Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
HANYA SEBUAH LILIN DALAM HIDUP ORANG LAIN
Malam yang gelap dan sunyi seperti tanah yang tidak berpenghuni, udara yang membelai halus kulit putih masuk lewat celah jendela kecil yang tidak menyatu kembali. Di ujung kanan terlihat sebuah cahaya kecil di samping meja usang dan lapuk. Lilin yang menyala, membakar dirinya sendiri menjadi sumber cahaya untuk jemari kecil yang sedang menggoreskan sebuah kata demi kata di kertas putih yang lusuh.
Hari berganti jam menunjukan pukul 03.30 dini hari, waktu yang seharusnya masih membuat orang tenggelam dalam dunia mimpi, namun tidak dengan Ika Letiani yang sudah memperlihatkan dua kelereng hitam yang bersembunyi malu-malu, bergerak dan melangkah membawa kaki kurus itu menjelajahi rumah yang di balut dengan kayu jati untuk membuatnya tampak rapih terbebas dari debu halus yang menyebar di semua sisi.
Terlihat bersih dengan perabotan yang sudah tertata rapi, tanpa sadar mengukir lengkungan tipis dari dua belah bibir berwarna merah bak kuncup teratai itu. Selesai dengan kegiatan di rumah yang hanya menjadi tempat singgah kini di sinilah Ika berada, di sebuah dermaga yang menjadi tempat di mana dua keadaan yang berbeda bertemu. Melihat kejamnya laut yang menarik dan menenggelamkannya, membuat hati ngilu namun tatapannya terasa kosong. Sampai suara yang memecahkan lamunannya membuat ia kembali tersadar, dengan tangan kecilnya itu, ia mengambil ember ikan yang akan dijualkannya ke pasar. Suara krik krik selalu terdengar ketika kaki itu menggoes sepedah tua yang meminta untuk pensiun dan istirahat. Namun apalah daya jika sang tuan selalu memaksa dan membuatnya bekerja rodi sampai ia mungkin tidak akan sanggup bergerak lagi
Suara yang bising, berbagai aroma yang menyengat dan menusuk masuk menggangu indra penciuman, aroma asam dari keringat yang menguap karena panasnya matahari, bau amis dari hewan yang suka berenang yang menyatu menjadi satu bagaikan melodi namun tidak saling melengkapi, serta pemandangan lautan manusia berlalu lalang bagaikan kendaraan yang menumpuk di jalan raya, sesak, panas dan berisik.
Terlihat matahari yang kini sudah tepat di tengah langit yang terbentang luas di sepanjang mata menjelajahi bumi, namun itu hanya ilusi karena dia hanya diam dan menunggu untuk di putari. Kembali ke peristirahatan yang hanya menjadi tempat singgah untuk memeras keringan yang kini terjun bebas dari setiap pori-pori. Perintah, gertakan, suara memelas, disalahkan, terusik namun tidak bisa berpindah, seperti belati yang tertancap di hati namun tidak terlihat tapi sakitnya membuat teringat. Diri itu ibarat beras ketan di tengah beras putih, berbeda tetapi sama.
Berjalan tanpa kata, melangkahkan kaki yang lelah akan kejamnya dunia. Teringat dengan berbagai kata yang membuat hati itu terluka namun tidak berdarah. Tidak berguna, kamu terlalu egois, tolong bantu ibu, kamu kakak yang kejam, anak durhaka, kamu harus mengerti, kerja yang rajin, uangnya kurang. Kata-kata, tekanan, muka memelas hanya untuk tidak dibantah.
Diri itu tertekan dan ingin menyerah, namun bagaimana jika dia hanya mampu untuk menerangi sekitar dan menyakiti dirinya sendiri, hanya untuk orang yang dikiranya rumah untuk pulang melainkan hanya rumah yang ingin meminjam sinarnya saja.
Waktu pun menunjukkan pukul 15.00 sore hari
Berhenti, Hahaha mungkin itu hanya sebuah mitos baginya yang hanya tahu bagaimana cara membuat mereka bahagia walau dirinya harus terluka. Ingin mengeluh, namun kepada siapa, bukan kah dia hanya lilin, yang bersinar hanya untuk orang didekatnya bukan untuk diri itu yang kini semakin rapuh dan lusuh.
Hak, mengeluh, istirahat dan keinginan apa itu?. Dia hanya mengetahui tekanan, kewajibannya sebagai anak, kakak, dan adik. Saat banyak tuntutan yang membebani pundak yang kecil dan rapuh itu, semua hal harus ia sanggupi, hal itu menjadi wajib untuknya, wajib yang jika tidak ia lakukan akan membuatnya berdosa.
Pabrik yang terletak di atas gunung dikelilingi pohon yang tinggi, hembusan angin yang dingin, serta suara hewan yang membuat takut namun tidak mampu membuatnya untuk kembali. Ketika ingatan itu bagaikan gangsing yang selalu berputar tanpa tahu cara untuk berhenti. Adikmu ingin beli seragam baru, Abangmu ingin membeli sepatu bola memang hanya kalimat, namun mewujudkannya penuh dengan perjuangan.
Langit yang biru kini berganti warna, tanpa ada awan hanya sebuah kegelapan malam yang mencengkram, ingin kembali bahkan saat melihat pabrik tua itu yang tadinya di penuhi oleh orang kini mulai semakin sepi. Bau oli, putaran kipas yang jauh namun terdengar jelas, sunyi namun berbunyi.
Kembali pulang menuruni gunung, lima menit lagi hari akan berganti. Sebagai perempuan ia ingin menangis kepada dunia mengapa ia harus sekeras ini pada dirinya sendiri, dengan meremas amplop coklat yang menjadi pusat ia berjuang sekeras ini.
Panjang dan gelap, tidak ada cahaya di tengah jalan hanya ditemani oleh suara alami dari sang malam, dingin dan sunyi membuatnya semakin ketakutan. Dengan erat ia memegang amplop coklat itu hingga menjadi kusut sembari mempercepat langkahnya.
Mengingat kata-kata menyakitkan membuat ia seakan ingin mengakhiri hidupnya. “Kamu itu harusnya melakukan kewajiban kamu, dasar anak yang egois, sia-sia ibu melahirkan anak yang egois seperti kamu”. Kata-kata yang sangat tega dilontarkan oleh seseorang yang di anggap mahkluk paling sempurna dan mulia, namun menjadi iblis pencabut nyawa hanya dengan kata-katanya. Hanya karena Dia meminta pengertian terkait banyaknya keinginan dari orang yang menjadi tempatnya pulang, namun suara yang meyanyat hati yang membuat ia seakan ingin terjun dari gunung berapi itu. Didengarnya dari benda persegi tipis yang mengeluarkan suara yang tertera deretan angka.
Membuat langkahnya berat, tangan yang menggenggam obat dari semua tuntutan mereka, obat yang menjadi penyakit luar dan dalam bagi yang mencarinya. Hanya yang mencari bukan bagi orang-orang yang akan menikmatinya.
Hingga cahaya terang tiba-tiba memancarkan sinarnya, seakan mengejek cahaya yang hanya sebuah imajinasi semata, cahaya itu nyata bahkan sangat terang, cahaya itu semakin bersinar dan ia terpaku akan sinarnya yang sungguh membuat mata ini buta, tak ada gelap hanya sinar.
BRAK!! Suara yang begitu keras, rasanya sungguh menyakitkan, ia terbang bagaikan kupu-kupu di tengah malam, rintihan terdengar, sakit tapi membuatnya merasa lega, ia seakan mendengar ada yang mengatakan lilinmu sudah waktunya padam. Ia hanya tersenyum walau bau amis masuk ke indra penciumannya, ia merasakan air yang begitu kental dan hangat mengalir dari kepalanya, sampai di mana tangan itu sedikit terangkat hanya ingin mengobati rasa penasaran apakah ini, sampai warna merah masuk di area penglihatan mata yang kini ingin tertutup dan tertidur lelap sembari di temani oleh lantunan pengantar tidur dari sang malam.
Bibir yang seperti kuncup teratai itu perlahan bergerak, dengan gerakan lambat namun ingin mengutarakan sesuatu yang harus diketahui dunia. Kata yang terucap disela mata yang ingin tertutup rapat adalah kini waktunya aku untuk padam, dan saat kalimat itu selesai terucap mata itu kini sudah benar-benar tertutup rapat dan tidak akan mampu terbuka kembali.