumit bangat kaa. Mungkin kita perlu melonggarkan beban kita sedikit.”
Hatiku terasa lega mendengar penjelasannya, aku hanya tersenyum dan mengangguk membalasnya.
Lina juga akhirnya berkabar, sebenarnya aku masih belum siap, tapi entah kenapa sekarang aku bisa lebih rileks menghadapinya. Dulu aku pernah mengecewakan seorang pria yang berniat baik karena keegoisanku, dan aku ngga mau yang kualami terjadi pada Lina, aku mau dia menjalani hubungan yang tidak akan disesalinya. Akan banyak yang mereka lalui, dan aku berharap aku ataupun saudara ku yang lain bukan menjadi penghalang dalam hidupnya.
Dan Rini, aku masih bingung menghadapinya. Dia sangat murung, aku tau dia sangat terpukul, tapi meski begitu justru dia menjadi sangat bijak. Sekarang Rini lebih terbuka, dan lebih mudah untuk diajak sharing.
Aku juga sudah berdamai dengan keadaan, dan tidak terlalu memaksakan diri lagi. Sekarang aku memilih untuk lebih bersyukur dan pasrah. Aku tau aku tidak pernah sendiri, tentunya kami masih bersama, meski bukan di ruang dan waktu yang sama aku yakin kami bersama, Ayah, Ibu, dan adik-adikku kami tetap bersama. Dan mereka akan tetap menjadi asa ku.