Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Hari Ini Koran Tidak Datang
0
Suka
3,594
Dibaca

Kemarin, tetanggaku yang bernama Cipto mengeluh. Ia khawatir isu pemutusan kerja massal akan merembet sampai ke kota ini. Isu ini lantaran dipicu oleh insiden besar, dan insiden ini sebaiknya tidak usah kita bahas. Insiden ini paling tidak berhasil membuat orang-orang di Ibu Kota Negara saling curiga dan memusuhi. Karena insiden itu, maka muncul kekacauan dan huru-hara, perusahaan-perusahaan yan ada di dalam Ibu Kota ramai-ramai memutuskan kontrak kerja karyawannya.  

Walau aku sudah tahu dari kabar yang disiarkan radio pagi hari, selepas pergi ke warung untuk bercengkrama, Cipto juga bercerita padaku mengenai hal yang sama, yaitu telah terjadi huru-hara di Ibu Kota sana yang mengakibatkan banyak toko dijarah dan dibakar. Kabar tersebut ia dapat dari surat kabar yang datang kemarin.

Sampailah pada hari ini, ternyata yang ia khawatirkan benar adanya. Bukti dari kebenaran itu adalah nasib diriku yang menerima surat pemutusan kerja dan amplop pesangon yang isinya tidak seberapa. Cukuplah kiranya untuk diriku sendiri makan dan minum selama seminggu lebih sehari. Tentu saja dengan sayur tanpa lauk, seadanya dan mengenyangkan. Sekarang diriku resmi menjadi orang dengan julukan yang tidak enak untuk diperdengarkan di telinga, yaitu pengangguran. Aku berusaha sesantai mungkin, tetapi tetap saja tidak bisa. Aku memutuskan berangkat ke rumah Cipto dengan membawa banyak kekesalan yang sengaja ku simpan untuk kuluapkan di sana.

Sesampainya di depan rumah Cipto, aku tak jadi meluapkan kekesalan yang kubawa dari rumah. Di depan rumahnya, aku melihat Cipto menggila. Ia terlihat lebih kesal dariku. Dari mulutnya seluruh hewan dari hutan rimba, padang pasir, laut, dan samudra tumpah ruah bergema memasuki telingaku. Tidak hanya itu saja, di halaman rumahnya cangkir kopi yang ia pegang, diremas-remasnya lalu ia remas-remas lagi sampai halus. Ku pikir, pertunjukkan yang pernah ku lihat di pasar minggu tidak semenakjubkan ini. Ku diam sejenak, ku perhatikan istrinya lalu keluar rumah dan ku yakin ia mulai mempersiapkan tolakan untuk mengawali ‘amarahnya’. Oh tidak, kali ini aku harus menghentikan Cipto.

“Berhenti!” Teriakku. 

Cipto diam menoleh ke arahku, begitu juga istrinya yang ku pikir tak jadi memarahi Cipto. Lalu Cipto mengambil sapu dan pengki.

“Sebentar ya, Dris. Aku bersih-bersih dulu. Rumah kotor banget banyak beling ini. Bu, tolong buatin kopi ya, buat Idris. Dia pasti pengangguran sekarang.” Kata Cipto pada isitrinya.

Istrinya menatap suaminya, lalu beralih menatapku, dan mengiyakan. Ia masuk ke rumah. Aku masuk ke halaman rumahnya, dan kulihat Cipto sedang beres-beres. Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di halamannya. Cipto lekas kembali dari bersih-bersih dan menuju kursi di sebelah kiriku. Sejenak kemudian istrinya keluar membawakan dua gelas kopi panas. Ia dengan telaten menghidangkannya untuk diriku yang pengangguran ini dan suaminya, Cipto.

“Sial sekali ya kita ini, kemarin masih ngantor sekarang sudah tidak lagi.” Katanya sambil menyeruput kopi di cangkirnya.

Aku mengiyakan. Suasana hening sejenak. Tiba-tiba Cipto melanjutkan percakapan lagi. “Kamu tahu soal Mas Ijul?” Tanya Cipto padaku. Tentu saja aku tidak tahu, aku memilih menggeleng. 

“Tadi pagi dia ke sini, tapi tidak bawa koran. Dia sekarang juga pengangguran,” kemudian Ia melanjutkan. “Lantas, sekarang aku sudah tidak dapat kiriman koran lagi.”

Aku paham apa yang dirasakan Cipto. Mas Ijul adalah agen koran satu-satunya yang masih tersisa di kota ini. Jika Mas Ijul tidak dapat kiriman, maka itu berarti tidak akan ada koran hari ini, begitu juga koran besok. Karena kota ini letaknya amat terpencil dari Ibu Kota provinsi. Tampaknya, huru-hara di Ibu Kota Negara sana juga mempunyai dampak yang mengerikan, bahkan mengakibatkan Cipto tidak dapat mendapatkan korannya secara tidak langsung.

“Lantas, bagaimana ini?” Cipto termenung. Suasana terasa seakan-akan menjadi lengang. Aku yang tidak ingin melihatnya bersedih langusng memasang ekspresi sok-sok an mencari ide. 

“Cip,” aku menyela lamunannya. “Begini saja, besok aku ke rumahmu. Kita berangkat ke rumah Mas Ijul.”

Cipto menatap ke arahku dengan ekspresi yang tidak karuan. “Kamu punya rencana?”

“Tentu saja,” Sahutku. “Apa kamu lupa, dulu IPK ku berapa?”

“Baiklah. Besok aku tunggu sekitar jam sembilan pagi.”

Aku mengangguk, lalu karena cangkir kopi yang telah dihidangkan padaku belum ku sentuh sedikitpun, aku langung meraih dan meminumnya sedikit demi sedikit, namun tetap elegan. Kopi dalam cangkir pun perlahan-lahan berkurang dan akhirnya habis. Cangkir itu aku letakkan kembali ke meja. Aku bediri dan bergegas pamit pada Cipto untuk pulang.

Di jalan aku memikirkan banyak hal untuk membantu Mas Ijul esok hari. Aku seperti juga Cipto, seperti juga para penduduk kota tahu dan kenal dengan Mas Ijul. Bisa dibilang bahwa Mas Ijul adalah pusat dari segala informasi di kota ini semenjak semua agen koran gulung tikar, sebabnya karena mereka merugi karena mengira berjualan buku teka-teki silang lebih laris. O iya, kota kami ada di ujung barat provinsi, kota yang begitu kecil, bahkan dari lebih kecil dari separuh luas kota tetangga.

Kalaupun kami tahu dan kenal dengan sosok Mas Ijul sebagai pusat informasi dalam dan luar kota, nyatanya ia adalah orang yang sangat, bahkan mungkin paling sederhana di kota ini. Rumahnya yang kutahu dan pernah kudatangi berada di komplek permukiman yang bangunan-bangunannya terdiri dari material kayu dan asbes, termasuk rumah Mas Ijul sendiri, di beberapa bagian bahkan sudah diganti dengan tembok yang terbuat dari batu bata. 

Akhirnya setelah melalui pemikiran yang amat panjang dan melelahkan di jalan, aku menemukan ide bahwa aku harus menulis surat permohonan ke kepala redaksi untuk mempekerjakan lagi Mas Ijul sebagai agen koran. Setelah sampai rumah, aku bergegas menuju mesin tik dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang, kutulis sebuah surat permohonan dengan bahasa yang baik dan benar khas orang-orang terpelajar.

Keesokan harinya aku berangkat membawa surat yang sudah tersegel di dalam amplop coklat dengan rapi ke rumah Cipto. Di sana, ternyata Cipto sudah menugguku dengan sepeda motor keluaran terbaru, yaitu motor bebek modis, produk dari Jepang. Aku duduk di belakang Cipto yang sedang mengendarainya. Cipto menaiki motor, membelah jalanan kota dengan wajah penuh ketidaksabaran. 

Sebelum sampai, tiba-tiba dari belakang kami suara sirine yang mencekam mengagetkan kelima indra kami. Sirine itu berasal dari truk pemadam kebarakan,

Entah mengapa, aku mempunyai perasaan tidak enak mengenai tujuan kendaraan ini. Tanpa berpikir panjang aku menyuruh Cipto mengikutinya. Tentu saja aku bilang pada Cipto, kalau aku punya perasaan mengenai kemungkinan kebakaran yang terjadi di daerah permukiman Mas Ijul tinggal.

“Beneran?” Tanya Cipto.

“Bener. Perasaanku bilang begitu.”

“Baiklah, kita kejar mereka.”

Kendaraan itu melaju dengan kencang, Cipto mengejar dan berhasil mengikutinya. Ia tepat berada beberapa puluh meter dengan kendaaraan itu. Semakin kendaraan itu melaju, wajah Cipto kulihat dari spion sedang panik. Kepanikannya membuat dirinya terus-menerus meningkatkan kecepatan motornya. Aku yang panik menepuk-nepuk pundaknya.

“Santai, Cip! Jangan ngebut!”

Cipto menurunkan kecepatan. Kendaraan itu berbelok ke arah kiri, dan benar saja tujuan mereka adalah jalan menuju permukiman itu. Cipto langsung menaikkan kecepatan lagi. Kali ini ia berhasil menyalip kendaraan berwarna merah itu.

Sesampainya di lokasi, benar saja bahwa permukiman Mas Ijul tinggal terkena musibah. Ku lihat, para penduduk bergotong-royong, bahu-membahu memadamkan api dengan ember yang airnya berasal dari sebuah sumur. Tentu cara ini tidaklah efektif. Tetapi apa daya yang bisa mereka lakukan hanyalah itu, sembari menunggu truk pemadam kebarakan yang akan tiba sebentar lagi. Di permukiman telah terjadi kebakaran hebat. Tanpa pikir panjang, Cipto langsung turun dan bergegas berlari ke arah rumah Mas Ijul. Sedang aku hanya diam, mematung. Pandanganku kosong menatap abu demi abu melayang di langit yang bewarna mulai memerah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Perjalanan Rhu
Senjanila
Cerpen
Hari Ini Koran Tidak Datang
Hasan Faizal
Novel
Bronze
ALUNA
Reza Lestari
Novel
Better than You
Slukepyn
Novel
BINAR ANGAN
Claudia Lazuardy
Flash
Bronze
Lari
Bakasai
Flash
Bronze
Kiat Sukses Wawancara Kerja
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Biarkan Aku Pulang
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
The Princess With Her Misfortune
LordOdet
Novel
Bronze
Imperfection
Andieran
Novel
Bronze
Setengah Ibu
Larose
Novel
Blue
Maria Rosa
Novel
Bronze
UNQUALIFIED
Putri Lailani
Novel
Ohana
A. Tenri Ayu
Novel
Bronze
Mendung di Karang Jati
OmBoth
Rekomendasi
Cerpen
Hari Ini Koran Tidak Datang
Hasan Faizal
Cerpen
Lukisan Terakhir
Hasan Faizal