Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di tengah terik matahari kota Bogor, aku duduk manis di salah satu halte. Halte kecil di pinggir jalan tempat angkot biasa ngetem mencari penumpang. Suasana halte sepi, hanya ada aku seorang di halte ini.
Di hadapanku tampak jalanan beraspal dengan kendaraan yang ramai berlalu lalang tanpa henti. Asap kendaraan dan debu jalanan berhembusan tertiup angin. Di saat-saat seperti inilah aku bersyukur aku mengenakan kacamata, karena tidak apa penglihatanku sedikit bermasalah tetapi setidaknya mataku terlindungi dari asap dan debu itu. Hm? Hidung dan mulut? Tenang saja. Bukankah kita, sebagai warga negara yang baik, selalu mengenakan masker ketika bepergian di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir ini?
Aku menghela napas.
Samar-samar aku ingat bagaimana halte ini dahulunya terbilang cukup ramai. Di hari Minggu pagi, aku bersama dengan keluargaku selalu naik angkot dari halte ini untuk pergi ke Vihara. Saat itu, jalanan belum seramai sekarang. Cuaca pun masih sangat bersahabat, tidak panas terik seperti sekarang. Maksudku, ayolah, bukankah Bogor itu dikenal dengan julukan Kota Hujan? Kota Hujan tetapi panas, bukankah itu kontradiktif?
“Nunggu angkot, Dek?”
Lamunanku buyar. Aku refleks menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang pria tua berambut putih sedang tersenyum ke arahku. Dia sudah duduk di sampingku. Pakaiannya rapi, kemeja cokelat kotak-kotak dengan celana panjang hitam serta sepatu pantofel hitam. Tidak lupa masker hitam menutupi hidung dan mulutnya.
“Iya, Pak. Lagi nunggu angkot,” jawabku sambil membalas senyumnya.
Beberapa saat dia memperhatikan penampilanku. Seorang remaja laki-laki berkacamata yang mengenakan polo shirt polos berwarna hitam dengan celana jeans berwarna biru serta sandal gunung hitam. Tidak lupa masker hitam dan ransel abu-abu ikut meramaikan penampilanku yang apa adanya ini.
“Mau ke mana memangnya, Dek? Kampus?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Nggak, Pak. Mau main sama teman,” jawabku.
Pria tua itu mengangguk-nganggukkan kepalanya. “Jarang, lho, ada anak muda zaman sekarang yang masih naik angkot. Biasanya, kan, pada pakai …, apa itu namanya? Yang online-online itu?” ucapnya.
“Ojol maksudnya, Pak? Ojek online?”
“Nah, iya itu. Biasanya, kan, anak muda seperti kamu ini pakai ojol itu kalau mau ke mana-mana.”
“Angkot lebih murah, Pak,” jawabku. “Aku pribadi, sih, pakai ojol kalau sedang buru-buru saja, Pak. Kalau santai begini mending naik angkot, lebih murah," lanjutku, berusaha menjelaskan alasan di balik keputusanku untuk lebih memilih angkot daripada ojol.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya.
“Bagus itu. Kamu gak cari yang gampang, yang instan. Beda sama cucu anak saya, berangkat ke sekolahnya yang dekat saja naik ojol itu. Padahal kalau jalan kaki palingan juga cuman sekitar 20-30 menit.”
Kali ini gantian aku yang mengangguk-nganggukkan kepala. Kalau aku di posisi anaknya, pasti sudah jalan kaki itu. Lumayan, hemat ongkos.
“Lagian, angkot itu, kan, bisa muat sampai 10 penumpang. Kalau ojol cuman 1. Kalau pada naik ojol, berarti semakin banyak jumlah motor di jalanan. Tambah macet, tambah polusi,” lanjutnya.
Wah, aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, sih. Di pikiranku hanya yang mana yang paling hemat, itu yang kulakukan. Tetapi benar juga. Sekalipun pesannya mobil, paling hanya muat 3-4. Paling mentok 6 penumpang, itu juga kalau drivernya tidak menggerutu karena jadi ribet menyiapkan kursi belakangnya. Kalau angkot, bisa sampai 12 penumpang sekali jalan. Muat sampai dua kali lipatnya.
“Zaman saya masih muda dulu, mah, nggak ada, tuh, ojol-ojol begitu. Paling adanya ojek pangkalan,” lanjutnya lagi.
“Iya. Pas aku masih kecil, jalanan juga nggak seramai sekarang,” gumamku tanpa sadar.
“Nah! Benar itu! Dulu jalanan nggak ramai begini. Nggak banyak asap dan debu begini. Dulu, ya, saya ini suka banget ke tanah lapang di deket sini cuman untuk sekedar menghirup udara segar, untuk melepas penat sehabis kerja. Kalau sekarang saya begitu, yang ada paru-paru saya nangis karena bukan udara segar yang masuk tetapi justru asap kendaraan dan debu jalanan. Kalau ingat masa-masa itu, saya ....“
Aku berhenti mendengarkan ucapannya. Pikiranku ini justru kembali melayang-layang ke ingatan samar yang kumiliki. Benar katanya, dahulu udara di sini masih segar. Bermain di luar pun menyenangkan. Kalau sekarang? Wah, mending aku seharian baca komik di kamar daripada panas-panasan di luar. Mungkin itu alasan mengapa aku sudah jarang melihat ada anak-anak yang bermain di luar. Atau mungkin karena memang anak-anak zaman sekarang lebih terbiasa main smartphone daripada main petak umpet atau cing benteng, ya? Entahlah.
Usiaku baru 22 tahun, tetapi aku sudah merasakan begitu banyak perubahan dari masa kecilku dengan masa sekarang. Bagaimana dengan pria tua di sampingku ini? Kuperkirakan usianya tidak kurang dari setengah abad. Mungkin sekitar 55-60 tahunan? Dia pasti sudah merasakan jauh lebih banyak perubahan daripada aku, baik perubahan itu positif atau negatif dampaknya.
“Saya duluan, ya, Dek,” ucapnya membuyarkan lamunanku.
Aku refleks mengangguk sambil tersenyum. Dia lalu masuk ke dalam angkot yang sudah berhenti di depan halte. Angkot berwarna hijau dengan bagian bawah biru, bertuliskan 03 di bagian depannya. Supir angkot itu menoleh ke arahku. Melihat aku yang masih santai duduk dan sama sekali tidak ada niat untuk berdiri dan masuk ke dalam angkotnya, dia memalingkan pandangannya kembali ke depan dan perlahan angkot itu pun menjauh dari halte ini. Sekilas kulihat angkot tadi sepi, sepertinya hanya ada sekitar 2-3 penumpang saja, sudah termasuk dengan pria tua tadi.
Aku kembali memperhatikan jalanan di depanku. Masih ramai seperti sebelumnya, tetapi angkot 02 yang kutunggu sedari tadi tidak kunjung terlihat.
‘Benar kata Mama, harusnya aku ke halte yang di dekat pasar. Ini pasti pada ngetem di sana, belum mau jalan kalau belum penuh ….’ batinku.
Aku mengeluarkan smartphoneku dari dalam saku celana. Kulihat jam di layarnya, 14:23. Wah, aku janji dengan temanku itu jam 15:00. Dahulu, sih, dari halte ini ke mall tempat aku janjian dengan temanku hanya 15 menit sudah sampai. Tetapi kalau memperhitungkan jalanan yang ramai dan potensi kemacetan yang ada, sepertinya mustahil untuk aku tidak terlambat hari ini.
‘Apa pesan ojol saja, ya?’ pikirku, berusaha mencari solusi yang lebih pasti dan cepat daripada sekedar menunggu angkot yang entah kapan akan datangnya.
Di saat aku sedang sibuk mempertimbangkan langkah apa yang akan kuambil, tetap menunggu angkot dan membiarkan temanku lumutan menungguku atau memesan ojol dan mengikhlaskan rupiah di dompetku, tiba-tiba smartphoneku bergetar. Aku kembali melihat layarnya. Ternyata ada chat masuk dari temanku.
[Daerah rumah gue ujan gede. Gue tungguin dari tadi gak reda-reda. Batal aja, deh, ya.]
Aku menghela napas membaca isi chatnya itu. Belum sempat aku membalasnya, perlahan rintik hujan mulai ikut turun di sini. Aku mendongak, melihat langit yang mulai gelap oleh awan mendung. Tadi panas terik yang menyengat, sekarang tiba-tiba hujan. Memang cuaca semakin hari semakin susah ditebak.
Hujan pun turun. Tidak begitu deras, tetapi cukup untuk membuatku malas menerobosnya. Toh, aku memang tidak bawa payung karena sama sekali tidak menyangka akan hujan. Jadi ya sudahlah, aku berpasrah diri menanti hujan reda di halte ini.
Perlahan namun pasti, motor-motor mulai berhenti di halte ini. Beberapa pengendaranya ada yang berteduh, beberapa ada yang memakai jas hujan dan kembali melanjutkan perjalanannya. Aku hanya diam mengamati itu semua. Sejujurnya, aku, sebagai seorang introvert, agak risih dengan keramaian yang terjadi secara tiba-tiba ini. Tetapi tidak mungkin juga aku marah-marah dan mengusir mereka semua yang berteduh. Ya …, setidaknya sekarang aku jadi ada hiburan, mendengarkan mereka bergerutu tentang bagaimana hujan ini mengganggu aktivitas mereka.
‘… Hujan seperti ini tidak buruk juga,’ pikirku.
Air hujan ini meredam asap kendaraan dan debu jalanan yang mengganggu. Hawa panas dari siang tadi pun perlahan menghilang, berganti menjadi hawa sejuk yang menyenangkan. Hm …, padahal ketika aku kecil, sehari-harinya hawanya sudah seperti ini dan akan jadi jauh lebih dingin ketika hujan turun. Perubahan yang begitu nyata kurasakan.
Zaman sudah semakin canggih, segala sesuatu menjadi lebih mudah. Harusnya aku bersyukur, tetapi ada yang mengganjal. Bukankah semua kemudahan itu ada harganya?
Tetapi siapalah aku untuk menyuarakan hal itu? Aktivis lingkungan? Social justice warrior yang selalu siap berkoar-koar di media sosial? Tidak. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya remaja biasa, yang kini sedang menikmati hujan di salah satu halte di Kota Bogor sembari merenungkan semua ini.
Perlahan kubuka aplikasi pengolah kata yang ada di smartphoneku.
'Buat nanti kupublish di majalah kampusku,' pikirku.
Aku terdiam sejenak, berpikir. Apa cerpen dengan isu lingkungan seperti ini akan disukai pembaca majalah kampusku? Entahlah. Setidaknya, aku sudah berusaha menyuarakan isu ini, tanpa ada niatan untuk menggurui atau menghakimi, hanya bercerita apa adanya.
Perlahan aku mulai mengetik,
“Di tengah terik matahari Kota Bogor, ….”