Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Harmoni di Balik Pagar
0
Suka
2
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagar itu tinggi, kokoh, dan dingin. Terbuat dari besi berkarat yang dicat warna hijau tua, ia mengelilingi sebuah rumah besar yang tampak angker dan terpencil. Di balik pagar itu, konon katanya, tinggal seorang kakek tua yang galak dan jarang berinteraksi dengan orang lain.

Namaku Lila, seorang pemain biola yang baru pindah ke kompleks perumahan ini. Aku menyukai ketenangan dan kesunyian, karena itu adalah suasana yang paling ideal untuk berlatih biola. Namun, aku juga penasaran dengan rumah besar di balik pagar itu.

Setiap kali aku melewati rumah itu, aku selalu merasa ada aura misterius yang terpancar. Aku sering melihat kakek tua itu duduk di kursi goyang di beranda rumahnya, menatap kosong ke arah jalan. Wajahnya selalu terlihat murung dan kesepian.

Aku mencoba mencari tahu tentang kakek itu dari tetangga-tetanggaku. Mereka bercerita bahwa nama kakek itu adalah Pak Surya, seorang pensiunan musisi yang dulunya terkenal. Ia adalah seorang pemain piano yang handal, dan sering tampil di berbagai konser dan acara musik.

Namun, sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun lalu, Pak Surya menjadi pendiam dan tertutup. Ia jarang keluar rumah, dan tidak mau berinteraksi dengan siapa pun. Ia seolah mengasingkan diri dari dunia luar.

Aku merasa kasihan dengan Pak Surya. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Aku ingin mencoba mendekatinya, menghiburnya, dan berbagi musik dengannya.

Suatu sore, aku memberanikan diri untuk mendekati rumah Pak Surya. Aku berdiri di depan pagar, memegang biola di tanganku. Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai memainkan sebuah lagu klasik yang indah.

Aku memainkan lagu itu dengan sepenuh hati, menuangkan segala perasaan dan emosiku ke dalam setiap nada. Aku berharap, musikku bisa menyentuh hati Pak Surya dan membuatnya merasa sedikit lebih baik.

Setelah aku selesai memainkan lagu itu, aku menunggu reaksi dari Pak Surya. Aku melihatnya bangkit dari kursi goyangnya dan berjalan mendekati pagar. Wajahnya masih terlihat murung, namun ada sedikit perubahan di matanya.

"Siapa kamu?" tanya Pak Surya dengan suara serak.

"Nama saya Lila," jawabku dengan sopan. "Saya tetangga baru di kompleks ini. Saya hanya ingin berbagi musik dengan Bapak."

Pak Surya terdiam sejenak. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, ia membuka pintu pagar dan mempersilakanku masuk.

Aku merasa senang dan terkejut. Aku tidak menyangka bahwa Pak Surya akan menyambutku dengan ramah. Aku berjalan masuk ke halaman rumahnya, mengikuti langkahnya menuju beranda.

Pak Surya mempersilakanku duduk di kursi goyang yang ada di beranda. Ia duduk di kursi lainnya, dan kami berdua terdiam sejenak.

"Saya suka musikmu," kata Pak Surya akhirnya. "Kamu memainkan biola dengan sangat indah. Kamu mengingatkanku pada istriku."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Pak," kataku. "Istri Bapak juga seorang musisi?"

Pak Surya mengangguk. "Istriku adalah seorang penyanyi opera yang terkenal. Kami sering tampil bersama di berbagai konser dan acara musik."

Pak Surya bercerita tentang istrinya, tentang cinta mereka, dan tentang kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama. Aku mendengarkan ceritanya dengan seksama, merasa terharu dengan kisah cinta mereka.

Setelah beberapa saat, Pak Surya berhenti bercerita. Ia menatapku dengan tatapan yang penuh kesedihan.

"Saya sangat merindukannya," kata Pak Surya dengan suara bergetar. "Sejak ia meninggal dunia, hidupku terasa hampa dan tak berarti."

Aku merasa iba dengan Pak Surya. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Aku menggenggam tangannya dan menatapnya dengan tatapan yang penuh simpati.

"Saya mengerti perasaan Bapak," kataku. "Tapi, Bapak tidak boleh terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Bapak harus bangkit dan melanjutkan hidup. Istri Bapak pasti ingin melihat Bapak bahagia."

Pak Surya terdiam sejenak. Ia merenungkan kata-kataku. Kemudian, ia tersenyum tipis.

"Kamu benar," kata Pak Surya. "Saya tidak boleh menyerah pada hidup. Saya harus melanjutkan apa yang sudah saya mulai."

Pak Surya bangkit dari kursi goyangnya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia kembali beberapa saat kemudian, membawa sebuah kotak tua yang berdebu.

"Ini adalah piano milik istriku," kata Pak Surya sambil membuka kotak itu. "Sudah lama sekali aku tidak memainkannya."

Pak Surya membuka tutup piano itu dan duduk di depannya. Ia menyentuh tuts piano itu dengan lembut, seolah menyapa sahabat lamanya.

Aku menatap Pak Surya dengan penuh harap. Aku ingin sekali mendengarnya bermain piano.

Pak Surya menarik napas dalam-dalam dan mulai memainkan sebuah lagu klasik yang indah.

Alunan piano itu memenuhi udara dengan melodi yang memilukan namun indah. Jari-jari Pak Surya yang keriput dengan lincah menari di atas tuts, menghidupkan kembali nada-nada yang telah lama terdiam. Aku terhanyut dalam musik itu, merasakan setiap emosi yang ingin disampaikan oleh Pak Surya. Ada kesedihan, kerinduan, cinta, dan harapan yang bercampur menjadi satu.

Aku menyadari bahwa Pak Surya belum kehilangan sentuhannya. Ia masih seorang musisi yang hebat, meskipun sudah lama tidak bermain piano. Musik adalah bahasa yang universal, yang mampu menyentuh hati siapa pun yang mendengarkannya.

Setelah Pak Surya selesai memainkan lagu itu, ia terdiam sejenak. Air mata menetes di pipinya. Aku mendekatinya dan memeluknya dengan erat.

"Terima kasih, Lila," kata Pak Surya dengan suara bergetar. "Kamu telah mengingatkanku pada istriku dan pada musik yang selama ini aku lupakan."

Aku tersenyum. "Sama-sama, Pak," kataku. "Saya senang bisa berbagi musik dengan Bapak."

Pak Surya mengajakku untuk bermain musik bersama. Aku memainkan biola, dan Pak Surya memainkan piano. Kami berdua menciptakan harmoni yang indah, menggabungkan suara biola dan piano menjadi satu kesatuan yang utuh.

Kami bermain musik sepanjang sore, tanpa henti. Kami memainkan berbagai macam lagu, mulai dari lagu-lagu klasik, lagu-lagu pop, hingga lagu-lagu daerah. Kami berdua menikmati setiap momen itu, merasakan kebahagiaan yang telah lama hilang.

Sejak hari itu, aku dan Pak Surya menjadi teman dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, bermain musik, bercerita, dan berbagi pengalaman. Aku menjadi seperti cucu baginya, dan ia menjadi seperti kakek bagiku.

Pak Surya mulai membuka diri kepada dunia luar. Ia mulai berinteraksi dengan tetangga-tetangganya, mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di kompleks perumahan, dan bahkan memberikan les piano kepada anak-anak. Ia kembali menjadi pribadi yang ceria dan ramah, seperti dulu sebelum istrinya meninggal dunia.

Rumah besar di balik pagar itu tidak lagi terlihat angker dan terpencil. Pagar besi berkarat itu dicat ulang dengan warna yang lebih cerah, dan taman di halaman rumah ditata ulang dengan indah. Rumah itu kini menjadi tempat yang hangat dan ramah, tempat di mana musik dan kebahagiaan selalu hadir.

Aku menyadari bahwa musik memiliki kekuatan yang luar biasa. Musik mampu menyembuhkan luka hati, menyatukan perbedaan, dan menciptakan harmoni di antara manusia. Musik adalah bahasa cinta yang paling universal.

Suatu malam, aku dan Pak Surya sedang duduk di beranda rumahnya, menikmati pemandangan bintang-bintang di langit. Aku memegang biola di tanganku, dan Pak Surya duduk di depan piano.

"Lila," kata Pak Surya tiba-tiba. "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepadamu. Kamu telah mengubah hidupku. Kamu telah memberikan warna baru dalam kehidupanku."

Aku tersenyum. "Bapak juga telah mengubah hidup saya," kataku. "Bapak telah mengajarkan saya tentang arti persahabatan, cinta, dan harapan."

Kami berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan malam. Kemudian, Pak Surya mulai memainkan sebuah lagu yang indah di piano. Aku mengikuti alunan musik itu dengan biola, menciptakan harmoni yang sempurna.

Di bawah langit malam yang bertaburan bintang, di beranda rumah yang hangat dan ramah, aku dan Pak Surya menciptakan harmoni di balik pagar, harmoni yang akan selalu kami kenang selamanya. Pagar itu tidak lagi menjadi pembatas, tetapi menjadi simbol dari persahabatan yang tulus dan musik yang abadi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Harmoni di Balik Pagar
Lukitokarya
Flash
Bronze
Kondom Itu Apa Yan?
Abdi Husairi Nasution
Komik
KAOS HITAM
moris avisena
Flash
Kucing tetangga
Mahmud
Cerpen
Bronze
Mata Belo Menyergap di Lampu Merah
Saifoel Hakim
Cerpen
Kabur
Fazil Abdullah
Komik
Bronze
The Daily of ARLO
Anindosta Studios
Flash
Bronze
Genre
FS Author
Cerpen
Bronze
Cerita tentang Seorang yang Ingin Menjadi Juru Cerita
Habel Rajavani
Flash
Bronze
Pesta Pernikahan
Afri Meldam
Cerpen
Tragedi Berak
Noer Eka
Flash
Antropologi
Keita Puspa
Flash
AWAS ADA ORANG
Tirani K. C.
Flash
LIDAHMU MEMBUNUHMU
Ratna Arifian
Flash
Modus Baju
Ravistara
Rekomendasi
Cerpen
Senandung Patah Hati di Kedai Kopi Senja
Lukitokarya
Cerpen
Harmoni di Balik Pagar
Lukitokarya
Cerpen
Sebuah Catatan Galau
Lukitokarya
Cerpen
Lukisan Senja di Balik Jendela
Lukitokarya
Flash
Surat dari masa lalu
Lukitokarya
Cerpen
Lentera di Ujung Lorong
Lukitokarya