Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hogan suka balapan sejak kecil. Dimulai dari balap lari, sampai balap renang. Orang tuanya mengharapkannya menjadi atlet renang kelak. Tapi Hogan malah jatuh hati pada motor. Maka dimulailah perseteruan Hogan dengan orang tuanya, kemudian dia selalu mencuri-curi waktu untuk dihabiskan bersama motor kesayangannya itu. Sampai suatu saat, harapan terbentang di Road Race yang akan menjadi tempatnya beserta lima puluh peserta lainnya, beradu kecepatan mencapai garis finish. Setelah itu, dia akan mendengar kemarahan orang tuanya tak lebih dari nyanyian merdu di pagi hari. Mereka akan tahu apa yang selama ini Hogan kerjakan. Mereka akan berhenti menyebut semua itu omong kosong.
Balap motor pun dimulai. Di sekitar Hogan, riuh dengan penonton, yang sebagian adalah para penggemarnya—orang tuanya bahkan tidak tahu dia punya penggemar. Dan seperti yang diperkirakannya, orang tuanya tidak mau repot-repot ikut menyemangatinya hari ini.
Segalanya berjalan lancar seperti biasa. Hogan yang jadi jagoan hampir semua orang—setidaknya sejak beberapa putaran terakhir, merasa segalanya akan terbayar lunas hari ini. Semua pengorbanannya, jerih payahnya. Dia akan pulang dengan kebanggaan yang sama dengan yang dirasakan para juara sebelumnya. Tapi di tikungan terakhir, masalah itu terjadi. Kejadiannya begitu cepat, sehingga Hogan tidak bisa mengatasinya dengan baik. Yang dia rasakan hanyalah tubuhnya tiba-tiba terlempar dan terhantam secara menyakitkan, kemudian semuanya lenyap.
*****
"Selamat pagi," kata seorang fisioterapis laki-laki yang usianya lebih muda dari Hogan. Inilah nyanyian merdu yang harus didengarkannya setiap hari, di dalam ruang rawat sebuah rumah sakit. Sebuah salam yang artinya kurang lebih, "Mari kita mulai terapi hari ini. Kau akan berjalan beberapa langkah, lalu merasakan sakit yang luar biasa di bagian kaki. Selamat menikmati!"
Hogan melempar pandangannya pada bunga-bunga di sekitarnya. Bunga-bunga itu pemberian para fans. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak bisa mengartikannya dengan lebih baik lagi selain, "Ini adalah akhir dari karirmu sebagai pembalap yang bahkan belum benar-benar dimulai." Bunga-bunga ini mereka letakkan tepat di atas pusaranya, umpatnya dalam hati.
Sesi fisioterapi pun dimulai, dan seperti biasa, Hogan berseru kesakitan, mengeluarkan semua kosa kata kasar yang dipelajarinya selama hidup saat rasa nyeri menjalari kakinya yang digerakkan.
"Kau pasti sedang mencoba membunuhku," keluh Hogan saat dia dan fisioterapisnya baru mencapai ambang pintu ruang rawat itu. Seperti biasa, ada jeda untuk istirahat sesekali. Target mereka adalah menuju ruang terapi yang lebih luas. Tidak bisakah kita pergi ke sana dengan kursi roda saja?
Hogan menelan ludah dengan susah payah, mengingat setiap hari di hari-hari sebelumnya, itulah kekhawatiran orang tuanya saat dia memilih balapan sebagai jalan hidupnya. Tentu saja aku memilih balapan untuk bertahan hidup, bukan untuk mati. Dia melangkah lagi. Rasa sakit itu kembali. Dia mengumpat lagi. Terus seperti itu sampai mereka tiba di ruang terapi yang hanya terpisah satu ruangan dari ruang rawatnya.
"Kalau Anda giat berlatih, Anda akan bisa kembali berjalan dengan baik dalam waktu dekat," kata fisioterapisnya itu. Hogan sudah sering mendengar kalimat yang kurang lebih sama artinya akhir-akhir ini. Dia kini mengusap peluh yang membanjiri sebagian wajah, kemudian meneguk air mineral dari botolnya.
"Ini adalah hari terakhir saya di sini," kali ini kata-kata Erik, fisioterapisnya itu membuatnya terkejut. Sekarang, Hogan memberikan perhatian penuh. Segalanya yang akan berakhir selalu memberi kesan dramatis berlebihan baginya. Seperti halnya beberapa minggu kemarin, saat dia mengira segala penderitaannya sebagai berandalan yang menyusahkan orang tuanya dengan kecintaannya yang terlalu berlebihan pada dunia balap motor akan berakhir, digantikan dengan kemenangan besar pertamanya. Baru-baru ini dia bermimpi lagi di sirkuit. Tapi dalam mimpinya, dia yakin mendengar namanya yang dipanggil maju menaiki podium untuk juara pertama.
"Saya dipindah tugas ke rumah sakit di kota lain," jelas Erik. "Tapi, besok akan ada perawat magang yang menggantikan saya."
Hogan tersentak lagi. "Kau mengoperkanku pada perawat magang?"
Fisioterapis itu terlihat sekali menyesal sudah mengatakan yang sebenarnya. Sepertinya, dia terlalu jauh memperkenalkan penggantinya itu. Kalaupun harus jujur, seharusnya bukan aku yang mengatakannya, keluhnya dalam hati.
"Dia yang terbaik di angkatannya," Erik mencoba menenangkan Hogan, seolah berusaha menghentikan imajinasi liar Hogan tentang kesembuhannya yang akan tertunda di tangan fisioterapis tak berpengalaman. Bagi Hogan, rasanya seperti memasang taruhan pada dirinya sendiri untuk menjuarai MotoGP.
Fisioterapis barunya adalah seorang pemuda berpenampilan ceria bernama Bintang. Seperti namanya, dia berlagak seperti seorang Bintang sungguhan, yang untungnya diterima dengan baik di kalangan petugas medis senior di sana. Dia menebarkan semangat lebih banyak dari yang dilakukan Erik. Didukung dengan wajahnya yang kelewat tampan, dia sering menarik perhatian pasien-pasien muda di sana—bahkan yang sudah tua. Seolah segala penyakit mereka akan sembuh detik itu juga jika bisa melihat fisioterapis baru yang periang itu. Tapi bukan kepercayaan yang didapatkannya dari Hogan—Hogan benar-benar membutuhkan seseorang yang lebih melankokis seperti Erik. Orang yang memiliki energi sebesar Bintang pasti menyimpan dengan rapi kecerobohan yang luar biasa. Di balik senyumannya, di balik sikap ramahnya!
Yang jelas, Hogan membenci Bintang sepuluh kali lipat, setiap hari, bahkan sebelum fisioterapis itu mengucapkan ritual salam paginya.
Sebaliknya, Bintang mengagumi segalanya yang ada pada diri Hogan. Perawakannya yang atletis, rambut pirangnya yang tidak asli tapi sangat cocok dengan kulitnya yang putih dan wajahnya yang tegas, luka-lukanya yang membuktikan bahwa dia lelaki sungguhan, dan hobi balapannya yang membuat sosok Hogan terlihat keren. Tapi yang paling penting, Hogan tidak murah senyum. Di balik sosoknya yang periang, ternyata ada rasa takut pada diri Bintang jika tidak diterima di lingkungan barunya—tapi Hogan pengecualian. Mengemban identitas sebagai 'Yang Terbaik' di angkatannya, seolah selalu mengingatkannya agar berada di dalam jalur. Jalur tetap para pemenang. Berada di dekat Hogan, yang faktanya ditempatkan di rumah sakit itu karena sebuah kekalahan, membuatnya merasa sedikit lebih santai. Yang kalah pun tetap bisa hidup. Itulah pemikiran tergelapnya tentang dia dan Hogan. Selebihnya, dia mencoba membantu Hogan untuk bangkit dari keterpurukannya. Sebab, yang diamatinya selama ini, Hogan bukan mengumpat karena rasa sakit di kakinya. Tapi karena keseluruhan rasa sakit yang ditanggungnya dalam hidup. Sakit secara fisik dan emosional. Kegagalan dengan kejam mengacaukan hidupnya.
"Anda akan berada di sini selama setahun," kata Bintang setelah sesi terapi mereka hari itu berakhir.
Hogan tersentak kesal. Berani sekali dia mengatakan hal seperti itu? Maksudmu, setiap hari sepanjang tahun aku harus bertemu dengan orang sepertimu? Bahkan Erik selalu meyakinkan bahwa Hogan akan cepat sembuh. Lantas, siapa pemuda kemarin sore ini dengan santainya mengatakan bahwa dia baru bisa keluar dari rumah sakit itu setahun lagi?
"Selama itukah aku baru bisa sembuh? Kau punya penjelasannya?"
"Anda harus menerima kemungkinan terburuk, baru bisa berharap yang terbaik," jawab Bintang.
Hogan tertegun. Dia tidak menyangka orang sepopuler Bintang memiliki sisi melankolis juga—kecuali dia mengutip kata-kata itu dari orang lain.
"Situasinya, Anda tidak bisa melarikan diri dari rasa sakit ini sekarang," lanjut Bintang.
"Ya. Karena berjalan saja aku tidak bisa," tukas Hogan, tapi sama sekali tidak tersinggung.
"Maaf. Saya tidak bermaksud seperti itu."
"Jelas. Karena kau tidak boleh mengatakan hal-hal seperti itu pada pasienmu."
Bintang tertawa ringan. "Ya. Sepertinya memang begitu. Maksud saya adalah, kekecewaan Anda akan bertambah parah, jika berharap besok bisa sembuh, tapi setelah latihan kita berakhir, ternyata semuanya masih sama saja."
Hogan sekarang lupa Bintang adalah perawat magang. Ada sebuah kebenaran yang mengejutkan dari perkataan fisioterapis itu.
"Jika Anda tidak bisa berharap, apa yang bisa Anda lakukan?" Bintang kemudian melihat Hogan.
"Kupikir kau sudah tahu jawabannya?"
Bintang mengangguk, kemudian menjawab sendiri pertanyaannya. "Yang bisa Anda lakukan hanya menerima apa yang ada saat ini."
Hogan terenyak memikirkannya.
"Saya tidak meminta Anda bersyukur atas rasa sakit yang Anda rasakan sekarang. Tapi karena itu memang sakit, terimalah bahwa Anda sedang sakit."
Hogan mulai mengerti. "Kau memintaku menerima rasa sakit ini selama setahun?"
Bintang tersenyum mengangguk, tapi melihatnya sekilas, kemudian kembali pada dunia yang selama ini disembunyikannya dari orang lain. Dunia tempat dia memikirkan segala sesuatu dengan lebih mendalam. "Setahun mungkin terasa lama. Tapi itu hanya setahun. Tahun-tahun berikutnya Anda sudah bisa berjalan. Bahkan mungkin naik motor lagi?"
Melihat kondisinya sekarang, naik motor lagi akan terasa menyakitkan bagi Hogan. Tapi mungkinkah dia bisa melakukannya di tahun-tahun berikutnya? Jika bisa, mungkinkah dia akan melanjutkan impiannya sebagai seorang pembalap?
Pembicaraan itu berakhir tanpa adanya jawaban pasti dari Hogan. Saat ini, dia tidak begitu memercayai kepastian. Setelah segala yang dialaminya. Siapa yang bisa menjamin segalanya baik-baik esok hari? Sekali lagi dia mengingat kebenaran kata-kata Bintang. Jika esok hari segalanya tidak sebaik yang kuharapkan. Aku akan kecewa lagi. Tapi saat ini, yang bisa kulakukan adalah menerima bahwa aku sedang sakit, dan aku akan menghadapinya selama setahun ke depan.
Anehnya, setelah hari itu berlalu, Hogan tidak lagi memandang sesi terapi sebagai monster besar, juga tidak lagi membenci Bintang. Berjalan masih terasa menyakitkan baginya. Tapi tidak ada lagi umpatan kasar. Diam-diam dia tersenyum saat memikirkan, Mungkin Bintang sengaja mengatakan hal ajaib karena lelah mendengarkan umpatanku setiap hari.
Tiga bulan kemudian, Hogan sembuh. Jauh lebih cepat dari prediksi dokternya. Atas keberhasilannya itu, Bintang mungkin saja dapat nilai yang bagus. Tapi Hogan tahu, Bintang jauh lebih senang melihatnya sembuh daripada melihat nilainya sendiri. Kemanusiaan selalu menjadi alasan utama seseorang menjadi perawat.
Sekarang, setelah sembuh, dia masih harus menghadapi orang tuanya yang mulai merasa semua perkataan mereka benar. Menghadapi kenyataan bahwa dia belum bisa naik motor. Tapi sekarang, jika ada hal-hal menyakitkan, Hogan akan menerimanya—bahwa itu memang sakit, kemudian menetapkan waktu, sampai kapan dia harus bertahan dengan rasa sakit itu. Dan kenyataannya, kesembuhan selalu datang lebih cepat.