Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Hangat sebelum Ibu Hilang
1
Suka
12
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sementara bagiku, Ibu seperti cahaya lampu tidur yang menyala di tengah gelap ruang. Meskipun remang, Ibu seperti terang lampu tidur yang menerangi kami dengan hangat.

7 tahun lalu…

Aku membuka mata dari panjangnya mimpi, menyaksikan sinar matahari menyusup pelan melalui celah jendela kamar dengan setengah sadar. Sisa lelah dari kegiatan di sekolah kemarin masih terasa di sekujur tubuh. Anehnya, rumah rasanya lebih hangat hari ini, bukan hanya karena sinar matahari yang mencuri masuk, tapi karena suara-suara yang begitu akrab terdengar di luar kamar.

Aku menguap kecil, lalu bangkit perlahan. Biasanya Ibu akan mengomel jika aku bangun kesiangan. Tapi hari ini, ia membiarkanku lebih lama meredam diri di dalam kamar. Ibu tahu, tubuhku lelah menempuh batasnya.

Dengan mata masih setengah tertutup, Aku melepas diri dari kasur lalu berjalan menuju ruang tengah. Dan disanalah mereka—Kakek dan Nenek duduk di sofa sambil bercengkerama dengan Ibu. Wajah mereka berseri hangat ketika melihatku.

“Baru bangun, Kak?” tanya Nenek dengan senyum hangatnya menyambut.

“Iya, Nek,” jawabku pelan, menyalami tangan keriputnya yang selalu menenangkan.

Ibu tertawa ringan. “Kemarin habis kegiatan sekolah, mukanya letih sekali. Hari ini aku biarin tidur. Biasanya udah kuomelin. Mana ada anak gadis bangun saat matahari sudah berdiri gagah di langit?”

Nenek menimpali dengan nada membela, “Kamu juga dulu begitu, Nak. Kalau kamu tahu, cucu Ibu ini duplikatmu.”

Ibu menjawab cepat, setengah bercanda, “Ah, Ibu ini suka membesar-besarkan!”

Tiba-tiba Kakek bertanya, “Gimana sekolahnya, Kak?”

“Seru-seru aja, Kek. Kemarin ada kegiatan semacam pesantren kilat. Aku nggak paham betul isinya, tapi cukup menyenangkan. Sekolah ya... ya gitu-gitu aja seru kok,” jawabku sambil nyengir.

“Alhamdulillah kalau kamu senang sekolahnya,” sahut Kakek dengan mata berbinar.

Kami larut dalam obrolan ringan. Tawa mewarnai pagi, diselingi kisah tentang adik-adikku yang lucu dan penuh drama. Ketika matahari mulai meninggi, Kakek menggenggam tangan Nenek. “Ayo, kita pulang.” Mereka berpamitan hangat sebelum melangkah keluar, meninggalkan jejak kasih yang terasa sampai ke rongga dada.

Tak lama, Ibu memanggilku dari dapur, mengingatkanku bahwa aku belum makan sama sekali hari ini. Ia telah menyiapkan nasi goreng—masakannya yang selalu jadi favoritku. Nasi goreng ibu selalu terasa berbeda. Tak ada toping yang mewah, hanya potongan telur dan sedikit sayur, tapi rasanya tak bisa dibandingkan dengan nasi goreng lain. Mungkin karena ada bumbu cinta di dalamnya, bumbu yang hanya bisa di racik oleh tangan seorang Ibu. Sangat nikmat.

Di sela-sela Aku makan, Ibu berkata sambil mengambil dompet, “Kak, Ibu mau ke depan dulu ya, beli bahan masak.”

Aku menoleh, “Loh, adik-adik kemana? Rumah sepi banget.”

“Adik-adikmu ikut Bapak ke rumah pamanmu, ada yang perlu diurus.”

“Oh gitu.” Menimpali

“Iya. Kalau udah makan, jangan lupa cuci piringnya ya, Kak.”

“Iya, Bu.” Jawabku

Salah satu hal sederhana, tapi bermakna. Pelajaran kecil yang selalu Ibu tanamkan pada kami: cuci piringmu sendiri. Katanya hitung-hitung membantu meringankan pekerjaanya supaya Ibu tidak kelelahan mencuci semuanya. Tapi bagiku, itu lebih dari sekadar membantu—itu melatih kami untuk mandiri. Meskipun pada akhirnya, Akulah yang selalu melakukannya. Menjadi anak pertama kadang berarti menjadi tulang punggung kecil di dalam rumah, diam-diam kuat meski lelah. Tapi Aku tetap melakukannya. Aku suka rela saja.

Setelah meletakkan piring terakhir yang telah dibilas bersih, mataku tanpa sengaja tertumbuk pada karung di sudut dapur—karung usang berwarna goni yang mulutnya terbuka sedikit, memperlihatkan isinya yang segar: timun-timun hijau muda, masih lembap oleh embun pagi. Ada aroma tanah dan daun yang menguar lembut, seolah membawa udara ladang ke dalam rumah kami.

Ah, pasti Kakek dan Nenek yang membawanya, pikirku sambil tersenyum kecil. Itu memang kebiasaan mereka setiap kali datang berkunjung. Tak pernah tangan mereka datang dengan kosong. Selalu ada sesuatu yang dibawa—kadang seikat bayam liar, kadang kacang panjang, atau seperti hari ini, setengah karung timun hasil panen ladang mereka sendiri.

Sama seperti Kakek dan Nenek, hasil panen itu tak pernah disimpan hanya untuk diri sendiri. Ibu adalah cerminan paling utuh dari kemurahan hati mereka. Ibu sering memintaku untuk membagikannya ke rumah-rumah tetangga. Dengan langkah ringan, aku biasanya membawa bungkusan kecil itu sambil menyapa hangat siapa pun yang kutemui.

Tebakanku, ibu akan menyuruhku membagikan timun-timun itu ketika ia pulang nanti dari belanja. Dan aku akan menurut, seperti biasa. Karena di rumah ini, Ibu mengajarkan kami bahwa tangan yang memberi tak pernah kekurangan. Di rumah ini, cinta tak selalu hadir dalam kata, tapi dalam karung setengah penuh, kantong yang dibagi, dalam langkah yang menuju rumah orang lain dengan niat berbagi.

Baru lima menit Aku masuk ke kamar, merebah sejenak setelah membereskan dapur, suara Ibu memanggil dari arah depan. Nafasnya terdengar sedikit terburu-buru, seperti baru saja berjalan cepat dari warung langganannya.

“Kak, tolong anter timun ini ke rumah tante-tante kamu, ya,” katanya sambil meletakkan kantong-kantong kecil berisi timun segar di atas meja.

Aku mengangguk, lalu bangkit. Dalam hati sudah bisa menebak siapa saja yang harus kuantar—Tante Sri yang rumahnya satu gang di sebelah kanan, Tante Nila di ujung jalan, dan mungkin satu lagi ke rumah Mba Ayu, sepupu jauh yang suka menyelipkan camilan kecil di kantongku sebagai imbalan diam-diam.

Langkahku ringan, menyusuri jalan kecil yang sudah akrab. Semilir angin beraroma tanah kering menyapa wajahku, dan suara ayam dari belakang rumah tetangga menjadi musik latar yang menyenangkan. Setiap rumah yang aku datangi membuka pintunya dengan senyum hangat. Tak ada yang ditolak dari tangan yang membawa pemberian, meskipun hanya timun sederhana dari ladang Kakek dan Nenek.

Semua didekap dengan baik.

Hari itu tak kuisi dengan hal istimewa. Hanya kegiatan-kegiatan kecil yang terus berulang, seperti hari-hari sebelumnya. Itu saja mungkin sudah cukup istimewa. Menemani Ibu di dapur, membantu membersihkan halaman bersama Bapak, bercanda dengan adik-adik saat sore mulai turun. Di balik kesederhanaan itu, ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

Rumah kami terlampau hangat. Bukan dari api, bukan dari penghangat ruangan. Tapi dari tawa yang mengalir seperti sungai, dari peluh yang dibagi bersama, dari cinta yang tak pernah kehabisan bentuk. Rasanya seperti tubuh yang merebah di kasur, lalu dipeluk selimut tebal saat malam mulai dingin dan gelap—nyaman, damai, dan selalu ingin kembali. Dan Ibu, hadirnya seperti terang lampu tidur yang menerangi dengan remang namun hangat.

Keesokan paginya, mentari bahkan belum sepenuhnya menjilati langit timur, ketika suara Ibu kembali memecah sunyi rumah. Hari Minggu yang mestinya menjadi waktu istirahat terasa seperti Senin pagi yang penuh tugas. Tapi beginilah hari-hariku, selalu dibuka dengan teriakan lembut yang justru menghangatkan hati.

“Kak, bangun. Anak gadis bangunnya jangan siang terus, nanti rezekinya hangus,” seru Ibu dari balik pintu, dengan suara yang keras tapi entah bagaimana tetap terasa penuh kasih.

“Emh,” gumamku pelan, separuh sadar, separuh lagi masih tenggelam memeluk guling dengan mimpi yang belum selesai. Tapi Ibu, seperti biasa, tak menyerah.

“Ayo bangun, Kak. Ikut ibu ke pasar,” panggilnya lagi.

“Iyaaa…” jawabku lemah bangkit dari rebah masih diselimuti kantuk. Memangnya siapa di dunia ini yang bisa menolak Ibu? Bahkan matahari pun mau berkompromi dengannya.

Dengan langkah berat, aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Dinginnya lantai kamar mandi menusuk telapak kaki. Aku keluar dari kamar mandi mencium aroma pagi menyusup dari jendela yang terbuka sedikit. Aku menatap bayangan diri di cermin—kusut dan belum sepenuhnya hadir menggulung rambut sembarangan dan keluar dari kamar.

Di dapur, Ibu sudah bersiap dengan keranjang belanja yang setia menemani sejak aku kecil. Senyumnya menyambutku, seperti pagi itu memang dibuat khusus untuk kami berdua.

Dan meski tubuh ini masih ingin bersandar pada bantal, ada sesuatu yang hangat saat berjalan di samping Ibu menuju pasar—langkah kecil yang mengiringi kasih tanpa batas. Sebab waktu bersama Ibu, meski dalam lelah dan kantuk, selalu menyimpan cerita yang akan kelak kurindukan.

Langit masih malu-malu saat kami tiba, namun ketika kami pulang, matahari sudah menjulang gagah, memancarkan sengat teriknya tanpa ampun.

Tubuhku letih, kaki sedikit bergetar, namun entah mengapa hatiku terasa ringan. Ada sesuatu yang tak bisa digantikan dari pagi-pagi seperti ini, meski hanya berputar di antara keranjang sayur, senyum Ibu, dan langkah-langkah kecil menapaki jalan pulang.

Sesampainya di rumah, Ibu menyerahkan satu kantong belanjaan ke tanganku. “Kak, tolong bawa yang ini ya, masukin ke kulkas. Dirapihin sekalian,” ucapnya sambil menyeka keringat di pelipis.

Seperti biasa, tak ada ruang untuk menolak. Ada sesuatu dalam suara Ibu yang selalu membuatku menurut—bukan karena takut, tapi karena cinta yang tumbuh diam-diam di sela-sela perintahnya.

“Baik, Nyonya,” jawabku bercanda.

Sambil mengambil kantong yang ditunjuk, aku mendekat dan menyandarkan tubuhku sejenak di pintu dapur. “Bu, nanti siang aku mau ke rumah Ara ya. Mungkin pulangnya agak sore. Kalau Ibu butuh bantuan, bisa minta tolong ke Arin dulu.”

Ibu menoleh, lalu tersenyum kecil, seolah telah menduga rencanaku sejak tadi pagi. “Iya, Kak,” jawabnya lembut, matanya tetap sibuk memisahkan barang-barang yang dibelinya tadi.

“Oke, aku ke kamar dulu ya,” ucapku, melangkah pergi meninggalkan Ibu yang kembali sibuk dengan rutinitasnya, yang entah mengapa selalu tampak penuh kasih, meski dibalut lelah.

Di dalam kamar, aku merebahkan diri di kasur, membiarkan napas menyatu dengan angin dari kipas angin. Di luar, suara Ibu masih terdengar samar—suara yang senantiasa membuat rumah ini terasa utuh, meski hari terus berganti.

Siang itu, matahari menggantung malas di langit kelabu, seolah tak ingin terlalu mencampuri riuh kecil yang kami ciptakan di rumah Ara. Aku duduk bersila di kasur, dikelilingi tawa Lala dan Disa yang menggema ringan seperti lonceng terkena angin. Ada kebiasaan manis yang selalu kami rawat—berkumpul seperti ini seminggu atau dua minggu sekali. Tak cukup puas bersua di sekolah, kami pun menjalin waktu di luar kelas, seakan persahabatan ini tak mengenal jeda.

Ara keluar dari dapur dengan gelas-gelas berisi es jeruk di tangannya. Kami menyambutnya dengan tawa dan candaan yang menggulung, mengisi ruang dengan kehangatan yang tak bisa dijelaskan oleh logika.

Di tengah hangatnya pertemuan, getaran lembut menyusup dari dalam sakuku. Sebuah panggilan. Layar ponsel menyala, menampilkan satu nama—Bapak.

Pikiranku langsung melayang pada Ibu. Ah, Mungkinkah beliau membutuhkan bantuanku? Dengan sedikit ragu, aku menggeser layar dan menempelkan ponsel ke telinga.

“Kak, kamu di mana?” suara Bapak menyapa. Tegas, tapi ada sesuatu yang retak dalam nada suaranya—seperti ada yang sedang disembunyikan.

“Di rumah Ara, Pak. Ada apa?” jawabku sambil berusaha tenang.

“Kamu pulang sekarang,” katanya cepat, seperti dikejar waktu.

Aku terdiam sesaat. “Kenapa? Ada masalah, Pak?”

“Nanti Bapak jelaskan. Sekarang pulang,” balasnya, nada khawatir menyelusup di antara ucapannya yang tetap terdengar kukuh.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Suasana yang semula riang mendadak berjarak. Tawa teman-temanku terdengar sayup, seolah berasal dari ruangan yang lain. Aku menatap mereka sebentar — berdiri perlahan, menelan gelisah yang mulai memenuhi rongga dada. Ada firasat yang belum bisa kuartikan, namun cukup kuat untuk membuat langkahku terasa berat.“

"Maaf guys, Aku harus pulang sekarang,” ucapku pada Ara dan yang lain.

Mereka mengangguk, tak banyak bertanya. Mungkin mereka melihat sesuatu di mataku—sesuatu yang tak mampu kuucapkan.

Aku melangkah keluar, angin siang kusambut tanpa senyum. Langit tampak lebih suram dari sebelumnya. Dan entah mengapa, aku merasa perjalanan pulang kali ini tak akan sama seperti biasanya.

Aku sampai di rumah dengan langkah yang menggantung di antara cemas dan sedikit lemas karena terkejut. Nafasku naik turun tak beraturan, sementara mataku mencari sosok Bapak, berharap ia segera muncul dari balik pintu dengan senyum tenangnya. Namun rumah tampak sepi, tak ada suara berat yang biasa menyambut. Ibu pun tak didapat oleh pandanganku.

Di ruang tengah, hanya ada Mba Ayu yang duduk dengan wajah yang tak seperti biasanya. Di sampingnya, Arin dan Alea—adik-adikku bermain pelan, seolah mereka tahu dunia sedang tidak baik-baik saja.

“Kenapa, Mba? Ibu sama Bapak ke mana?” tanyaku, separuh gugup, separuh takut pada jawaban yang akan datang.

Mba Ayu menoleh, menatapku sejenak sebelum akhirnya membuka suara, pelan, namun menghunjam.

“Ibumu tadi jatuh di dapur, Sha. Bapakmu buru-buru bawa Ibu ke rumah sakit.”

Aku terdiam. Dunia yang semula utuh seakan retak dalam sekejap. Suara Mba Ayu menggema di kepalaku, berulang-ulang, menyayat perlahan. Seperti petir yang membelah siang, menghantam tepat di atas kepala.

“Kamu di sini dulu ya, Sha. Nanti kita ke rumah sakit kalau sudah diizinkan,” lanjutnya, berusaha menenangkanku.

Aku mengangguk pelan, suaraku patah sebelum sempat keluar. “Iya,” kataku, namun nyaris tak terdengar.

Waktu berjalan lambat. Aku duduk menunggu di ruang tamu, pandanganku kosong. Katanya, Kakek dan Nenek juga ada di rumah sakit. Beberapa kerabat lainnya pun telah menyusul. Sementara aku—aku hanya bisa tinggal. Menemani Arin dan Alea. Menjaga mereka, seperti Ibu menjagaku setiap harinya. Mba Ayu tetap di sisiku.

“Tenang, Sha. Tante Ani pasti nggak apa-apa kok,” ucapnya dengan suara lembut, mencoba menyemai keyakinan yang bahkan sulit aku tanam dalam diriku sendiri.

Aku mengangguk, meski dalam hati aku tahu—hatiku jauh lebih gaduh dari diamku.

Satu jam berlalu. Lalu dua. Tapi tak ada kabar. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Yang ada hanya doa-doa dalam hati yang terus kupanjatkan tanpa henti. Aku memohon pada Tuhan seperti bayi kecil yang merindukan pelukan. Memohon agar Ibu baik-baik saja.

Setengah jam setelah itu, pintu terbuka. Paman Dika berdiri di ambangnya, napasnya tersengal, wajahnya tak bisa kubaca.

“Sha, ayo ikut. Kita ke rumah sakit sekarang,” katanya.

Dunia terasa makin sempit. Aku berdiri, tapi kakiku berat. Pikiranku berputar, kalut, seolah tak mampu lagi membedakan antara kenyataan dan rasa takut. Namun aku tetap melangkah, dengan seluruh doa yang sudah kering kutumpahkan dalam hati.

Aku ingin percaya, sungguh ingin percaya bahwa Ibu akan baik-baik saja. Tapi tak ada janji dari langit, tak ada pertanda dari waktu. Yang kupunya hanyalah harapan—yang walaupun lelah dan rapuh tetap kupeluk erat, seperti menggenggam tangan Ibu yang mungkin kini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit.

Aku pergi, membawa cemas dan usaha tenang yang beradu dalam satu langkah panjang menuju yang tak kutahu.

Langit sore menggantung kelabu ketika kendaraan yang kami tumpangi akhirnya berhenti di pelataran rumah sakit. Suasana di dalam kendaraan begitu senyap, hanya denting detak jantungku yang berlari tanpa arah. Begitu pintu dibuka, mataku langsung menangkap sosok Paman Malik berdiri di depan IGD dengan tangan bersilang di dada, wajahnya tertunduk dan kaku. Ada sesuatu di sana, di raut itu, yang membuat tenangku cabut dan cemas menggulung semakin deras.

Paman Dika tanpa banyak bicara segera menggiring kami masuk. Langkahku berat, seperti menapaki batu-batu tajam. Pandanganku berkelana, di ujung koridor, aku menemukan Bapak. Ia terduduk lemas, bersandar di dinding dengan wajah yang basah oleh sesuatu yang bukan hanya keringat.

Aku berlari kecil mendekat, dengan pertanyaan yang berhamburan dalam kepalaku. Tapi kata-kata tak sempat kubentuk. Bapak lebih dulu memeluk kami.

Erat.

Begitu dalam seolah ingin menahan kami agar tak runtuh.

“Ibu, Kak…” suaranya lirih, tercekik di tenggorokan. “Ibu sudah hilang… Ibu pergi.”

Kata-kata itu menampar batinku. Tidak pelan. Tidak ringan. Kali ini seperti petir yang menyambar tepat ke jantung. Dadaku sesak. Tenggorokanku kelu. Jiwaku serasa ditarik keluar dari raga, melayang, kosong.

Aku tak menangis.

Belum.

Lima menit pertama, aku hanya diam, mematung dalam pelukan Bapak. Dunia seakan beku. Suara-suara di sekitar meredam. Bahkan denyut waktu pun seolah berhenti.

Perlahan… air mataku luruh.

Tak meledak. Tak meraung. Hanya mengalir. Tapi pedihnya mengoyak ke dalam, menyentuh ruang hangat dalam hati.

Ibu.

Aku mengucap dalam hati, air mataku mengalir lebih deras. Kata itu kini terasa asing. Ibu, bayangannya tadi pagi yang masih menawar sayur di pasar, yang memintaku menyusun belanjaan di kulkas, Ibu yang mengomel hangat, yang menyuruhku berbagi, Ibu yang dengan lembut membangunkanku minta ditemani, Ibu telah “pergi”.

“Ibu hilang,” kata Bapak.

“Ibu pergi,” ulangnya dengan suara pecah.

Dan di sana, di sudut rumah sakit yang dingin, aku duduk dipeluk Bapak dan adik-adik, mencoba mengerti dunia yang tiba-tiba berubah bentuk. Dunia tanpa Ibu. Dunia yang tak lagi sama.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bronze
TERBELAH
WN Nirwan
Cerpen
Hangat sebelum Ibu Hilang
nindia
Cerpen
Staf Admin (gak) Support
Maya Suci Ramadhani
Cerpen
Pilar yang Retak
Lala Dyu
Cerpen
Bronze
Satu Kali Lagi
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mendung Masih Bergelayut
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Peneliti Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
Pelanggan Terbaik
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Hanya Untukmu
mareta amelia
Cerpen
Jangan Mati Dulu, Dong, Bruh
Ryan Esa
Cerpen
Bronze
Pelajaran Menulis Cita-Cita
Nana Sastrawan
Cerpen
Bronze
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Astrophile
Fianaaa
Cerpen
My Annoying Boss
Rein Senja
Cerpen
Opini Abnormal
Nazila
Rekomendasi
Cerpen
Hangat sebelum Ibu Hilang
nindia
Cerpen
Peluk Hangat Bapak
nindia