Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Akhir-akhir ini menikmati waktu kesendirian sudah menjadi kebiasaanku. Pagi hari cerah dengan ditemani secangkir kopi yang masih panas sambil menatap pemandangan di luar jendela.
Beberapa tahun lalu, halaman yang biasa kuperhatikan lewat jendela rumahku itu hanyalah rumah kecil biasa. Sekarang juga masih biasa, hanya saja penghuninya yang tak biasa. Dulu pagarnya saja sudah hampir berkarat seperti tak terurus. Tapi sekarang pagar itu diselimuti tumbuhan dengan bunga-bunga indah yang bermekaran setiap paginya. Sangat cocok untuk menemaniku pada waktu kesendirian ini.
Memang benar kata orang, selalu ada harga yang harus dibayar.
Gusdur adalah keponakanku. Dia tinggal tepat di seberang rumah. Setelah lulus, dia memutuskan untuk menikahi pujaan hatinya semasa SMA. Entah apa yang ada dipikiran pemuda-pemudi jaman sekarang, masih bau kencur sudah ingin membawa pulang anak orang.
Belum genap 1 tahun menikah, harga yang harus dibayar Gusdur & istrinya mulai nampak. Orang tua Gusdur tiada setelah beberapa bulan mereka menikah. Kini tinggal sepasang suami istri itu yang menetap disana.
Akhir-akhir ini waktu kesendirianku direnggut paksa oleh Gusdur. Setiap pagi dia selalu datang menemuiku untuk mengoceh tentang istrinya yang meminta ini dan itu. "Aku ini kerja cuma serabutan, mana mampu aku membelikannya gaun yang harganya dua kali lipat dari gajiku!"
"Kemarin minta dibelikan bibit lalu sekarang minta dibelikan alat masak yang baru dengan alasan sudah tak bisa dipakai!" "Dulu masih ada orang tuaku, tapi sekarang kan tidak. Seharusnya dia memahami itu kan!"
Kalimat-kalimat seperti itulah yang menyerangku setiap pagi.
Terkadang saat malam hari, mertua Gusdur yang mampir juga sering menambah drama. sampai-sampai terdengar ke rumah tetangga. "Jika tahu akan begini, tak akan kurestui kalian! Lihat itu anaknya pak RT, Mahendra yang seumur denganmu. Kudengar kini dia sudah menjadi seorang tentara, tapi kau masih saja bekerja serabutan!" Ujar mertua Gusdur dengan nada bicara yang cukup tinggi.
Pagi ini Gusdur datang lagi ke rumahku. Hari ini dia tak mengoceh seperti biasanya dan hanya memandangi istrinya dari jendela rumahku.
Istri Gusdur sangat menyukai bunga. Terlihat dari caranya merawat semua tanaman di halaman rumah Gusdur setiap pagi.
Seperti biasa dipagi hari ketika tukang sayur keliling berteriak, istri Gusdur dan para penghuni rumah lain datang berbondong-bondong menyambutnya. Hari itu kebetulan istri Gusdur keluar dengan daster yang warnanya sudah nampak pucat. "Setidaknya belikan dia pakaian baru yang lebih murah." Ujarku meledek Gusdur yang masih memperhatikan istrinya.
Hari itu Gusdur bercerita padaku bahwa dibandingkan dengan pakaian, istrinya lebih ingin dibelikan vas bunga dan dia tak sengaja langsung menolaknya dengan cukup kasar karena pusing dengan permintaan istrinya yang sudah kesekian kalinya itu. Tak sengaja mertua Gusdur mendengar. Sontak saja dia dicaci maki oleh mertuanya yang menganggap Gusdur tak becus mengurus putri mereka satu-satunya itu.
Parahnya lagi, mereka mengungkit hadiah-hadiah yang mereka dapatkan dari Mahendra dan membandingkannya dengan Gusdur.
Akhir-akhir ini mertua Gusdur sering sekali menceritakan rumah tangga Gusdur di hadapan pa RT dan Mahendra putranya. Jika aku saja yang lebih sering ada di rumah bisa tahu tentang itu, apalagi para tetangga sebelah yang sukanya bergosip.
Atas saranku, akhirnya Gusdur memutuskan untuk membelikan vas yang diinginkan istrinya. Hari itu kami pergi ke kampung sebelah untuk mengunjungi toko bunga yang juga menjual berbagai vas.
Tak disangka kami kebetulan melihat Mahendra yang juga keluar dari toko itu dengan kantong belanjaanya. Dari jauh saja sudah terlihat isinya. Aku melirik Gusdur diam-diam, tetapi Gusdur tak menghiraukan apa yang dia lihat dan langsung masuk ke toko yang sebelumnya sudah kami tuju itu.
Di dalam toko Gusdur langsung memilah-milah vas. Tetapi dari yang aku perhatikan, bukan vas yang dia lirik, melainkan harga yang mungkin menurutnya sudah sangat menjulang tinggi. "Apa yang ini tidak bisa kurang mas harganya?" Tanya Gusdur sambil menunjuk vas termurah yang ada di toko itu.
"Tidak bisa mas, yang di toko kami harga sudah disesuaikan semua, jika dikurang lagi kami yang rugi!"
"Tapi bentuknya kan lebih kecil dari yang lain, masa tidak bisa dikurangi?!"
"Gus, ini kerajinan. Jelas saja yang dilihat kerumitan motifnya bukan ukurannya!" Ujarku menghentikan Gusdur yang Masih ingin berdebat itu.
Aku paham dengan sikap Gusdur yang bersikeras untuk menawar. Tapi mau bagaimana!? Harga mati tak mungkin bisa diubah lagi. Mengingat dia keponakanku, sedari awal aku memang bermaksud untuk membelikan barang yang dipilih Gusdur untuk istrinya. Tetapi Gusdur malah langsung menolaknya dan bermaksud mengurungkan niat untuk membeli.
Aku memintanya untuk membeli saja tapi Gusdur tetap kukuh tak ingin menerima bantuanku. "Sudahlah Gusdur ambil saja, jangan sampai orang lain yang memberikannya pada istrimu!" Ujarku kelepasan.
Mendengarku yang kelepasan itu, Gusdur melirikku dengan cepat karena kaget. Baik aku ataupun Gusdur saat itu tahu, sedari awal memang topik itulah yang kami hindari.
"Ini bukan pertama kalinya dia meminta sesuatu padaku, aku yakin jika dijelaskan istriku pasti akan memahaminya. Dulu-dulu juga begitu. Lagipula siapa yang akan memberinya? Aku kan suaminya dan dia juga tahu jika aku sangat mencintainya!" Ujarnya mengelak dengan agak gugup.
Setelah lama berdebat akhirnya kami tetap pergi dari toko itu dengan tangan kosong.
"Paman pergi saja dulu, aku masih ada perlu."
Kami berpisah di depan toko, aku bermaksud untuk berkeliling sebentar. Tak sengaja aku melihat Gusdur mengunjungi tempat kerajinan. Dari jendela saja, terlihat jelas apa yang Gusdur lakukan.
Kami pulang petang hari itu. Setelah mengantarku, Gusdur langsung pulang ke rumahnya dengan buah tangan hasil kreasinya sendiri. Raut wajahnya terlihat seperti tak sabar ingin melihat ekspresi wajah istrinya.
Aku masuk ke dalam rumahku, dan mulai membuka barang belanjaanku yang kubeli saat berkeliling. Aku berpikir setidaknya aku akan memberi Gusdur dan istrinya beberapa buah apel yang kubeli disana, jadi aku langsung mengunjungi rumah mereka.
Dari luar terdengar suara mertua Gusdur berbicara dengan nada ketusnya. "Cepat tandatangani kertas itu!"
Sebenarnya aku tak suka ikut campur dengan masalah rumah tangga orang, tetapi karena saat itu pintu rumah mereka terbuka lebar dan aku pun memang sedikit khawatir, tanpa sadar aku langsung masuk ke dalam.
Di ruang tamu aku melihat mereka semua sedang berkumpul. Istri Gusdur yang hanya diam sambil menunduk dan Gusdur yang berdiri dengan raut wajah tak percayanya.
Buah tangan yang susah payah ia buat hancur begitu saja menimpa lantai. Tapi tatapan Gusdur malah tertuju pada kantong belanja berisi vas & bibit tanaman yang familiar baginya.
Gusdur berdiri dalam diam tak bisa berkata-kata dan hanya bisa mengira-ngira, ketika melihat secarik kertas yang sudah lebih dulu ditandatangani istrinya itu.
Tamat.