Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku berjalan menuju kantin. Kupesan semangkuk bakso dan segelas es teh, lalu aku duduk di salah satu bangku.
“Baa!” tiba-tiba, di sebelahku ada Ruby, sahabatku.
“Aduh, Ruby, jangan main kaget-kagetan seperti itu, dong! Jantungku sakit kalau kamu seperti itu terus!” ujarku sewot.
“Hahaha… maaf, maaf,” kata Ruby sembari duduk di sebelahku. Dia makan sepiring nasi goreng dan sate usus.
“Lin, kamu mau tahu kapan hari ulang tahunku?”
“Hah? Kapan memangnya?”
“Besok!”
“Yang benar saja, Ruby! Aku saja belum menyiapkan hadiah buatmu!”
“Tapi, bohong!”
(Ah, dasar, lu, Ruby! Untung saat itu aku nggak jadi melemparmu ke sungai!)
***
Pulang sekolah, aku dijemput abangku. Kami naik motor menuju rumah.
“Dik, bantu aku membetulkan pipa keran dapur, ya. Aku nggak bisa memasangnya, sementara Papa lagi ada di kantor!” kata abangku, Bang Ferdi.
“Bang, yang benar saja, aku, kan masih kecil. Mana bisa membantu Abang pasang-pasang yang begituan!” gerutuku agak marah.
Bang Ferdi tidak menjawab. Setibanya di rumah, aku langsung ganti baju. Kemudian, aku berlari menuju dapur.
“Bang, aku mau bantu Abang pasang pipa keran. Bagaimana ini?” ujarku sambil membuka pintu dapur.
Bang Ferdi menoleh dengan cepat ke arahku, lalu menyemprotkan air padaku.
“Hahaha… kena tipu!”
(Dasar abang yang jahil!)
***
Sorenya, seusai mengaji di masjid bersama Bang Ferdi, aku ditelepon oleh Keisha, anak tetanggaku.
“Kak Linda, ayo main ke rumahku. Aku punya mainan baru, loh. Kamu mau, kan, datang ke rumahku sekarang?” tanyanya di telepon.
“Oke, aku mau ke sana sekarang, Kei. Tapi mainnya sebentar saja, ya, soalnya papaku sebentar lagi bakal pulang,” kataku antusias.
“Beres! Ayo cepat ke sini, Kak,” ujar Keisha sebagai penutup telepon.
Aku berlari menuju rumah Keisha. Sampai di sana, ibunya Keisha menyambutku.
“Selamat sore, Linda. Mau main di sini, ya?” sapa ibu Keisha, Tante Siti.
“Iya, Tante. Tadi saya ditelepon anak Tante, katanya punya mainan baru. Dia juga mengajak saya ke sini buat main,” jelasku.
Tante Siti tertawa. “Baiklah. Selamat bersenang-senang, ya, Nak! Anggap saja seperti rumah sendiri. Tidak usah sungkan-sungkan.”
Keisha muncul dan menepuk bahuku. Ketika aku menoleh, dia tersenyum, dan kulihat dia membawa boneka beruang besar warna cokelat.
“Kakak, ayo masuk. Aku perlihatkan mainan baruku. Kakak pasti suka! Ayo,” ajak Keisha sambil menggandeng tanganku.
Kami berdua memasuki rumah Keisha, lalu menaiki tangga ke lantai dua. Keisha membuka pintu kamarnya, dan aku melihat ada sebuah tenda kecil berwarna merah muda.
“Wow, mainanmu banyak sekali, Keisha,” kataku takjub.
Keisha tersenyum manis, lalu meletakkan bonekanya di atas ranjang. Aku duduk di dekat ranjang dan memerhatikannya sedang mencari sesuatu di dalam lemari. Keisha masih berumur 6 tahun, lima tahun lebih muda dariku. Karena itu, wajarlah kalau dia punya banyak mainan.
“Ini dia!” serunya sambil memperlihatkan sebuah mainan padaku.
Mainan itu adalah komidi putar kecil. Warnanya merah muda dan kuda-kudanya warna putih. Keisha memutar mainan itu dan memencet sesuatu, dan seketika mainan itu berputar, lalu menyala warna-warni, disusul dengan sebuah lagu.
Kami berdua pun bermain bersama. Setengah jam kemudian, aku pulang, dan kembali ke rumahku. Saat aku tiba di rumah, hujan turun.
“Dari mana saja kamu, Lin? Papa on the way ke sini, loh. Kamu belum menyiapkan kopi,” kata Bang Ferdi yang tengah melipat baju.
“Oh, iya, aku lupa!” seruku sembari berlari ke dapur.
Kusiapkan kopi untuk Papa dan sedikit kudapan untuknya. Setelah itu, kuletakkan kopi di atas meja ruang tamu. Aku menunggu Papa.
“Aku punya sesuatu buatmu,” kata Bang Ferdi sambil berjalan ke kamarnya.
“Apa lagi, Bang? Jangan aneh-aneh lagi, loh, ya. Aku sudah Abang kerjai tadi siang, dan sekarang aku nggak mau dikerjai lagi!” ujarku dengan keras supaya terdengar oleh abangku.
Tak lama kemudian, Bang Ferdi kembali, dan menyerahkan sebuah buku catatan padaku. Disuruhnya aku untuk membuka-buka buku itu dan mencari suatu gambar.
Kubolak-balik halaman buku itu tanpa selera. Tiba-tiba…
“AAH!”
Rupanya pada salah satu halaman, terdapat sebuah topeng mini yang mirip hantu. Buku itu kulempar ke lantai. Aku kaget, berusaha mengumpul-ngumpulkan tenaga.
“Hahaha… begitu saja takut!” tawa Bang Ferdi sambil memegangi perutnya.
(Ada apa dengan hari ini? Mengapa begitu sial bagiku? Aku benci hari ini!)
***
Papa pulang dari kantor saat menjelang malam. Derasnya hujan membuat jas Papa basah kuyup.
“Maaf, ya, Papa pulang agak telat, soalnya hujannya deras sekali. Papa tunggu sebentar, nggak berhenti-berhenti. Akhirnya Papa nekat saja, terobos hujan,” cerita Papa sambil meneguk kopi yang kubuat.
“Santai saja, Pa. Makan malam sudah kusiapkan, kok!” kata Bang Ferdi sambil memasukkan jas Papa ke ember cucian.
Aku baru saja hendak menceritakan kejadian tadi, ketika Papa mengeluarkan sebuah kotak kecil kepadaku.
“Nih, cokelat buat kamu, Linda! Itu dari teman Papa, pasti kamu suka!” ujar Papa sambil tersenyum lebar.
“Wah, teman Papa baik sekali, mau kasih cokelat ke aku…” ucapku sambil membuka tutup kotak itu.
TEOOT!
Rupanya itu bukan cokelat, melainkan sebuah terompet kecil yang meloncat dan berbunyi. Aku kaget, sampai-sampai badanku ambruk ke lantai.
“Ahahahahaha… hahahaha…” tawa Papa begitu melihatku jatuh.
“Hahaha… lucu sekali, Pa!” Bang Ferdi juga ikut tertawa.
(Nggak Ruby, nggak Bang Ferdi, Papa sama saja. Dasar semua pada jahil! Nggak ada orang yang bener di dunia ini!)
***
Esok harinya, aku memasuki kelas seperti biasa. Saat itu, aku datang terlalu pagi. Masih belum ada satu pun siswa di kelasku. Kunyalakan lampu kelas, lalu aku duduk di bangkuku.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang tanpa sengaja kutindih. Aku berdiri, lalu menatap bangkuku. Ah, rupanya yang kududuki adalah sebuah buku tulis! Aku mengambil buku itu. Iseng-iseng, aku membaca catatan yang ada di situ.
Ternyata, isinya hanyalah cerita-cerita bergenre romantis yang sangat memuakkan. Aku nyaris melemparnya ke belakang karena malas membacanya. Aku membolak-balik halaman buku itu. Ada sebuah cerita yang lain lagi, tapi genrenya adalah romantis.
“Ah, dasar buku tulis sialan! Masa penulisnya suka pacaran terus, lalu buat cerita itu sesuai pengalamannya? Lama-lama, kecanduan cinta dia!” gerutuku keras-keras. “Eh, tapi siapa penulisnya? Buku ini nggak ada nama pemiliknya, aneh sekali. Pemiliknya pasti lupa memberi nama. Teledor sekali. Untung belum ketahuan Pak Guru. Kalau sampai ketahuan, terus orangnya dihukum, bagaimana?”
Aku mencari-cari alamat atau nama pemilik buku tulis tersebut. Di halaman belakang, aku menemukan sebuah catatan kecil.
Alamat: Jl. Mawarsari Blok E, rumah nomor 7a
“Jalan Mawarsari? Siapa di kelasku yang rumahnya di Jalan Mawarsari?” gumamku. “Aneh sekali. Tapi rasanya jalan ini dekat sekali dengan rumahku. Namun aku tak tahu blok E itu yang mana. Apa perlu kutanyai teman-temanku semuanya, mengenai buku ini?”
“Hayo, penasaran, ya? Makanya, datang jangan awal-awal!”
Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, dan ternyata ada sosok yang bertudung hitam. Aku panik.
“Kamu lancang sekali membuka-buka bukuku. Apa perlu kuberi pelajaran ini anak?” kata sosok itu, sambil mendekatiku.
“J-jangan, aku… aku minta maaf karena telah membuka-buka bukumu. Ta… tapi kamu siapa?” tanyaku sambil berjalan menuju papan tulis.
Sosok itu diam saja, lalu mendekatiku perlahan-lahan. Aku sangat takut. Aku berlari ke sudut. Tak sadar, rupanya aku menabrak sebuah lemari.
BRUK!
“Aduh…” keluhku, dan aku terjatuh. Sosok itu menghampiriku dengan berlari. Dibukanya tudungnya.
Ah! Rupanya sosok itu adalah Fitri, teman sebangkuku. Dia melipat tudung hitamnya dan memegangi tanganku.
“Lin? Linda, aku minta maaf, ya. Aku tak tahu kamu bakal sepanik itu. Maaf, ya,” bisiknya sambil memelukku. “Apa kepalamu sakit sesudah membentur lemari? Maafkan aku, ya, Lin.”
Aku memijat-mijat pelipisku, lalu menyentuh tangannya.
“Sudahlah, Fit, nggak apa-apa. Yang penting, jangan diulangi lagi, ya!” jawabku sambil tersenyum. “Eh, itu tadi bukumu, ya? Aku juga minta maaf, karena sudah membuka-buka bukumu tanpa izin. Tapi… kamu suka bikin cerita romantis, ya?”
Fitri mengangguk. Saat aku hendak berdiri, tiba-tiba Fitri mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyemprotkannya ke mukaku.
“Hahaha… rasakan! Memang dasar kamu, ya, buka-buka bukunya orang!” serunya sambil terus menyemprotkan air padaku.
“Aaah! Fitri, Fitri, hentikan!” jeritku sambil menutup mata.
(Hari sial masih berlanjut rupanya. Betapa bodohnya aku, gampang ditipu oleh orang!)