Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Butuh enam belas jam lebih dari Indonesia menuju Kenya; khusus naik di Bandara Internasional Soetta, Jakarta. Hampir seharian dalam pesawat, badan pasti pegal-pegal, paling nggak kaki Dowu agak berasa senyar. Belum lagi mesti sedia uang KES. Bukan uang kes dalam arti tunai, tapi Shilling Kenya. Itu kalau memang benar Dowu naik pesawat menuju Afrika bagian timur.
Lah ini? Boro-boro pegal atau siap uang, terkejut iya!
Beberapa saat lalu, mata Dowu yang belo hampir keluar kalau nggak ada alasan masih dipakai. Ruangan beraroma apak, kain jendela motif polkadot dekil sampai nggak kelihatan warna aslinya, terik matahari tembus melalui jendela tanpa kaca dan terali, busa tipis yang jadi alas duduk Dowu. Sungguh asing.
Awalnya dia nggak tahu ada di mana sebelum sosok perempuan datang membawa segelas air ke arahnya, sambil menyungging senyum yang nggak manis-manis banget, tapi Dowu terpesona.
“Um, umepotea?” Sambil ngasih gelas air, si perempuan berkulit gelap eksotis, rambut tipis sebatas bahu bertanya.
Mengambil uluran gelas, Dowu nggak langsung minum, justru menempatkannya di lantai semen. Bahasa gadis itu bukan salah satu dari banyak bahasa daerah di negaranya pakai. Mungkin agak ambigu, karena jika ditulis huruf kapital, berarti bertanya tentang kekalahan. Namun, yang paling masuk akal adalah tersesat, ia menanyakan itu. Pasti.
Kok Dowu paham bahasa si gadis? Iya dong, saking tergila-gila dia pingin ke Kenya, pernah ikut kelas bahasa Swahili satu tahun di sela-sela sibuk bikin skripsi akhir. Itu pun ibunda Dowu udah marah-marah, katanya nggak penting ikut kelas bahasa yang belum tentu Dowu bisa ke Kenya atau nggak. Lantas, apa? Buktinya... sebentar.
Takut kalau cuma delusi akibat telanjur gila, Dowu menutup rapat-rapat mata, menenangkan diri. Barangkali pula ini mimpi.
“Pelancong?”
Bagaimana ceritanya Dowu pelancong, kalau dia aja nggak tahu perginya kapan? Persiapan aja nggak ada, Dowu cuma bawa diri sama baju yang melekat di tubuh, berbahan kaus abu-abu dan celana panjang hitam.
Membuka mata kembali; aroma, sosok perempuan, atmosfer dalam ruangan yang hanya sebesar kandang ayam jantannya Dowu, masih sama. Cuma, ini benaran aneh. Masa iya tiba-tiba Dowu ada di Afrika Timur, padahal ngerasain naik pesawat aja belum pernah?
Oh, apa jangan-jangan ada hubungannya sama si Supit Urang? Dowu ingat, selumbari lalu ikut Laku Masangin. Dowu lebih suka sebutnya ‘main’ dibanding ‘ritual’. Dia bersama ketiga temannya sore-sore datang ke alkid, alun-alun kidul Yogyakarta, kota tempatnya tinggal buat main. Siapa sangka, Dowu berhasil melewati beringin kembar tanpa melenceng walau Raka, Dodit dan Jumnu berisik teriak-teriak kayak tukang parkir; ‘ke kanan, ke kanan! Kiri, kiri’.
Konon yang mampu melalui Supit Urang dengan mata ditutup, harapan apa pun akan terkabul, terlaksana. Nah, Dowu berharap banget bisa ke negara impiannya, Kenya, berjodoh sama gadis di sana. Nggak ada yang benar-benar mustahil, maka Dowu percaya, apa yang menimpa sekarang adalah keajaiban.
“Samahani, hii ni... kweli Kenya? (Maaf, ini benar di... Kenya?)” Menepi sebentar dari pemikiran yang mencuat, Dowu berusaha menangkap ingatan-ingatan tentang pelajaran bahasa Swahili. Dia juga butuh kepastian kendati telah yakin sama semua pola pikirnya.
“Haki, hii iko Kenya. (Benar, ini di Kenya).” Kemudian si gadis bertubuh kurus menampilkan wajah bingung. Pikirnya, laki-laki itu bisa berbahasa Swahili, tapi baru tahu kalau ini di Kenya? Aneh.
Ou, ngomongin soal wajah, kayaknya gadis itu berusia dua puluh tahunan. Perkiraan Dowu sih begitu. Ah sudah, lupakan soal umur, kini saatnya Dowu menjerit keras dalam hati; dia berada di Kenya dan sedang bersama jodohnya!
Jodoh itu di tangan Tuhan, Dowu percaya. Jodoh itu bakal datang kalau sudah waktunya. Siapa bilang? Bagi Dowu, jangan cuma berpangku tangan, jodoh semestinya dijemput. Walau Dowu nggak secara langsung menjemput jodohnya, tapi dia benar-benar bertemu gadis Kenya berkat mencoba peruntungan melewati Supit Urang.
Oke, nggak perlu jauh-jauh memikirkan bagaimana pulang, Dowu kepingin menikmati dulu momen di sini.
•••
Dowu tahu betul diri berada di Kenya, tapi baru tahu kalau titiknya berpijak adalah Kibera, salah satu kawasan kumuh dalam balutan Ibu Kota Nairobi.
Dia hampir nggak sadar kalau mulutnya menganga lebar pas keluar dari rumah gadis yang dia juga baru tahu namanya; Damu. Hei, nama mereka hampir mirip, dan Dowu sekali lagi yakin kalau Damu jodohnya.
Bulan Februari, Kenya masuk musim kemarau, tidak heran mengapa matahari amat menyengat, juga tanah kering dan gersang kental menjadi pemandangan Dowu yang tengah jalan bersisian sama Damu. Perempuan itu hanya setinggi dada Dowu, benar-benar menggemaskan.
“Penginapanmu di mana?” tanya Damu, ia mendongak sebentar demi melihat reaksi Dowu. “Kamu tertidur di depan rumah, mungkin dari kemarinnya, karena kulitmu dingin waktu ayahku memindahkanmu ke kamarku. Kamu kerampokan ya, terus tersesat? Kamu nggak pegang apa pun termasuk kartu kesehatan, tapi sebelum masuk Kenya kamu vaksin buat yellow fever, ‘kan?”
Aduh, suaranya merdu banget di telinga Dowu. Persetan soal bagaimana menjawab pertanyaan yang banyak dari Damu.
“Aku menginap di rumahmu dulu selagi cari cara buat balik ke tempatku.”
“Memang kamu nggak ingat lokasi penginapanmu? Aku bisa bantu cari arah jalannya kalau kamu kasih tahu nama tempatnya.”
“Aku sama kamu aja udah nyaman kok, ngapain mesti ke penginapan?” Lantas kaki kanan Dowu tersandung batu yang banyak tercecer, pun puing-puing dari bangunan nggak terawat di sisi-sisi sepanjang jalan menjadi pemandangan baru buat Dowu. Lagian nggak nyambung banget kalimat dia tadi.
“Jadi pramuwisataku aja gimana? Daripada nganter ke lokasi yang aku juga lupa, hehehe...”
Di sela-sela kesakitan jempol kaki, Dowu masih bisa mengikik begitu. Alasan lupa segala. Dia cuma pakai sandal selop yang terbuat dari ban bekas, pemberian Damu karena Dowu nggak punya alas kaki. Ayah Damu bahkan sempat bercelatuk kalau Dowu lebih miskin darinya.
“Boleh, tapi bayaranku harus setara.”
Langkah Dowu terhenti disusul Damu. Perasaannya mendadak pahit. Memasukkan pasang tangan ke dalam dua sisi saku celana, hanya ada seribu rupiah kertas di dalam sana, lecek pula. Bersafari satwa saja nggak mampu, apalagi membayar jasa pariwisata?
“Aku bercanda!” Damu tertawa keras, mirip salah satu teman Dowu, si Dodit. Terdengar berlebihan tawanya. Dowu jadi curiga kalau Dodit dan Damu kesepian. Soalnya dari sisi psikologi seseorang yang tertawa terbahak-bahak walau pemicunya nggak begitu lucu, butuh kehangatan secara emosional.
Dowu tersenyum kaku. Baik, di negara orang, uang nggak punya, mati kutu. Bagaimana cara Dowu melanjutkan hidup di sini? Otak warasnya baru bekerja sekarang.
“Mari Tuan, kita pergi ke tempat menyenangkan.”
“Tapi aku nggak punya uang....”
“Tenang aja, aku punya simpanan hasil berdagang. Cukup buat ongkos pulang pergi ke Naivasha, kita lihat danau di sana. Cuma kalau haus atau lapar, kita nggak bisa beli. Balik dulu yuk ke rumah, ambil makan dan minum, sama sekalian uangku.” Tanpa menunggu persetujuan, Damu menarik pergelangan tangan Dowu spontan, sudah kayak adegan romansa FTV.
Berbalik arah, menuju rumah, sampai di bangunan yang Dowu rasa sebentar lagi akan roboh, ada jeritan serta permohonan maaf yang keluar dari perempuan berambut cepak berbusana kanga dan laki-laki yang memukuli.
Kedua orang tua Damu.
Ekspresi Dowu segera fearful, berhenti di ambang pintu, nggak berani masuk ke dalam. Sementara Damu air mukanya biasa saja sambil melewati dua insan itu menuju kamar.
Krak!
Damu membuka celengannya. Batok kelapa yang dilubangi untuk memasukkan uang, ia buka pakai kapak mini yang baru ia ambil dari lemari baju. Setelahnya, kapak diselipkan ke pinggir celana pendek yang ia pakai.
Dua botol plastik berisi air minum dan sebungkus githeri diikat karet—sisa sarapan tadi pagi, Damu bawa.
“Ayo,” ajak Damu. Tidak pamit kepada kedua orang tuanya lebih dulu yang masih dalam keadaan kisruh, Damu lagi-lagi menarik tangan Dowu.
“Kamu nggak mau nolongin ibumu dulu? Ayahmu nggak berhenti mukul ibumu.”
“Udah biasa. Itu sebagai tanda kasih sayang ayah kepada ibu.”
“Tanda kasih sayang? Itu kekerasan namanya.”
“Kamu berasal dari negara mana?” Wajah Damu serius, dan Dowu merasa kikuk. “Budaya setiap negara beda, ‘kan? Bahkan walau zaman sudah berubah lebih canggih, budaya tetap nggak ada matinya.”
Kibera sudah tertinggal di belakang. Damu menghentikan matatu, kendaraan umum yang sering digunakan warga Kenya. Dowu dapat melihat gambar artistik tokoh terkenal di badan kendaraan yang mirip minibus, grafiti bertulis hakuna shida ‘tidak masalah’ dalam bahasa Indonesia, dan hakuna matata yang sering jadi slogan orang-orang Kenya. Seburuk apa pun kondisi, mereka pasti akan mengatakan ‘tidak ada masalah’. Jangan lupakan pula musik kencang sudah menyambut langkah Dowu memasuki matatu.
Melewati jalan A104, memakan sekitar dua jam untuk sampai di danau Naivasha.
“Kamu tahu bangau marabou?” Damu membuka pembicaraan di tengah bisingnya suara musik blues, terlebih penumpang kursi belakang ikut bernyanyi. Ia duduk dekat jendela, dan Dowu di sampingnya. “Kalau kita ke kota Garissa, apalagi musim kemarau seperti ini, bangau marabou banyak berkumpul di atas tumpukan sampah.”
Damu benar-benar seperti pemandu wisata, walau kenyataan mereka nggak ke kota yang dibicarakan.
“Marabou begitu rakus. Mirip manusia, ya?"
Dowu tertawa kecil. “Walau begitu, dia termasuk jenis hewan monogami, setia lho sama pasangannya. Kayak aku yang bakal setia sama kamu.”
Halah, Dowu memang receh sejak lahir.
•••
Sore sudah menerjang, makanan dan air telah habis, tapi Dowu belum berniat kembali ke Nairobi. Dia ingin menikmati sejenak sinar jingga sebelum benar-benar hilang ditelan gelap. Masih betah duduk di jarak tujuh meter dari tepi danau dikelilingi rimba, kuda nil yang sedang berendam nggak kelihatan lagi. Memang dasarnya nggak boleh terlalu dekat sama genangan air tawar Naivasha.
“Kamu pernah baca buku Tame iz Hrvatske?”
“Tame iz... apa? Memang itu buku apa?” Dowu merasa lidahnya terbelit saat ingin mengeluarkan kata serupa.
“Buku yang bercerita tentang kegelapan. Tame iz Hrvatske artinya kegelapan dari Kroasia. Tokoh utamanya mengidap wendigo psikosis.
“Aku membacanya di perpustakaan umum. Dari sana, aku memahami kalau hidup dalam semesta adalah yang paling keras. Aku merasa keluar dari hidupku setelah membaca itu.”
“Keluar dari hidup?”
“Jujur aja, aku pingin keluar dari hidupku, paling nggak keluar dari keadaanku sekarang. Lihat sendiri bagaimana, aku miskin, pendidikanku nggak seberapa. Bisa baca tulis aja udah luar biasa.”
“Itu kamu tahu.”
Damu menatap Dowu; nggak paham.
“Kamu tahu kalau luar biasa bisa baca dan nulis. Jadi seharusnya beri apresiasi dirimu. Paling sederhana aja, seperti ucapan terima kasih kepada diri sendiri."
Mendapat tatapan skeptis dari Damu, Dowu kembali bersuara. “Aku serius. Manusia selalu tahu cara memberi hadiah kepada orang lain, tapi nggak tahu cara menghadiahi diri sendiri. Ucapan terima kasih itu salah satu hadiah lho.”
Damu beralih memandang langit, membisu seperti beberapa saat lalu. Malam sebentar lagi datang, perasaan tenang Dowu mendadak lenyap terganti gelisah. Mungkin karena Dowu mulai merindukan rumah.
“Kamu pernah bertemu orang gila?”
“Sering malah, hehehe.” Tawa cengengesan, wajah Dowu amat jenaka demi menutupi ketidaknyamanan yang mencekik. “Orang yang mengupil sambil jalan, atau orang yang makan permen karet bekas kunyah. Tingkah mereka sering dikatain gila.”
“Bukan itu. Maksudku, sakit jiwa.”
“Aaaah!” Kini berganti, wajah Dowu amat antusias. “Aku bakal bertemu orang yang sakit jiwa kalau ke rumah sakit jiwa.”
“Nggak perlu jauh-jauh, ada di sebelahmu. Aku beri tahu selagi masih waras.”
Perasaan Dowu makin nggak enak. Bayangan kedua orang tuanya di Indonesia memenuhi pikiran.
“Tinggal sepuluh detik menuju gelap, aku nggak yakin apakah kamu masih bisa menampilkan senyum lebarmu itu.”
Dowu memang sosok baik, tapi dia bodoh sebab mudah percaya oleh bentuk ramah seseorang, bahkan nggak tahu siapa sebetulnya sosok yang bersama dia seharian. Dowu juga nggak tahu, kalau nama si gadis telah memberi petunjuk.
Damu, berarti darah. Damu selalu kehausan darah, apalagi kalau malam. Ia nggak bisa selalu bergantung sama darah sapi kendati nggak pernah lupa ikut tradisi Maasai.
Malam benar-benar datang tanpa terlambat, danau Naivasha yang sudah sepi menjadi saksi bagaimana Dowu digarit oleh kapak kecil yang Damu bawa, bermula dari leher hingga pundak. Dagingnya dimakan penuh nikmat. Di sela napas, bahkan Dowu nggak bisa berteriak akibat syok.
Oh ya, sudah lama Damu nggak makan daging! Menjadi pramuwisata bayarannya memang sangat mahal.
Membuka mata tegang, napas Dowu terengah-engah, keringat membasah sekujur tubuh. Suaranya hilang. Fajar sebentar lagi menyambut, suasana rumahnya memang yang paling hangat. Dowu bisa tenang, tapi... nggak seharusnya ada orang lain dalam kamarnya. Sosok itu duduk di kursi dekat meja belajar, menghadap Dowu yang berusaha bangkit dari baring.
Nggak mungkin. Sebetulnya, mana yang mimpi?
“Terima kasih telah mengeluarkanku dari penjara hidup. Aku akan bersenang-senang di sini.” Belum sempat beranjak duduk, tubuh Dowu sudah tertindih Damu. “Jambo, kwaheri! (Halo, selamat tinggal!).”
Lantas secara cepat, rasa sakit itu kembali menyayat, tapi lebih nyata, mencabik dada, dikeluarkan jantung Dowu yang tidak lagi berdetak.
Semestinya sejak awal Dowu paham, jika ada keajaiban, maka ada pula kemalangan.
Selesai.
Halo, Selamat Tinggal! Adalah hasil mengikuti kontes menulis cerpen yang diadakan Cabaca bertajuk ONE DAY IN FAR-ADISE tahun 2021.