Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
GEDEBUG!... Suara itu terdengar sangat keras hingga ke dalam ruangan guru yang berada di lantai satu. Guru-guru yang masih berada di kantor sontak dikagetkan oleh suara tersebut. Mereka penasaran dan bergerak ke luar untuk memastikan apa yang terjadi. Murid-murid kelas empat dan lima yang masuk siang hari juga berbondong-bondong mengerumuni lapangan, tempat sumber suara itu berasal. Seketika itu juga, seisi sekolah mendadak heboh.
“Itu tadi apaan ya? Suara apaan barusan?” Suara tersebut terdengar bersahutan mengiringi setiap langkah siswa-siswi yang penasaran.
***
"Asih, bangun, Nak!" Ibu menghampiri Asih yang masih tertidur dalam posisi meringkuk. Dia menggoyangkan tubuh mungil itu beberapa kali. Butuh beberapa detik hingga gadis lima tahun itu bisa membuka matanya. Asih mencerna sesaat, lalu bangkit, dan bersandar pada bahu ibunya sambil menguap.
"Asih, kita ke rumah nenek ya!"
Asih hanya mengangguk.
Asih tinggal berdua bersama ibunya di rumah petakan kecil yang dikontrak per bulan. Ayahnya sudah lama tidak ada kabar sejak umur Asih masih belum genap setahun. Ibu membesarkan Asih seorang diri. Ibu berprofesi sebagai ASN di kota tempat mereka tinggal. Asih seringkali dititipkan pada nenek (yang merupakan bibi dari ibunya) ketika ibu pergi bekerja dan akan dijemput kembali ketika petang.
Pagi itu, ibu harus berangkat ke luar kota karena ada tugas mendesak dari kantor. Seperti biasa, Asih akan dititipkan pada nenek yang rumahnya hanya berselang beberapa rumah dari kontrakan mereka. Hanya saja, kali ini dia akan menginap untuk beberapa hari.
"Nanti Asih jangan nakal ya nginap di rumah nenek!"
Asih mengangguk.
Ibu meraih tote bag yang berada di ujung kasur. Dia mengambil sesuatu dari dalamnya dan menyerahkannya pada anaknya dengan gerakan yang lembut. "Buat teman main Asih."
Asih girang. Ibu menghadiahinya sebuah boneka, anak perempuan lucu, yang pernah dia minta sewaktu mereka berkunjung ke pasar malam. Asih berterima kasih dan memeluk erat ibunya dengan tangan mungilnya. Dia terlihat sangat senang karena sekarang teman mainnya sudah bertambah satu.
Berbeda halnya dengan ibu, entah kenapa, kali ini ia merasa berat untuk meninggalkan anaknya. Tetesan air mata pun perlahan keluar dari matanya.
***
"Wak, titip Asih ya!" Ibu menyapa nenek yang tengah berdiri di teras rumah. Nenek mengangguk dengan ekspresi datar. Ibu bersalaman dan mencium tangan nenek yang telah keriput, lalu berlutut dan memeluk Asih erat-erat.
Dia menciumi kening anaknya yang masih polos itu dan langsung bangkit, berbalik, demi menutupi kesedihannya karena harus meninggalkan anaknya selama beberapa hari. Padahal hanya beberapa hari, tak sampai bertahun-tahun tanpa kabar seperti ayahnya. Tetapi perasaan yang dirasakannya, seolah-olah mereka tak akan pernah bertemu lagi.
Ibu kemudian pergi dengan mengendarai motornya dan perlahan menghilang dari pandangan Asih dan nenek.
Belum genap satu jam sejak ibu berpamitan, tiba-tiba saja nenek mendapat kabar buruk dari seseorang yang dikenalnya. Salah seorang teman ibu menelepon nenek dan memberitahu bahwa ibu baru saja mengalami kecelakan.
Dalam perjalanannya menuju kantor, motor yang ibu kendarai ditabrak dari arah berlawanan oleh sebuah mobil SUV dan membuatnya terseret sampai beberapa meter (sepertinya pengendara mobil itu sedang dalam keadaan mengantuk). Detik itu juga ibu dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh warga yang menyaksikan kejadian tersebut. Tetapi, belum sempat ditangani oleh pihak rumah sakit, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu pergi meninggalkan Asih dan nenek untuk selamanya.
Hidup ini terlalu banyak bercanda dengan Asih. Dia tak pernah bisa mengingat wajah ayahnya. Kini dia malah dipaksa untuk terus mengingat wajah ibunya setiap waktu, agar tak pudar di ingatannya. Baru tadi pagi ibu memberikannya hadiah, sebagai teman main katanya. Sorenya, dia malah harus kehilangan ibu. Pertukaran macam apa ini? Sungguh sangat tidak adil rasanya bagi Asih.
Suasana pemakaman sore itu dipayungi gerimis. Orang-orang terdekat ibu datang dan mengelus kepala Asih. Ada juga yang menciumi kepalanya. Mereka merasa kasihan terhadap anak itu.
Asih belum benar-benar mengerti perihal emosi apa yang harus ia tunjukkan. Matanya tak berpaling menatap sosok yang dibalut dengan kain putih. Wajah itu penuh luka. Asih terus menatap sosok yang perlahan berpindah ke dasar tanah itu, hingga pandangannya terhalangi sempurna oleh tumpukan tanah. Barulah kemudian dia menangis sejadi-jadinya, memanggil-manggil nama ibunya. Sejak saat itu, ibu tidak pernah lagi menyahuti panggilannya.
Selepas ibu meninggal, Asih harus tinggal bersama neneknya sampai dia bisa mandiri, atau sampai nenek menyusul ibu. Biaya hidupnya ditanggung dari uang pensiunan ibu yang tak seberapa. Asih kini sudah tidak punya teman lagi. Hanya boneka pemberian ibu yang tersisa sebagai temannya. Nenek? Sudah terlalu tua dan lelah untuk sekedar bermain bersamanya.
***
Asih adalah anak yang rajin, namun dia tidak terlalu menonjol dibandingkan siswa-siswi lainnya. Dia bahkan tidak pernah menyentuh ranking sepuluh besar di kelasnya. Tetapi dia juga bukan tipikal anak nakal yang gampang diingat oleh setiap wali kelasnya. Dia hanya siswi biasa yang suka menyendiri. Anak yang dianggap aneh oleh teman-teman sekelasnya. Tak jarang juga sebagian dari mereka menjadikan Asih sebagai bahan olokan karena keanehannya.
Asih tumbuh menjadi pribadi yang pendiam sejak tragedi tiga tahun yang lalu. Dia tidak banyak berbicara bahkan dengan neneknya sendiri. Di rumah, dia selalu siap membantu neneknya walau hanya bisa bersih-bersih. Sisanya dia hanya berdiam diri di dalam kamar. Neneknya pun tidak terlalu membebani Asih dalam pekerjaan rumah. Di sekolah, teman-teman sekelasnya sudah jelas tidak ada yang mau berteman dengannya. Satu-satunya yang mau berteman dengan Asih adalah Citra. Teman sebangkunya yang bernasib sama.
Setiap jam istirahat, Asih tidak pernah mau pergi ke kantin atau bermain di luar kelas, seperti anak-anak pada umumnya. Dia lebih senang menghabiskan waktu istirahatnya bersama Citra di dalam kelas.
Ketika pada suatu momen Asih dan Citra mendatangi kantin untuk membeli mi goreng dan es lilin, mereka diganggu oleh anak-anak berandal hingga makanan yang dibelinya terjatuh ke tanah. Padahal itu adalah uang jajan terakhirnya di hari itu. Sejak saat itu, Asih tidak pernah lagi mau jajan di kantin. Dia selalu membawa bekal yang disiapkan oleh neneknya dan membaginya dengan Citra.
Atau pada momen yang lain, saat Asih dan Citra tengah bersantai di ayunan yang memang sedang kosong. Tetapi mereka masih saja diganggu oleh anak-anak berandal itu. Ayunan yang mereka duduki tiba-tiba didorong sekuat tenaga sehingga membuat ayunannya mengayun sangat tinggi. Asih dan Citra terlihat ketakutan dan memohon kepada mereka untuk berhenti, tetapi tetap tidak dihiraukan. Pada akhirnya mereka berdua terjungkal ke tanah dan membuat lutut Asih berdarah. Asih menangis. Mereka malah tambah mengejek Asih dan ejekan itu menyebar hingga ke kelas. Citra harus menahan malu, masuk ke kelas dengan baju yang kotor akibat terjatuh.
Bahkan ketika Asih dan Citra hanya sedang duduk bersantai di taman belakang kelas, mereka juga masih saja menjadi korban perundungan. Saat itu, anak-anak berandal itu menarik tangan Citra lalu mendorongnya hingga terjatuh. Bajunya lagi-lagi kotor karena ulah mereka. Sepatu Asih juga mereka sirami dengan sisa-sisa kuah mi, sehingga Asih harus membasuh sepatunya dengan air. Tak hanya sampai di situ, di dalam kelas pun Asih masih diejek dengan sebutan "kaki bau" akibat sepatunya yang basah. Semua murid menertawakannya. Asih hanya bisa mengeluarkan air mata seraya menahan sekuat tenaga agar tangisannya tidak bersuara. Dia tidak mau tambah dikatain cengeng oleh teman-temannya. Guru pun hanya sebatas meminta anak-anak itu untuk menghentikan kebisingan yang timbul, tanpa pernah memberikan hukuman atas perbuatan mereka.
Semua perlakuan buruk itu tidak pernah Asih laporkan, baik kepada guru ataupun pada neneknya. Percuma saja kalau melapor ke guru pikirnya, yang ada mereka malah tambah benci. Mereka juga pernah mengancamnya. Dia takut anak-anak itu akan semakin berani menjahatinya dan Citra. Kalau nenek? Nenek sudah tua dan sering mengeluh pusing kepadanya. Asih tau karena dia sering dimintai nenek untuk memijat kepalanya. Dia tidak mau membuat nenek tambah sakit karena memikirkannya. Ibu? Sudah lama pergi. Ayah? Tak pernah menjadi opsi bagi Asih.
Itulah sebabnya mengapa Asih tidak pernah mau lagi pergi ke luar pada saat jam istirahat. Dia lebih memilih berdiam diri di dalam kelas bersama Citra. Dia tidak mau terlibat apapun dengan anak-anak berandal itu lagi. Dia memilih menghindar.
Di dalam kelas, Asih selalu saja punya permainan-permainan sederhana untuk dimainkannya bersama Citra. Salah satu yang sering mereka mainkan adalah permainan ABC 5 dasar, permainan favorit Asih dan ibu semasa hidupnya. Mereka dengan senang menebak-nebak nama binatang, atau nama tumbuhan, atau bahkan nama makanan sesuai dengan huruf terakhir dari jumlah jari yang mereka sumbangkan. Atau sesekali mereka memainkan permainan injit-injit semut (permainan tradisional yang dimainkan dengan cara mencubit tangan pemain yang ada di bawahnya sambil menyanyikan lagu "injit-injit semut"), yang juga pernah dimainkannya bersama ibu.
Padahal Asih dan Citra sudah menghindar dari teman-teman berandalnya, tetapi mereka tetap juga berulah dan mengacaukan acara dua sahabat itu. Hingga pada suatu waktu, ketika mereka sedang asyik bermain injit-injit semut di bangku mereka, tiba-tiba saja anak-anak berandal itu datang dan memaksa untuk ikut bermain. Asih menolak, tetapi salah satu dari mereka lagi-lagi menarik Citra hingga terjatuh. Asih pasrah dan akhirnya megikutsertakan mereka dalam permainannya.
Albi, bos genk anak-anak berandal, bermain dengan sangat kasar. Entah sebenarnya dia menegerti cara bermain atau hanya sekedar ingin menyiksa Asih. Albi mencubit tangan Asih sekuat tenaga dan tanpa ampun.
“Albi, sakiiit.” Albi tak menghiraukan. Asih merintih, airmatanya berlinang karena kesakitan. Asih menarik tangannya sekuat tenaga hingga terlepas dari cubitan anak yang bertubuh gempal itu. Kulitnya tampak ada yang terkelupas sedikit dan berdarah. Albi mencubitnya dengan kukunya yang panjang. Permainanan macam apa ini? Seingatnya permainan ini dulu sangat menyenangkan ketika dimainkan bersama ibu. Kenapa sekarang malah melukainya?
Tak hanya sampai di situ, Albi mengambil spidol yang ada di papan tulis. Dia berjalan ke arah Citra. Kedua tangan Citra ditahan oleh teman- teman Albi, sehingga dia dengan leluasa mencorat coret baju Citra yang hanya bisa diam pasrah. Coretan itu hampir penuh sebaju Citra.
Asih berang, tak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu. Dia tidak tega melihat Citra yang menangis sesenggukan. Entah dari mana, tiba-tiba saja keberanian yang selama ini dicari Asih, akhirnya datang. Datangnya pun bersamaan dengan amarahnya yang tengah memuncak. Dia langsung menghampiri Albi dengan ekspresi marah, takut, beserta tangisan yang berbaur di wajahnya.
Asih menjambak rambut Albi dengan sekuat tenaga, lalu membenturkan kepalanya ke sudut meja dengan tenaga yang sama.
BRAK…. Anak itu berteriak keras, menangis sekencang-kencangnya. Kepalanya mengeluarkan darah. Teman-temanya berhamburan ke luar dan meninggalkan mereka.
***
Suasana ruangan kepala sekolah siang itu terasa begitu tegang. Ibu Albi memeluk anaknya sambil memperhatikan bekas luka yang ada di kepala anaknya. Ayah Albi terlihat sangat marah. Dia memaki kepala sekolah dan nenek secara bergantian. Dia mempertanyakan cara nenek mendidik Asih. Dia juga mempertanyakan cara sekolah mengawasi murid-muridnya. Dia sama sekali tidak terima anaknya diperlakukan kasar seperti itu. Hey?
“Dasar anak sialan.” Ayah Albi tega membentak Asih sambil menunjuk-nunjuk kasar ke mukanya. Albi hanya terdiam di pelukan ibunya.
Mata Asih mulai berkaca-kaca, “Albi duluan yang mulai, Nek.” Dia mencoba mencari pembelaan dari neneknya. Air matanya mengalir perlahan.
Nenek memijat-mijat kepalanya. Mukanya yang putih kini terlihat memerah. “Jangan alasan ya, Asih. Nenek gak pernah ajarin kamu jadi preman.” Suara nenek meninggi. Asih terdiam. Airmatanya seperti masuk kembali. Bahkan neneknya saja tidak membelanya.
Kepala sekolah memutuskan untuk memberi hukuman kepada Asih akibat perbuatannya. Dia diharuskan untuk membersihkan dan mempersiapkan ruangan kakak kelas yang akan masuk di siang hari, seorang diri, setiap selesai jam sekolahnya, selama dua minggu penuh. Nenek dan Asih hanya bisa menerima pasrah. Bersyukur saja dia tidak dikeluarkan dari sekolah.
Asih lalu meninggalkan ruangan itu dan mulai menjalani hukumannya selama dua minggu ini. Nenek juga pamit dan pulang duluan. Orang tua Albi jelas tampak tidak puas dengan keputusan itu. Namun, kepala sekolah hanya bisa memohon maaf dan meyakinkan mereka kalau itu adalah keputusan yang terbaik.
Ruangan kelas itu tampak hening. Posisi bangku dan meja sudah tak lagi beraturan. Sampah-sampah terlihat mengotori beberapa sudut ruangan.
“Asih. Maaf ya. Gara-gara aku, kamu dihukum.” Citra mencoba memulai percakapan.
Asih tersenyum. “Di mana ya, tempat kita bisa bermain, tapi gak di ganggu Albi?”
“Di rumahku aja. Mamaku baik kok. Aku gak pernah dimarahin, walaupun aku mainnya berantakan.”
“Ayook. Selesai ini, kita main ke rumah kamu ya?”
“Oke. Tapi kamu nanti dimarahin nenek gak?”
Asih hanya menggeleng sambil tersenyum. Citra pun membalasnya dengan senyuman.
Asih mulai bersemangat untuk menyelesaikan hukumannya pada hari itu. Dia ingin segera bisa pergi ke rumah Citra dan bermain bersama tanpa perlu mengkhawatirkan gangguan Albi. Dua sahabat itu bersama-sama menuntaskan hukuman Asih dengan suka cita.
Akhirnya, pekerjaan mereka pun selesai. Sampah-sampah sudah disapu semua, kursi dan bangku pun sudah disusun kembali. Seisi ruangan yang tadinya kotor kini sudah tampak bersih dan rapi. Kelas itu sudah siap dipakai kembali untuk kegiatan belajar-mengajar selanjutnya.
Asih dan Citra berjalan bergandengan tangan menuju ke rumah Citra. Mereka saling melempar senyum seraya melangkahkan kaki secara bersamaan. Sebentar lagi, sesuatu yang selama ini mereka impikan akan terwujud.
Mereka tiba tepat di depan rumah yang begitu megah. Citra mengetuk pintu rumah itu. Tak berselang lama, ibu Citra datang membukakan pintu dan menyambut mereka dengan senyuman tulus.
Di dalam sana, suasananya tampak begitu indah dan tenang. Citra masih menggandeng tangan Asih erat. Mata mereka menatap satu sama lain, bibir mereka memekarkan senyum polos kegirangan.
Asih dan Citra menoleh ke depan. Mereka berlarian menuju ke dalam rumah dengan hati riang gembira, mewujudkan sesuatu yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan. Mereka hanya ingin bermain dengan tenang, tanpa ada yang mengganggu.
***
“Ada yang lompat dari lantai tiga.” Suara itu terdengar samar di telinga Albi yang sedang berjalan menuju kerumunan siswa. Dia meninggalkan orang tuanya, melangkah dengan pelan dan menerobos ke barisan depan. Raut wajah yang tadinya penasaran berubah jadi sendu. Anak itu menatap pilu pada sosok yang terbaring di lantai. Tubuh itu bersimbah darah. Wajahnya menghantam lantai beton. Tangannya memegang erat tangan sebuah boneka, anak perempuan lucu, yang sudah tampak lusuh dan dipenuhi dengan coretan-coretan spidol.