Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Halimunte Cafe: Please Smile If Possible
4
Suka
1,717
Dibaca

“Makanan di kafe ku masih ada sisa, lho!”

Di antara lima—atau empat—penghuni Kost Lantai Dua Halimunte, Sena adalah yang paling aneh. Ketika para putra atau putri pemilik kost tumbuh menjadi seorang pewaris dan akan segera mendapatkan jabatan pengelola kost segera setelah mereka cukup dewasa, Sena justru terjebak menjadi penghuni kost.

Yap, pemilik dari Lantai Dua Halimunte adalah Pak Eka, ayah kandung Sena. Meski begitu, dia masih harus membayar uang bulanan kost kepada ayahnya.

Bangunan tempat mereka tinggal terdiri dari dua lantai. Tentu, di atas adalah Lantai Dua Halimunte. Sementara lantai pertama adalah Kafe Halimunte yang dikelola oleh Sena—pemilik tanah dan bangunan tentu ayahnya pula.

Bukan hanya uang kost tiap bulan, pemasukan dari Kafe Halimunte juga sepenuhnya diminta oleh sang ayah.

“Selama ini kok kafemu tetap bisa jalan sih? Dapat model tiap bulannya dari mana? Diem-diem cuci uang, ya?”

“Ngawur!”

Belum lagi, tingkah-tingkah para penghuni kost Lantai Dua Halimunte, membuatnya kepalanya makin pusing. Sampai-sampai, Sena dinobatkan sebagai yang paling galak. Dia juga mengomel terhadap setiap hal-hal kecil.

“Kalau nyapu yang bersih!”

“Kalau ada orang ngepel masih basah, jangan lewat!”

“Yang jadwalnya buang sampah, ayo buang sampah!”

“Ini siapa naruh baju kotor sembarang?”

Bisa dibilang, tiada hari tanpa omelan Sena terdengar di Lantai Dua Halimunte. Sampai suatu momen, kost sunyi tanpa suaranya sama sekali selama seharian. Entah ke mana perginya, padahal Sena adalah yang paling sering berada di kost.

Selepas makan malam, barulah pemuda itu muncul, dengan setelan kemeja dan jas yang telah kusut. Wajah dan rambut yang biasanya selalu terawat dan tertata rapi, kini berantakan seolah-olah dia belum sempat beristirahat selama tiga hari, atau memang benar demikian.

“Ke mana lagi, Bang? Baru juga nyampe.” Janse, adiknya yang masih SMA dan sama-sama tinggal di Lantai Dua Halimunte, satu-satunya yang berani bicara kepada Sena yang sepenuhnya terlihat berbeda—dan tak sedikit pun terlihat seperti orang yang mau diusik bahkan untuk sekadar bertanya apakah dia ingin makan terlebih dahulu.

“Diem. Kamu belajar aja, malam ini shift-ku jaga di Kafe Halimunte.”

Begitulah yang selalu dikatakan Sena.

Sementara Janse tak tahu apa yang harus dikatakan atau pun dilakukan selain memandang punggung kakaknya yang menghilang di tangga, tampak menyedihkan seperti memelas meminta ampun selagi pura-pura kuat.

Janse kembali ke kamarnya. Tak ada tugas sekolah yang belum dia selesaikan. Semua materi pelajaran telah selesai dia review sejak sore tadi. Kakaknya sesungguhnya tak perlu repot-repot mengingatkan seperti itu lantaran adiknya selalu memperoleh ranking pertama paralel dengan mudah.

Janse tetap membuka bukunya, tetapi dia tak bisa membaca sedikit pun penjelasan di sana.

Sena selalu saja menyuruhnya untuk beristirahat, padahal kakaknya itulah yang sesungguhnya lebih perlu untuk beristirahat.

Andai menamparnya kencang-kencang akan menyandarkan dan menyelesaikan semuanya, Janse pasti telah melakukannya sejak dahulu.

Bodoh.

Dasar, kakak yang bodoh.

Janse tak tahu kapan mulanya. Dari kenangan pertama yang berhasil dia ingat, kakaknya yang masih usia delapan tahun, nyaris tak pernah pernah pulang ke rumah.

“Ibu temenin Adek aja.”

“Ibu, Adek gak dibeliin mainan yang dijual di depan?”

“Ibu Bapak sama Adek aja, Sena berani sendiri.”

Bunyi-bunyi peralatan yang entah apa fungsinya. Satu dua selang melintang di badannya yang masih mungil. Dokter setiap hari datang, memeriksa entah apa, menjelaskan berbagai hal yang Janse tak pernah paham maksudnya.

Sesekali, mereka semua panik. Biasanya hanya satu kali tiap dua tahun, para dokter panik, mengelilingi kakaknya, entah apa yang dilakukan. Sementara ibunya menangis dan Janse berada di gendongan bapaknya. 

Selalu demikian, setiap kali Sena dipindahkan ke ruangan luas yang hanya berisi ranjangnya seorang, tanpa Ibu, Bapak, atau bahkan dirinya boleh menemani. Hanya melihat dari dinding kaca.

“Ibu, Kakak kenapa?”

“Bapak, kok Ibu nangis?”

“Bapak, dokter-dokternya jahat, ya? Kok Kakak dadanya dipukul-pukul?”

Janse kecil tak memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, seiring dia tumbuh remaja dan beberapa kali mendengar pembicaraan ibu dan bapaknya—mereka selalu menyembunyikan tiap jali Janse bertanya langsung—dia akhirnya memahami sebagian.

Sena mulai membutuhkan tindakan rutin di rumah sakit, bertepatan dengan ulang tahun pertama Janse. Dia tak pernah tahu apa yang sesungguhnya diderita kakaknya. Namun, jasa asuransi kesehatan milik mereka yang budget-nya hanya pas-pasan, menolak untuk menanggung biayanya.

Bahkan, saat bapaknya nekat untuk mengurus pendaftaran asuransi kesehatan lain yang bergengsi, mereka juga sama-sama menolaknya.

Sena kecil masuk ke ICU berulang kali dan tak jarang nyaris kehilangan nyawa.

Namun, kakaknya itu selalu saja berkata, “Adek, Adek, Adek.”

Hingga saat ini sekali pun.

Meski Sena saat ini terlihat sehat-sehat saja, tetapi dia tetaplah seseorang yang rapuh di mata Janse.

“Bang.” Dia akhirnya menyusul juga, tak tahan memikirkan kakaknya itu belum istirahat sama sekali. Apron barista di depan kemeja putih tak bisa menutupi betapa kusutnya pakaian itu setelah meeting yang cukup panjang. “Bos kok ikut ngelayanin. Sana duduk-duduk sambil ngawasin aja.” Dia merebut cangkir latte yang hendak dihias oleh Sena.

“Apa sih kamu, Dek? Ngerjain tugas sana. Awas kalo gak dapat nilai seratus!”

“Udah selesai semua!”

“Ya udah sana tidur.”

“Bang!” Janse nyaris kelepasan berteriak. Dia tak tahan lagi dengan sikap kakaknya. “Udah, deh. Aku bukan bocah lagi, tahu. Kenapa sih… kenapa sih Abang selalu nanggung semuanya sendirian? Kalo Abang gak ada, juga aku yang bantuin ngelayanin pembeli, bikin kopi, bikin roti. Aku udah bisa semuanya, Bang. Aku juga udah bisa diandalin sekarang!”

Itu untuk pertama kalinya, Janse melihat kakaknya termenung.

Oh, waktu benar-benar telah berlalu.

Sena bahkan tidak menyadarinya. Janse bukan lagi bayi yang bisa digendongnya dengan mudah sambil dicium pipinya. Janse bukan lagi balita yang mengekor ke mana pun dia pergi.

Janse bukan lagi anak kecil yang sedikit-sedikit mengadu padanya.

Kapan, ya, terakhir kali Sena berkata, “Ibu sama Adek aja,” akibat Sena selalu merasa bersalah oleh seluruh perhatian ibu dan bapaknya yang terpaksa tertuju kepadanya akibat segala huru-hara yang mereka alami dulu, hanya karena dirinya selalu membutuhkan tindakan medis?

Sena menyelesaikan studinya begitu cepat sambil mengejar beasiswa habis-habisan bukan tanpa alasan. Pengobatannya semasa kritis menghabiskan uang yang begitu besar. Ibu dan bapaknya tak pernah mengatakan apa pun, tetapi Sena mengetahui bahwa utang demi utang hanya mampu untuk diputar ke sana kemari, tanpa benar-benar pernah mampu untuk dibayar.

Utang baru untuk menutup utang lama.

Utang yang lebih baru untuk menutup utang sebelumnya.

Nominalnya tak berkurang sama sekali, justru bertambah.

Apa yang bisa Sena lakukan… apa yang bisa Sena lakukan—saat tengah malam tak sengaja berjalan melewati kamar tidur utama yang pintunya terbuka dan terdengar tangisan ibunya.

Apa yang Sena bisa lakukan… pertanyaan itu mencekiknya. Di antara semua orang, dia hanya begitu mohon, tolong jangan orang tua, jangan ibunya, jangan bapaknya yang tersakiti.

Dia berdiri menyandar dinding yang terasa lebih dingin daripada langit malam tanpa bulan. Tepat di samping pintu kamar tidur utama. Sena tahu bahwa semuanya tak pernah mudah, tetapi dia tak menyangka bahwa dirinya benar-benar adalah sebuah beban yang berat.

Sayup-sayup, dia mendengar bapaknya mengangkat telepon, entah dari siapa. “Sebentar saja, sebentar saja, kok. Tiga tahun lagi, nggih?” Tak pernah sekali pun, bapaknya yang selalu tertawa sambil melempar candaan-candaan tak lucu khas bapak-bapak pernah terdengar memelas seperti itu. “Ngapunten… nggih? Nanti saya usahakan. Kalau sekarang benar-benar belum ada….”

Sena tak pernah meminta lahir ke dunia, untuk menghabiskan begitu banyak uang.

Sena tak pernah sekali pun… meminta kepada Tuhan untuk melihat ibu dan bapaknya kesulitan.

“Pak… Sena gimana? Dia masih ngeluh sakit atau engga? Uang bisa dicari, tapi Ibuk gak mau lihat Sena kenapa-napa lagi.”

Sena ingin memutar waktu di saat itu juga.

Andai saja Janse yang lahir pertama, tanpa dirinya pernah datang ke dunia.

Semuanya tak akan menjadi seperti ini.

Maaf… andai kata itu ada maknanya. Andai kata itu mampu mengubah segalanya.

Bahkan setelah seluruh utang yang melilit tanpa ampun, ibunya tak memikirkan apa pun selain keadaan Sena.

Mengapa… mengapa seseorang sebaik Ibu, Bapak, dan Janse harus tinggal bersamanya?

Mengapa Sena harus merepotkan mereka?

“Sena nanti bantuin bayarin, Pak,” kalimat itu keluar dengan tegas dari mulut Sena di tahun terakhir SMA-nya, bersamaan dengan pria-pria tinggi dan kekar datang untuk menyita rumah mereka, sehingga Bapak tak memiliki pilihan selain menceritakan semua kepada putra sulungnya—Janse sedang di sekolah waktu itu, tetapi adiknya itu juga kemudian tahu dengan sendirinya.

Dengan negoisasi krusial, akhirnya tenggat diperpanjang.

Bila hutang belum lunas dalam lima tahun ke depan, maka rumah, tanah, dan seluruh perabotan akan diambil.

Sungguh risiko yang besar.

Tentu saja Sena sempat ditentang oleh orang tuanya, tetapi dia tetap mengusahakan semuanya sekali pun seorang diri—meski dia tahu bahkan ibu, bapak, dan Janse diam-diam tetap selalu mendoakannya.

Beberapa tahun setelahnya, Sena lulus dari universitas di luar negeri, mendapatkan lisensi profesional, dan kembali pulang selagi bekerja sebagai arsitek secara remote di beberapa multinational company.

Gemilang, tetapi memang setara dengan perjuangan Sena.

Syukur-syukur dia tidak tumbang.

Seluruh rumah dan tanahnya aman, walau isi dompet Sena tipis selama berbulan-bulan karena mencicil pembayaran hutang dengan nominal bukan main. Namun, bukan berarti semuanya selesai. Masih ada hutang-hutang lain dengan jaminan macam-macam harta benda milik saudaranya yang dipinjam oleh bapaknya.

Akibat sebesar itu harga yang harus dibayar oleh mereka untuk menegoisasikan Sena dengan malaikat maut dahulu.

Bapaknya masih berulang kali melarang untuk menyisihkan gaji hanya untuk membayar utang. Sena adalah tanggungan mereka, sedangkan uang Sena seharusnya menjadi miliknya sendiri.

Namun, Sena adalah Sena.

Mana bisa dia tidak merasa bersalah.

Mana bisa dia melupakan tangisan habis-habisan ibunya malam itu atas keputusan yang diambil Sena. Melihat orang paling disayangi memegang kedua lengan atasnya. “Nak… sudah, Nak. Nanti kamu sakit lagi, nanti kamu masuk ICU lagi. Sekali pacu jantung lagi rusukmu sudah pasti bakal rusak, Nak…. Ibuk gak bakal pernah menyetujui kalau dokter menyarankan buat DNR, lho….”

“Ibuk—”

“Sena!” Itu teriakan memelas ibunya untuk pertama kali, “Ibuk itu gak mau kehilangan kamu, Nak. Ya…?”

“Tapi Sena gak mau Ibuk Bapak dikata-katain saudara cuma karena gak bisa bayar hutang! Sena gak suka liat debt collector datang buat marah-marahin Ibuk Bapak karena gak bisa bayar utang! Sena sakit hati, Ibuk!”

Rumah hari itu sunyi oleh kesedihan yang tumpah setelah semua wadah yang dipaksa menampung selama bertahun-tahun, akhirnya pecah juga. Bahkan Janse tak berani mengatakan apa pun, meski wajahnya yang pilu begitu kentara sepanjang dia hanya bisa duduk di tepi ruang keluarga, mendengarkan segalanya.

Bapaknya berkaca-kaca, meski sedikit, tetapi itu sudah cukup jelas untuk menunjukkan seluruh beban yang selama ini ditanggung. Mematahkan setiap tawa dan kata baik-baik saja yang selalu saja diucapkan seolah-olah tak pernah ada keringat, rasa lelah, dan khawatir sebesar itu pernah dirasakan.

Malam itu, akhirnya, seluruhnya hal yang ditakutkan Sena, seluruh rasa sakit Ibuk dan Bapak, terkuak jelas di hadapannya.

Hal itu adalah hal paling mengerikan untuk dia ketahui.

“Ibuk….” Itu untuk pertama kalinya, setelah masa kecil yang menyedihkan akhirnya habis, Sena jatuh dalam pelukan ibunya lagi. Wanita itu masih begitu hangat, persis seperti saat pertama kali dia berada dalam dekapannya. “Sena mohon Ibuk….”

“Sena…,” suara memelas ibu, terdengar habis.

Tak seorang pun dari mereka semua, pernah menginginkan hal ini.

Namun, Sena bisa apa? Sena bisa apa lagi selain memperjuangkan sisa-sisa air mata, agar tak jatuh lebih banyak? Agar malam yang sudah dingin, tidak menusuk tulang dengan lebih kejam. Agar setidaknya, keadaan yang udah berantakan ini, tidak menjadi kekacauan yang lebih buruk lagi.

Agar setidaknya, rasa lelah Ibu dan Bapaknya bukan lagi ditanggung mereka, melainkan dirinya.

Malam itu adalah titik balik segalanya.

Yang meyakinkan Sena bahwa dia harus membayar segalanya.

Hingga waktu yang entah kapan.

Bahkan saat hari ini berlalu, rasanya kenangan malam itu masih segar dalam ingatan. Tangisan ibunya seakan-akan masih jelas terdengar. Dan Sena tak akan pernah melupakan semua itu.

Tak akan pernah melupakan bahwa dianya penyebab segalanya.

Sena kerap berada Lantai Dua Halimunte untuk mengerjakan pekerjaan remote-nya. Terkadang dia akan meeting dengan beberapa perwakilan pihak di luar kota. Sementara malam hari dihabiskan untuk mengurus Kafe Halimunte.

Uang sewa Lantai Dua Halimunte maupun keuntungan Kafe Halimunte diberikan kepada bapaknya sesungguhnya adalah atas keinginannya sendiri. ‘Diminta Pak Eka’ adalah skenario buatan Sena agar orang-orang di kost tidak bertanya lebih jauh. Toh, pembawaan pria itu yang nyentrik dan sulit ditebak, cocok dengan skenario tersebut.

Modal untuk Kafe Halimunte setiap harinya berasal dari gajinya sebagai arsitek.

“Sana, sana, duduk aja.” Janse yang hendak merebut apron membuyarkan lamunannya. 

“Balik sana, udah malem.”

“Bang—”

“Adek. Balik.”

Lantas, bila suara Sena sudah berubah serius, Janse tak punya pilihan selain menurut.

Sena tak tahu mengapa dia tetap melakukannya. Dia tahu apa yang dikatakan Janse. Namun, lingkaran rasa bersalah menggelayutinya seperti jebakan tanpa akhir.

Yang dahulu pernah merepotkan mereka adalah dirinya.

Sena tak masalah bila dirinya lelah—bila rasanya seluruh pekerjaan dan kesibukannya tak memberikan hal lain selain membayar, membayar, dan membayar, tanpa hasil yang benar-benar ada. Asal bukan orang tuanya, apalagi Janse, yang ikut kerepotan.

Bahkan bila dia meminta maaf seribu kali pun, dia tak akan bisa terlepas dari rasa bersalah.

Sena—tak peduli seberapa rapuh yang hendak hancur dirinya… akan menanggung semuanya seorang diri.

Mau berapa kali Janse begitu khawatir hingga bertanya, “Kenapa sih Abang harus segitunya?”

Sena tak memiliki jawaban selain, “Aku udah gak mau lagi liat wajah capek Ibu, Bapak, apalagi kamu. Biarin aku membalas semuanya, Janse, biarin. Mumpung aku lagi sehat.”


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Halimunte Cafe: Please Smile If Possible
Adinda Amalia
Novel
Bronze
Galaunya Seperempat Abad
MonicaLo
Skrip Film
Role Play (Script)
Desinta Laras
Skrip Film
Roti Lapis: The Story of Mbak-Mbak SCBD
layarkata
Novel
TINTA YANG TERTULIS DARI JARIKU
Rizky F Rhamadan
Flash
Bronze
Takdir Cinta
Reza Lestari
Flash
Bronze
Cerita Satu Jam karya Kate Chopin penerjemah: ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Novel
PRESISI
i_naaff
Novel
Bronze
Tarupala
Lita Soerjadinata
Komik
Heavy Love Struggle
Saeful Anwar
Flash
Menolak Lupa 3
Shin No Hikari
Cerpen
Bronze
Kebenaran Dibalik Furnitur
Kemal Ahmed
Cerpen
Bronze
Pok Ame-Ame Julia Orang Gila
Autami Anita
Rekomendasi
Cerpen
Halimunte Cafe: Please Smile If Possible
Adinda Amalia
Flash
Bronze
Akuarium Air Laut
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Restate
Adinda Amalia
Flash
Yang Selalu Memimpikan Bintang
Adinda Amalia
Flash
Merpatinya Boleh Ikut Tidak?
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Mengapa Orang Dewasa Menikah?
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Avocado Party
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
One Time Whisper
Adinda Amalia
Novel
Orca and The Flower Ice
Adinda Amalia
Flash
Monsieur Marionette
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
For Clover
Adinda Amalia
Cerpen
Bronze
Bumiputera
Adinda Amalia
Flash
Pieces of Hearts D: Wangsa
Adinda Amalia
Flash
Kafe? Kafe. Kafe!
Adinda Amalia
Flash
Tuan Pembawa Sial dan Bunga Merah Ribuan Tahun
Adinda Amalia