Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku datang sepuluh menit lebih awal hari itu.
Bukan karena niat besar, bukan karena hidup tiba-tiba terasa jelas. Hanya karena aku lelah datang dengan napas terburu-buru dan perasaan bersalah yang selalu menyusul. Pintu kantor masih setengah tertutup, lampu lorong belum semuanya menyala, dan meja resepsionis kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul 07.20.
Aku berdiri sebentar, mengatur napas. Tenang. Tidak dikejar waktu. Rasanya asing—dan anehnya, menyenangkan.
Namaku Laila. Dua puluh enam tahun. Dan selama hampir setahun terakhir, aku selalu datang tepat di batas terakhir jam kerja dimulai. Kadang lewat. Kadang nyaris. Selalu dengan alasan yang sama: bangun kesiangan, jalanan padat, atau malam yang terlalu panjang karena pikiranku sendiri.
Aku tidak pernah merasa benar-benar malas. Aku hanya… sering menunda. Menunda bangun pagi. Menunda bergerak. Menunda memperbaiki hal-hal kecil karena kupikir hidupku masih baik-baik saja.
Ternyata tidak.
*****
Aku bekerja di sebuah kantor administrasi yang tidak terlalu besar. Tidak ada target ambisius atau tekanan luar biasa. Tapi ada rutinitas yang menuntut hadir—secara fisik dan mental. Dan di situlah aku sering kalah.
Aku sering duduk di meja dengan kepala masih tertinggal di rumah. Aku hadir, tapi tidak sepenuhnya datang.
Teman-temanku terbiasa melihatku menyelinap masuk sambil tersenyum kecil. Atasanku jarang menegur. Tidak ada konsekuensi besar. Tidak ada drama. Hanya kebiasaan yang pelan-pelan membentuk citra tentang diriku: Laila yang selalu hampir tepat waktu.
Hampir.
Aku sering bilang ke diri sendiri, dibenahi nanti saja. Nanti kalau hidupku lebih stabil.
Nanti kalau aku tidak capek lagi.
Nanti kalau aku sudah lebih percaya diri.
Masalahnya, “nanti” terlalu nyaman untuk ditunggu.
*****
Perubahan itu tidak datang dari kutipan bijak atau nasihat panjang. Ia datang dari sebuah pagi yang biasa, dengan kejadian kecil yang tidak direncanakan.
Aku datang terlambat lagi hari itu. Hujan rintik membuatku semakin lambat. Saat aku masuk, Mbak Rina—petugas kebersihan yang sudah lebih dulu datang—sedang mengepel lantai.
“Pagi, Mbak,” sapaku cepat.
Ia menoleh, tersenyum, lalu berkata santai, “Mbak selalu datang pas aku hampir selesai ngepel, ya.”
Aku tertawa kecil. “Iya, ya?”
“Kayaknya iya,” katanya ringan. “Saya suka mikir, Mbak ini pasti capek banget tiap pagi.”
Kalimat itu sederhana. Tidak menghakimi. Tidak menyindir.
Tapi entah kenapa, dadaku terasa sesak.
Capek.
Aku mengangguk, lalu berjalan ke mejaku. Sepanjang hari, kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Bukan karena aku tersinggung, tapi karena aku sadar: aku memang capek. Bukan karena pekerjaanku berat, tapi karena aku selalu memulai hari dengan tergesa.
Aku pulang sore itu dengan langkah lambat. Di rumah, aku duduk di tepi kasur, membuka ponsel tanpa tujuan. Lalu aku berhenti.
Aku lelah hidup seperti ini.
*****
Malam itu, aku tidak membuat rencana besar. Aku hanya menulis satu baris di notes ponselku: besok, datang lebih awal.
Tidak ada kata “harus”. Tidak ada target yang muluk-muluk. Hanya satu kalimat yang terasa cukup realistis untuk dicoba.
Aku memajukan alarm lima belas menit lebih awal. Itu saja. Lalu aku tidur.
Pagi datang dengan rasa malas yang sama. Alarmku berbunyi. Tanganku refleks ingin menekan alarm. Aku menutup mata beberapa detik, lalu membukanya lagi.
Kalau aku menunda lima menit lagi, apa bedanya dengan kemarin?
Aku bangkit. Mandi. Lalu bersiap. Tidak ada keajaiban. Tidak ada semangat membara. Semuanya biasa saja.
Tapi aku berangkat lebih awal.
*****
Itulah pagi ini.
Aku duduk di kursiku dengan secangkir teh hangat yang kubuat sendiri. Aku membuka komputer tanpa panik. Aku sempat merapikan meja, sesuatu yang jarang kulakukan karena biasanya aku datang dengan pikiran sudah penuh.
Saat rekan-rekanku mulai berdatangan, aku menyadari sesuatu: tidak ada yang berubah secara drastis. Tapi ada ruang di dalam diriku yang terasa lebih lapang.
Hari itu tetap melelahkan. Tetap ada pekerjaan menumpuk. Tetap ada rasa ingin pulang lebih cepat.
Namun aku tidak merasa dikejar oleh diriku sendiri.
*****
Perubahan itu tidak langsung konsisten. Ada hari dimana aku kembali terlambat. Ada saat dimana setiap pagi aku hampir menyerah. Tapi kini aku berhenti berpura-pura tidak melihat masalahnya.
Aku mencatat hal-hal kecil:
● tidur lebih awal satu hari
● menyiapkan tas sejak malam
● berhenti membandingkan diriku dengan orang lain
Tidak selalu berhasil. Tapi aku mencoba lagi.
Beberapa minggu kemudian, Mbak Rina menyapaku lagi.
“Sekarang Mbak sering datang duluan,” katanya sambil tersenyum.
Aku membalas senyum itu. “Masih belajar, Mbak.”
Ia mengangguk. “Pelan-pelan saja nggak apa-apa. Yang penting jalan.”
Kalimat itu menempel di kepalaku sepanjang hari.
*****
Aku belum menjadi versi terbaik dari diriku. Aku masih sering ragu. Masih sering merasa tertinggal. Hidupku belum teratur. Masih banyak persoalan yang belum rampung.
Tapi sekarang, aku tidak lagi menunggu motivasi datang dulu untuk bergerak.
Aku bergerak, meski pelan.
Malam ini, aku menulis lagi di notes ponselku:
Hari ini aku datang lebih awal. Besok kita coba lagi.
Aku menutup ponsel dan tersenyum kecil.
Aku mungkin belum sampai ke mana-mana. Tapi setidaknya, hari ini, aku tidak diam.
Dan untuk sekarang, itu sudah cukup.
*****
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, tapi aku mulai memperhatikan detail yang sebelumnya luput.
Suara langkah di lorong pagi hari. Bunyi mesin fotokopi yang dinyalakan lebih awal. Cara cahaya matahari masuk dari jendela timur dan jatuh tepat di meja kerjaku.
Aku baru sadar, kantor ini tidak pernah berubah. Yang berubah hanya caraku yang datang lebih awal.
Dulu, aku masuk sambil meminta maaf dalam hati. Sekarang, aku masuk sambil mengangguk kecil pada diriku sendiri. Bukan bangga—lebih seperti pengakuan diam-diam bahwa aku akan selalu berusaha.
Aku tidak langsung jadi produktif. Jangan salah. Ada hari aku duduk lama menatap layar tanpa tahu harus mulai dari mana. Ada waktu ketika aku merasa tetap tertinggal dibanding orang lain.
Tapi ada satu perbedaan penting: aku tidak lagi memulai hari dengan rasa bersalah.
Dan itu banyak mengubah hal kecil.
*****
Suatu pagi, atasanku lewat di belakang mejaku.
“Kamu datang pagi sekarang?” tanyanya ringan.
Aku mengangguk. “Iya, Pak. Saya lagi berusaha.”
“Bagus,” katanya singkat, lalu pergi.
Tidak ada pujian panjang. Tidak ada pengakuan besar. Tapi entah kenapa, dadaku terasa hangat. Bukan karena diapresiasi, melainkan karena aku tahu: aku tidak lagi bersembunyi di balik alasan.
Dulu, aku sering berharap orang lain mengerti keadaanku. Sekarang, aku mulai mengerti diriku sendiri.
Bahwa aku bukan tidak mampu. Aku hanya terlalu lama membiarkan diriku berjalan tanpa arah yang jelas.
*****
Perubahan kecil ini merembet ke hal lain.
Aku mulai pulang dengan kepalaku tidak seberat seperti sebelumnya. Aku punya energi untuk menyapu kamar kos, untuk menyiapkan baju esok hari, untuk duduk sebentar tanpa langsung membuka ponsel.
Aku mulai tidur tanpa membawa rasa panik ke dalam mimpi.
Dan yang paling aneh—aku mulai lebih jujur pada diriku sendiri.
Tentang hal-hal yang kutunda bukan karena tidak penting, tapi karena aku takut gagal melakukannya dengan baik.
*****
Suatu sore, aku duduk sendirian di halte bus. Jam menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Aku menunggu bis sambil mengamati orang-orang di sekitarku.
Seorang perempuan berdiri sambil mengecek jam berkali-kali. Seorang pria tampak kelelahan, dan tampak kuyu. Seorang anak kecil tertidur di pangkuan ibunya.
Aku menyadari sesuatu: hampir semua orang terlihat lelah dengan caranya masing-masing.
Dan aku berhenti menyalahkan diriku karena belum sekuat orang lain.
Mungkin, aku tidak perlu kuat. Aku hanya perlu jujur tentang di mana posisiku sekarang.
*****
Di suatu pagi aku kembali datang terlambat. Tidak banyak—hanya lima menit. Aku berdiri di depan pintu kantor, menarik napas, dan hampir merasa ingin menyerah.
“Ah, percuma juga,” pikirku. “Kemarin-kemarin juga terlambat lagi.”
Tapi kemudian aku masuk.
Tanpa menyalahkan diri. Tanpa berjanji yang muluk-muluk. Aku duduk, membuka komputer, dan melanjutkan hari.
Aku belajar satu hal penting hari itu:
Satu hari buruk tidak mendefinisikan suatu proses.
Ia hanya berjalan lebih pelan.
*****
Aku melepas kedisiplinan sebagai identitasku. Aku menjadikannya kebiasaan yang sedang dibangun. Pelan, bertahap, tapi nyata.
Aku tidak lagi menunggu versi diriku yang ideal untuk mulai bergerak. Aku bergerak sebagai diriku yang sekarang—yang masih ragu, masih belajar, masih sering salah.
Dan entah sejak kapan, aku berhenti membandingkan diriku dengan rekan-rekanku.
Mereka punya cara sendiri. Dan aku punya langkahku sendiri.
Prosesnya tidak harus sama. Yang penting, tidak diam di tempat yang sama.
*****
Malam ini, sebelum tidur, aku membuka kembali notes ponselku.
Datang lebih awal. Tarik napas. Tidak apa-apa kalau pelan. Coba lagi esok hari.
aku tersenyum kecil.
Dulu, aku mengira perubahan besar selalu datang dengan suara keras—keputusan besar, tekad kuat, atau momen dramatis.
Ternyata tidak.
Kadang, ia datang dalam bentuk bangun sepuluh menit lebih awal. Dalam keberanian kecil untuk tidak menekan alarm. Dalam kejujuran untuk mengakui bahwa aku lelah, tapi masih mau mencoba.
*****
Besok pagi, aku belum tahu apakah aku akan datang lebih awal lagi. Tapi aku tidak berani berjanji.
Tapi malam ini, aku menyiapkan tasku. Aku menyetel alarm lebih awal. Aku mematikan lampu dengan perasaan yang lebih ringan.
Aku mungkin belum berubah banyak. Hidupku juga belum tertata. Aku masih sering merasa tertinggal.
Tapi hari ini, aku bergerak.
Dan besok— aku akan mencoba datang lagi.
Lebih awal. Lebih sadar. Lebih jujur pada diriku sendiri.