Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Akhir tahun ini langit menumpahkan udara yang dingin. Hujan tiada henti menyerbu bumi. Angin melankolis berembus, melanda apa saja yang dilaluinya. Suasana seperti ini jarang mengenakkan hati karena sering menghidupkan sifat emosional. Apalagi ingatan bersama wanita itu masih tersimpan, membeku seiring musim yang membuat gigi bergemeletuk ini. Kenangan-kenangan bersamanya tak mungkin bisa dilupakan barang secuil pun. Kerinduan yang tak lekas bersambut ini membuatku hampir gila. Aku tak ingin bersedih— karena hujan telah melakukannya— tetapi ada kalanya air mata ini membuncah, tak dapat ditahan lagi.
Wanita yang menyebabkan penderitaanku ini bernama Elisa. Perawakannya terlampau ceking, tapi pesonanya melambung tinggi. Orang-orang membencinya dengan alasan. Di mana pun sosoknya menampakkan diri, orang-orang cenderung memberikan tatapan jijik. Kuakui, Elisa bukanlah wanita yang baik dalam hal tertentu. Keterpaksaan serta tekanan telah mengakibatkannya menjadi buruk di mata sosial. Sebutlah ia sebagai wanita penghibur, jalang, pelacur atau apa pun itu karena memang begitulah faktanya. Memperoleh uang dari hasil keringatnya dijamahi para pria tak berperasaan.
Namun, aku tidak peduli pada stigma buruk yang menyematnya. Bagiku Elisa adalah bunga yang tumbuh di musim kemarau. Ia tangguh serta berhati lembut. Sekali lagi, keterpaksaan serta tekanan telah menjebloskannya ke jalur yang menyesatkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Ia bukanlah penggoda seperti rekan seperjalan lainnya. Riasannya selalu tipis. Caranya berjalan teramat sederhana, tidak dibuat-buat semenarik mungkin. Elisa baru sudi melacur ketika sesuatu yang luar bisa mendesak melampaui ambang kuasanya. Bagaikan seperangkat mesin, tubuhnya bisa dikendalikan menjadi alat pemuas nafsu, asalkan ada jaminan uang. Hatiku benar-benar iba terhadap penderitaannya.
Saat itu adalah malam terakhir di bulan Juli, tapi merupakan awal bagiku untuk memulai kisah dengannya. Pengerjaan jurnal mengharuskanku pulang larut dan memutar jalan ke gang-gang sempit karena itulah jalan tercepat menuju kosan jika mengandalkan kaki. Biasanya aku pulang naik ojek atau menebeng pada teman. Namun langit sudah terlanjur gelap sehingga baik ojek ataupun temanku sudah pulang. Di sanalah aku bertemu dengan Elisa. Ia terduduk lemas di sebuah pojokan, tempat orang-orang biasa menimbun sampah. Tangannya meraih kardus kecil lalu mulai muntah-muntah tak tertahankan. Segera kuhampiri sosoknya yang malang itu karena khawatir. Saat itu aku sudah mengetahui siapa Elisa, rumornya menyebar di penjuru kampus. Elisa merupakan mantan mahasiswi yang sempat mengambil jurusan sosiologi, tapi harus mengundurkan diri di awal semester. Sehingga, tidak salah kalau nama beserta aibnya populer.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku cemas, berjongkok menyesuaikan posisi kami.
Elisa tidak menjawab. Ia memeluk lututnya, membenamkan seluruh wajahnya lantas menangis tersedu-sedu. Saat itu hatiku ikut merasakan sakit. Tangisannya menggema, memecah keheningan malam. Aku membujuknya untuk pindah ke tempat yang lebih nyaman. Dengan napas yang sesak oleh tangis, ia mengikutiku menuju kursi bambu, tempat bapak-bapak biasa bertanding catur di siang hari.
Butuh beberapa belas menit hingga tangisannya reda. Selama itu, aku terus menatapnya. Tanpa kusadari, perasaan-perasaan spesial timbul dalam hatiku. Perasaan semacam keinginan untuk bisa menjadi pelindungnya. Menjadi tempat yang nyaman untuk melepaskan keresahan hatinya.
"Ma-af," ujar Elisa setelah tangisannya mereda. Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengguratkan senyum yang sangat dipaksakan.
"Cobalah, permen ini bisa meredakan mual." Aku menyodorkan beberapa permen rasa peppermint. "Mulutmu pastilah pahit setelah muntah tadi."
"Terima kasih."
Elisa memasukkan permen ke dalam mulutnya, beberapa saat kemudian matanya melebar. "Mmhh, ini enak! Rasa pedasnya langsung menjalar ke perut," serunya sambil melemparkan senyuman yang menghangatkan hati. Aku salut pada kepribadiannya yang mendadak tenang. Ia bisa setegar itu setelah sebelumnya menangis hebat.
"Kau baik-baik saja sekarang?"
Elisa mengangguk, tersenyum ramah. "Aku sering muntah-muntah karena belum terbiasa, ini sudah kelima kalinya. Mereka bau keringat sehingga perutku mual, ... kenapa? Tak perlu bingung seperti itu. Aku yakin kau sudah tahu pekerjaan seperti apa yang kulakukan. Kau mahasiswa IT, kan?"
Aku mengangguk, tak bisa memikirkan tanggapan yang tepat. Padahal tidak setitik pun aku berniat menyinggung masalah pekerjaannya. Tidak secuil pun diriku bermaksud menanyakan apa yang baru saja dilakukannya.
"Benar, kan! Aku sering melihatmu dulu. Pastilah kau tahu siapa aku karena gosipku cukup populer di kampus," ucapnya dengan senyum yang sulit diartikan.
Sesaat kemudian, Elisa bangkit dari duduknya. "Terima kasih permennya. Mualku sudah hilang berkat permen ajaib ini. Aku harus pergi sekarang."
"Hendak ke mana? Biar kuantar. Kelihatannya wajahmu masih pucat."
"Tidak perlu." Elisa berhenti sejenak, menarik napas, seolah berusaha menguatkan hatinya. "Aku mau menagih bayaranku pada si Tua Bangka. Aku harus bergegas sebelum dia pergi. Aku bukan wanita baik, sebaiknya jangan mencemaskanku. Tapi, terima kasih banyak untuk permen ini," pungkasnya melangkah dengan cepat lalu menghilang. Aku hanya bisa terdiam menatap kepergiannya. Saat itu aku berharap bisa bertemu lagi dengannya.
Tak perlu waktu lama bagiku untuk bisa berjumpa kembali dengan Elisa. Tuhan berbaik hati mengatur pertemuan ini. Kami berjumpa di minimarket dua hari setelahnya. Elisa menunjukkan bungkus permen pada kasir. Namun, permen tersebut sedang kosong. Aku yang mengamatinya dari samping segera menghampirinya.
"Permen ini ada di grosir ujung trotoar sana. Ayo kuantar," ajakku dengan nada akrab. Elisa yang tampaknya masih mengingatku tampak ragu-ragu.
"Ayo. Aku juga memang mau ke sana," tambahku meyakinkan hingga tak ada alasan baginya untuk menolak.
Sepanjang jalan kami berbincang. Elisa mengatakan permen yang kuberi malam itu cukup ampuh mengatasi rasa pahit ketika asam lambungnya naik. Kami berbincang tentang cuaca, musik, hobi serta hal lainnya. Elisa cukup menyenangkan walau saat itu tidak banyak bicara. Wajahnya lebih pucat dibanding malam sebelumnya. Walau begitu, ia berusaha menampilkan senyum terbaiknya yang lembut melebihi cahaya mentari pagi itu. Hingga saat ini, aku masih bisa merasakan getaran bahagia yang kurasakan saat menyusuri trotoar bersamanya. Kuberanikan diri untuk bertukar nomor telepon saat hendak berpisah. Sejak saat itu, kami sering bertemu, di mana pun.
Awalnya, Elisa menolak jika kuajak pergi ke suatu tempat. Ia selalu beralasan kalau dirinya takut membawa malapetaka. Namun, pada akhirnya ia setuju karena jenuh mendengar ajakanku yang cenderung memaksa. Selama pertemuan-pertemuan bersamanya, tak pernah sekali pun mulut ini menyinggung tentang pekerjaannya. Aku tak ingin membuatnya berkecil hati. Namun, tanpa diminta, Elisa lah yang sering mengungkapkan kehidupan serta penderitaannya padaku. Ternyata, sebelum bekerja melayani para pria mesum, Elisa lebih dulu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Koh Anming. Pria tua keturunan Cina itu memiliki usaha yang bersinar dalam kegelapan. Ia menjual minuman keras, obat-obatan terlarang serta tubuh wanita. Mucikari itulah yang membuat Elisa terperangkap menjadi seorang jalang. Sungguh prihatin mendengar beban hidupnya.
"Siapa yang mau menjadi wanita hina sepertiku? Aku juga tidak mau, aku tak punya pilihan. Ayahku masuk penjara karena ia seorang pembunuh sekaligus mencabuli bocah. Ibuku mati meninggalkan banyak utang. Tak ada yang mau memperkerjakanku dengan layak karena aku anak seorang pembunuh juga pedofil. Hanya pekerjaan macam inilah yang sudi menerimaku," rintihnya di suatu malam setelah muntah-muntahnya kambuh. Bagai kehilangan kendalinya, Elisa memukul-mukul kepalanya sambil menangis keras-keras. Kemudian, menggosok beberapa bagian tubuhnya menggunakan tisu basah hingga beberapa kulitnya terkelupas.
"Aku muak melayani mereka. Setiap kali pria-pria itu menggerayangi tubuhku, aku selalu berharap mati saja! Tak ada yang lebih menjijikan dari tubuhku. Aku hanyalah seonggok wanita yang tak ada bedanya dengan kotoran. Aku benci dengan tubuhku!" Ia kembali memuntahkan asam lambungnya dan memukuli kepalanya.
Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku lantas ikut menangis bersama. Malam itu air mata menghujani kami berdua. Aku merasa bodoh karena tidak bisa menjadi pelindungnya. Bagaimana bisa selama ini aku abai membiarkannya sengsara. Perawakannya begitu kurus, tinggal kulit yang membaluti tulang. Tampak sekali kalau penderitaan telah menggerogoti berat badannya. Kulitnya lebam dan mengelupas di mana-mana karena ia sering menyiksa dirinya sendiri. Malam itu, kuputuskan untuk membantunya keluar dari dunia kelam yang memasungnya. Aku meminta Elisa berhenti menjadikan tubuhnya sebagai pemuas nafsu. Masalah utang ibunya yang terlampau menggunung itu, akan kupikirkan solusinya.
Dengan keputusan yang terbilang nekat, aku mengikuti judi online seperti yang dilakukan beberapa teman. Elisa tidak mengetahui kegiatan ini. Ia hanya tahu bahwa aku sedang membantu teman mengurus toko online. Elisa sangat gembira dan tak henti-hentinya berterima kasih padaku. Deritanya berkurang setelah berhenti melacur. Namun, pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di rumah Koh Anming masih ia lakukan. Katanya, upahnya akan digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya, ia tidak ingin menyerahkan semua beban padaku. Lagipula, pekerjaan itu hanya dilakukannya seminggu sekali.
Hasil dari judi online cukup memuaskan. Jutaan rupiah bisa terkumpul tiap bulannya. Dalam jangka waktu satu tahun, utang yang menjerat Elisa pun berhasil tuntas. Tak ada lagi lintah darat yang mengamuk meminta uang hingga mengancam akan mencabulinya. Elisa sungguh gembira hingga tak henti-hentinya menangis kala itu. Hatiku ikut bahagia karena bisa membantu meringankan bebannya walau dengan cara berjudi. Saat itu juga, kuputuskan untuk berhenti berjudi setelah semua utang lenyap. Aku tak ingin terjerat dalam kegiatan yang bisa memerosokkanku ke dalam lubang hitam. Kubilang pada Elisa bahwa sudah saatnya fokus pada kuliahku yang tinggal tersisa dua semester lagi hingga tak bisa melanjutkan bekerja di toko online teman.
"Fokuslah pada kuliahmu sekarang. Lagipula, utang sialan itu sudah lunas. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu," ucap Elisa sambil mengecup pipiku lembut. "Terima kasih, kau adalah penyelamat!" Elisa menggantungkan kedua lengannya di leherku dan menatapku tulus. Kami pun mulai berciuman.
Hubunganku dengan Elisa cukup baik. Kami mengasihi satu sama lain. Hanya satu yang belum kumengerti darinya: sifatnya selalu berubah-ubah. Terkadang ia bisa ceria hingga mengalahkan cahaya di pagi hari. Namun, ketika kemurungan menyergap, mulutnya akan menutup rapat dan matanya sering melamun. Walau begitu, aku tetap menyukainya. Tak ada yang membuatku lebih bahagia dari melihatnya sepanjang hari. Elisa adalah cahaya paling lembut yang mampu menghangatkan hatiku.
***
Tibalah hari yang meruntuhkan kebahagiaanku bersamanya. Elisa sendiri yang membuat hubungan kami berakhir. Malam itu Elisa datang ke kosanku dengan basah kuyup karena diguyur hujan. Matanya merah seperti habis menangis. Kutarik tubuhnya ke dalam dan melemparkan berbagai pertanyaan. Elisa menangis tersedu-sedu, mengingatkanku kembali pada malam pertemuan pertama kami. Sama sekali tak ada jawaban yang memuaskan. Elisa hanya mengatakan bahwa ia membutuhkan sesuatu dariku.
"Apa yang kaubutuhkan dariku?" tanyaku mengusap pipinya yang ranum.
"Aku tak bisa mengatakannya sekarang," sahutnya lirih.
Saat itu aku belum memahami perkataannya. Tingkah lakunya benar-benar di luar dugaan. Elisa mulai menanggalkan seluruh pakaiannya yang basah tanpa tertinggal sehelai pun. Mataku membelalak sepenuhnya. Pertama kali aku melihat tubuh telanjangnya yang dipenuhi lebam. Aku tidak mengerti sejak kapan lebam itu menghiasi tubuhnya. Perawakannya begitu kering menyerupai tengkorak.
Elisa beralih menciumiku tanpa henti. Tangannya berusaha melepaskan pakaian yang kukenakan sehingga aku tak bisa menolaknya. Gairah muncul memuncaki kami berdua. Aku menariknya ke atas ranjang. Kami pun melakukannya.
Keesokan harinya aku terbangun tanpa melihat Elisa. Hanya ada sepucuk surat yang ditinggalkannya di bantal. Tertera sebuah kode berisi angka dan huruf, di bawahnya Elisa menulis keterangan:
"Sesuatu yang buruk kembali menimpaku. Hal yang ingin kuminta darimu adalah uang. Aku tak ingin terus-terusan menyusahkanmu. Hanya kehangatan semalam yang bisa kuberikan sebagai perpisahan serta imbalan atas uang yang akan kuminta padamu. Kau bisa mengirim uangnya ke rekening yang kutulis di atas surat ini. Ingat, aku tidak bermaksud menyamakanmu dengan pria mesum yang membayar jalangnya. Anggap saja ini permintaan terakhirku untuk menyusahkanmu."
Pagi yang mendung itu aku seperti kehilangan akal. Aku tak bisa menemukan Elisa di mana pun. Ia juga tak bisa dihubungi. Seumur hidup, belum pernah tangisanku begitu hebat. Aku meraung-raung dengan kepedihan yang luar biasa. Aku ingin ia kembali, tak peduli walau sudah mengkhianati hubungan ini.
Setelah beberapa hari semenjak kehilangannya, aku pun kembali menerima pesan perpisahan untuk selama-lamanya dari Elisa. Seorang pria datang dan mengantarkan surat.
"Terima kasih atas uang yang sudah kau kirim. Mulai sekarang, aku ingin kau menjalani hidup yang bahagia. Kehadiranku hanya menyusahkanmu saja. Biar kujelaskan apa yang sudah terjadi sehingga kelak kau tak akan bertanya-tanya. Sehari sebelum aku mendatangi rumahmu dengan basah kuyup, aku telah menjadi seorang pembunuh. Si Tua Bangka datang ke rumahku dan memintaku untuk melayaninya. Kemarahan yang mengendap, membludak saat itu juga. Aku menikamnya dengan mudah karena ia sedang mabuk lalu menghanyutkannya ke sungai. Tanpa disadari, aku telah meniru perbuatan ayahku. Kau tahu? Selama ini aku menyimpan rahasia darimu. Entah sejak kapan suatu perasaan aneh ini muncul. Aku benar-benar marah hingga tanganku gemetaran. Setiap kali perasaan itu merayapi hatiku, seluruh darahku terasa mendidih. Aku marah karena tidak bahagia, nasibku benar-benar menyedihkan. Semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin penyebab penderitaanku ini gara-gara pria. Setiap saat aku bertemu dengan pria yang pernah menggerayangi tubuhku, atau siapa pun yang telah membuat hidupku menderita, timbul perasaan ingin menghabisi nyawa mereka. Semakin lama, perasaan dendam itu mulai menjalar pada setiap pria yang bahkan tidak kukenal. Pria hanyalah penjahat yang akan selalu menyiksaku, seperti itulah otakku berpikir. Tentunya kau adalah pengecualian. Kau adalah pria terbaik yang pernah kutemui. Namun, aku benar-benar takut kalau perasaan itu bisa datang padamu juga akhirnya. Aku tak ingin membencimu sehingga kuputuskan untuk pergi. Uang yang kau kirim akan kugunakan untuk memulai kehidupan baru di suatu tempat. Berbahagialah mulai sekarang. Yakinlah kalau aku bukan wanita yang baik untukmu saat ini. Mari kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya. Akan kupastikan hidupku lebih bahagia dan tidak menderita sehingga kita bisa bersama. Tunggu aku di kehidupan selanjutnya, ya!"
Butuh waktu begitu panjang untuk bisa menerima perpisahan ini. Sesuatu yang berharga rasanya telah dirampas. Kepedihan menguasaiku selama berbulan-bulan. Aku seperti kehilangan tujuan untuk hidup. Sulit sekali untuk sepenuhnya menerima kenyataan bahwa wanita itu telah pergi dan tak akan pernah kembali. Tak ada yang bisa mengobatiku hingga benar-benar pulih seperti sedia kala.
Namun, seperti yang dikatakan Elisa dalam suratnya, aku sangat menantikan kehidupan selanjutnya. Akan kusimpan semua kerinduan ini untuk nanti. Di kehidupan selanjutnya, akan kupastikan semuanya berakhir indah. Pemikiran itulah yang setidaknya mampu mengobati luka di hatiku.
Hari esok lagi saja kisah cinta ini dimulai
Hari esok lagi saja cerita ini berlanjut
Hari esok yang mungkin lebih cerah
Hari esok yang hanya akan menjadi milik kita berdua.
Jika saja hari esok lebih indah ...
*Terhanyut dalam cerita, alur dan karakternya kuat ...